“Coffe late,,”
“Coffe late,,’’ kataku hampir berbarengan dengan orang yang
dibelakangku. Setelah pelayan pergi aku penasaran dengan orang yang memesan
sama denganku tadi. Aku membalikan tubuhku dan saat itu dia juga sedang
melakukan hal yang sama denganku.
DEG!
Mataku melotot begitupun dengan orang yang ada di
depanku ini.
“Alisa,,” ujarnya. Aku menelan ludahku dengan
susah payah.
“Ustadz Fahri,,” timpalku masih tidak percaya. Tak
beberapa lama ustadz menyunggingkan senyum khasnya itu. Lalu ustadz mengambil
tempat duduk di depanku. Baru saja aku ingin bertanya bagaimana hubungan mereka ustadz lebih dulu menyapa
dengan sentilan di dahiku.
Pletak!
“Aww,,!!” aku spontan meringis kesakitan dan
cemberut, dia malah menatap dengan tatapan horornya. Aku jadi tidak bisa
berkutik. Aku menatap seakan bertanya salahku apa?
“Kenapa kamu bisa tidak datang ke acara pernikahan
temanmu, Zahra menunggu dengan cemas, sampai sekarang dia masih menunggu kabar
darimu” katanya. Aku kaget, loh bukannya aku yang menunggu untuk diberi kabar
darinya. Aku kan sudah memberinya alamat E-mailku.
“Maafkan saya ustadz,” sesalku.
“Loh kok sama ustadz minta maafnya,” kata ustadz.
“Ya kan sama aja, ustadz bisa sampein nati sama
Zahra lewat telpon” kataku.
“Tidak semudah itu, ustadz tidak bisa seenaknya
menghubungi orang yang sudah punya suami,,” mataku kembali melotot. Ustadz
tersenyum, aku tau sepertinya dia mengerti dengan ekspresiku sekarang.
“Ustadz ini becanda aja, kan suaminya Zahra
ustadz, jadi sama aja to?” sepersekian detik ustadz tertawa lepas, aku
menyernyitkan dahi. Aku sebal. Sebentar kemudian ustadz menyudahi tertawanya
yang lebay tadi.
“Jadi kamu tidak datang karena mengira yang
menikah dengan temanmu itu adalah ustadz,,” kata ustadz sambil santai
menyeruput coffe late yang telah tersaji di depan meja. Aku bengong, jadi orang
yang menikah dengan Zahra itu orang lain? Aku tersenyum dalam hati supaya
ustadz tidak tau aku pura-pura cemberut.
“Ih Geer sekali ustadz ini,,” kataku menimpali,
“Waktu itu jadwal keberangkatan Alisa bertepatan dengan kabar menikahnya Zahra.
Alisa nggak bisa seenaknya gitu dong ngebatalin keberangkatan, “
“Oww,,” kata ustadz seolah aku hanya tengah
membuat alasan, tapi memang benar adanya. Aku sudah tidak berselera sekali
dengan coffe late yang ada dihadapanku, tapi tidak mungkin akan kubiarkan saja
dia dengan kepulan asapnya yang semakin menipis. Dengan mood yang kurang baik
kunikmati coffe late itu.
“Jadi, Zahra menikah dengan siapa ustadz?”
tanyaku.
“Dengan temannya ustadz, namanya Ilham” jawab
ustadz
“Jadi ustadz kalah cepat dong sama teman ustadz
itu,”
“Oh tentu tidak, ustadz memang sudah lama tidak
berhubungan dengan Zahra. “ aku hanya menganggik takzim. Ustadz lalu
menyodorkanku nomor hp Zahra.
“Sekarang Zahra sudah punya hp, jadi kamu bisa
mengabarinya.”
“Terimakasih ustadz,,” ustadz hanya tersenyum.
Selama menikmati coffe late ustadz bertanya
tentang kegiatanku disini, dimana aku tinggal dan lain sebagainya.
“Berarti seharusnya kamu kenal dengan adiknya
ustadz dong” kata ustadz.
“Ustadz punya adik yang kuliah disini juga?”
tanyaku.
“Iya, ustadz kesini untuk menjenguknya, dan insya
Allah untuk kedepannya ustadz akan menetap cukup lama disini untuk melanjutkan
S3 ustadz,,”
“Oww,,” aku ber ‘o’ ria seolah tidak terlalu
terkejut dengan apa yang dikatakan ustadz, namun sebenarnya didalam hatiku aku
tersenyum karena bisa saja nanti aku bertemu sesekali dengan ustadz. Ustadz
tersenyum melihatku, ah pasti dia tau aku sedang berbohong, susah sekali
menyembunyikan ekspresi di depan ustadz. Aku memalingkan wajahku ke arah lain.
“Kemungkinan ustadz akan kuliah di universitas
yang sama dengan adiknya ustadz,,” aku hanya merunduk menatap meja, sok tak
peduli sembari bergumam menanggapi. “ustadz juga akan tinggal di kawasan sekitar
sini,,” tambahnya, dari nadanya aku tau ustadz tengah memancing reaksiku.
“Oww,,” aku kembali bergumam.
“Ya sudah sepertinya kamu sedang tidak enak badan,
dari tadi mukamu sudah memerah, sebaiknya kamu pulang cepat ya, ustadz masih ada yang harus di urus.
Assalamu’alaikum” kata ustadz melenggang pergi sembari tersenyum jahil setelah
tadi menaruh bayarnya. Aku menghela nafas panjang dan menatap punggung ustadz
yang semakin jauh meninggalkan cafe. Apa yang harus aku rasakan sekarang,
haruskah aku senang? Atau bagaimana, aku tidak mau berharap banyak.
Dirumah aku mencoba menghubungi nomor hp Zahra.
Alhamdulillah nyambung.
“Assalamu’alaikum,,” suara yang sudah tidak
asng lagi ditelingaku, Zahra.
“Wa’alaikumussalam, Ra” jawabku, aku ragu-ragu
menyebut nama Zahra. Aku merasa bersalah sekali.
“Alisa?? Ya Allah ini kamu Lis, bagaimana
kabarmu?” aku menghela nafas panjang.
“Aku minta maaf ya Ra,,” ungkapku.
“Oh, soal itu. Tidak usah di pikirkan, aku bisa
mengerti posisimu. Aku juga minta maaf sebab tidak pernah menghubungimu,”
“Kenapa jadi kamu yang minta maaf, oh ya aku dapat
nomor hpmu dari ustadz Fahri. Kebetulan sekali kami bertemu disini,”
“Oh ya? Kenapa ustadz bisa sampai sana?”
“Katanya beliau mau melanjutkan S3 nya disini”
“Ow, kamu apa kabar Lis?”
“Alhamdulillah baik, kamu sendiri bagaimana, sudah
ada tanda-tanda kehamilan belum?”
“Alhamdulillah sudah satu bulan,,”
“Benarkah? Alhamdulillah, “
Aku lega sekali Zahra tidak kecewa padaku, walau
sebenarnya aku tau dia memang tidak pernah bisa marah. Apalagi marah, mengeluh pun aku
tidak penah mendengar hal itu dari mulutnya. Saat ditanya dia akan membuat
mulut kita terkatup untuk seterusnya, “Untuk apa kita mengeluh, toh pada
akhinya kita akan menjalaninya seberat apa pun masalah itu, kan?” begitulah
jawabannya.
....................
Hari berganti, aku senang karena komunikasiku
sekarang sudah sepeti biasa lagi dengan sahabatku, Zahra. Subhanallah, aku
memang beruntung telah diberi sahabat seperti Zahra oleh Allah. Jika ku telepon
pasti dia selalu bercerita tentang betapa bahagianya dia bisa diberi
kepercayaan oleh Allah untuk merawat jabang bayi yang masih ada dalam rahimnya.
Dan banyak hal lagi yang terus dia ceritakan tentang makhluk kecil yang terus
berkembang setiap hari itu.
Zahra juga menceritakan
tentang kenapa bisa yang menikah dengannya bukan ustadz Fahri melainkan
temannya ustadz Fahri yang bernama Ilham itu. Katanya, ada kejadian dimana
hubungan mereka renggang karena ustadz Fahri ditugaskan mengajar di salah satu
pondok yang juga satu ketua yayasan dengan pondok tempatku sempat nyantren
waktu itu.
“Dan entahlah Lis, saat itu kami berdua
merasa tidak ‘srek’ lagi” jelas Zahra lewat telepon waktu
itu. Zahra pun bercerita bahwa dia dan ustadz Fahri sama-sama bersepakat untuk
mengakhiri hubungan mereka secara baik-baik.
“Dan bisa jadi kejadian saat itu merupakan
jalan yang sudah ditentukan Allah”
tambah Zahra. Iya, karena dengan kejadian itu ustadz Ilham yang saat itu adalah
pengganti ustadz Fahri untuk mengajar di pondok berkesempatan mengungkapkan
persasaan yang ternyata sudah lama ia pendam pada Zahra. dan ustadz Ilham pun
meminang Zahra dan melangsungkan pernikahan saat Zahra lulus SMA.
Hari ini cukup melelahkan, tapi Alhamdulillah hari
ini juga semua tugas yang mengggunung beberapa minggu ini terselesaikan dengan
baik. Aku keluar dari perpustakaan kampus sembari meregangkan badan yang pegal.
Aku melangkah dengan ringannya, ingin rasanya aku segera pulang lalu
mengistirahatkan tubuh ini dan memanjakannya dengan air hangat, ah subhanallah
pasti enak tuh. Saat menuju
rumah kusempatkan membeli beberapa cemilan dan kopi cup untuk Kakek dan Nenek. Saat sampai dirumah ada mobil pengangkut
barang yang keluar dari rumah yang tepat disebelah rumah Kakek. Rumah itu sudah lama ditinggalkan oleh
pemiliknya, katanya sih mau dijual, mungkin ada yang sudah membelinya, batinku.
Aku mlangkahkan kaki melewati rumah tadi sembari
sedikit mengintip suasana di dalam.
“Kamu sedang apa?” aku tersentak saat sedang
mengintip dari gerbang rumah tetangga. Nenek yang terlihat membawa belanjaan
menatapku bingung.
“Ini Nek, sepertinya ada penghuni rumah kosong ini, tadi Lisa lihat mobil
pengangkut barang keluar dari sini’’
“Ow, iya kemarin Nenek bertemu dengan yang orang yang menempati
rumah ini. Kemarin juga dia kesini, anak muda dan orang Indonesia juga.
Sepertinya pemuda itu anak yang ramah, pasti menyenangkan karena akan punya tetangga dari
negara sendiri, tidak perlu berbicara bule-bule kan?’’ jelas Nenek.
“Begitu ya,,’’
“Yasudah ayo masuk, Nenek kebetulan belum masak. Nanti tolong kamu bantu
Nenek masak ya? Nanti bila
perlu kita ajak tetangga baru kita untuk makan bersama, untuk mempererat
silaturrahmi kan?’’ aku mengangguk takzim lalu beranjak menuju gerbang rumah.
Selesai masak Nenek meminta kakek untuk sekalian memanggil
tetangga baru yang katanya dari Indonesia itu. Kata kakek tidak ada orang
disana, sepertinya penghuni rumah sedang pergi.
“Yasudah
lain kali saja,,’’ kata Nenek.
Kami melanjutkan makan siang.
---------
Di kantin kampus aku dan Caterin membicarakan
tentang acara yang akan diadakan oleh SOI dau hari lagi. Pada awalnya aku tidak
berniat ikut karena banyaknya tugas, tapi alhamdulillah tugas kemarin jadi
melebihi targetku. Acara itu akan diadakan dalam rangka pengumpulan amal untuk
anak-anak yang berkebutuhan khusus. Acara itu akan diselenggarakan selama dua
malam tiga hari.
“Alisa,,’’ panggil seseorang dari belakang,
ternyata Yusuf. Yusuf melangkahan kaki menghampiriku dan Caterin. “Aku boleh
duduk disini,,’’ katanya.
“Silahkan,,’’ kataku.
“Aku mau membicarakan soal acara hari kamis besok,
aku harap kamu mau ikut’’
“Insya Allah,, aku mau minta izin dulu sama Nenek kalau memang Nenek tidak keberatan aku ikut,’’
“Yasudah, nanti sehari sebelum pergi aku hubungi
ya. Kalau begitu aku pamit, assalamu’alaikum,,’’
“Wa’alaikumussalam,,’’ setelah Yusuf beranjak
Caterin menyenggol lenganku.
“Lelaki tadi, sepertinya dia suka padamu,’’ aku menatapnya.
“Suka bagaimana? Nggak mungkin banget, banyak kan
cewek muslim yang lebih baik
dan lebih cantik daripada aku di SOI. That’s impossible, right?’’
“Kita lihat saja nanti, tempo beberapa minggu
lihat bagaimana tabir cinta akan terkuak,,’’ katanya sok puitis sekaligus
dramatis. HE
--------
Aku sudah meminta izin pada Nenek untuk kegiatan SOI besok. Nenek tidak
keberatan Nenek malah sangat
terkesan karena masih ada pemuda yang peduli dengan orang lain, bukan hanya
terus mementingkan dirinya sendiri,
Saat makan siang, Nenek bilang tetangga yang kemarin pindah itu
sedang beres-beres rumah. Nenek memintaku untuk mengantarkan mereka makanan
karena kebetulan Nenek
masaknya cukup banyak hari ini.
“Ini, tolong kamu antar mkanan ini ya,,’’ pinta Nenek. Aku mengangguk, sekalian kenalan sama tetangga baru, batinku. Aku keluar rumah
dengan membawa rantang platik yang terasa hangat. Gerbangnya dibiarkan terbuka,
aku pun masuk dan berjalan melewati halaman yang di hiasi tanaman yang kurang
terawat, pasalnya pemilik rumah sebelumnya sudah cukup lama meninggalkan
rumahnya.
Aku mengetuk pintu yang terbuka lebar, tidak ada
yang menyahut. Aku mengintip kedalam, barang-barang sudah tertata dengan rapi
tapi ada beberapa kardus yang masih terlihat bertumpuk.
“Assalamu’alaikum,,’’ sapa seseorang dari
belakangku. Aku menoleh.
“Loh, Yusuf? Kok kamu bisa disini?’’ tanyaku
melihat sosok Yusuf.
“Aku sekarang tinggal disini, kamu sendiri ngapain
disini dan membawa rantang pula,,’’ katanya melihatku membawa rantang plastik.
“Oh, aku tinggal dirumah sebelah, dirumah Nenek. Aku diminta Nenek buat ngasih ini ke tetangga baru, katanya
kebetulan kamu lagi beres-beres rumah,,’’ paparku.
“Alhamdulillah, Nenek kamu baik sekali. Oh ya berarti sekarang kita
tetanggaan ya?’’ tanyanya, aku hanya mengangguk sembari tersenyum. “Nah,
kebetulan sekarang kamu disini jadi aku tidak perlu menghubungimu, bagaiman
dengan keputusanmu untuk acara besok?’’ tanyanya lagi.
“Ah ya, alhamdulillah Nenek sangat mendukung acara itu, jadi Nenek memberikan izin’’ jawabku.
“Syukurlah, kalau begitu karena sekarang kita
tetanggaan,besok kita bisa pergi bersama kan?’’ tanyanya lagi.
“Boleh,,’’ timpalku.
Prang...
Terdengar suara berisik dari dalam, kami berdua
menoleh kearah dalam. Aku menatap Yusuf dengan tatapan tanda tanya.
“Kamu tinggal bersama orang tuamu?’’ tanyaku.
“Nggak, aku tinggal berdua dengan kakakku. Oh ya
kamu mau masuk nggak?’’ tanyanya.
“Terimakasih, tidak usah aku masih ada hal yang
dikerjakan’’ kataku. “Aku pamit dulu,,” kataku sembari memberikan makanan yang
tadi.
“Sekali lagi terimakasih ya atas makanannya,
sampaikan salamku pada Nenekmu,
terimakasih banyak.’’
“Iya, tak perlu sungkan lagi, yaudah ya Assalamu’alaikum,,’’pamitku.
“Wa’alaikumussalam,,’’
Aku menyampaikan salam Yusuf pada nenek.
“Tu kan, apa Nenek bilang anaknya baik dan sopan bukan? Pemuda
yang seperti itu cocok dijadikan pacar,,’’ nasehat Nenek. Lah, kenapa jadi larinya kesana?
“Alisa udah kenal baik sama dia kok Nek, Alisa kan sering ketemu dengannya di
kampus,,’’ jelasku.
“Ow, tambah bagus itu,, dia tampan kan Lis.
Sepertinya kamu cocok juga kalau disandingkan dengan pemuda ramah itu,,’’ kata Nenek semakin menjadi-jadi.
“Insya Allah kalau memang jodoh Nek,,’’ kataku. ’’ Alisa keatas dulu ya Nek,,’’ pamitku. Nenek yang sedang
membuatkan Kakek kopi hanya
mengangguk.
Dari balkon rumahku aku bisa melihat rumah yang
ditempati Yusuf tadi. Aku bisa melihat taman serta dua kamar yang barada di
lantai dua. Yang kemarin-kemarin hanya terlihat kamar yang tirainya tertutup
dan gelap. Sekarang sudah bisa terlihat sinyal-sinyal kehidupan disana. Aku teringat dengan
kata-kata Nenek tadi yang
mengatakan bahwa aku itu cocok dengan Yusuf, tapi aku belum merasakan perasaan
yang spesial padanya.
Aku mengambil kursi santai dan mengambil novel lalu mebaca dengan santai di balkon.
Sebentar berselang tercium aroma cofee late, aliran saraf-saraf di otakku
seakan memutar sebuah memori berkesan yang ada hubungannya dengan bau cofee
late. Ah, aku ingat dengan jelas sekarang, memori itu adalah saat aku pertama
kali bertemu ustadz Fahri satu minggu yang lalu di cafe. Setelah kejadian itu
wajah ustadz Fahri terngiang di otaku, aku senang bercampur sedih saat itu, aku
senang karena ternyata bukan ustadz yang menjadi suami Zahra, sahabatku. Tapi
disisi lain aku merasa bersalah karena dengan rasa cemburu itu aku tidak
menghadiri hari paling bahagia
dari sahabatku.
Beberapa hari ini aku memang lupa dengan kejadian
di cafe itu karena tugas yang bejibun. Tapi karena aroma tadi aku jadi harus
mengingat semuanya kembali. Entahlah, aku tersenyum sendiri saat mengingatnya.
Harapan itu kembali terhujam ke dalam hatiku yang dulunya sempat terkubur. Tapi
aku masih belum mengerti dengan ustadz, aku tidak tau dia menganggapku seperti
apa, di satu sisi tatapannya seakan menunjukan rasa iba dari seorang guru
kepada murid, dan disisi lain aku merasa ustadz meemandangku layaknya adik
kecil yang patut di kasih tau dan di tuntun. Dan di satu sisi yang mungkin saja
hanya persepsiku semata, bahwa dibalik semua perhatian itu, ada satu perasaan
bahwa ustadz akan mengaggapku lebih dari hal yang telah kujabarkan diatas. Tapi
jika demikian aku yang akan merasa malu, karena jika dibandingkan denganku, aku
sangat jauh dengan ustadz Fahri, dari segi ilmu, iman maupun akhlak, jika
mengingat itu aku jadi putus harapan.
Lama aku semakin tenggelam dalam lamunan bersama
ustadz Fahri, aku berhayal jika dalam kesibukannya, dalam kejudesannya, dalam
segala tingkahnya itu. Ada sat dimana ternyata dia juga sedang memikirkanku,
sedang menatapku dari seberang sana. Sedetik kemudian aku tersadar lalu
menggeleng keras.
“Astagfirullah, Ya Allah kenapa aku jadi seperti
ini. Maafkan hamba Ya Rabb.’’
Aku menutup buku dan hendak beranjak dari sana. Saat ku arahkan pandanganku
kearah luar, aku melihat sosok yang tadi berkeliaran di otakku, melihatnya
sedang memperhatikanku sembari duduk dan menikmati cofee late. Aku semakin
menggeleng keras, dan terus melafadzkan istigfar dengan keras agar sosok itu
menyingkir dari benakku sambil berjalan menuju kamarku. Ku tutup pintu yang
mengarah ke balkon dan kucoba untuk tidur dan berharap semua yang terjadi tadi
bisa hilang bersama dengan kesadaranku yang makin lama semakin lemah dan tergantikan
oleh dengkuran yang halus.
------------
Paginya aku sudah siap dengan perlengkapan untuk
acara SOI. Aku mengirimkan Caterin sms agar nanti kami bertemu di kampus. Aku
keluar setelah tadi berpamitan dengan Kakek dan Nenek.
Saat sampai di gerbang ternyata Yusuf sudah
menunggu, kami pun jalan menuju halte bersama. Yusuf sangat asik kalau diajak
bicara, selalu nyambung dengan topik yang kita bicarakan. Dan sepanjang jalan
menuju halte Yusuf banyak bercerita tentang kuliahnya, kenpa dia memilih kuliah
disini, dan bagaimana ketatnya Kakaknya jika sudah berbicara soal pendidikan, makanya Yusuf tidak diberi
fasilitas yang terlalu mewah, katanya kalau menuntut ilmu itu yang paling bagus
itu cara pake cara yang sederhana. Istilahnya niatnya itu harus belajar jangan
sampai terkotori arena niat pamer ilmu. Makanya Yusuf pun sudah tebiasa dengan
semua itu, dan kalau ke kampus Yusuf menggunakan sepeda, hanya hari ini saja
tidak pakai karena ada aku, aduh jadi merasa nggak enak.
Saat tiba di kampus Caterine melihatku turun dari
bus yang sama dan berjalan bersama dengan Yusuf. Dia tersenyum jahil.
“Ini belum terhitung minggu lo, sudah ada kemajuan
sepesat ini. Kalian sudah jadian?’’ tanyanya menyelidik.
“Hus,, ada-ada aja. Aku dan dia itu sekarang
tetanggaan, makanya jalannya bareng..’’ Cateine hendak berceloteh lagi, tapi Kakak tingkat sudah memanggil untuk
berkumpul.
Kita berangkat menggunakan bus, dan tidak memakan
waktu lama kami sampai di tempat tujuan. Sebuah yayasan yang menampung
anak-anak yatim dan keterbeakangan mental. Kami disini akan membantu apa saja
yang bisa kami bantu, dan jauh-jauh hari panitia yang lain memang sudah
menyelenggarakan beberapa acara peduli amal dan alhamdulillah terkumpul sekian
banyak uang. Uang itu kami serahkan ke kepala yayasan saat baru sampai, ketua
yayasan menyambut hangat kedatangan kami dan sangat berterimakasih atas semua
bantuan yang kami berikan.
kami juga diberikan fasilitas penginapan yang
layak oleh para pengurus disini. Ketua panitia membagi kami menjadi beberapa
kelompok, ada yang bertugas membantu memasak, ada yang bertugas mengurus anak
kecil, dan ada yang bertugas mengajar membantu para tenaga pengajar disini.
Aku, Caterin dan Yusuf kebetulan satu kelompok dibagian mengjar. Dan tugas kami
mulai siang ini.
Ini adalah pengalaman yang sangat luar biasa
buatku, walaupun terkadang capek menghinggapi karena paginya kita semua harus
membantu panitia beres-beres kamar dan lain-lain. Tappi saat melihat wajah
anak-anak disini, melihat tawa canda mereka yang lepas membuat kami semua ikut
larut dalam rasa bahagia mereka. Aku terpikir bagaimana jika itu anakku
sendiri, haha.
“Damai ya rasanya melihat tawa mereka, mereka
polos dan tanpa dosa.’’kata Yusuf tiba-tiba datang. Aku hanya mengangguk sambil
tetap fokus dengan anak-anak yang sedang bermain di kelas. “Lis, kamu sudah
punya pacar?,’’ tanya Yusuf. Aku memalingkan wajahku kearahnya, alisku
mengkerut.
“Belum, memangnya kenapa?’’ tanyaku.
“Nggak kok, cuma nanya aja,,’’ katanya lalu
beralih melihat anak-anak. “Ayo, kita mulai mengajar’’ ajaknya lagi. Aku hanya
mengikutinya dari belakang.
Kegiatan terus berlangsung sampai hari ketiga, ini
hari terakhir kami disini. Pagi-pagi sekali kami disambut oleh anak-anak kecil
yang membawa kue. Katanya mereka yang membuatnya sendiri sebagai ucapan
terimakasih karena kami telah bersama mereka tiga hari ini. Benar saja, kuenya
sangat menggambarkan mereka, kue yang dihiasi begitu banyak hiasan warna warni.
Ah, walau begitu rasanya sangat bahagia melihat tangan-tangan mungil itu
membawa nampan kue lalu dengan senyum ceria mereka berkata terimakasih. Aku
tidak tahan untuk memeluk makhluk kecil tanpa dosa itu. Ya Allah, aku sungguh
tidak bersyukur, aku sering mengeluh karena hal yang sangat sepele, tapi mereka
dengan segala keterbatasan mereka, mereka tetap tersenyum dan menjalani hari
dengan penuh semangat.
Setelah acara perpisahan kecil-kecilan yang
berkesan itu berakhir kami pun pamit untuk pulang pada semuanya dan pada kepala
yayasan.
“Kami harap lain kali kalau ada waktu kalian
mampir kesini,,’’ harap kepala yayasan.
Bus yang membawa kami pulang datang, kami semua
naik dengan perasaan yang berat. Aku melihat kearah belakang, melihat anak-anak
kecil dengan wajah polos sambil melambaikan tangan mungilnya. Aku tersenyum,
lalu membalas lambaian mereka. Aku masuk dengan berat hati, aku duduk bersama
Caterin di dekat kaca. Aku kembali melambaikan tangan saat bus mulai bergerak
meninggalkan tempat itu. Di tengah perjalanan Yusuf maju dan berdiri
ditengah-tengah bus yang sedang bergerak sembari memegang alat pengeras suara.
Apakah dia mau menghibur kita yang letih karena acara tiga hari ini? Batinku.
“Maaf jika mengganggu waktu istirahat kalian,’’
katanya membuka. “Aku berdiri disini ingin menyampaikan sesuatu pada
seseorang,,’’ katanya sembari menatapku.
Deg!!
Aku kaget, apa maksudnya menatapku sepetri itu?
Aku mulai merasa tidak enak, agaknya ini akan rumit.
“Aku hendak mengungkapkan perasaanku pada
seseorang disini, sejak dulu aku ingin mengatakannya tapi belum ada waktu yang
tepat. Dan sekarang sepertinya hari yang tepat dan disaksikan oleh kallian
semua.’’ katanya. Tepuk tangan mengudara seketika saat Yusuf menghentikan
perkataannya.
“Dia sosok yang apa adanya, sederhana, dan baik
hati. dia si penyuka kopi yang sekarang kebetulan telah resmi menjadi tetanggaku,
dia,,’’ kata Yususf menggantiung, semua hening. “Alisa,,’’
Seketika riuhlah seisi bus, aku hanya bisa
tertunduk malu saat dipanggil dan dilihat oleh teman-teman yang lain. Caterine
menyenggol lenganku, aku menatapnya horor, jujur aku sangat malu. Aku harus
bilang apa sekarang, mati aku, batinku.
“Tolong tenang sebentar,’’ kembali Yusuf
berbicara, ’’ Maaf untuk Alisa, aku tidak bermaksud lancang tapi aku merasa ini
waktu yang sangat tepat. Tapi aku tidak akan memaksamu menjawab sekarang, aku
akan menunggu jawaban darimu. Aku hanya ingin kamu tahu perasaan aneh yang
kurasa beberapa minggu ini, dan ternyata itu adalah perasaan cinta,,’’
------
Aku terbangun dari tidurku, aku teringat
akan kejadian kemarin saat Yusuf mennyatakan perasaannya padaku. Sepulang dari
sana aku meminta Caterine untuk mengantarku pulang, aku malu harus jalan
bersama Yusuf. Aku mengambil air wudlu lalu shalat subuh. Usai shalat matahari
mulai memancarkan semburat kuning keemasan. Aku membuka pintu yang menuju ke
balkon menghirup udara segar, mencoba menetralisi perasaan tidak enak yang
kubawa sampai tidur tadi malam. Aku meregangkan otot-ototku. Terdengar suara
orang yang tengah menggunting tanaman dari arah rumah Yusuf. Rajin sekali Yusuf
sepagi ini membereskan halaman rumah, batinku. Aku penasaran lalu mencoba
memperhatikan asal suara itu. Sayangnya hanya punggungnya yang sedang memotong
tanaman saja yang nampak, tapi kenapa Yusuf terlihat lebih tinggi dari sebelumnnya,
atau mungkin saja itu Kakaknya
yang pernah diceritakan waktu itu padaku. Karena cahaya dari matahari tubuh itu
semakin jelas terlihat. Aku seperti tidak asing dengan postur tubuh itu,
seperti pernah kulihat, gaya rambutnya dari belakang.
“Tunggu,, itu seperti ustadz Fahri,’’
gumamku. “Wah sepertinya aku demam, dan sekarang mulai ngaco pengelihatanku,
suka sih suka tapi masak semua orang jdi terlihat seperti ustadz Fahri,,’’ aku
pun beranjak dari balkon. Sepertinya aku harus mandi agar otaku bisa berfikir
dengan lancar.
“Lis, hari ini kamu libur kan ?’’tanya Nenek saat kami sarapan.
“Iya Nek, ada apa ?’’ tanyaku.
“Kakek mau minta bantuanmu, kebetulan hari
ini Kakek dan Nenek mau mengurus tanaman dibelakang
rumah,sudah lama tidak diurus. Mumpung kamu libur Kakek mau minta kamu buat nganter bingkisan ini ke
rumah aunti Mary. Kamu masih ingat kan?’’ tanya Kakek. Aku mengangguk.
“Beres Kek, Lisa juga masih ingat
apartmennya kok, selesai makan Lisa langsung berangkat sekalian ada yang Lisa
pengen beli.’’
“Coba kamu belajar motor atau sekalian
mengemudikan mobil, kamu bisa pake mobil Kakek, atau nanti Kakek belikan motor
kalau memang kamu maunya pake motor’’ kata Kakek.
“Jalan kaki itu sehat Kek, Lisa nggak mau
nanti jadi manja, kemana-mana pake motor.’’ timpalku.
Selesai sarapan, kakek memberikan
bingkisan berwarna cokelat yang ukurannya tak terlalu besar. Aunti Mary
sebenarnya sudah diajak tinggal disini bersama kami tapi dia bersih keras ingin
hidup mandiri dari uang hasilnya mengajar, mengajarnya pun di kampus tempatku
kuliah hanya saja aunti mengajarnya untuk mahasiswa yang mengambil jurusan S2
dan S3. Dia memang sangat panatik, bisa dibilang begitu terhadap pendidikan.
Makanya di usianya yang sangt muda itu, berkisar 26 lah dia sudah menyabet
gelar .... Aku memang tidak terlalu sering bertemu aunti tapi jika sedang ada acara
keluarga dan kami sempat ngobrol pasti aunti akan selalu memberi motivasi
tentang pendidikan.
Aku melewati rumah Yusuf, aku mengintip
sedikit. Kelihatannya sepi. Lalu kulangkahkan kaki sampai halte bus lalu berangkat
menuju apartmen aunti Mary.
Tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu 10 menit. Saat sampai di apartmen
auntia aku langsung menuju lift dan menekan tombol 17. Lalu lift pun meluncur
ke lantai yang dimaksud.
Setelah lift berhenti aku berjalan menuju
kamarnya aunti Mary. Ku pencet bel sekian kali, pintu terbuka.
“Alisa,, disuruh Kakek ya?’’ tebak aunti, aku mengangguk. “Ayo
masuk, aunti lagi ada tamu tapi,,’’ kata aunti.
“Tamu cowok ya? Siapa?’’ selidiku.
“Mahasiswa auntie,’’
“Ah, nggak asik,,’’ kataku menyesal
“Kamu ini,,’’ aunti mengacak-acak
jilbabku. “Mereka berdua orang Indonesia,,’’ jawab aunti. Saat tiba diruang
tamu aku mlihat ada dua orang yang satu cowok dan yang lainnya cewek cantik
dengan rambut tergerai rapi.
“Maaf tadi sampai mana?’’ tanya auntie
pada kedua orang tadi, “Alisa ayo duduk disini,’’ ajak aunti. Sontak cowok yang
menggunakan kemeja coklat itu menatap kearahku, aku melongo.
“Ustadz Fahri,,’’ ujarku. Ustadz hanya
tersenyum simpul. Aku beranjak duduk didekat aunti.
“Kamu kenal dengan Fahri?’’ tanya aunti.
Aku mengangguk.
“Alisa ini santri saya dulu di pondok
pesantren,,’’ jelas ustadz Fahri. Perempuan yang sedang duduk di dekat ustadz
Fahri itu tersenyum ramah padaku. Aku membalas senyumnya.
“Ini Bela, ustadz dan dia teman satu
universitas dulu, dan ternyata kita juga mengambil universitas yang sama
sekarang’’ kata ustadz memperkenalkan perempuan tadi. Aku hanya mengangguk.
“Saya Alisa, muridnya ustadz Fahri’’
kataku memperkenalkan diri.
“Aku Bela,,’’ jawabnya ramah.
Pembicaraan pun berlangsung cukup lama.
Karena merasa tugasku sudah selesai aku pun hendak pamit. Sebenarnya aku juga
merasa risih, melihat ustadz sesekali bercengkrama akrab dengan mbak Bela. Uh,
sebel.
“Auntie, Lisa pulang dulu ya. Kakek dan
Nenek sedang mengurus taman, sepertinya butuh bantuan Alisa.’’ kataku.
“Ow, begitu ya. Yasudah, aunti titip salam
aja sama Kakek dan Nenek ya’’ ujar aunti. Aku mengangguk lalu berpamitan.
Saat sampai di loby apartmen aku mencari
mencari hpku, dan aku baru ingat kalau aku meninggalkannya di apartmen aunti
Mary. Aku beranjak menuju lift. Saat lift terbuka munculah sosok ustadz Fahri,
bersama mbak Bela tentunya. Aku tersenyum kearah mbak Bela.
“Mau kembali mencari ini,,’’ ujar ustadz
Fahri memperlihatkan hpku. Aku mengangguk. Ustadz memberikan hp yang tengah dia
pegang kepadaku.
“Mbak Bela Lisa duluan ya,,’’ pamitku pada
mbak Bela. Sebelum mendapat
persetujuan aku sudah pergi duluan. Saat berjalan menuju halte aku dikejutkan
dengan suara klakson motor. Aku menoleh, ternyata ustadz Fahri.
“Mau ikut?’’ tanya ustadz
“Mbak Bela ditinggal?’’ tanyaku balik.
“Apartmennya kan deket sini, sudah ustadz
anter kok tadi,,’’ jawab ustadz.
“Ow,,’’ aku ber ‘o’ ria.
“Nih pake helm.’’ perintah ustadz. Aku masih diam. “Ayo,
ini perintah’’ kata ustadz lagi. Aku pun memakai helm dan naik ke motor ustadz.
Aku memposisikan diri agak belakang. Sepanajang jalan aku terus saja diam, aku
grogi, jujur. Aku hanya bisa menatap punggung ustadz Fahri.
“Nggak usah grogi,,’’ kata ustadz Fahri
tiba-tiba. Kebiasan sekali ustadz ini.
“Nggak kok, oh ya aunti Mary itu dosen
ustadz?’’ aku pura-pura bertanya agar ustadz tidak melanjutkan omongannya.
“Iya, ustadz mulai kuliahnya lusa’’ jawam
ustadz, “Bu Mary itu tante kamu?’’ tanya ustadz balik.
“Iya,,’’
Karena keasyikan ngobrol aku sampai nggak
sadar udah nyampe depan rumah. Aku agak kaget, aku bukannya belum kasih tau
ustadz kalau aku tinggal di sini?
“Tau darimana ustadz kalau Lisa tinggal
disini, Lisa kan belum ngasih tau ustadz?’’ tanyaku.
“Loh, sudah satu minggu jadi tetangga
masak ustadz tidak tau,,’’ aku melongo, “Kamu lupa waktu di balkon, kamu kan lihat ustadz
waktu itu’’ kata ustadz.
“Loh itu bukan hayalan toh?’’ kataku pada
diri sendiri.
“Apa? Hayalan?’’ Tanya ustadz yang
sepertinya mendengar gumamku tadi. “Aa,, ustadz tau, waktu itu kamu lagi mikirin
ustadz dan kebetulan kamu
lihat ustadz dan,, dan kamu
kira itu sekedar hayalan?’’ tebak ustadz.
“Eh nggak kok ustadz, bukannya gitu’’ aku
mencoba mencari alasan. “Loh, jadi Yusuf itu adiknya ustadz?’’ tanyaku
mengalihkan pembicaraan. Alhamdulillah aku bisa mengelak, batinku.
“Iya, kalian saling kenal?’’ tanya ustadz
“Pantas saja,,’’ kata ustadz.
“Pantas apa?’’ tanyaku.
“Yusuf sering mengintip ke kamar kamu,’’
kata ustadz.
“Lisa, kamu udah pulang?’’ tanya Nenek
dari dalam. Nenek mendekat kearahku dan ustadz. “Loh, nak Fahri, kenapa tidak
masuk. Ayo masuk dulu, tamu kok dibiarkan berdiri diluar sih Lis,’’ kata Nenek.
“Tidak perlu Nek,’’
“Nenek sudah lama ingin mengajak nak Fahri
ke rumah tapi tidak ada waktu melulu, sekarang kebetulan nak Fahri sudah
disini, jarang sekali bisa kedatangan tamu dari kampung sendiri’’ kata Nenek. Ustadz Fahri pun tak bisa mengelak dan
ikut masuk bersama Nenek.
Nenek memanggil Kakek yang baru saja
selesai merapikan taman di belakang rumah. Saat berkumpul di ruang tamu Nenek
memerintahakanku membuat minuman.
“Ini loh yang sering Nenek ceritakan itu
Lis, ternyata memang sudah kenal. Bagus kalau begitu’’ kata Nenek memulai
pembicaraan.
“Kebetulan dulu sewaktu di Indonesia Lisa
ini santrinya Fahri di pesantren Nek’’ kata ustadz Fahri.
“Terus nak Fahri ini sudah punya pacar?’’
tanya Nenek. Aku kaget, aduh Nenek ada-ada saja yang ditanyakan. Ustadz tersenyum simpul.
“Sampai saat ini belum Nek,’’ jawab
ustadz.
“Kebetulan sekali, Lisa juga belum punya
pacar. Dan nak Fahri ini anak yang baik, benar kan Kek?’’ lanjut Nenek meminta
pendapat Kakek. Aku melotot seakan berkata apa-apaan sih. Aku hanya bisa
merunduk.
“Ah, Nenek terlalu memuji, Fahri juga
manusia biasa Nek, masih sering khilaf dan berbuat salah’’ tukas ustadz.
“Bagaimana kalau siang ini nak Fahri ikut
makan disini’’ ajak Nenek.
“Aduh kalau itu kayaknya Fahri tidak bisa
Nek. Fahri kan tinggal bersama adiknya Fahri, ’’ jawab ustadz.
“Kalian hanya berdua? Terus yang masak
siapa?’’ sekarang Kakek yang memotong.
“Kebetulan dulu Fahri sudah terbiasa hidup
mandiri jadi Fahri bisa masak sekedar untuk sehari-hari’’
“Kurang apa lagi nak Fahri ini ya Kek,
tampan, cerdas , sopan, jago masak pula’’ puji Nenek kesekian kalinya.
“Nenek ini terlalu berlebihan,’’ ustadz
lagi-lagi harus menyangkal.
Hp ustadz berdering. Ustadz menghentikan aktivitasnya
lalu mengambil hp yang terletak di kantong celananya. Ustadz mengisyaratkan
untuk ke belakang sebentar untuk mengangkat telepon. Dari kejauhan ustadz
terlihat berbincang-bincang dengan seseorang diseberang sana via telepon, dan
sebentar kemudian hp dimatikan. Ustadz lalu berjalan mendekati kami lagi.
“Maafkan Fahri ya Kek, Nek, tapi
sepertinya Fahri tidak bisa ikut makan siang. Mm, adik Fahri sedang dirawat di
rumah sakit’’ jelas ustadz Fahri. Mataku terbelalak.
“Yusuf kenapa ustadz?’’ tanyaku setelah susah payah menelan
sisa air minum yang masih di tenggorokanku.
“Yusuf kecelakaan ringan tadi,
katanya saat bersepeda dia keserempet mobil’’ papar ustadz.
“Aku ikut ke rumah sakit kalau
begitu,,’’ timpalku. Ustadz memicingkan mata, aku mengangguk mantap. Aku
meminta izin pada Kakek dan Nenek, dan mereka mengizinkan. Aku pun mengikuti
ustadz Fahri dari belakang setelah tadi mengambil tasku di kamar.
Perjalanan
tidak memakan waktu yang lama untuk sampai di sebuah rumah sakit yang cukup
besar yang di depan terpampang jelas nama rumah sakit bertingkat ini. ‘GLORIA
HOSPITAL’. Aku langsung turun dari motor ustadz Fahri dengan perasaan yang
tidak karuan, sepanjang jalan kesini aku tidak berhenti memikirkan keadaan
Yusuf. Setelah memarkir motornya ustadz pun mengajakku masuk ke rumah sakit.
Setelah bertanya sebentar di bagian administrasi, dan kami pun meluncur
langsung ke tempat yang diberitahuan oleh staf tadi.
Sesampainya
di ruang tempat Yusuf dirawat, ustadz langsung menghampiri sang adik yang
tengah tergeletak di kasur dengan perban membalut kepala serta kaki kirinya.
Yusuf yang tadi tengah memperhatikan pasien disebelahnya, kini memalingan wajah
kearah kami datang. Kelihatannya Yusuf heran melihat aku datang dengan ustadz
Fahri.
“Apa kata dokter tadi?’’ tanya ustadz Fahri.
“Aku nggak apa-apa kok kata dokter,
aku hanya pelu istirahat dan dirawat barang satu atau dua hari disini sampai
lukaku agak mendingan’’ papar Yusuf.
“Tapi tidak ada luka yang serius
kan?’’ tanyaku menyela. Yusuf
menatapku lalu tersenyum manis.
“Iya, aku hanya luka biasa kok,
nggak parah” katanya. Aku menghela nafas lega. “Lalu, kenapa Alisa bisa datang bareng
dengan Kakak?’’ Tanya Yusuf
pada ustadz Fahri.
“Oh, kebetulan tadi Kakak sedang
diundang oleh Kakek dan Nenek Alisa untuk makan siang, dan mendengar kamu
sedang dirawat di rumah sakit dia memaksa ingin ikut’’ jelas ustadz Fahri.
“Kakak kenal dengan Alisa?’’ kembali Yusuf bertanya seperti
hendak mengintograsi.
“Iya, Alisa adalah salah satu
santri Kakak dulu di pondok’’
“Apa jangan-jangan Alisa adalah
cewek yang dulu kakak taksir?’’
ustadz ingin mengelak.
“Bukan,,’’ kataku langsung
memotong, “Itu bukan aku,
tapi, temanku yang bernama Zahra’’ jelasku.
“Ee,, Yah, itu tadi, benar yang
Alisa bilang,, he’’ jawab ustad kikuk. Yah, menurutku ustadz masih menyesali
keputusannya waktu itu. Keputusannya untuk melepaskan Zahra begitu saja.
Mungkin beliau merasa belum ada yang bisa menggantikan Zahra dihatinya, jadi
sampai sekarang ustadz tidak mau mencari pasangan. Susah sekali mendapatkan
wanita yang memiliki akhlak seperti Zahra di zaman sekarang.
“Bagus kalau begitu’’ lirih Yusuf.
Aku mengerti apa maksudnya itu dan sampai sekarang aku masih belum bisa
menjawab pernyataan cintanya waktu itu.
Ustadz
Fahri pergi untuk shalat ashar, dan jadilah tinggal aku yang menjaga Yusuf,
karena kebetulan aku sedang berhalangan untuk shalat. Dan Yusuf, karena belum
mampu untuk jalan dia pun wudlu dengan tayamum lalu shalat diatas ranjangnya.
Sembari menunggu Yusuf selesai shalat, aku membaca novel yang belum selesai
kubaca.
Selang
beberapa menit Yusuf selesai menunaikan shalat. Aku duduk di dekat ranjangnya.
Atmosfer sekitar terasa aneh, canggung dan hening, kecuali suara beberapa orang
di ranjang sebelah. Satu menit, dua menit, masih hening.
“Mm,, Lis,,’’ kata Yusuf
membuyarkan keheningan. “Aku
minta maaf, waktu itu,,’’ Yusuf terlihat seperti berfikir. “Saat itu, aku kira mengumumkan kepada
semua teman-teman adalah hal yang paling benar. Tapi ternyata aku hanya
mengacaukan semuanya. Aku menyesal sekali sudah membuatmu malu waktu itu’’
sesalnya.
“Sudahlah, aku sudah melupakan
kejadian itu,,’’ Yusuf dan aku banyak ngobrol, dia juga menceritakan bahwa
temannya yang terkenal playboy lah yang telah mengajarnya untuk mengungkapkan
perasaannya seperti itu. Aku bersyukur karena sampai saat ini Yusuf tidak
menanyakan jawabanku atas pengungkapan cintanya waktu itu. Kurang lebih sepuluh
menit kami ngobrol lalu ustadz Fahri menghampiri kami, dan karena sudah sore
ustadz mengajakku untuk pulang. Aku pun berpamitan pada Yusuf untuk pulang, “Cepat sembuh ya Suf,’’ kataku
sebelum benar-benar keluar dari pintu. Aku berjalan di lorong rumah sakit
bersama ustadz Fahri, aku terus saja memikirkan Yusuf, lebih tepatnya cemas, saking
seriusnya aku memikirkan Yusuf aku pun tidak memperhatikan jalan dan hampir
saja di tabrak oleh suster yang hendak membawa pasien, untung saja ustadz
langsung menarik lenganku menjauh.
“Yusuf akan baik-baik saja insya
Allah’’ ujar ustadz yang selalu seakan tau apa yang ada di pikiranku. Ustadz
dari saat kita berangkat tadi kelihatan murung, aku merasa bersalah di saat
seperti ini, aku tidak tau apa yang sekarang tengah di pikirkan ustadz,
sedangkan ustadz selalu bisa tau akan segala keresahan yang tengah kurasakan,
dan disaat seperti itu beliau pasti akan menegurku dan menasehatiku walau
terkadang dengan kritikan yang tajam. Aku tidak mampu membaca pikiran ustadz,
maaf ustadz dalam keadaan seperti ini aku tak berguna sama sekali, maafkan
muridmu ini ustadz.
“Jangan murung terus, yang
semangat. Jangan terus menerus menyalahkan diri sendiri,,’’ aku tersenyum
karena sekarang sepertinya perasaan ustadz sudah mulai membaik. Alhamdulillah.
“Ustadz, Mia boleh nanya nggak’’,
ustadz hanya bergumam sambil terus berjalan. ’’ pada saat ustadz merasa lelah
dengan dunia, apa yang ustadz lakukan’’ ustadz menatapku sembari tersenyum.
Ustadz duduk sebentar di taman rumah sakit yang tidak jauh dari tempat parkir.
“Ustadz akan pulang,’’ aku
menyernyitkan dahi, “Pulang
ke pelukan Dia Yang telah Menciptakan ustadz, kamu dan jagad raya ini’’ aku
mulai mengerti arah pembicaraan ustadz. “Mengingat betapa Allah telah murah
hati memberikan ustadz tubuh yang sempurna, Allah juga telah mengirimkan ustadz
dua malaikat penjaga yakni kedua orang tua ustadz. Dan yang pasti Allah telah
berkenan memberikan ustadz iman yang dengannya juga Allah datangkan banyak ilmu
serta hikmah dalam kehidupan ustadz, dan banyak lagi nikmat-nikmat Allah yang
tidak mampu kita hitung walaupun dengan alat hitung tercanggih sekalipun’’ Subhanallah,
ilmu lagi yang saya dapatkan dari ustadz.
Kata-kata
beliau selalu saja bak mutiara yang sangat berharga, itulah kenapa aku tidak
pernah merasa mengantuk saat beliau mengisi pelajaran di kelas dulu. Karena
jika aku tertidur maka aku akan kehilangan mutiara yang amat sangat berharga.
“Ustadz, Mia boleh minta nomor hp
ustadz nggak’’
“Buat apa?’’
“Yah, nanti kalau ada yang Mia
ingin tanyakan prihal agama, kan Mia bisa langsung tanyain sama yang ahli, ya
kan’’ kataku. Ustadz pun mengeluarkan hp beliau lalu membacakan nomernya.
‘Kerang’
aku menyimpan nama ustadz dengan nama itu. Karena menurutku ustadz tidak beda
jauh dengan kerang mutiara penghasil mutiara, walau agak aneh tapi makna yang
tersimpan itu lo yang dalem.
“Call ustadz,biar sekalian ustadz save juga nomer kamu’’ kata ustadz, aku pun mengikuti perintah
ustadz. Selesai bertukar nomor telepon kami pun beranjak dari taman lalu
pulang.
------------
Satu
minggu setelah Yusuf kecelakaan akhirnya dia di izinkan pulang oleh dokter.
Tapi, dia masih di rawat di rumah dan belum bisa kuliah. Sepulang kuliah Nenek
memanggilku untuk membantunya masak.
“Nenek masaknya banyak sekali, aunti
Mary mau berkunjung ya nek?’’
tanyaku.
“Bukan, Nenek sengaja memasak
sekalian untuk mnjenguk adiknya Fahri yang sakit itu,’’ jawab Nenek.
“Bukannya kita sudah mnjenguknya
beberapa kali?’’ tangan Nenek
repleks mencubit pinggangku, aku spontan saja meringis. “Aww,, sakit Nek,’’
“Semakin sering malah akan semakin
bagus, apalagi nak Fahri itu kan orang yang sopan dan baik. Nenek sering
dibantu kalau sedang membawa barang bawaan yang banyak, Nenek juga sering
diajak ngobrol, Kakek juga kadang dibantu menata taman.’’ Cerita Nenek sembari
asik memasak.
“Nah, Kakek mana. Lisa tidak lihat
dari tadi’’ tanyaku, biasanya kalau tidak di taman belakang, pasti Kakek sedang
membaca buku sore-sore seperti ini.
“Kakek sedang belajar,,’’ aku
menatap Nenek dengan tatapan tanda Tanya. “Iya, Kakek sedang di rumah nak Fahri, sedang belajar ngaji’’ aku
tersedak dengan wortel yang sedang ku makan.
“Alhamdulillah, yang benar saja
Nek/’’ tanyaku masih tak percaya.
“Nenek juga awalnya kaget, tapi
mendengar Kakek sering membahas tentang bagaimana sosok nak Fahri bisa membuat
Kakek jatuh hati dan ingin mengenal Islam lebih jauh, Nenek tidak heran sama
sekali’’
“Memangnya sebegitu dekat ya Kakek
dengan ustadz Fahri?’’
“Kalau permasalahannya kedekatan,
kenapa Nenek yang sudah puluhan tahun bersama Kakek malahan Kakek tidak
menghiraukan ajakan Nenek. Nak Fahri itu special, kata Kakek dia nyaman saat
ngobrol dengan nak Fahri, dia tidak menggurui dan juga tidak memaksa, dan saat
bersama Kakek dia juga bisa menempatkan diri layaknya teman seusia yang bia
diajak ngobrol segala hal’’ aku takjub mendengar cerita Nenek.
“Lisa boleh ikut nggak Nek, Lisa
kepengen lihat Kakek yang belajar ngaji’’ pintaku.
“Bisa. Kalau begitu cepat selesaikan,
biar kita cepat menyusul ke rumah nak Fahri’’ kata Nenek.
Setelah
mandi, aku dan Nenek membawa bekal yang cukup banyak menuju rumah yang di
tempati ustadz Fahri. Taman depan yang dulu tidak terawat sekarang tampak asri,
persis seperti taman yang ustadz buat di belakang pesantren. Tapi bedanya yang
ini lebih luas. Nenek mengetuk pintu lalu mengucap salam.
Pintu
terbuka dan menampakkan sosok karismatik itu. Lengkung di bibirnya terpatri,
“Nenek, Alisa, silahkan masuk’’
ajak ustadz Fahri ramah. Aku dan Nenek pun masuk berbarengan. Terhitung sudah
tiga kali dengan hari ini aku memasuki rumah ini, itu karena Nenek yang selalu
mengajakku menemaninya menjenguk Yusuf. Ruang tamu yang cukup luas ini tidak
pernah berubah, selalu rapi dan bersih. Kakek terlihat tengah duduk santai
dengan Yusuf di kursi tamu. Aku dan Nenek serta utadz Fahri pun bergabung.
“Lukanya udah mulai sembuh Suf?’’ tanyaku.
“Alhamdulillah, Insya Allah besok
mungkin aku udah bisa masuk kuliah,’’ katanya.
“Aku turut senang mendengarnya,’’
Obrolan
pun berlanjut setelah Nenek mulai bertanya banyak hal pada ustadz Fahri, dari
hal sepele sampai prihal agama. Kakek juga, yang mulanya di rumah hanya
membicarakan pekerjaan dan taman, perlahan sepertinya mulai jatuh hati pada hal
yang berbau agama. Alhamdulillah.
“Kalau nak Yusuf sudah punya pacar
atau belum?’’ Tanya Nenek
tiba-tiba. Aduh mulai deh Nenek. Aku dan
Yusuf repleks saling tatap.
“Belum Nek,’’ jawab Yusuf. Aku
menghela nafas.
“Kek, Nek sepertinya sudah masuk
waktu shalat magrib, kita shalat berjamaah disini, bagaimana’’ usul ustadz
Fahri. Kami pun mengiyakan, lalu mengambil wudlu dan shalat berjamaah. Ustadz
Fahri yang jadi Imamnya. Selesai shalat kami juga makan malam bersama, awalnya aku
menolak tapi apa boleh buat kata ustadz makanannya nanti mubazir karena terlalu
banyak.
Keesokan
harinya aku lihat Yusuf sudah masuk kuliah, dan juga mulai aktif lagi di
organisasi. Tapi ada yang beda rasanya, Yusuf sekarang lebih pendiam dan kurang
semangat entah apa yang ia pikirkan. Tapi kudengar gosip dari teman satu
organisasi, setelah kejadian Yusuf di bus waktu itu dia mulai terlihaat murung.
Ada juga kabar yang mengaatakan kalau penyebab kecelakaannya dia waktu itu
karena rasa bersalahnya padaku, Ya Allah sampaai segitunya kah.
Aku
jadi merasa bersalah, sepulang kuliah aku mencoba mengajak Yusuf bicara di
taman. Dia agak kaget saat melihatku, tampak seperti orang yang paranoid.
“Kamu nggak apaa-apaa kan Suf?’’ tanyaku.
“Tentu, aku ngaak apa-apa kok’’
jawabnya ragu.
“Kalau masalahnya tentang kejadian
waktu itu, aku harap kamu tidak terlalu memikirkannya. jika memang kehadiranku
di organisasi buat kamu jadi merasa risih, aku bisa mundur kok,,’’ kataku.
Yusuf langsung memandangku.
“Apa? Lis, aku memang merasa bersalah karena waktu itu. Tapi tidak
semata-mata karena itu, sungguh. Jangan karena ego kamu jadi menyerah dalam
dakwah ini, jangan egois Lis’’ kata Yusuf tegas, aku jadi bergidik ngeri.
Sedetik kemudian air mukanya berubah, seperti menyesali perkataannya tadi. “Ya Allah Lis, maaf tadi aku
terbawa emosi. Aku mengaku salah, aku tak seharusnya membawa masalah pribadi ke
dalam organisasi’’ ujar Yusuf mulai terlihat biasa.
“Iya, aku nggak apa-apa kok,’’
jawabku. “Aku juga tidak
seharusnya mengungkit soal organisasi, dan membawanya kedalam masalah pribadi’’
sesalku.
“Aku memang salah dalam hal ini
Lis, tapi sekarang aku sadar ternyata aku juga egois, tapi aku minta kamu
jangan keluar dari organisasi. Untuk agama Lis’’ kata Yusuf. Aku tersenyum,
Yusuf memang mewarisi karakter ustadz Fahri, kalau berbicara soal agama, tidak
pernah main-main.
“Baik, insya Allah aku akan
istiqomah di organisasi ini, tapi kamu juga janji nggak murung lagi lo,,’’
pintaku. Yusuf hanya tersenyum malu.
Selepas
itu aku dan Yusuf pulang bersama, di pejalanan kami ngobrol seperti biasa.
Yusuf juga punya sisi humoris, beberapa kali aku tertawa dibuatnya.
“Aku masih heran, Kakek begitu
antusiasnya belajar ngaji pada ustadz Fahri. Padahal aku dan Nenek sering
sekali mengajak Kakek untuk ngaji tapi tidak pernah di gubris, pasti dijawab
dengan candaan’’ aku menyinggung sedikit prihal perubahan Kakek.
“Yang itu ya, aku juga sampai
sekarang menjadi fans berat kak Fahri. Mulai dari akhlak, pengetahuan,
pengalaman, aku sangat jauh dibawah kak Fahri’’
“Jangan putus asa begitu dong. Itu
artinya kamu punya kesempatan untuk belajar lebih banyak lagi, ustadz Fahri
bisa jadi pecut buatmu, dengan selalu melihat ustadz kamu akan selalu
bersemangat mengejar ilmu dan memperluas wawasan. Nah, siapa tau nanti kamu
malah jadi lebih baik dari beliau, insya Allah’’ hiburku. Yusuf malah tersenyum
seraya tertawa kecil.
“Aku baru melihat sisi Alisa yang
barusan,’’ katanya. Aku menatapnya dengan tatapan tanda Tanya. “Aku suka sisimu yang seperti ini Lis, sisi
Alisa yang pemberi semangat, yang dewasa dan apa adanya’’ kata Yusuf.
“Baru tahu aja sih,,’’ kataku sok,
Yusuf hanya tertawa mengiyakan. Saking asyik ngobrol tak terasa kami sudah
sampai di depan gernang rumah Yusuf. Yusuf mempersilahkanku untuk berjalan
duluan kearah gerbang rumah. Aku menatap ke belakang dan Yusuf masih setia
menunggu diluar sampai aku masuk, aku tersenyum kearahnya lalu masuk.
-----
“Alisa,
segera datang ke kampus. Nanti sore akan ada seminar yang mengundang banyak
tamu penting. Ini akan jadi seminar terbesar selama SOI didirikan. Begitu bunyi
pamphlet yang kubaca di madding kemarin’’ kata Caterin dari seberang sana.
“Kenapa aku tidak diberitahu Yusuf
kemarin’’ tanyaku.
“Yusuf
dan kita kan bukan di defisi acara, jadi wajar belum tau, tapi tadi sudah ada
yang menyebarkan info kok, jadi pagi ini juga semua anggota serta semua defisi
di perintah untuk berkumpul’’ tambah Caterin lagi.
“Kenapa mendadak sekali’’ protesku.
“Menurut isu yang beredar, katanya ini bukan hanya sekedar seminar
biasa. Salah seorang mahasiswa disana akan menjadikan seminarnya itu sebagai
salah satu tugasnya. Nah, kebetulan organisasi kita dimintai bantuan’’
jelas Caterin.
“Ow, yasudah sampai ketemu di
kampus ya. Aku sudah pakai baju, selesai sarapan insya Allah aku akan langsung
berangkat ke kampus’’ kataku lalu menutup telepon. Sebenarnya hari ini adalah
hari libur. Tapi aku juga tidak bisa ketinggalan acara seminar SOI, dari mana
lagi coba aku bisa menambah wawasan islam kalau bukan dari sana serta buku.
Selesai sarapan tadi, aku langsung berangkat ke kampus. Kulihat sekilas tadi
kediaman ustadz Fahri terlihat sepi, pasti Yusuf sudah dari tadi berangkat ke
kampus, batinku. Aku berjalan semakin cepat menuju halte bus. Tak menunggu lama
sampai aku tiba di kampus. Kampus tampak sepi, aku berjalan menuju ruang UKM.
Sudah ada Caterin dan yang lain termasuk Yusuf disana, acara sudah dimulai
sejak tadi kelihatannya. Aku pun langsung bergabung.
“Untuk masng-masing defisi,
silahkan melaporkan kesiapannya’’ jelas ketua SOI.
Beberapa
orang dari perwakilan setiap defisi berbicara, mulai dari defisi acara sampai
defisi konsumsi, yang anggotanya adalah termasuk aku dan Caterin.
“Dari laporan masing-masing defisi,
keseluruhan sudah siap ya. Jadi sekarang kita masih punya waktu untuk
melengkapi kekurangan-kekuarngannya. Jadi kalian bisa langsung bergerak
sekarang, dan sebelumnya terimakasih’’ perintah ketua. Semua langsung bubar,
aku dan Caterin berkumpul bersama defisi konsumsi yang lain membicarakan
tentang kelengkapan bahan makanan.
“Sesuai dengan laporan defisi acara
tadi. Kali ini tamu yang diundang cukup banyak, dosen yang akan ikut lumayan
banyak, jadi mungkin kita akan membutuhkan biaya yang lebih kali ini, juga
tenaga yang lebih banyak untuk membawa cemilan’’ tutur salah seorang teman
lelaki. “Kalau biasanya kan
hanya saya dan beberapa teman, sekarang saya harapkan kita semua harus bekerja
tanpa terkecuali, bias?’’
Tanya Irwan namanya. Kami pun menyetujui.
Irwan
memerintahkan kami untuk mengikutinya ke tempat biasa ia langganan cemilan.
Mobil Caterin yang akan digunakan untuk mengangkut cemilan. Sampailah kita
disebuah bangunan yang berukuran cukup besar. Tempat ini menyediakan pesan
catering dan lain sebagainya. Kami turun dan mulai bekerja mengangkut camilan
yang cukup banyak kemobil Caterin, karena tidak muat akhirnya di pindahkan
beberapa ke mobil teman yang lain.
Setelah
sampai di kampus, kami pun lagi-lagi harus kerja rodi untuk mengangkut cemilan
tadi. Cukup memakan banyak tenaga. Saat melihat kami Yusuf langsung saja ikut
membantu. Selesai tugas, aku pergi ke ruang UKM sebelah pojok, tempat biasa aku
shalat kalau sedang ada kegiatan di kampus.
Selesai
shalat defisi yang sudah tidak ada tugas diperbolehkan untuk pulang mandi dan
sebagainya. Tapi ketua memerintahkan untuk datang satu jam sebelum acara
dimulai. Aku pulang berama Caterin.
“Lis, aku nggak usah pulang aja ya,
nanti dari rumahmu kita berangkat bareng ke kampus” kata Caterin. Aku mengiyakan. Sampai
dirumah aku dan Caterin langsung mandi, makan dan langsung berangkat. Waktu
kita memang tidak banyak.
Aku
dan Caterin gabung di defisi konsumi, kak Ita terlihat sangat sibuk disana. Kak
Ita juga salah satu mahaiswa asal Indonesia. Jilbab besarnya tidak menghalangi
keaktifannya di SOI.
“Kak Ita, maaf ya kami baru datang’’
sesalku pada kak Ita. Kak Ita tersenyum kearah kami ramah.
“Biar saja, kak Ita seneng kalian
sudah mau gabung di SOI. Dulu itu kakak kerjanya Cuma berdua sama Fatimah’’
jawab kak Ita.
“Kenapa kak Ita nggak ngusul
sebagai defisi acara aja,’’ aku iseng bertanya sembari merapikan snack. Kak Ita
kembali tersenyum, manis sekali.
“Apapun defisinya, kita tetap satu.
Nanti kalau kakak di defisi acara, yang menyiapkan makanan siapa? Dimanapun kita dek,
yang penting niat kita. Insya Allah sama aja di mata Allah, sama-sama punya
peran penting dalam mempertahankan dakwah dijalan-Nya’’ kata kak Ita, aku
mengangguk mengerti. Aku sempat merasa minder karena ditaruh di defisi
konsumsi, tapi mendengar kata kak Ita tadi, aku berubah pikiran, aku malu
rasannya pernah berfikir seperti itu. Lihat kak Ita, sama sekali tidak
mengeluh, karena niatnya baik, tidak peduli ditaruh dimana yang penting semua
karena Allah. Masya Allah.
“Nggak usah minder ya karena kita
ditaruh di defisi konsumsi. Mungkin defisi konsumsi memang tidak sering
terlihat, selalu dibelakang panggung. Tapi, bukan itu tujuan kita dek. Ibaratnya
rumah , jika kita ibaratkan defisi konsumsi sebagai bagian yang kurang penting
seperti genteng, oh tidak, paku aja yang lebih kecil. Maka walaupun rumah itu
sudah punya pondasi yang kuat sekalipun, tidak akan sempurna kalau tidak ada
paku yang mempererat kayu-kayunya. Begitu juga kita di SOI dek, mau dia defisi
yang sering muncul di depan panggung, atau sembunyi sekalipun semua dibutuhkan
dan saling mendukung untuk kepentingan dakwah’’ nasehat kak Ita. Kak Ita
mengubah persepsiku tentang defisi konsumsi. Aku merasa semakin bersemangat.
“Iya ya kak, Alisa jadi malu sempat
minder’’ kataku.
“Ah, itu hal biasa kok dek. Kakak
juga sesekali pernah terbetik perasaan minder didalam hati. Tapi setelah kakak
fikir-fikir bukan itu tujuan kita. Yang namanya setan itu memang tidak senang
melihat kita ikhlas dek, tapi lawan saja, mereka itu memang musuh yang
benar-benar nyata’’ papar kak Ita lagi. “Teman-teman yang di defisi acara dan lainnya yang biasa sering
tampak di muka umum juga punya cobaan mereka masing-masing. Kalau kita
terkadang minder, mereka malah lebih berat dek, jadi, nggak main-main di defisi
acara. Anggap saja sekarang mereka terkenal karena sering tampil menjadi
pembicara di depan umum, sesekali pasti terbetik perasaan bangga, berbeloklah
sedikit niat mereka. Yang dulunya karena Allah, bisa berbelok menjadi karena
ketenaran, tapi insya Allah kalau kita selalu ingat kepada Allah, kepada niat
awal kita, maka segala cobaan itu mampu menjadikan derajat kita lebih tinggi di
sisi-Nya, insya Allah’’ jabar kak Ita panjang lebar.
“Masya Allah, ikhlas itu memang
berat ya kak’’ kataku lagi.
“Memang, tapi jangan putus asa,
karena kita bersama-Nya. Insya Allah, Allah akan membantu hamba-Nya yang
menyebarkan ayat-ayat-Nya di muka bumi ini’’
Alhamdulillah Ya Rabb, Kau kirimkan kak Ita
untuk mengingatkanku. Terimakasih, batinku bersyukur didalam hati.
Titttt,,,,,,
Microfon
di ruangan berdering, sepertinya acara akan segera dimulai.
“Cepat selesaikan, sepertinya acara
segera mulai’’ kata kak Ita, kami mengangguk mengerti dan melanjutkan pekerjaan
yang Alhamdulillah tinggal sedikit. Ruang di lantai dua yang diubah menjadi
tempat acara sudah dipenuhi dengan banyak orang termasuk dosen-dosen yang sudah
diundang. Aku dan Caterin mengantar snack ke tamu yang sudah datang, aku sudak
tidak minder lagi sekarang. Aku membagikan snack dengan senyum yang mengembang
di wajahku, kuharap niat kami yang tulus sampai pada mereka. Amin.
Setelah
beres di tamu kami kembali lagi ke belakang. Kak Ita mendapat telepon dan
memintaku untuk mengantar snack ke para narasumber. Aku agak malu karena harus
mengantarnya sendiri, tapi yang lain juga tengah sibuk. Aku masuk membawa empat
paket snack, lalu membagiaknnya ke para narasumber satu persatu. Aku berhenti
sejenak, aku kaget karena melihat ustadz Fahri juga menjadi dalah satu
narasumber disana, usadz
sedang mengobrol dengan teman di dekatnya dan masih belum melihat keberadaanku.
Aku segera memberikannya snack, ustadz melihatku sejenak lalu tersenyum. Aku
pun berlalu dari sana.
Aku
mengajak Caterine untuk ikut duduk di tempat peserta. Acara berlangsung
beberapa puluh menit, kini tiba saatnya untuk narasumber utama menyampaikan
materinya. Moderator kemudian mempersilahkan sang narasumber utama untuk maju
di podium yang sudah di sediakan. Ternyata yang menjadi narasumber utama adalah
ustadz Fahri, jadi ustadz yang dibilang mahasiswa itu. Selang beberapa saat
setelah ustadz berdiri di podium, seorang wanita berparas cantik dengan rambut
sebahu masuk kedalam ruangan, lalu duduk di tempat khusus narasumber tadi
seraya memperbaiki blazer warna hijau yang dipadu indah dengan celana jeans
panjang. Sesaat wanita tersebut menatapku lalu tersenyum manis, dia adalah
aunti Mary. Aku pun balas tersenyum padanya. Seperti biasa ustadz dengan gaya
khasnya yang penuh semangat serta dengan teori filosofisnya dalam menjelaskan
materi keagamaan tak ayal mengahdirkan tepuk tangan yang meriah dari para
peserta, begitupun dengan dosen-dosen yang hadir termasuk aunti Mary. Dilihat
dari raut wajah aunti, sepertinya dia sangat puas dan bangga melihat presentasi
dari ustadz Fahri tadi.
Saat
acara selesai aunti mengajakku untuk ikut, aku pun pamit pada para senior dan
juga Caterine. Di perjalanan banyak bertanya tentang kuliahku, dan seperti
biasa aku selalu dinasehati tentang pentingnya berpengetahuan tinggi. Ternyata
keras kepalanya Kakek memang menurun ke aunti Mary. Lalu aku iseng mulai
menanyakan tentang calon suami pada aunti.
“Belum ada,’’ jawab aunti singkat.
“Nggak seru sekali, sebenarnya
bukannya nggak ada, hanya saja aunti yang selalu menjauh saat ada seorang pria
yang mencoba mendekati aunti,’’ kataku, aunti hanya tersenyum mendengarkanku
yang sedanng kesal. “Aunti
ingat kan dulu, bagaiman Uncle Jakson dan uncle Bryan begitu gigih mendekati
aunti, tapi auntinya malah sengaja tidak memberi respon yang berarti. Mau
nunggu apa lagi sih aunti’’ kataku lagi.
“Kamu memang selalu gigih dalam
masalah yang satu ini ya, memangnya kenapa kalau aunti belum menikah, toh aunti
baik-baik saja walau tidak ada pendamping aunti’’ jawab aunti. Aunti memang
selalu saja keras kepala, ditambah dengan pemikirannya tentang kebebasan, tapi
walau pun aunti masih tidak mau merubah keyakinannya aku akan tetap berusaha keras
meyakinkan aunti, terutama soal pernikahan. Aunti memang sempat menganggap
dirinya itu beragama Kristen, tapi aku tidak pernah melihatnya ke Gereja,
bahkan aksesoris serta hal-hal berbau Kristen tidak tampak pada dirinya. Tapi
ada untungnya, jadi kalau aku mengajaknya masuk Islam, aunti tidak punya alasan
keagamaan untuk menolak, sama dengan Kakek waktu itu.
“Aunti hampir lupa, kamu kenal
dengan Fahri kan?’’ Tanya aunti
tiba-tiba, aku mengangguk.
“Iya, Memangnya kenapa aunti’’
tanyaku penasaran.
“Nggak, hanya saja dia mahasiswa
pertama yang membuat aunti tertarik, aunti beberapa kali harus bungkam saat
debat diluar kelas dengannya. Apa lagi tentang agama. Kamu tau kan aunti ini
bagaiaman kalau berbicara tentang agama, saat itu aunti sempat mengajaknya debat
dan aunti bilang kalau agama itu buta tehnologi, dan juga amat mengekang dan
tidak mengahargai kebebasan individu’’ aku tertari mendengar cerita aunti.
“Terus, terus ustadz Fahri jawab
apa’’ tanyaku antusias. Aunti tersenyum seraya melanjutkan ceritanya.
“Dengan santainya dia menjawab,
kalau memang agama mengekang dan buta tehnologi, lalu kenapa sebagian besar
orang di dunia ini menganut agama, katanya. Aunti lalu menyangkalnya lagi.
Aunti bilang karena mereka yang menganut agama merasa putus asa akan kehidupan,
dan kebanyakan mereka yang tidak mampu menggenggam dunia’’
“Lalu’’ tanyaku lagi antusias.
“Katanya lagi, memang seperti yang
kita lihat kebanyakan orang seperti itu. Tapi coba ibu lihat isi Al-Qur’an,
kitab umat islam. Didalamnya sebagian besar juga berisi tentang ilmu
pengetahuan dan isinya pun jika dikaji berupa argument-argumen yang bisa
dijadiakan pandangan hidup yang kuat. Andai ibu juga bisa membaca sejarah Islam
dahulu, para pembesarnya itu memiliki peran yang sangat penting di bidang ilmu
pengtahuan. Lalu, jika memang agama itu terbelakang kenapa sekarang khususnya
agama Islam tersebar luas di belahan dunia manapun bukankah mereka perlu uang
untuk membiayai proses penyebaran tersebut. Lalu apakah itu yang disebut
malas-malasan. Dan perlu ibu ketahui selama kurang lebih 5 abad, peradaban
dunia pernah dipimpin oleh kepemimpinan Islam, Islam pernah menjadi pemimpin
dunia. Begitu katanya saat aunti bertanya,’’
“Reaksi aunti bagaimana/’’ tanyaku
lagi.
“Aunti hanya bisa bungkam,’’ jawab
aunti.
“Aunti belum tau kabar yang lebih
menghebohkan kan/’’ kataku, aunti melirikku. ’’ Kakek sekarang mau belajar
mengaji’’ kataku.
“Yang benar? wah sepertinya usaha kamu dan Nenek sudah
berhasil ya’’ kata aunti, aku mengeleng.
“That’s wrong,, bukan gara-gara kami,
tapi ustadz Fahri’’ kataku. aunti terlihat masih bingung dan hendak bertanya,
tapi mobil sudah sampai di depan rumah, kami turun dulu sebentar. Saat berjalan
aku pun melanjutkan cerita. “Ustadz
Fahri kan sekarang jadi tetangga kita aunti, nih di sebelah’’ kataku seraya
menunjuk tembok sebelah kanan.
“Tapi, memang tidak heran kalau
Kakek bisa berubah seperti itu’’ gumam aunti. Aku membuka pintu dan memberi
salam. Kakek dan Nenek yang tengah mengobrol diruang tengah melihat kearah kami
dan langsung menyambut aunti. Nenek langsung saja merangkul sang putri
kesayangan kedalam pelukan hangatnya. Terang saja, aunti sudah hampir sebulan
tidak berkunjung. Aku pun ke dapur untuk menyiapkan minuman yang sejuk untuk
kami semua.
“Denger-denger kabar katanya Papa
mau belajar mengaji sekarang Ma’’ sindir aunti saat kami tengah duduk santai
diruang keluarga. Kakek yang tengah asik menonton tinju menoleh dan hanya
tersenyum tipis.
“Iya, Alhamdulillah. Ada seorang
pemuda asal Indonesia yang sekarang menjadi tetangga kita yang berhasil membuat
Papamu tertarik pada agama, kamu tau kan bagaimana teguh pendirian Papamu’’
kata Nenek dengan berbisik diakhir kalimatnya. Kami hanya tertawa kecil.
“Ustadz Fahri itu mahasiswanya
aunti lo Nek’’ kataku.
“Oh ya? kebetulan sekali. Nak Fahri juga sering
mampir untuk membantu Kakek merapikan tanaman, atau sekedar ngobrol-ngobrol’’
tutur Nenek. Aslinya sih, Nenek saja yang sering memaksa ustadz Fahri, batinku.
Selang
beberapa menit ngobrol soal ustadz Fahri dan lainnya Nenek kembali menyindir
soal pernikahan pada aunti seperti yang kulakukan tadi di mobil.
“Nanti kalau memang ada pasti Mary
kenalin ke Mama dan Papa,’’ jawab aunti singkat.
“Nak Fahri itu orangnya baik kan,
dan umur kalian kelihatannya sama’’ dadaku rasanya terhantap benda tak
terlihat. Aku menarik nafas, dan berprilaku sebiasa mungkin.
“Mama ini ada-ada saja, Fahri kan
mahasiswa Mary, lagian Fahri juga mungkin sudah punya pacar’’ jawab aunti. Apa
ini, terdengar seperti sinyal-sinyal ketertarikan.
“Belum,, Mama pernah menanyakannya
pada nak Fahri dan ternyata dia belum punya pacar’’
“Oww,,’’ hanya itu jawaban dari
aunti seraya meminum jus melonnya. Biasanya aunti pasti akan menolak dengan
berbagai cara kalau Nenek atau aku mencoba mengenalkan seseorang padanya. Tapi,
tidak untuk ustadz Fahri. Hatiku semakin terhimpit rasanya. Aku pun meminta
izin untuk keluar sebentar, tak tahan rasanya mendengar kenyataan yang terjadi
saat ini.
Saat
sedang mencoba menetralisir rasa yang tidak mengenakan dihatiku dengan menarik
nafas panjang aku dikejutkan dengan klakson motor. Aku membuka mata dan
nampaklah sesosok makhluk yang tengah dibicarakan aunti dan Nenek tadi didalam.
Aku mencoba bersikap sebiasa mungkin dan mendekat kearah gerbang.
“Ustadz ayo mampir,’’ ajakku.
“Kakek ada dirumah?’’ Tanya ustadz.
“Iya, jam segini kan udah pulang
kerja,’’ jawabku. “Mau ngajar
Kakek ngaji lagi ya ustadz?’’
tebakku, ustadz mengangguk.
“Sekalian ada beberapa urusan
juga’’ kata ustadz.
“Masuk kalau begitu ustadz,,’’
kataku mempersilahkan ustadz.
Aku
dan ustazd masuk ke dalam rumah lalu menuju ke ruang keluarga. Ustadz menjawab
salam, Kakek yang tadi tengah menonton menyambut kedatangan sang guru
spiritual. Nenek dan aunti mempersilahkan ustazd untuk duduk.
“Bu Mary, kebetulan sekali’’ kata
ustadz melihat aunti Mary, “Tadinya
selesai dari sini saya mau mengantarkan tugas laporan yang kemarin. Ibu akan
menginap atau bagaimana?’’
Tanya ustadz.
“Kebetulan memang saya akan
menginap, mumpung besok tidak ada mata kuliah yang akan saya isi’’ jawab aunti.
“Kalau begitu besok pagi saya akan
antarkan kesini laporannya, bias?’’
kata ustadz lagi. Aunti mengangguk mengiyakan. Lama setelah ustadz selesai
mengajar Kakek ngaji kami semua mengobrol, dan sepertinya Nenek tidak main-main
dengan perkataannya tadi itu, tentang aunti dan ustadz Fahri. Aku meminta izin
ke kamar, aku beralsan untuk mengerjakan tugas kampus. Aku berjalan malas
menuju kamar. Aku mencoba mengalihkan pikiranku dengan cara membaca di balkon
kamar. Sesaat kemudian ada pesan masuk, aku membukanya dan ternyata dari Yusuf.
lihat kesini,,
Sepertinya
Yusuf tengah melihatku dari kamarnya. Benar saja saat ku tengok ke rumah
sebelah Yusuf sedang membaca buku juga sepertiku. Yusuf kembali menelpon, aku
mengangkatnya.
“Sendirian aja,’’ katanya
“Kamu sendiri sendirian,,’’
jawabku. Yusuf terkekeh.
“Kan kak Fahri lagi di rumahmu’’
katanya. Sebentar kami hanya diam saling menatap dari jauh. Aku masih terpikir
masalah yang tadi.
“Hei,,’’ kata Yusuf mengagetkanku.
Aku tersdar. “Aku boleh
ngomong serius kan’’ kata Yusuf lagi. Aku mengangguk.
“Aku ingin serius denganmu Lis,
dengan awal yang baik’’ aku kaget, aku kira Yusuf tidak akan mengungkit itu
lagi. Tapi ternyata dulu itu bukan main-main. “Aku ingin kamu selalu menjadi motivatorku Lis, seperti kemarin. Aku
ingin disaat aku malas ada orang yang kusayangi yang mau memberi formula
penyemangat untukku’’ katanya. Ya Allah apakah Yusuf orang yang pantas untukku.
Aku baru sadar ternyata ustadz Fahri sangat jauh dari jangkauanku. Beliau sudah
sampai di titik dimana beliau mampu menjadi panutan dan pembimbing sesama.
Sedangkan aku, aku masih jauh, bahkan hanya berjalan di tempat rasanya,
bagaimana bisa aku menyamai langkah beliau. Ya Allah betapa bodohnya aku telah
berharap sesuatu yang jauh dari jangkauanku. Hatiku sesak menerima kenyataan
demi kenyataan ini.
“Kita bisa menjadi teman yang
saling menasehati di jalan-Nya Lis’’ kata Yusuf lagi meyakinkan. Aku pun
berfikir, apa salahnya.
“Kalau memang niat kamu seperti
itu, Insya Allah Suf’’ jawabku. Sebenarnya hubungan kami ini pun aku tak tau
harus menyebutnya apa.
“Makasih Lis,’’ Yusuf tanpa pikir
panjang menutup telepon dan masuk ke dalam kamarnya. Aku bengong sendiri,
kenapa dia malah lari ke dalam.
Aku
melanjutkan membacaku sampai aunti Mary masuk. Aku mendekat kearah aunti.
“Ustdz Fahri sudah pulang auntie?’’ tanyaku. Aunti mengangguk, aunti
duduk di meja belajarku, sepertinya aunti sedang memikirkan sesuatu.
“Aunti ada masalah?’’ tannyaku.
“Aunti mau bilang apa ya Lis, aunti
merasa aneh’’ jawab aunti. Memang, aunti tidak pernah terlihat seperti ini
sebelumnya. “Kalau aunti
bilang aunti suka pada seseorang, bagaimana reaksimu?’’ Tanya aunti. Apa? Seperinya aku tau
siapa orangnya.
“Pada siapa aunti?’’ tanyaku pura-pura.
“Kamu sangat kenal dia Lis, tapi
aunti minder Lis. Karena kami berbeda dalam banyak hal, pandangan hidup, cara
hidup dan,, keyakinan’’ kata aunti. “Aunti juga malu Lis, dia mahasiswa aunti sendiri’’
“Ustadz Fahri ya aunti,’’ tebakku
lemas. Aunti mengangguk.
“Menurut kamu bagaimana Lis,?’’ Tanya aunti. Aku mencoba tegar,
aku juga sangat ingin aunti secepatnya mendapat pendamping hidup. Kenapa juga
aku harus sedih sekarang. Toh, jika aku menharapkan ustadz Fahri, aku juga sama
sekali bukan apa-apa. Aku bagaikan punguk merindukan rembulan.
“Ustadz juga sepertinya belum ada
calon, ustadz juga orang yang baik, Alisa sih setuju aja aunti, tapi masalahnya
yang aunti bilang tadi. Aunti dan ustadz punya pandangan hidup yang amat beda.
Tapi menurut Lisa perbedaan itu bisa diubah kok aunti, tapi kalau aunti mau
sih’’ kataku memberi solusi, aku senang jika memang aunti Mary mau menganut
agama Islam seperti halnya Kakek dan Mama.
“Itu permasalahannya Lis, aunti
masih belum siap’’ aunti beralih duduk di kasur, aku pun ikut duduk di dekat
aunti.
“Iya, nggak ada salahnya kan aunti
coba-coba dulu kenal Islam, baca bukunya atau apalah, siapa tau aunti tertarik
dan Allah membuka hati aunti’’ kataku. aku beranjak ke lemari tempat biasa aku
menaruh buku-buku bacaan. Aku mengambil beberapa buku Islam, ada juga tentang
muslimah juga tata cara berhijab.
“Ini buku-buku Alisa, aunti bisa
memulainya dengan membaca ini semua.’’ Kataku. aunti mencoba membolak-balik
buku tersebut. Dan membacanya,
“Aunti masih belum yakin Lis,
pasalnya aunti tidak mungkin secepat itu mengubah pandangan hidup aunti yang
sudah sekian lama ini menjadi teman hidup aunti’’ keras kepala aunti kambuh,
persis seperti Kakek.
“Apa salahnya aunti mencoba
mengenal hal baru, pandangan hidup baru. Yang, siapa tau lebih baik dari
pandangan hidup yang sejak dulu aunti pegang. Tidak ada salahnya mencoba kan
aunti,’’ nasehatku.
“Memangnya di agama Islam, tidak
mengindahkan perbedaan ya,’’ Tanya aunti.
“Oh, tentu sangat diindahkan.
Bahkan jika sekalipun orang tua kita berbeda agama dengan kita, kita tetap
harus bergaul dan berbakti pada mereka selama mereka tidak mengajak kita kepada
berbuat maksiat pada Tuhan’’ jelasku. ’’ Tapi, apa enak aunti nanti berbeda
pandangan hidup dengan pasangan hidup aunti?’’ tanyaku balik.
“Tentu tidak,’’
“Makanya itu Alisa kasih saran
aunti untuk mengenal Islam, kenal saja dulu, ya?’’ pintaku. Aunti melihat tumpukan buku-buku itu. “Baca-baca aja dulu, Alisa mau turun
sebentar’’ kataku lalu beranjak turun.
‘Apa
yang telah kulakukan, aku menyerahkan orang yang kucintai pada auntiku sendiri
lalu menjalin hubungan yang entah apa namanya dengan orang lain. Apa aku
membohongi perasaanku sendiri?’,
batinku. Dadaku sungguh sesak dan sakit.
‘Apa
aku telah salah mengambil keputusan, tapi nasi sudah menjadi bubur’. Tangisku
tumpah, aku menyesali semuanya, apa yang harus kulakukan. Kubasuh mukaku yang
mulai memerah agar Nenek dan yang lain tidak mengetahui kalau aku telah
menangis. Aku menatap diriku di cermin,
‘
Sadar Lis, kamu juga tidak mungkin menyamai ustadz Fahri, menyamai akhlaknya,
menyamai ilmunya, menyamai segala apa yang ada padanya. Kamu terlalu jauh Lis,
jangan mimpi. Bangun Lis, kamu harus sadar dimana levelmu dan level ustadz
Fahri berada,’ makiku pada diriku sendiri. Setelah merasa agak baikan aku
keluar dari kamar mandi dan setelah mengambil wudlu tadi, aku, Nenek dan Kakek shalat maghrib berjamaah.
----
Paginya,
selesai shalat subuh ustadz Fahri datang mengantar tugas yang dimaksudkan
kemarin kepada auntie Mary. Aku yang membukakan ustadz pintu karena auntie Mary
masih tidur di kamar tadi. Ustadz hanya menitipkan tugas laporannya lalu langsung
pergi. Sebelum aku benar-benar menutup pintu ustadz memanggilku lagi, aku terpaksa
menahan pintu yang hampir ku tutup sempurna.
“Yusuf menitip pesan tadi, katanya
akan menunggu kamu di gerbang, katanya ingin berangkat ke kampus bareng’’ kata
ustadz, aku terkejut. Melihat perubahan ekspersi yang sangat kentara kutunjukan
ustadz malah tersenyum jahil. “Kalian
diam-diam sudah jadian ya,’’ selidik ustadz, aku kikuk dan sedetik kemudian
menggeleng mantap.
“Siapa bilang? Bukan pacaran
ustadz,’’ tegasku. Ustadz hanya tersenyum.
“Orang yang terpojok memang
memiliki banyak alasan untuk berkelit. Tapi pada akhirnya ketahuan dengan
sendiri,’’ tukas ustadz, aku hanya bisa menggaruk kepala malu. Aku sudah pasti
tidak bisa beralibi kalau di hadapan ustadz Fahri. “Yasudah, kalau begitu ustadz pamit dulu, assalamu’alaikum’’ pamit ustadz.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah’’ melihat ekspresi ustadz tadi aku
kembali berfikir, betapa bodohnya aku berfikir selama ini ustadz juga sedikit
tidaknya suka padaku. Malu sekali rasanya kalau mengingat semua itu dan
membandingkan diriku dengan ustadz, sungguh tidak bisa diperhitungkan.
Dikira-kira pun mungkin sulit, untuk menemukan kecocokan dan kesamaanku dengan
beliau itu adalah suatu yang sia-sia belaka. Just like dream, no more. Andaikata auntie Mary dengan usadz
mungkin jauh lebih pantas, karena riwayat pendidikan mereka sama, karaker
mereka yang memgang prinsip sangat sama kuat, mereka juga orang-orang yang
selalu optimis. Tinggal merubah keyakinan auntie yang keliru sedikit saja, maka
sempurnalah dua pasangan itu jika disandingkan. Sedangkan aku? jangankan
disandingkan, mengharapkannya pun sebenarnya tidak boleh, dan tidak mungkin. Kalau
di analogikan, aku ini seperti seekor bebek kampung yang dekil yang berharap
bersanding dengan angsa kerajaan yang gagah. Sangat tidak mungkin sekali, verry impossible.
Sekarang
aku mulai bisa berfikir realistis dan logis. Kemarin-kemarin mungkin aku sudah
terlena dengan angan-angan serta keinginan besar yang membuatku membuat
kesimpulan-kesimpulan yang ngawur. Sekarang, aku sudah mulai sadar dan merasa
telah berpijak pada daratan kesadaran.
Setelah
selesai mandi, aku shalat duha sebentar. Lalu kupakai baju serta segala
aksesoris pelengkapku untuk menuntut ilmu. Hari ini aku puasa, aku berfikir
siapa tau dengan menerapkan puasa yang intensif segala hayalan serta keinginan
dari nafsu yang tak perlu bisa terhindarkan. Aku melangkah menuju ruang tengah,
auntie Mary, Nenek dan Kakek terlihat sedang sarapan di dapur, aku pamitan pada
mereka sebentar lalu berangkat. Aku memberitahu auntie kalau tugas yang ustadz
kasih tadi pagi aku taruh diatas meja belajarku. Auntie mengiyakan dan
bermaksud hendak mengantarku ke kampus. Aku bilang sudah ada teman yang
menungguku.
Saat
keluar dari pintu aku menemukan Yusuf tengah menunggu sembari memegang buku
kecil dan membacanya khusyuk, setelah kuteliti dari jauh sampulnya seperti
Al-Ma’tsurat yang juga sering kubaca. Mendengar suara pintu tertutup Yusuf
langsung mengarahkan pandangannya dan tersenyum kearahku, aku balik tersenyum
padanya. Aku minta maaf padanya karena menunggu lama, kami pun pergi ke kampus
bersama. Sepanjang jalan aku dan Yusuf banyak berdiskusi tentang banyak hal,
dari hal yang penting sampai hal yang tidak penting sekali pun turut menjadi
bahan pembicaraan kami. Aku sangat nyaman berbincang dengan Yusuf, rasanya
seperti sedang dengan teman lama.
Saat pulang kuliah kembali Yusuf menunggu
di depan kelas. Aku tidak risih sama sekali karena saat jalan Yusuf tidak
pernah jalan sangat dekat denganku, masih seperti dulu, agak jauh. Tapi bedanya
sekarang Yusuf lebih terbuka padaku, tentang keluarganya juga. Yusuf juga
banyak bercerita tentang ustadz Fahri, dari Yusuf aku tahu bahwa ustadz Fahri
itu dulu pernah ingin pindah agama, tapi atas izin Allah ustadz Fahri menemukan
kebenaran Islam dan sekarang menjadi orang yang benar-benar mengenal Allah dan
Islam dengan baik. Aku pun iseng bertanya pada Yusuf kenapa ustadz belum hendak
menikah.
“Kakak katanya masih belum mantap, belum
ketemu yang cocok juga katanya” terang Yusuf.
Saat sampai di gerbang rumah Yusuf, aku
melihat ustadz juga tengah berjalan kearah gerbang tapi sepertinya sedang
berbicara dengan orang via telepon. Ustadz terlihat sedikit berbicara tegang,
sesaat telepon dimasukan ke saku celana. Dan saat melihat kami ustadz langsung
menghampiri kami dengan raut muka yang sedikit kusut.
“Telepon dari siapa kak?” tanya Yusuf.
“Dari Mama,” jawab ustadz datar. Aku
menatap Yusuf seolah bertanya ada apa, Yusuf hanya tersenyum dan mengangguk
kecil, seolah berkata tidak apa-apa.
“Lis, aku ke dalam dulu ya,” kata Yusuf,
aku mengangguk. Dua lelaki yang hampir sama tingginya itu berlalu melewati
gerbang. Aku berjalan menuju gerbang di sebelahnya dengan perasaan yang
menyiratkan tanda tanya. Aku khawatir.
Lama aku menunggu sms dari Yusuf di kamar,
sebentar aku membaca buku. Hpku berdering, aku cepat membukanya, dari Yusuf.
Hei,
kenapa mondar-mandir terus di balkon,
Aku melihat kearah kamarnya, Yusuf tengah
duduk menatapku. Aku menelpon karena penasaran.
“Ada apa tadi?” tanyaku langsung.
“Ow,
tadi itu Mama, seperti biasa Mama lagi-lagi mau mencoba mengenalkan Kakak
dengan seorang anak kenalan Mama, dan Kakak tidak ingin itu. Kakak ingin
mencari sendiri yang sesuai dengan keinginan Kakak,” terang Yusuf.
“Lalu?”
“Kata
Mama, Kakak secepatnya disuruh pulang setelah tesisnya selesai, Mama malah
bilang hendak menyusul kesini kalau Kakak bertele-tele lagi, pasalanya ini kali
ke sekian Mama mencoba mengenalkan Kakak dengan perempuan” aku terdiam,
sepertinya berat untuk ustadz mengambil keputusan cepat sedangkan ustadz
berurusan dengan Mamanya sendiri.
“Lalu keputusan ustadz bagaimana? Mau
pulang atau bagaimana?” kejarku.
“Kakak
masih berfikir, tapi sepertinya Kakak akan pulang. Kakak nggak kepengen Mama
capek-capek kesini, kebetulan tinggal satu bulan lagi untuk penyelesaian tesis”
jelas Yusuf lagi.
“Ow begitu.” Jawabku.
----
Seminggu
ini auntie rajin sekali daaing dan juga menginap. Auntie banyak bertanya
tentang apa yang dia tidak mengerti dalam buku yang dulu kuberikan padanya.
Tapi tidak semudah itu auntie akan percaya, terkadang untuk memberitahu orang
yang tidak berpendidikan menurutku lebih gampang dari pada orang yang
berpendidikan. Karena kalau orang-orang seperti auntieku ini pasti akan
berkelit dan menumbangkan kebenaran dengan banyak cara dari banyak literature.
Tapi sejauh ini auntie sudah mulai luluh, walau seperti yang kubilang dari
awal, keras kepalanya yang ditambah dengan prinsip kebebasan yang selalu
diusungnya, auntie akan butuh waktu lebih lama dari Kakek rupa-rupanya. Tapi
bagaimana pun sulitnya kebenaran harus tetap diperjuangkan.
Sepulang
auntie tadi aku pergi ke perpustakaan kota yang tak jauh dari rumah kira-kira
sekitar lima menit dengan jalan kaki, aku hendak mengembalikan buku yang
kupinjam kemarin serta untuk mencari buku referensi untuk pembuatan makalah
besok. Aku memasuki perpustakan yang cukup luas itu. Aku menaruh tas terlebih
dahulu di loker yang telah disediakan di lantai dasar lalu beranjak menuju
lantai dua. Perpustakaan terlihat agak sepi, aku beranjak menuju rak buku yang
terletak didekat jendela. Aku mencari-cari buku yang sesuai dengan judul
makalahku. Sekitar tiga buku yang sudah kubolak balik namun belum kutemukan
yang cocok. Aku berallih ke buku yang lain, dan saat yang sama seseorang di
seberang rak ini mengambil buku juga, sontak aku menatap kearah buku yang
kosong, aku menyernyitkan dahi dan sedetik kemudian aku ingat sosok itu.
“Mbak
Bela?” kataku. mbak Bela yang tadi terlihat seperti mengingat ngingat sekarang
nampak cerah wajahnya.
“Alisa
ya?” tanyanya, aku mengangguk. Mbak bela Beranjak dari tempatnya lalu mendekat
kearahku.
“Mbak
sendirian?” tanyaku.
“Sama
Fahri,” jelas mbak Bela.
“Ustadz
Fahrinya mana?”
“Sedang
menerima telpon tadi, kamu sedang mencari buku?”
“Iya
nih mbak, referensi buat bikin makalah,” aku dan mbak Bela kemudian mencari
tempat duduk yang kosong. Sebentar kemudian setelah mengobrol cukup lama dengan
mbak Bela, tentunya dengan suara agak dipelankan mengingat kami sedang di
perpustakaan ustadz Fahri datang sembari masih memperhatikan hpnya.
“Alisa?
Sedang apa?” Tanya ustadz setelah selesai dengan kesibukannya dengan hpnya.
“Nyari
buku ustadz, tadi kebetulan ketemu sama mbak Bela,” jawabku. Ustadz lalu
mengambil tempat duduk di depanku dan mbak Bela. Kami bertiga pun mengerjakan
tugas masing-masing sembari sesekali mengobrol. Karena tugasku sudah selesai
aku pun minta diri ke ustadz dan mbak Bela.
Setelah
beberpa puluh meter berjalan aku melupakan sesuatu rasanya. Aku mengingat apa
yang kulupa dan benar saja aku meninggalkan hpku di meja tempat peminjaman buku
tadi. Aku berbalik untuk mengambil hpku, tapi saat itu juga aku dikagetkan oleh
sesosok pria yang sedang berdiri kira-kira beberapa langkah dari tempatku berdiri
sembari memegang hpku seraya diangkatnya dan tersenyum meremehkan. Kubalas
dengan senyum manis, manis sekali seakan senyum itu berkata, ‘Maaf ustadz sudah kebiasaan, he' aku
mendekati pria yang tak lain adalah ustadz Fahri.
“Maaf
ustadz, lupa” kataku cengengesan.
“Lupa
jangan dibuat jadi kebiasaan, “ timpal ustadz. Kami pun berjalan berbarengan.
“Selesai
tesis ini ustadz akan pulang ke Indonesia?” tanyaku mengingat kejadian minggu
lalu.
“Insya
Allah, rencananya begitu. Lagian kan ustadz sudah tidak ada kepentingan lagi disini,
di Indonesia kan ustadz masih ada kewajiban di pesantren” jawab ustadz. Aku
hanya mengangguk takzim. “Tapi kelihatannya kamu yang sedih kalau ustadz
pulang,” tambah ustadz. Spontan aku memalingkan wajah kearah ustadz.
“Maksud
ustadz apa? Pede sekali,” kataku tidak terima.
“Loh
kok sewot? Kan benar, sepulang ustadz nanti Yusuf juga akan pindah darisana,
rumah itu bukan kami yang punya, ustadz dapat tumpangan sementara saja dari
pembelinya yang kebetulan teman ustadz. Yusuf bisa saja tinggal, tapi katanya
kalau rumah sebesar itu ditinggali sendiri pasti tidak betah. Makanya
rencananya sepulang ustadz ke Indonesia Yusuf juga pindah ke kos-kosan
temannya” papar ustadz, “Kamu ini mikirnya yang macem-macem aja,” tambah
ustadz, aku kikuk karena salah paham.
“Yusuf
itu adik kesayangan ustadz. Dulu saat ustadz masih tidak kenal Agama dengan
baik, dia yang selalu mengajak ustadz shalat, dia selalu bangun lebih dulu dari
ustadz. Sampai sekarang kalau ustadz ingat itu ustadz merasa tidak pantas
menjadi kakaknya,” kata ustadz.
“Nggak
kok, buktinya Yusuf bilang ustadz adalah idolanya” sanggahku.
“Diamanapun
seorang adik memang selalu mengidolakan Kakaknya,” timpal ustadz. “Tapi
bagaimanapun juga Yusuf adalah anak yang baik, dia punya banyak kelebihan dibanding
ustadz. Sejak kecil dia sudah istiqomah dalam beribadah. Jadi semoga saja kamu
jodoh dengan dia kelak’’
DEG!!
Entah
kenapa kata-kata terakhir ustadz tadi sangat tidak mengenakkan dihatiku. Hatiku
seakan tidak terima.
‘Lalu kalau aku dengan Yusuf, lalu ustadz dengan
auntie Mary, gitu? Ustadz enak sekali bicara seperti itu tanpa memikirkan
perasaanku’ hatiku terus saja mengomel. Setelah tersadar aku beristighfar
dalam hati.
Aku
dan ustadz pun sampai di gerbang rumah Nenek. Aku pamit masuk pada ustadz
dengan perasaan yang kurang enak. Rumah sangat sepi, jam segini Kakek pasti
sedang mengecek toko, Nenek pasti sedang ke butik juga. Aku langsung beranjak
menuju kamar, mengambil air wudlu lalu shalat dzuhur. Dalam sujudku aku terus
saja meminta ampun pada Allah, aku merengek bagai anak bandel yang merengek
karena telah lama kabur dari ‘Rumah’.
-----
Waktu
terus berjalan, kegiatan SOI makin padat dengan acara keagamaan, aku semakin
banyak mendapat pelajaran terutama dari kakak-kakak yang sudah senior. Aku
kagum pada keteguhan mereka dalam dakwah ini. Waktu, uang, tenaga, semua mereka
kerahkan demi memperjuangkan dakwah ini. Aku semakin salut saja pada mereka.
Kak Ita selalu menjadi teman berbagi keluh kesahku tentang segala hal, terutama
tentang Agama. Aku bertemu dengan Yusuf hanya saat SOI saja, karena sejak
beberapa bulan lalu dia sudah pindah dari rumah itu dan pindah ke kos temannya
bersamaan dengan pulangnya ustadz Fahri ke Indonesia.
Auntie
Mary telah mantap dengan Islam, Alhamdulillah. Beberapa minggu setelah kedatangannya
waktu itu aku dikagetkan dengan kedatangannya menggunakan hijab. Aku bertanya
apa yang membuat auntie langsung menetapkan hati. dan ternyata auntie bilang
dia belakangan itu sering berdebat dengan sutadz Fahri, ustadz menjelaskan
proses terbentuknya agama yang menurut kebanyakan orang seperti auntie adalah
karena kebudayaan. Ustadz mencoba menjelaskan sangat rinci, mulai dari contoh
yang kongkrit sekarang, dan juga sejarah-sejarah terdahulu. Ustadz menjelaskan
bahwa bukan budaya yang membentuk agama, tapi agama sendirilah yang menjadikan
budaya itu lahir. Dan sejak saat itu juga auntie berhenti tinggal di apartemen,
auntie memutuskan untuk tinggal dengan Kakek serta Nenek. Katanya auntie ingin
berbakti dengan cara merawat Kakek dan juga Nenek.
Dan
seperti yang kudengar dari Yusuf beberapa minggu setelah itu ustadz ternyata
tidak keberatan dengan wanita yang dikenalkan kepadanya. Setelah kejadian saat
itu aku sadar bahwa ustadz memang benar tidak memiki perasaan apa pun padaku.
Buktinya ustadz sangat mendukung aku dengan Yusuf. Sejak saat itu aku juga
mencoba untuk mencintai yang sudah aku miliki, bukan malah menginginkan semua
yang aku cintai, seperti yang pernah kubaca di buku motivasi.
Saat
baru masuk rumah aku dikagetkan dengan kedatangan Mama dan Papa. Aku segera
saja mencium tangan mereka berdua, dua malaikat penjagaku.
“Mama
sama Papa kok nggak bilang-bilang mau datang” tanyaku.
“Mamamu
ini lo kangen banget sama kamu sekalian memberi kejutan katanya,” jelas Papa.
“Tapi
bisa kan Mama kirim pesan supaya Alisa bisa jemput di bandara” kataku.
“Sudahlah,
sekarang Mama kan sudah ada disini, itu yang penting” tambah Mama. Pintu
terbuka dan menampakkan sosok wanita cantik dengan balutan dres serta jilbab
warna hijau, auntie Mary.
“Kakak
kapan datang?” Tanya auntie agak kaget. Mama dan Papa masih memandangi auntie
lekat. Lalu sebentar Mama angkat bicara.
“Kamu
cantik Ry, Kakak senang sekali mendengar kabar dari Mama kalau kamu sekarang
muslim,” kata Mama. “Ma, Pa, aku nggak salah lihat kan ini, ini bidadari
mungkin,” canda Mama. Kami semua tertawa, auntie tersenyum kecut.
“Kakak
ini, kalau aku bidadari berarti Kakak ratunya bidadari” balas auntie.
“Sudah,
sudah, sekarang kita makan saja dulu baru ngobrolnya dilanjutkan” kata Nenek
menengahi candaan dua Kakak beradik yang lama tak bertemu itu.
Di
meja makan Papa kembali angkat bicara, kini tentang tujuan kedatangan Papa dan
Mama sebenarnya.
“Karena
Nenek dan Kakek ada Mary yang menemaani dan Mama kamu sering mengeluh ke Papa
karena sendirian terus dirumah, sebenarnya maksud Papa dan Mama kesini untuk
menjemput kamu, kita pulang ke Indonesia” jelas Papa. Aku menatap Kakek dan
Nenek.
“Nenek
bahagia karena kamu mau menemani Nenek selama ini, tapi Nenek juga tidak
mungkin terus-terusan meminta kamu untuk menemani Nenek disini sedangkan Mamamu
juga butuh teman ngobrol,” kata Nenek.
“Lagian
kan sekarang auntiemu sudah mau tinggal bersama Kakek dan Nenek” tambah Kakek.
Rencananya
setelah mengurus surat pindahku, kira-kira dua atau tiga hari aku akan pulang
ke Indonesia bersama Mama dan Papa. Aku juga harus berpamitan pada teman-teman
di SOI, kak Ita, Caterine dan juga Yusuf.
Esoknya
saat pertemuan SOI aku mengutarakan niat kepulanganku ke Indonesia pada ketua,
dan saat itu juga diumumkan bahwa aku akan mundur dari kepengurusan. Ketua
berpesan agar dimanapun aku berada aku akan membawa jiwa dakwah yang di bangun
bersama di SOI. Saat selesai acara aku pamit pada kak Ita, kak Ita berpesan tak
jauh dari yang dikatakan ketua tadi.
“Aku
senang punya sahabat sepertimu,” hanya itu yang dikatakan Chaterine padaku,
matanya berkaca-kaca.
“Insya
Allah nanti aku akan sering kirim pesan lewat e-mail” kataku, Chaterin
mengangguk lalu memelukku erat. Yusuf datang, Chaterin mengerti lalu membiarkan
kami berdua.
“Kapan
pulangnya?” Tanya Yusuf sembari tersenyum tipis.
“Besok,”
jawabku.
“Sampai
disana sering-sering kirim pesan,” katanya lagi, aku mengangguk. Aku sebenarnya
tak ubahnya Kakak dan Adik dengan Yusuf, nasehat-nasehat darinya seperti
makanan sehari-hari untuk hatiku. Karena sekarang rumah kami tidak searah, aku
pun pulang diantar Chaterine, Yusuf pulang bersama temannya.
Malamnya
aku menulis surat untuk Yusuf.
Assalamu’alaikum
Salam
sejahtera mengawali kata demi kata untukmu yang berhati tulus
Sudah
sekian lama kita saling mengenal lebih dekat, hubungan ini terserah mau
dinamakan apa, pacarankah, itu hanya sebuah nama, tidak penting. Yang pasti itu
satu, aku sangat berterimakasih karena kehadiranmu memberikan banyak hal baik
kepadaku. Kau bagaikan seorang Kakak yang mengayomiku, juga seperti seorang
guru yang selalu memberikan nasehat baik kepadaku, serta layaknya sahabat yang
selalu mendengar keluh kesahku. Aku bahagia, karena kebersamaan kita tidak
sia-sia. Namun, sekarang takdir membawaku menginjak kembali tanah air, jadi kukembalikan
lagi semuanya pada Allah yang jodoh, rizki, serta maut berada di tangan-Nya.
Jika suatu saat ternyata ada wanita yang jauh lebih baik dariku, kuharap
hubungan kita ini tidak menjadi penghalang bagimu untuk mencari yang lebih
baik. Aku bebaskan itu semua, begitupun sebaliknya. Aku tidak mau jika nanti
diantara kita ada yang lebih dahulu mendapat jodoh, yang lain merasa tersakiti
karena hubungan ini.Toh, jika suatu saat kita jodoh pasti kita akan bertemu,
tapi jika tidak aku tidak mau membebanimu dengan hubungan kita ini, karena aku
tidak sedang dalam keadaan kau khitbah. Sekali lagi terimakasih atas semua
nasehat darimu, insya Allah aku akan sering mengirim pesan lewat e-mail.
Dari
yang menyayangimu
Alisa
Zahrana
Aku
melipat kertas yang baru saja kutulis dan memasukannya kedalam amplop. Sesaat
kemudian Mama membuka pintu dan mengajakku untuk makan malam. Setelah itu aku
beres-beres barang yang akan kubawa besok dibantu Mama, auntie Mary dan juga
Nenek. Sedangkan Kakek dan Papa sedang ngobrol sambil nonton tv.
------
Keesokan
harinya tepat pukul 9 waktu sekitar aku sudah bersiap untuk pulang, antara
bahagia dan sedih. Aku bahagia karena akan kembali ke tanah air, berkumpul
bersama Mama, dan sesekali bisa mengunjungi Zahra yang kabarnya sudah melahirkan
bayi perempuan. Di sisi lain aku juga sedih karena akan meninggalkan Nenek,
Kakek, auntie Mary dan teman-teman yang sudah seperti keluarga bagiku. Sebentar
kemudian taksi yang Kakek pesankan datang, sopirnya masuk dan membantu
mengangkut barang bawaan. Kemudian, aku berpamitan dengan Kakek, Nenek serta
auntie Mary.
“Jangan
lupa sering-sering kasih kabar ya?” pesan Nenek, aku mengangguk.
“Nanti
insya Allah lebaran Kakek, Nenek serta auntie Mary akan berkunjung ke
Indonesia,” kata Kakek.
“Benar
Kek?” tanyaku antusias, Kakek mengangguk mantap.
“Semoga
auntie istiqomah ya, dengan hijab dan Islamnya,” kataku pada auntie.
“Amin,”
kata auntie mengamini. Papa duduk di depan bersama supir taksi tadi. Aku dan
Mama duduk dibelakang. Beberapa saat kemudian taksi melaju meninggalkan
kediaman Kakek. Aku sempatkan untuk melambaikan tangan pada Kakek, Nenek serta
auntie Mary. aku meminta Mama untuk mampir ke rumah Chaterine sebentar, aku
ingin pamit serta menitipkan surat untuk Yusuf. Saat sampai dirumahnya Chaterine
sedang duduk di teras sambil membaca buku. Karena waktu sudah mepet aku pun
bergegas menemui Chaterin tanpa ditemani Mama dan Papa. Chaterine agak kaget
dengan kedatanganku, aku memberikannya tiket nonton film terbaru serta novel
yang sedang diincarnya. Aku mencari-cari tau cara untuk mendapatakan novel yang
limited edition itu, Alhamdulillah
dapat. Wajah Chaterine tampak cerah saat kuberikan dua benda kesukaannya itu.
Aku juga menyampaikan pesan agar memberikan surat pada Yusuf. Karena
keterbatasan waktu aku pun langsung pamit padanya.
Sekitar
pukul sebelas waktu Indonesia aku sampai dirumah. Saat turun dari taksi kami
disambut oleh Bi’ Iyem dan mang Ujang. Mereka tak ubahnya keluarga bagiku,
mereka sudah mengabdi sejak sebelum aku dilahirkan ke dunia. Bi’ Iyem mau
mengambil koper yang tengah kubawa tapi kularang, aku balik merangkulnya.
“Bibi
nggak usah repot-repot, nanti tangan Lisa jadi manja kalau dibantu terus. Lah,
terus kapan kerjanya coba, apa gunanya dua tangan yang Allah ciptakan untuk
Alisa ini” kataku panjang lebar sembari jalan merangkul Bi’ Iyem yang tingginya
sama denganku sekarang.
“Aduh
non, Bi nggak enak sama nyonya dan tuan,” kata Bi Iyem. Aku berhenti dan
menatap Papa dan Mama.
“Pa,
Ma, Bi Iyem dan Mang Ujang nggak apa-apa dong sekali-kali santai, kan?”
tanyaku. Papa dan Mama tersenyum mengiyakan. “Tu kan nggak apa-apa” timpalku.
Saat
Bi Iyem sedang memasak aku masuk ke dapur untuk membantu. Bi Iyem memprotes
tapi kuhiraukan, dan terus saja membantu.
“Alisa
sudah biasa bantu Nenek waktu di Astrali, jadi Bibi diem aja. Insya Allah
masakan Alisa juga enak kok.” Kataku.
“Bibi
senang lo non, sekarang non Alisa sudah ceria lagi. Beberapa waktu lalu Bibi’
sedih sekali dengan keadaan non,,” ujar Bi Iyem menerawang, tatapannya seakan
mengingat suatu waktu. Mungkin saja waktu aku berubah total waktu itu.
“Alhamdulillah
Bi,berkat do’a Bibi juga,” mengingat waktu itu aku jadi teringat kejadian yang
membuatku ingin berubah. Saat ustadz Fahri membentakku sampai membuatku merubah
paradigmaku tentang kehidupan. “Oh ya Bi, Ramadhan kali ini Bibi’ pulang kampung
atau tetap tinggal?” tanyaku.
“Kayaknya
Bibi’ akan pulang kampung Non, seperti dua kali lebaran terakhir. Kan non
sekarang sudah ada Mamanya non,” jawab Bibi sembari tetap memasak sayur bening.
“Bagaimana
kalau tahun ini Bibi ajak keluarga Bibi kesini. Puasa dan lebaran juga disini,
biar rame Bi. Karena insya Allah Kakek, Nenek dan auntie Mary serta keluarga
besar Papa akan kesini lebaran. Jadi biar tambah rame.” Pintaku pada Bibi. Bibi
terlihat berfikir, “Sesekali kan nggak apa-apa Bi, Bibi kan dulu sudah mengabdi
pada keluarga Alisa, sejak Alisa belum lahir malah. Jadi Bibi sudah Alisa
anggap keluarga, mang Ujang juga nanti sekalian. Pasti Mama dan Papa akan
setuju” tambahku.
“Insya
Allah non, nanti Bibi pikir-pikir lagi,” jawab Bi Iyem.
______
Esoknya
aku berfikir untuk mengunjungi Zahra, tadi pagi sekali aku menelpon ke nomer
pesantren untuk mendengar kabar ustadz Hamid dan juga santri di pesantren. Aku
juga meminta alamat ustadz Ilham yang merupakan suami Zahra. Dan Alhamdulillah
dapat. Aku meminta mang Ujang untuk mengantarku ke alamat yang sudah ku tulis
di secarik kertas. Selang beberapa puluh menit aku dan mang ujang sampai di
sebuah rumah yang cukup besar dan luas halamannya. Mang ujang memarkir mobil di
halaman rumah itu. Pintunya terlihat agak terbuka, aku turun dan membawa serta
beberapa bingkisan yang sudah kubeli sebelum kesini. Mang Ujang kuajak untuk
ikut serta. Aku mengetuk pintu yang terbuka itu seraya memberi salam. Suara
kaki terdengar sedikit berlari dari dalam disertai dengan jawaban salam dari
mulut yang mungil kedengarannya. Nampaklah bidadari kecil yang mengenakan
jilbab berwarna pink membukakan pintu dengan mata yang berbinar dan senyum yang
tersungging cerah sekali. Aku tersenyum melihatnya.
“Tante
cari siapa?” kata anak perempuan berumur kira-kira delapan tahun itu. Aku
hendak menjawab tapi suara yang tak kalah lembut menyahut dari dalam, suara ini
sangat familiar.
“Dek,
ajak masuk tamunya,”seru suara itu. Itu suara Zahra.
“Ayo
tante masuk,” katanya. Aku pun mengajak mang Ujang masuk. Sesaat kemudian dari
ruang yang lebih dalam keluarlah perempuan seusiaku yang tengah menggendong
buah hati yang mungil.
“Masya
Allah, Alisa,,” aku tersenyum lalu menaruh bingkisan yang cukup banyak itu di meja
tamu. Aku melangkah menuju Zahra lalu memeluknya sayang.
“Ini
anakmu Ra? Masya Allah cantik sekali, seperti ibunya” ujarku. Zahra tersenyum
kecil. Aku mencium dan mencubit pipinya yang gembul itu, pipinya terlihat putih
dan kemerah-merahan. Bidadari kecil itu menggeliat saat kupegang pipinya.
Matanya terkatup, dan bibirnya bergerak-gerak. Subhalallal. Zahra mengajakku
duduk di kursi.
“Namanya
siapa Ra,” tanyaku sembari tak lepas pandanganku dari wajah mungil itu.
“Fatimah
Az-Zahra” jawab Zahra.
“Seperti
nama putri Rasulullah?” tanyaku.
“Aku
dan mas Ilham berharap kelak akhlaknya seperti Sayidah Fatimah, putri baginda
Nabi,” ungkap Zahra.
“Amin,”
kataku mengamini.
“Si
kecil berjilbab pink ini siapa?” tanyaku sembari mengelus jilbab pink anak
kecil yang tadi membukakanku pintu.
“Dia
Anisa, adiknya mas Ilham,”
“Nah,
suamimu mana?” tanyaku.
“Sedang
mengajar di pesantren, nanti sore baru pulang,” jawab Zahra.
Aku
melampiaskan rasa rinduku dengan banyak bercerita pada Zahra. tak ketinggalan
aku meminta agar bisa menggendong si mungil Fatimah. Zahra menanyakan
kuliahkku, aku pun menceritakan semuanya, begitupun tentang Yusuf dan ustadz
Fahri. Tapi untuk perasaanku, aku masih tidak berani bercerita.
Aku
pamitan pada Zahra karena kata Papa, siang nanti aku akan diajak unuk memilih
Universitas tempatku akan kuliah. Aku dan mang Ujang langsung pulang dari
kediaman Zahra.
----
Segala
proses pindah dan sebagainya sudah selesai beberapa waktu yang lalu, sekarang
aku memulai aktivitas perkuliahanku. Sepulang kuliah Mama meminta untuk aku
membelikan beberapa bibit bunga beserta potnya di toko bunga dekat kampus. Saat
dosen terakhir mengakhiri materinya aku langsung jalan menuju toko bunga yang
biasa Mama kunjungi. Karena memang Universitas tempatku kuliah tak terlalu jauh
dari rumah.
Dari
luar terlihat bunga-bunga dengan berbagai macam warna dan bentuk berjejer indah
di pelataran toko. Sebelum hendak memasuki toko itu aku melihat siluet
seseorang yang tampak tak asing bagiku. Ustadz Fahri. Ustadz terlihat sedang
bercengkrama dengan Mas Andika, penjaga toko bunga. Saat ustadz hendak keluar
aku melangkah cepat-cepat ke belakang dan mencari tempat yang sekiranya tidak
bisa dilihat oleh ustadz. Tampak ustadz keluar membawa bunga yang cukup
familiar di benakku. Ah, benar itu bunga Anggrek hutan yang pernah kuceritakan
pada ustadz. Bunga itu adalah bunga pavorit kami sekeluarga. Bunga anggrek itu
sudah disukai mulai dari ibunya Nenek sampai aku, aku dan Mama memang lebih
banyak menanam bunga anggrek, terutama anggrek hutan. Tapi ada apa ustadz
membeli bunga anggrek? Ah, aku jadi lupa kalau di pesantren ustadz mempunyai
taman bunga, barang kali ustadz kembali mengajar di pesantren. Mataku terus
saja mengekori ustadz yang berjalan semakin jauh, aku tersadar dan langsung
beristigfar dalam hati.
Selesai
membeli semua pesanan Mama, aku langsung pulang dan membersihkan badan. Aku
terpikir lagi dengan ustadz Fahri tadi, sekarang aku malah berfikir kalau-kalau
bunga tadi akan ustadz berikan pada calon istri beliau itu, pasalnya wajah
ustadz terlihat berseri-seri saat memegang bunga itu keluar toko. Aku menghela
nafas lalu beranjak menuju rak buku dan mengambil novel untuk dibaca.
-----
“Kamu
harus ikut pokoknya,” seru suara lembut diseberang telepon. Itu Zahra, dia
memintaku untuk datang ke pondok, katanya ustadz Hamid meminta kami untuk turut
menjadi panitia beberapa acara yang akan diselenggarakan bulan Ramadhan ini di
pondok.
“Gimana
ya Ra, masalahnya pemberitahuannya mendadak sekali. Aku tengah membantu Mama,
ada acara arisan siang ini,” kataku seolah meminta permakluman pada sahabatku
itu. Aku tidak bisa meninggalkan Mama dan Bi Iyem mengerjakan tugas memasak.
“Begitu ya, aku juga sebenarnya dikasih tau
tadi pagi. Tapi karena aku dan mas Ilham bisa jalan bareng, dan mas Ilham juga
mengizinkan, akhirnya aku iyakan. Kalau nanti kamu berubah pikiran, telepon
balik ya,”
“Insya
Allah Ra, titip salam aja sama ustadz Hamid,” kataku agak menyesal.
“Insya Allah,”
Aku
melanjutkan memasak membantu Mama.
“Dari
siapa Nak?” Tanya Mama.
“Telepon
dari Zahra Ma, katanya ustadz Hamid mengundang alumni untuk turut menjadi panitia
penyelenggara acara Ramadhan nanti, nah rapatnya sekarang Ma,” paparku.
“Terus
kamu nggak ikut?” Tanya Mama, aku mengangguk, “Kenapa nggak ikut? Beliau itu
kan orang baik, ikut saja. Biar tugas memasak ini Mama dan Bibi yang handle”
kata Mama.
“Nggak
usah Ma, kasihan Mama dan Bibi capek. Biar nanti teman-teman yang lain yang
mewakili kan bisa,” kataku. Mama malah menggeleng mantap mendengar perkataanku
tadi.
“Tidak,
bukan persoalan banyak dan sedikit yang membantu sayang. Tapi rasa terimakasih
pada guru yang pernah berjasa pada kita, itu yang terpenting,” nasehat Mama.
“Lalu
nanti yang bantu Mama dan Bibi?” tanyaku.
“Sebentar
lagi mang Ujang datang bersama anaknya Bibi non,” jawab Bibi. Aku menatap Mama.
“Mama
yang mengizinkan Bibi buat lebaran disini,” Mama menjawab kebingunganku. Aku
tersenyum dan berterimakasih sama Mama.
“Yasudah
sekarang kamu mandi, ganti baju lalu berangkat. Oke?” kata Mama, aku mengangguk
mantap lalu melesat ke kamar. Sebelumnya aku mengirim pesan singkat pada Zahra
mengabarkan bahwa aku akan menemuinya nanti di pondok.
Setelah
tadi sempat sebentar berkenalan serta menyambut kedatangan Lastri, anaknya Bi
Iyem, aku dan mang Ujang langsung melesat menuju pondok. Di perjalanan aku
seakan diajak bernostalgia mengingat pertama kali ke pondok. Ah, aku merasa
bersyukur bisa menginjak pondok saat itu, aku bersyukur Allah telah
mempertemukanku dengan orang-orang baik yang mampu menyadarkanku seperti Zahra,
ustadz Hamid, ustadzah-ustadzah yang lain, dan juga tentunya ustadz Fahri.
Utadz Fahri adalah guru peramaku dalam urusan agama yang mampu mengetuk pintu
hatiku yang kelam kala itu. Di sisi lain aku sangat menghormati beliau sebagai
sosok guru spiritualku, sangat menghormatinya. Tapi aku sangat menyesali
perasaan lain yang hinggap dihatiku, yang sampai sekarang tak bisa aku
hilangkan.
Astagfirullahal’adzim,,
Ya Allah hamba-Mu yang lemah ini tidak mampu
menghindar dari pesonanya ya Rabb bantu hamba. Hamba takut setan akan mengambil
kesempatan ini untuk menjerumuskan hamaba pada kelalaian mengingat-Mu. Bantu
hamba-Mu yang lemah ini ya Rabb.
Beberapa
saat kemudian sampailah mobil yang mang Ujang kendarai di pondok yang dahulu sempat
menjadi tempatku menuntut ilmu agama. Aku turun dan diikuti oleh mang Ujang.
Aku meminta mang Ujang untuk pulang kalau memang mau istirahat, tapi mang Ujang
bilang hendak silaturrahmi pada ustadz Hamid. Sebelum sampai di ruang ustadz
Hamid, aku disambut oleh Zahra, aku dan Zahra langsung pergi ke tempat rapat
diselenggarakan. Tapi sebelumnya aku menemui Utadz Hamid dan juga istri beliau.
Aku membawa sedikit bingkisan yang Mama titipkan tadi sebelum berangkat. Aku
meninggalkan mang Ujang yang ingin berlama-lama bersama ustadz Hamid.
Aku
dan Zahra memasuki ruangan yang biasa menjadi tempat untuk diskusi dan juga
rapat oleh santri di pondok dulu. Tampak di ujung sebelah kiri sudah berkumpul
pemuda-pemuda yang sebaya dengan kami dan ada pula yang lebih tua. Dan
disebelah kanan kira-kira beberapa jauh jaraknya dengan lelaki yang disebelah
kiri telah berkumpul banyak santri putri yang kebanyakan diantaranya aku kenal.
Mereka rata-rata tersenyum melihat kedatangan kami, dan beberepa diantara
mereka menyalami dan memeluk. Mereka beberapa ada yang kaget melihat
penampilanku yang sudah mengenakan gamis dan jilbab yang syar’i. Masya Allah,
beberapa kali perkataan itu terlontar dari mulut mereka, aku hanya tersenyum
mengiyakan. Aku dan Zahra mengambil tempat duduk di tengah-tengah.
Acara
pun dimulai dengan pembacaan ayat suci diawalnya. Lalu ketua meminta data
kehadiran hari ini, kemudian merembukkan bersama, berapa orang ditaruh di acara
yang ini dan yang itu. Lalu yang jadi ketua dan lain sebagainya. Aku dan Zahra
akhirnya di pilih untuk acara kajian-kajian keislaman bersama beberapa teman
yang ternyata satu asrama juga denganku dulu. Istirahat sembari shalat dzuhur
dulu selama satu jam. Tadi rapatnya baru memilih anggota disetiap acara, belum
kepada rencana apa saja yang bisa diajukan.
Karena
cukup lama meninggalkan si kecil Fatimah, selesai shalat tadi Zahra pergi
menemui santri yang tadi diminta untuk menjaga Fatimah di salah satu kamar
asrama. Karena masih banyak waktu istirahat aku jalan-jalan sembari
bernostalgia mengenang waktu yang kulalui disini dulu. Aku tak sengaja melewati
gedung asrama laki-laki, aku beranjak menuju tempat yang sangat tidak asing
bagiku, dan tempat itu merupakan tempat yang pernah menjadi tempat
tongkronganku dulu saat sedih. Taman yang ustadz Fahri buat dan dimintai untuk
ku rawat dulu.
Sedetik
kemudian aku teringat sesuatu. Aku baru ingat kalau dulu aku pernah menulis
surat pada ustadz yang kutaruh di tempat duduk kayu disekitar sini. Sekelebat
pertanyaan menyerang otakku. Apakah ustadz menemukan surat tersebut dan
membacanya? Pasalnya saat di Australi, ustadz sama sekali tidak membahas soal
surat itu. Aku mencoba mencari, siapa tau ustadz lama tidak kesini dan ternyata
surat itu terbang dan terjatuh di suatu tempat. Aku terus saja mencari sampai
seseorang memanggilku.
“Alisa,”
panggilnya, aku menoleh dan Zahra sekarang tengah berdiri tak jauh dari
tempatku. “Sedang apa?” tanyanya mendekatiku. Aku kikuk, dan tak tau harus
menjawab apa.
“Ini
bukannya kebun yang ustadz Fahri buat, sepertinya kurang terawat sekarang” kata
Zahra sembari mengamati sekeliling. “Lalu kamu sendiri kenapa disini?” Tanya
Zahra lagi.
“Aku
mencari surat,” kataku jujur. Aku pun menjelaskan seluk beluk kenapa surat itu
bisa kucari sekarang.
“Setahuku
memang setelah kamu pergi itu ustadz Fahri tidak terlalu sering kesini, tapi
selalu datang memang, atau terkadang meminta bantuan santri untuk mencabuti
rumput, “ jelas Zahra. aku masih bergelut dengan hatiku, aku ingin sekali
meberitahu Zahra tentan perasaanku pada ustadz.
“Lis,
kok melamun?” kata Zahra membuyarkan lamunanku. Lalu aku pun bertekat untuk
menceritakan tentang perasaanku yang sampai saat ini masih kuragukan. Aku
mengajak Zahra duduk disana dan mulai menceritakan tentang perasaan yang
bertengger lama dihatiku.
“Di
sisi lain aku menghormati beliau sebagai seorang guru Ra, tapi di satu sisi aku
tidak bisa membohongi diriku bahwa rasa kagum itu berbuah perasaan suka Ra”
kataku jujur.
“Sejak
kapan?” Tanya Zahra dengan wajah serius. Aku pun menceritakan tentang
perubahanku saat kesini dikarenakan nasehat beliau. Zahra malah meminta maaf
padaku.
“Ya
Allah Sa, kenapa kamu nggak bilang dari dulu. Berarti saat aku kabari perihal
aku dan ustadz, kamu terzalimi. Ya Allah Sa, maaf” katanya. Aku pun
menceritakan bagaimana rasa cemburu membuatku tidak menghadiri acara pernikahannya
yang kukira dengan ustadz Fahri.
“Tapi
jujur saat itu aku juga tidak bisa membatalkan tiket pesawat itu Ra, maaf
sekali.” Kataku agak sedikit berkaca-kaca.
“Sudahlah,
yang lalu biarlah berlalu. Lalu sekarang permasalahannya apa. Sepertinya saat
kamu bercerita tentang perasaanmu pada ustadz, kamu terlihat sedikit berfikir?”
Tanya Zahra seakan tau perasaanku. Aku pun menceritakan tentang aku dan Yusuf,
lalu tentang Yusuf yang memberitahu kalau Mamanya akan mengenalkan ustadz
dengan anak teman Mamanya, lalu ustadz setuju.
“Aku
juga sadar Ra, aku bukan siapa-siapa. Ilmuku masih cetek sekali, akhlakku masih
belum terlalu baik. Jadi, siapa aku yang mengharapkan beliau sebagai pendamping
hidup.” Kataku menutup cerita. Zahra malah tersenyum dan menatapku lembut.
“Kalau
Allah berkata lain, bagaimana?” tanyanya membuatku kaget. Semua keraguan
dihatiku seakan sirna seketika. Aku mengamini benar perkataan Zahra di dalam
hatiku. Aku memeluk Zahra, aku selalu saja merasa tenang dengan nasehatnya. Aku
sangat bersyukur Allah mengirimkanku orang setulus dan sebijaksana Zahra.
Acara
selesai pukul 2, sekarang saatnya makan bersama. Tadi yang bertugas di bidang
konsumsi sudah datang membawa segala keperluan yang dibutuhkan oleh si perut
ini. Aku belum bergabung karena masih ingin menggendong si kecil Fatimah. Mata
yang berbinar itu mengguratkan kepolosan, suci dan tak berdosa. Tangannya
bergerak-gerak menggapai ruang hampa. Aku menarik tangan mugil itu lalu
membenturkannya ke pipiku. Senyum gadis mungil itu mengembang, matanya
berbinar. Masya Allah, cantiknya.
“Asslamu’alaikum,”
sapa seseorang dari belakangku. Aku tau persis suara itu. Aku menengok kearah
sumber suara dan kudapati sosok karismatik itu tengah berdiri sembari menenteng
kitab.
“Wa’alaikumussalam
ustadz” jawabku sekenanya sembari tetap menggendong si kecil Fatimah. Kini
tatapan ustadz tertuju pada si kecil ini.
“Bayinya
Zahra ya?” Tanya ustadz, aku mengangguk. Wajah ustadz tampak berseri melihat
wajah mungil Fatimah yang kini tengah menggeliat dipangkuanku. “Sedang ikut
acara rapat kepanitiaan?” Tanya ustadz seraya tatapannya tak berpaling dari
Fatimah.
“Iya
ustadz, “ jawabku.
“Loh,
Fahri. Kemana saja antum?” sapa seseorang yang tak lain adalah sahabat karib
beliau, ustadz Ilham, suami Zahra tepatnya. Ustadz spontan mengarahkan
pandangannya pada ustadz Ilham.
“Ana
habis mengajar tadi, jadi tidak ikut rapat, afwan” jawab ustadz Fahri. Zahra
keluar lalu mengajakku masuk, karena sepertinya si kecil Fatimah sudah gelisah
ingin diberi ASI. Aku berlalu meninggalkan ustadz Fahri yang tengah ngobrol
bersama ustadz Ilham.
Selesai
makan siang tadi aku niatnya ingin langsung menghubungi mang Ujang, tapi bateri
hpku habis dan hujan pun turun dengan derasnya. Aku ingin meminjam hp Zahra
tapi aku lupa nomor mang Ujang.
“Ada
apa Ra?” Tanya Zahra yang tengah menggendong Fatimah.
“Aku
tidak bisa menghubungi mang Ujang, bateri hpku habis dan aku lupa berapa nomor
hpnya,” jawabku.
“Ikut
aku dan mas Ilham saja” ajaknya. Aku menggeleng.
“Tidak
bisa, rute ke rumahku kan sangat berbeda Ra, lagian kasihan Fatimah.” Sedetik
kemudian Zahra seakan mendapat ide lalu menemui Ikhwan yang tengah berkumpul,
Zahra menghampiri suaminya dan berbicara entah apa, aku tidak dengar dari sini.
Ustadz Ilham menganguk lalu terlihat memanggil seseorang. aku kembali mencoba
menghidupkan hpku, tapi percuma.
“Lis,”
panggil Zahra. dia mengisyaratkan untuk aku mendekat, aku pun mengikuti
perinthanya. Saat yang bersamaan ustadz Fahri keluar bertiga, dengan ustadz
Ilham dan salah satu Akhwat yang kuketahui tadi bernama Ririn, dia adik kelasku
dulu.
“Kebetulan
Fahri juga akan cepat pulang, kamu bisa ikut dengannya. Ya kan Fahri?” Tanya
ustadz Ilham. Ustadz mengangguk. Ririn tersenyum manis padaku.
“Apa
tidak apa-apa?” tanyaku mencoba meyakinkan.
“Tidak
apa-apa. Kan ada Ririn kak, “ kata gadis berkerudung merah muda itu. Aku mengerutkan
kening, Zahra seakan tau kebingunganku, dia angkat bicara.
“Ririn
ini keponakannya ustadz Fahri yang dulu adik kelas kita” kata Zahra
memperjelas, aku hanya mengiyakan dalam hati.
Mobil
sudah terpatri di depan, setelah berpamitan dengan semua aku dan Ririn
mengambil tempat duduk di belakang. Hujan masih setia menyelimuti bumi,
menemani deru mobil yang ustadz Fahri kendarai. Ririn mengajakku berbicara
banyak hal, tentang pesantren dan katanya dia berkeinginan untuk kuliah di luar
negeri. Keinginannya ingin ke Al-Azhar, Cairo. Aku mengimbangi pembicaraannya
dengan sesekali menanggapi bagus dan juga bercerita beberapa kali. Ririn anak
yang periang, tapi tetap menjaga kesopanan bertutur katanya. Ustadz lebih
banyak diam seraya tetap berkonsentrasi dengan menyetir, sesekali merespon jika
Ririn meminta tanggapan dan juga saat bertanya letak rumahku persisnya dimana.
Ustadz
memmutar stir kearah gerbang rumahku lalu masuk, saat berada dipertengahan
halaman rumah mobil tiba-tiba berhenti. Kami agak kaget.
“Ada
apa paman?” Tanya Ririn.
“Astagfirullah,” desis ustadz, ustadz
memandang ke belakang, “Bensinnya habis Rin,” kata ustadz.
“Gimana
dong Paman, hujan masih cukup deras” tambah Ririn.
“Bagaimana
kalau sembari menunggu hujan reda, masuk saja dulu ke rumah. Nanti jika hujan
sudah berhenti baru beli bensin” usulku. Ustadz menatap Ririn seakan meminta
pendapat.
“Baiklah,
dari pada terus diam didalam mobil, sekalian silaturahmi dengan keluarganya kak
Alisa, ya kan kak?” Tanya Ririn. Aku hanya tersenyum mengiyakan.
Kami
pun turun dari mobil lalu melangkah menuju rumah, ustadz satu payung dengan
Ririn sedang aku memakai payung sendiri. Setelah sampai di pelataran rumah, aku
merapikan payung lalu meletakkannya di dekat pintu masuk. Aku mengajak ustadz
serta Ririn masuk. Kami masuk seraya mengucap salam. Papa dan Mama yang tengah
menonton di ruang tamu menoleh dan menjawab salam. Mama berdiri dan menghampiri
kami.
“Loh,
kenapa kamu tidak telpon mang Ujang?” Tanya Mama.
“Bateri
hp Lisa habis tadi Ma, jadi Alisa diantar oleh ustadz Fahri” kataku seraya
memandang kerah dua orang yang berada tak jauh dari tempatkku berdiri. Mama
yang sadar akan kedatangan seorang tamu itu sedikit kaget lalu tersenyum sembari
mengatupkan tangan di depan dada, ustadz pun membalasnya. Ririn beralih mencium
tangan mama takzim. Mama mengelus kepalanya sayang.
“Tapi
Ma tadi diluar bensin mobilnya ustadz habis, jadi Alisa ajak aja mereka masuk
sembari menunggu hujan reda” jelasku pada Mama.
“Oh,
begitu. Ayo nak ustadz masuk, diluar cukup dingin. Nanti kita ngobrol-ngobrol
didalam sambil minum sesuatu yang hangat,” kata Mama mempersilahkan ustadz
masuk. Aku merangkul dan mengajak Ririn masuk disusul oleh ustadz.
Di
dalam Papa menyambut ustadz dengan hangat. Kami bercerita panjang lebar
ditemani hujan. Ustadz memperkenalkan dirinya sebagai seorang pengajar bantu di
pesanten yang dulu sempat mengajarku. Aku pun sedikit bercerita kalau dulu saat
kuliah di Australia aku pun sering bertemu ustadz saat beliau melanjutkan S3
nya. Kelihatannya Papa agak kaget dan mencoba memastikan.
“Ustadz
Fahri ini sudah S3?” Tanya Papa. Ustadz hanya tersenyum seraya menganguk.
Obrolan pun terus berlangsung, tapi tadi karena Ririn hendak buang air kecil aku
pun mengajaknya ke kamar sekalian ganti baju. Papa dan Mama masih asik ngobrol
dengan ustadz, terakhir kudengar Papa juga menanyakan ustadz sudah ada calon
atau belum, aku belum sempat mendengar jawaban ustadz karena sudah dulu pergi.
Pasti dijawab sudah ada, bukankah ustadz sudah dikenalkan kemarin dengan teman
Mamanya. Di dalam kamar Ririn kembali bercerita, kini ia menyinggung soal
ustadz Fahri.
“Aku
tidak mengerti Kak, padahal kak Hilda itu cantik, soleh dan juga pintar. Tapi
Paman juga tetap tidak mau,” cerita Ririn. “Terakhir kemarin Paman sempat
mengiyakan setelah dikenalkan dengan Mbak Rita, tapi bukan karena tertarik.
Tapi karena Paman memang kenal dengan Mbak Rita dulu sebagai teman SMA, dan
ternyata Paman punya rencana lain, Paman malah mempertemukan Mbak Rita itu
dengan mantan pacar Mbak Rita dulu. Lah, sekarang Mamanya Paman Fahri kembali
mendesak untuk dicarikan menantu, kalau sampai satu minggu ini tidak ada calon
beliau terpaksa akan mengambil kendali penuh dalam pencarian menantu” lanjut Ririn.
Aku masih setia mendengar ceritanya.
“Aku
sempat bertanya pada Paman, adakah orang yang sedang ia pikirkan dan hendak ia
khitbah, Paman bilang tidak mungkin bisa. Jawabnya selalu itu jika kutanya. Dan
saat kutanya kenapa, Paman hanya mengucek-ngucek kepalaku dan berkata tidak usah
terlalu khawatir, tapi Ririn juga termasuk orang yang sangat dekat dengan
Paman. Ririn curhat selalu sama Paman daripada pada Kakakku sendiri, mana mungkin
Ririn akan diam saja melihatnya kan Kak?” Ririn mengakhiri ceritanya, aku
tersenyum padanya, Dalam hati, aku merasa cenburu dengan sosok yang ustadz Fahri
bilang ingin di khitbah tapi tidak bisa itu.
“Kamu
sendiri apa punya seorang teman yang hendak kamu kenalkan dengan ustadz Fahri,
siapa tau ustadz Fahri cocok” kataku coba memberi nasihat. Ririn coba berfikir
sejenak.
“Di
pondok ada sih Kak, banyak. Tapi masak iya mereka yang masih kelas 2 Aliyah
sedangkan Mamanya Paman mendesak untuk langsung menikah” jawab Ririn. Sedetik
kemudian mata Ririn berbinar, seakan mendapat ide cemerlang yang melintas
begitu saja, aku menatapnya yang hendak membuka mulut.
“Bagaimana
kalau Kak Alisa saja,” katanya langsung, aku seakan tersengat listrik, aku
kaget.
“K,
Kakak?” tanyaku tergagap seraya menunjuk kearahku. Ririn mengangguk mantap. “Kakak
juga kan masih kuliah Rin,” kataku.
“Kan
bisa nanti kuliah setelah menikah. Kakak kan sempat lama kenal sama ustadz,
siapa tau ustadz juga menaruh hati pada Kakak, kita tidak tau sebelum mencoba
Kak,” tambah Ririn.
“Sudahlah,
urusan jodoh Kakak serahkan sama yang diatas saja,” timpalku.
“Lah,
kan tidak ada salahnya berusaha kan Kak,” katanya lagi tak mau kalah, aku hanya
tersenyum. Karena melihat hujan sudah mulai berhenti aku mengajak Ririn turun
ke bawah menemui ustadz, Papa dan juga Mama.
Di
bawah Papa, Mama dan ustadz terlihat masih ngobrol, terlihat sangat akrab.
Sesekali tertawa kecil. Aku dan Ririn kembali duduk di tempat yang tadi.
“Wawasan
nak ustadz sangat luas ya, salut sekali melihat anak muda secerdas nak ustadz
Fahri ini” ujar Mama. Papa mengangguk mantap menyetujui.
“Andai
semua pemuda Indonesia seperti ustadz Fahri ini, majulah Indonesia” tambah
Papa. Ustadz tersenyum kecil.
“Bu,
Pak sebaiknya panggil Fahri saja, saya juga masih sedikit ilmu agama saya jika
dibandingkan dengan orang-orang yang pantas disandangkan gelar ustadz” kata
ustadz.
“Ustadz
ini terlalu merendah,” jawab Papa.
“Biar
terdengar akrab juga Pak,” tambah ustadz. Papa mengangguk.
“Oh
ya Tante, Om. Ririn boleh nanya sedikit, tapi ini sedikit pribadi” kini Ririn
masuk ke dalam perbincangan. Semau mata tertuju pada Ririn.
“Silahkan”
kata Papa. Ririn menatapku, aku mengerutkan dahi.
“Seandainya
ada seseorang yang hendak mengkhitbah Kak Alisa, Om dan Tante kira-kira setuju
atau tidak?” Tanya Ririn, semua semakin menjadikan Ririn sebagai objek tujuan
pandangan. Mama dan Papa saling memandang. Tak lama kemudian Mama tersenyum
lalu menjawaab sekenanya.
“Memangnya
ada yang mau sama anak manja seperti Alisa ini?” kata Mama, “Kalau toh ada pria
soleh yang melamarnya, semua keputusan Tante serahkan pada yang akan
menjalaninya,” tambah Mama.
“Memangnya
nak Ririn ada calon yang akan dikenalkan untuk Alisa?” Tanya Papa lagi, tapi
sekilas hanya seperti gurauan saja.
“Ini
kan seandainya Om, nanti kalau memang ada kan tidak menjadi keragu-raguan. Kan
Paman?” Tanya Ririn pada ustadz. Dari nada tanyanya Ririn memang sedikit
menyindir ustadz. Ustadz yang ditanya hanya tersenyum kecut.
“Pak,
Bu sebaiknya kami pamit saja. Berhubung hujan sudah reda, sebenarnya memang ada
yang hendak saya kerjakan di rumah makanya pulang cepat tadi dari pondok” kini
ustadz angkat bicara.
“Cepat
sekali, belum juga makan” ujar Mama.
“Tidak
perlu Bu, nanti merepotkan. Tadi kan memang niatnya hanya menunggu sampai hujan
reda,” tambah ustadz.
“Yasudah
kalau memang nak Fahri ada keperluan. Tapi lain kali mampir lo, saya senang
ngobrol dengan nak Fahri. Jarang-jarang ada teman ngobrol yang nyambung gini”
kata Papa.
“Insya
Allah Pak. Kami pamit dulu, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaaikumussalam,”
Ustadz keluar di susul oleh Ririn. Ririn pamit dan memelukku.
“Pokoknya
niat Ririn sudah mantep, tunggu saja kabar dari Ririn ya Kak,” katanya
berbisik. Ada rasa senang yang sayup-sayup masuk ke relung jiwaku.
“Jangan
memaksakan diri, nanti kalau ustadz nggak ikhlas bagaimana?” tanyaku,
“Pokoknya
Kakak tenang aja” katanya seraya melepaskan pelukannya lalu mengikuti jejak
ustadz Fahri yang meninggalkan rumah. Tadi Mama sudah meminta mang Ujang untuk
membelikan bensin.
Sesaat
sebelum benar-benar masuk ustadz menatap kearahku tepat saat aku menatap
kearahnya.
Cess!!
Seakan
ada sebuah bongkahan es batu yang mendarat mulus di hatiku. Ustadz langsung
masuk, aku beristigfar dalam hati. ’kembalikan kesadaranmu Sa, jangan terlalu
berharap banyak. Dilihat dari segi manapun kamu tidak cocok dan tidak selevel
dengan ustadz’ kataku dalam hati.
Di
kamar aku mendapat sebuah pesan dari Ririn. Ririn memintaku mengangat
teleponnya dan mendengar apa yang akan di obrolkan dengan Pamannya, yakni
ustadz. Aku pun menunggu telepon darinya. Sebentar hpku berdering lalu
kuangkat. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan yang sedang melaju,
“Paman pertanyaan Ririn ke orang tua kak
Alisa tadi, Ririn beneran lo, bagaimana menurut Paman?” kudengar kini Ririn
mulai berbicara pada ustadz. Lama hanya deruman mobil terdengar.
“Apa kamu tidak lihat tadi, kedua orang tua
Alisa tampak menjawab pertanyaanmu dengan nada bercanda. Apa kamu yakin kedua
orang tua Alisa benar ikhlas melihat anak satu-satu mereka menikah sebelum
kuliahnya selesai, atau bahkan mungkin mereka ingin menyekolahkannya lebih
tinggi lagi,” samar-samar terdengar jawaban ustadz. Aku menghela nafas
panjang. Aku mendengar lagi dengan sabar apa yang akan dikatakan Ririn.
“Tapi kalau kak Alisanya mau bisa saja kan
kak Alisa meyakinkan kedua orang tuanya,” sanggah Ririn.
“Tidak semudah itu Rin, Paman maunya menikah
dengan adanya keikhlasan dari kedua belah pihak serta kedua orang tuanya.
Menikah itu ibadah Rin, bukan main-main, jadi Paman inginnya semua bahagia dan
ikhlas dengan ibadah yang Paman lakukan,” jawab ustadz lagi, aku masih
tetap mendengar denan takzim.
“Lalu bagaimana dengan Paman, kalau nanti
Nenek meminta Paman untuk menikah dengan orang yang tidak Paman inginkan,
bukankah malah yang tidak ikhlas beribadah adalah Paman sendiri sebagai pelaku.
Ririn sudah menganggap Paman lebih dari Kakak sendiri, jadi Ririn juga
menginginkan yang terbaik untuk Paman,” kejar Ririn mulai agak menaikkan
volume suaranya. Sejenak ustadz belum mampu menjawab pertanyaan Ririn.
“Sudahlah,
kamu jangan terlalu mengkhawatirkan Paman. Paman bahagia kamu mau perhatian
pada Paman, do’akan saja supaya nanti yang akan menjadi pendamping hidup Paman
adalah yang terbaik yang telah Allah pilihkan untuk Paman. Tawakkal saja,”
suara ustadz lembut seakan mencoba menenangkan Ririn.
“Bukankah manusia juga punya tugas untuk
betikhtiar Paman, jadi sekarang Ririn mencoba ikhtiar itu dengan mencarikan
wanita yang menurut Ririn cocok untuk Paman. Dan menurut Ririn ya kak Alisa.
Paman juga sudah kenal lama dengan kak Alisa kan?” kata Ririn lagi.
“Memang, Paman sangat kenal watak dan
prilaku Alisa. Bagaiman dia bisa sampai saat ini Paman sangat tau, dan Paman
juga tau kalau Paman tidak bisa dengan Alisa. Paman akan coba ikhtiar, tapi
untuk Alisa sepertinya Paman sungguh tidak bisa Rin.”
Entah
kenapa setetes mutiara tiba-tiba jatuh begitu saja dari peraduannya mendengar
jawaban ustadz tadi. Aku langsung menutup telepon itu, aku terisak dan menutup
mulutku, aku kembali teringat akan masa yang telah kulalui bersama ustadz. Saat
dulu aku masih menjadi manusia yang tidak mengenal Rabbinya, dan sosok peri
Allah itu datang menyadarkanku, hamba pilihan Allah itu datang menegurku atas
khilafku. Dan ternyata memang itulah tugasnya, hanya menyadarkanku, hanya itu
dan tidak lebih. Aku saja yang berharap lebih. Hpku bordering, ada sebuah pesan
masuk. Kubuka dan ternyata dari Ririrn.
Maafkan Ririn kak ya. Kakak tenang
aja, Ririn akan coba meyakinkan Paman lagi. Niat Ririn sudah bulat Kak, Ririn
yakin dengan Kakak.
Aku
membalas pesan Ririn.
Dek, jangan terlalu dipaksakan ya.
Benar kata ustadz, Kakak juga belum terbesit niat untuk menikah. Mungkin saja
memang ada yang lebih baik menurut ustadz.
Ririn tetap saja bersih keras,
katanya merasa yakin denganku. Aku menaruh hp di atas meja belajar. Aku
mengambil diary yang sudah lama tidak pernah kutulis. Masih ada tulisan lama
yang dulu sempat kutulis. Aku mengambil pena lalu menggoreskan apa yang saat
ini tengah mendera hatiku.
Dear diary,
Kali ini sepertinya memang harus
cepat-cepat kuhapus rasa cinta itu sebelum nanti tidak bisa dihapus lagi. Aku
cukup bahagia karena telah dipertemukan dengannya, yang ternyata merupakan peri
yang bertugas untuk menegur serta menyadarkanku dari khilafku. Aku saja yang
terlalu berlebihan, aku sadari itu. Aku sangat berterimakasih padanya karena telah
menjadi orang yang baik, sehingga terpilihlah dia untuk menjadi guruku, aku
bahagia dengan waktu yang tak terlalu lama ini, aku bahagia karena
mencintainya, mencintai orang yang mencintai Allah. Aku bahagia untuk satu hal
itu yang kini saatnya harus kuakhiri karena kutahu cepat atau lambat dia akan
menemukan seseorang yang pantas menjadi pendamping hidupnya. terimakasih sekali
lagi telah menjadi seseorang yang bermakna dalam hidupku, aku tidak akan pernah
melupakannya karena dia merupakan salah satu orang yang pernah mewarnai hidupku
dengan tinta emasnya. Bantu hamba untuk lepas dari pesona itu ya Rabb, namun
aku ingin tetap menghormatinya sebagai guruku.
Lepaslah rasa cinta sebagaimana burung
dara yang lepas dari sangkarnya.
Terbanglah, carilah tempat yang lebih
indah.
Terbanglah, ikuti titah Tuhanmu…..
_____
Malamnya
aku mencoba membuka laptop siapa tau ada E-mail dari Chaterin. Benar saja empat
E-mail yang masuk. Dari kak Ita, Chaterine, auntie Mary dan Yusuf. Aku reflex
menggerakkan kursor kearah email dari Yusuf, aku penasaran apa pendapatnya
tentang surat yang ku kirimkan padanya. Aku takut dia tidak terima.
Wa’alaikumusslam. Wr. Wb.
Aku menghargai pendapatmu, aku
juga tidak ingin hubungan kita menjadi penghalang salah seorang dari kita untuk
mencari yang terbaik. Jodoh tidak bisa dipaksakan, andai kata kelak kita jodoh
pun tidak ada yang bisa menghalangi. Terimakasih sebelum dan sesudahnya. Aku
berterimakasih atas kebersamaan kita yang sedikit tapi bermanfaat. Aku senang
kamu juga mendapat kebaikan dari hubungan kita. Sekian dulu dariku.
Yusuf
Alhamdulillah, sudah kuduga
kalau Yusuf adalah orang yang bijak. Aku tidak membalasnya. Aku kemudian
membaca email-email yang lain. Chaterine memberitahukan bahwa dia sekarang
sedang dalam proses mau mengenal islam lewat teman-teman SOI, katanya dia mulai
agak tertarik dengan Islam. Kubalas emailnya, kukatakan bahwa aku sangat
bahagia mendengarnya, aku do’akan semoga dia tetap berada di jalan hidayah dan
dakwah di SOI juga.
Kak Ita memberi pesan agar
dimanapun aku berada tetap membawa niat dakwah, dalam keadaan apapun dan dari
media serta cara bagaimana pun tetap harus memproritaskan dakwah. Tapi kak Ita
selalu mengingatkan kalau dakwah terbaik itu seperti yang tersirat di diri
Rasulullah, yakni dakwah dengan perbuatan. Aku berterimakasih atas pesan kak
Ita.
Auntie Mary mengabarkan
bahwa lebaran kali ini mereka jadi ke Indonesia. Dan, aku sangat kaget
mendengar dia akan membawa seorang Laki-laki. Dan laki-laki itu adalah calon
suaminya yang berdarah Australi-Arab. Kata auntie dia sekalian akan silaturahmi
ke keluarganya yang ada di Indonesia dan insya Allah akan mengadakan akadnya di
Indonesia juga. Auntie memberitahukan agar aku memberitahu kabar baik itu pada
Mama dan Papa. Aku menutup laptop lalu pergi memberitahukan Mama dan Papa
segera.
Mama hampir tak percaya,
“Aku pikir dia tidak akan mau menikah,” kata Mama.
“Kan sekarang auntie seorang
muslimah Ma, jadi itu wajar, alhamdulillah” kataku.
Esoknya aku kembali dengan
segala aktifitas perkuliahanku. Di dapur aku melihat Bi Iyem dan Lastri yang
sedang masak sembari ngobrol. Aku ikut nimbrung dan juga membantu. Lasri
langsung menyuruhku berhenti membantu, aku melirik kearah Bi Iyem seakan
menyuruhnya memberi pengertian pada Lastri. Setelah diberitahukan kalau aku
memang biasa membantu, Lastri walau terkadang mengambil bagian kerjaku tapi
sudah tidak keberatan lagi. Aku juga kadang mengajak Lastri tidur denganku
sebab kamar Bi Iyem cukup untuk satu orang, tapi selalu saja tidak mau. Lastri
anaknya cukup cerdas, di kampung ternyata dia juga mengajar ngaji, aku salut
padanya. Bacaan Al-Qur’annya fasih sekali. Aku kadang memanggilnya dengan mbak
Lastri karena usianya terpaut 4 tahun dariku.
---
Pagi ini aku dikagetkan oleh
dua kejadian yang satunya aku dapat sms dari Yusuf. Dia mengatakan dia sudah
pulang dari Australi, katanya ada acara penting yang harus dihadirinya, bukan
kabar itu yang mengagetkanku, tapi tiba-tiba saja di akhir smsnya dia memanggilku
dengan sebutan Kakak. Aku kira dia salah tulis dia malah bilang tidak ada yang
salah dengan smsnya. Itu meninggalkan tanda Tanya besar di kepalaku.
Hal kedua yang mengejutkanku
adalah Kakek dan Nenek beserta auntie Mary mempercepat kedatangannya, dan kata
Mama mereka akan datang hari ini. Bi Iyem sedang repot memasak di dapur dengan
mbak Lastri. Mama mengajakku untuk pergi ke butik tempat biasa Mama membeli
baju, katanya aku akan dibelikan baju yang banyak dan cantik-cantik.
“Masak menyambut Nenek
sampai serepot ini sih Ma, pakai acara beli baju dan masak banyak. Alias juga
kan masih punya baju yang bagus, nanti lebaran juga beli kan Ma” Protesku. Mama
masih tetap terlihat repot berkemas. Aku beralih pada Papa yang hanya terlihat
santai membaca Koran.
“Pa, Mama kok tiba-tiba jadi
super sibuk begitu? Tiga hari ditinggal penelitian kok jadi aneh begini. Mama
kenapa Pa?” tanyaku pada Papa sembari duduk di sebelah Papa sembari sesekali
melihat Koran yang Papa baca.
“Ikuti saja perintah Mamamu,
jarang-jarang kan Mamamu super sibuk,” Papa malah membela Mama. Mama sudah terlihat
siap dengan gamis ungu dan tas warna senadanya. Mama tersenyum kearahku.
“Ayo cepat kita berangkat,”
kata Mama.
“Alisa kan belum siap-siap
Ma,”Protesku.
“Sudah, nanti saja disana.
Kan kita mau beli baju,”
“Papa nggak ikut sekalian?”
tanyaku pada Papa.
“Papa dan Mama sudah duluan
beli, yang penting itu kamu,” Mama langsung menarik lenganku meninggalkan
rumah. Aku pasrah saja mengikuti Mama seraya mensejajarkan langkah Mama yang
agak cepat. Aku masuk mobil, Mama menyetir membelah jalan.
Sampai di butik, Mama makin
gencar memburuku dengan baju-baju yang menurutku warna serta motifnya amat
mencolok. Aku memilih yang lebih kalem, Mama malah bilang untuk yang satu ini
pilih yang agak bagus, jangan yang simple. Aku menurut saja, tapi kupilih yang
mendekati kata biasa daripada yang dipilihkan Mama awal tadi.
Sepulang dari butik sudah
ada Nenek Ijah dan Kakek Surya yang tak lain adalah Ibu serta Ayah dari Papa.
Aku beralih menciuk tangan mereka takzim.
“Kakek dan Nenek akan
menginap ya, kebetulan sekali Nenek dan Kakek serta auntie Mary akan kesini
dari Australi.” Kataku,
“Iya Nenek tau. Makanya
Nenek kesini” kata Nenek, aku mengangguk. Belum selesai mengobrol dengan Nenek
bel berbunyi. Mama membuka pintu. Wajahku cerah melihat Kakek, Nenek dan auntie
yang baru saja kubicarakan sudah hadir. Aku langsung melangkah menuju pintu,
aku mencium tangan mereka, aku melihat ke segala arah, auntie bingung.
“Mana, katanya mau bawa
Ikhwan,” kataku. auntie tersenyum.
“Itu nanti, dia harus ke
rumah keluarganya dulu.” Kata auntie, aku mengangguk. Siang ini aku senang
sekali karena semua keluarga berkumpul. Biasanya kalau lebaran hanya Nenek Ijah
dan Kakek Surya yang berkunjung atau kami yang berkunjung kesana. Semua tampak
mengobrol, Mama malah mengajakku ke dalam untuk mencoba baju yang cocok
katanya, auntie Mary juga ikut.
“Bukannya dipake lebaran
Ma?” kataku.
“Lebaran juga di pakai, tapi
yang penting itu sekarang,” kata Mama. Hpku berdering, telepon dari Zahra.
“Assalamu’alaikum, Sa kamu sudah siap?” Tanya Zahra dari seberang telepon.
Aku mengerutkan dahi.
“Siap untuk apa Ra?”
tanyaku. Mama dan auntie Mary terlihat sibuk memilah dan memilih baju
disampingku.
“Sebentar lagi kami akan kesana, jadi kamu siap-siap ya,” katanya
lagi.
“Loh, kamu mau kesini juga
Ra? Kenapa nggak bilang dari tadi pagi,”
“Yasudah nanti kamu dandan yang cantik aja. Aku mau siap-siap dulu ya.
Assalamu’alaikum” Zahra menutup teleponnya. Aku menatap teleponku sendiri
seakan menatap Zahra. Zahra sekarang ikut-ikutan membuatku bingung.
“Lis, sepertinya yang warna
pink ini cocok buatmu, manis dan cukup istimewa” saran auntie Mary. aku masih
dirundung rasa penasran. Auntie menempelkan gamis berwarna merah muda dengan sedikit
corak yang memang cukup cantik.
“Pasti calon suamimu akan
suka,” kata auntie. Aku semakin mengerutkan kening.
“Apa maksud auntie calon
suami?” tanyaku memburu.
“Loh, hari ini kan kamu akan
di khitbah,” jawab aunti masih sibuk memilih baju. Aku beralih ke Mama, aku
merasa kurang enak dengan kabar ini.
“Apa maksudnya ini Ma,
kenapa Mama tidak minta pendapat Alisa dulu. Alias kan belum lulus kuliah Ma,
lagian nanti kalau Alisa menikah Mama yang menamani siapa?” tanyaku pada Mama.
Mama menatapku dengan sayang lalu mengajakku duduk di kasur.
“Mama tidak mengambil
keputusan secara sepihak, Mama lebih tau siapa kamu. Kamu pasti akan mau jika
tau siapa yang akan mengkhitbah kamu. Mama juga tidak akan kesepian, karena
Alhamdulillah dokter bilang Mama sedang mengandung” aku kaget mendengar
perkataan Mama diakhir tadi.
“Mama hamil?” tanyaku
memastikan. Mama mengangguk, “Alhamdulillah” sesaat aku kembali teringat pasal
khitbah.
“Memangnya yang akan
mengkhitbah Alisa siapa Ma?” kini hatiku mulai tak menentu. Mama belum sama
sekali diskusi denganku dan sekarang, hari ini, aku langsung ingin di khitbah.
Aku teringat dengan sms Yusuf tadi pagi, ah aku malu untuk berharap sejauh itu.
“Yang akan mengkhitbah kamu
adalah nak Fahri” jawab Mama. Saat itu juga seperti ada petir di dalam dadaku.
Dadaku bergemuruh, sekian lama aku masih termangu. Aku mengontrol diriku, aku
beristigfar dalam hati.
“Masya Allah, kuasa-Mu ya
Rabb” ujarku dalam hati.
“Sekarang apa kamu berani
menolak?” goda Mama.
“Kenapa Mama bisa semantap
itu kalau aku akan menerima ustadz Fahri?” tanyaku.
“Mama kan tidak bekerja
sendiri,” kata Mama.
“Lalu?” buruku penasaran.
“Zahra, Ririn, mereka yang
datang ke rumah saat kamu sedang ada kegiatan selama tiga hari ke luar kota
untuk penelitian kemarin” kata Mama. Sekarang aku sudah mulai bisa tau jalan
ceritanya kenapa pagi ini tidak seperti biasanya.
“Sudahlah, itu semua tidak
penting sekarang. Yang penting itu sekarang bagaimana caranya kamu tampil
cantik di depan calon suamimu”
Cess! Hatiku mendesir,
setelah tau siapa lelaki yang akan mengkhitbahku aku merasa grogi sendiri,
pipiku sepertinya sudah memerah seperti tomat sekarang. Ini sangat mendadak,
puji syukur tak hentinya menggema dalam kalbuku. Bersyukur atas hari ini dan
hari-hari sebelumnya yang telah Allah rancang seindah mungkin, akan hari-hari
yang kulalui sehingga aku bisa berdiri hari ini, disini, menunggu sosok yang
telah Allah siapkan jauh sebelum hari ini untukku. Alhamdulillah ya Rabb, sudah
tidak bisa kurangkai lagi rasa syukur yang menyelimuti relung hatiku atas semua
nikmat-Mu.
Aku teringat Yusuf tadi
pagi. Aku merasa tidak enak, aku menelponnya, berarti dia juga tau dengan semua
rencana ini.
“Akulah yang meyakinkan kak Fahri. Sebelumnya dia tidak mau
mengkhitbahmu karenaku. aku juga sebenarnya sudah tau sejak lama sepertinya
kakak ada perasaan terhadapmu, jadi aku memaksanya untuk mau dan berani
mengkhitbahmu” kata Yusuf menjelaskan.
“Lalu bagaimana denganmu?”
tanyaku spontan.
“Sudahlah, anggap saja aku menebus kesalahanku telah merebutmu dulu dari
kak Fahri. Lagian sepertinya Chaterin itu akhwat yang cukup baik, dia muslim
sekarang,” kata Yusuf.
“Chaterin?” tanyaku tak
percaya.
“Benar,”
Alhamdulillah, semua
berjalan lancar. Aku kira Yusuf tidak akan ikhlas dengan semua ini. Ternyata
dia juga punya andil yang cukup besar. Sejam lamanya aku berdandan, aku tidak
terbiasa bersolek, jadi kuminta auntie Mary membantuku. Sesekali aku memprotes
karena terlalu mencolok, auntie malah menasehatiku.
“Besok kalau kamu menikah,
kamu harus pintar dandan untuk menyenangkan suami. Bukankah itu yang diajarkan
Islam?” kata auntie. Aku jadi malu sendiri.
Aku menatap diriku di
cermin. Gamis pink dibalut jilbab senada yang di tata cukup bagus oleh auntie
dan ditambah sedikit polesan yang tidak terlalu mencolok. Aku terlihat cukup
beda dari biasanya. Tanganku terasa dingin, aku tak tau tiba-tiba dadaku sesak,
aku grogi sekali, aku tidak menyangka akan secepat ini hari semenegangkan ini
akan datang. Ya Allah, semoga semuanya berjalan dengan lancar.
Bel rumah berbunyi. Dadaku
berdetak tak karuan, auntie melihatku lalu memegang pundakku.
“Kamu tunggu didalam dulu,
nanti auntie kesini lagi” kata auntie. Aku meminta auntie agar mengajak
sekalian Zahra kesini. Aku mencoba mencari kegiatan lain agar tidak tegang. Aku
membaca buku, tapi tidak konsen, kutaruh buku itu diatas meja. Sebentar pintu
kamarku terbuka, Zahra beserta Ririn masuk ke kamaraku. Ririn terlihat
tersenyum lebar.
“Wah, wah yang mau dilamar,
cantik sekali,” godanya. Rasanya agak mendingan grogiku melihat mereka.
“Selamat ya, dan maaf telah
merahasiakannya darimu. Ririn yang punya ide,” kata Zahra. aku beralih menatap Ririn
yang kini tengah cengengesan.
“Maaf lo kak, lagian tiga
hari itu kakak juga tidak ada di rumah toh? Aku taunya yang dekat dengan Kakak
itu ya kak Zahra, karena Ririn sudah mantap saat itu jadinya Ririn lakukan
semampu Ririn. Lalu kak Zahra menceritakan semua yang perlu-perlu, aku senang
sekali saat kak Zahra bilang sepertinya kak Alisa juga ada perasaan sama Paman.
Lalu masalahnya tidak berhenti sampai sana kak, masalahnya ada di Paman, Paman
bersih keras tidak ingin, tapi karena kemantapan Ririn. Ririn coba hubungi
Paman Yusuf, dan ternyata jawabannya juga memuaskan. Paman Yusuf terus
meyakinkan Paman Fahri. Dan setelah itu Ririn dan kak Zahra mengajak bertemu
kedua orang tua kakak dengan kedua orang tua Paman. Awalnya memang ada keraguan
di keluarga kak Alisa, tapi karena Paman sudah mau, Pamanlah yang meyakinkan
kedua orang tua kakak,” Papar Ririn panjang lebar. Aku berkaca-kaca.
“Makasih banyak ya dek, kamu
kok bisa-bisanya segigih itu” heranku.
“Ririn memang seperti itu
kak, kalau sudah mantap dengan sesuatu harus sampai berhasil. Kebetulan sekali
saat itu Ririn sudah sangat mantap kalau kak Alisa memang cocok dengan Paman,”
katanya.
“Alhamdulillah, memang sudah
jalan dari Allah” kata Zahra. “Kalau begitu mari kita turun kebawah, yang lain
sudah menunggu” kata Zahra lagi.
“Aku grogi Ra,” kataku
jujur.
“Coba lafadzkan asma Allah,
insya Allah nanti tenang dengan sendirinya” saran Zahra. Zahra kemudian
menggandeng tanganku menuju ruang tengah. Dari atas aku sedikit melirik ke
bawah, cukup ramai karena semua keluarga dari pihak Papa dan Mama berkumpul
ditambah keluarga ustadz Fahri. Aku melangkah menuruni anak tangga sembari
tetap melafadzkan zikir dengan suara sangat pelan. Mama mengajakku duduk
disampingnya. Aku tak pernah secanggung ini sebelumnya. Lalu sekarang Papa yang
angkat bicara, Papa membuka acara. Papa sedikit bercerita tentang aku dan
ustadz Fahri, Papa menyinggung kembali saat pertama kali bertemu ustadz, Papa
mengutarakan rasa bangganya karena ustadz akan mengkhitbah putri satu-satunya
ini.
Sesi demi sesi berlalu, kini
tiba diacara utama yakni prosesi khitbah. Aku semakin gencar melafadzkan zikir
didalam hati. tanganku masih dingin. Aku sampai tidak sadar bahwa sekarang
giliranku untuk menjawab. Aku masih diam, tidak bisa menjawab sepatah katapun.
Mulutku seakan tercekat. Semua diam, Mama pun angkat bicara, sepertinya beliau
gemas melihatku yang tak mau angkat bicara.
“Biasanya Alisa kalau sedang
grogi memang begitu, suka diam” kata Mama. Mama memegang pundakku. Aku angkat
bicara.
“Bismillahirrahmanirrahim.
Dengan mengharap Ridha Allah swt, dengan ini saya menerima lamaran ustadz
Fahri” aku menghela nafas, seisi ruangan menggemakan takbir. Lalu ustadz Ilham
yang beralih membaca do’a. aku tidak tau dari mana datangnya rasa sedih itu, air
mataku seketika saja tumpah. aku menangis ditengah lantunan do’a yang ustadz
Ilham bacakan, aku hanyut dalam rasa syukur pada-Nya.
Usai do’a Mamanya ustadz
Fahri mendekatiku. Beliau mengecup keningku sayang, aku memeluk beliau seakan
memeluk Mamaku sendiri. Lalu sesekali aku diajak ngobrol oleh beliau tapi lebih
banyak mengobrol dengan Mama. Acara pernikahan akan dilaksanakan selesai
lebaran. Tujuh hari setelah lebaran tepatnya, langsung dengan acara resefsinya.
Semua setuju.
Usai makan bersama keluarga
dari pihak ustadz Fahri pun berpamitan. Yusuf memberi selamat padaku, aku
mendo’akan agar dia bisa membimbing Chaterine, aku juga titip salam pada semua
anggota SOI. Aku beralih mencium tangan Mama dan Papa ustadz Fahri, ustadz juga
demikian, bersalaman dengan Papa dan Mama. Aku masih tak berani menatap wajah
ustadz. Ririn mendekatiku dan memelukku sayang.
“Sebentar lagi, kakak akan
jadi Bibinya Ririn ya. Nanti Ririn akan sering mampir kesini, Ririn pamit dulu”
katanya. Aku mengangguk seraya tersenyum manis padanya.
-----
Ramadhan tahun ini terasa
sangat lama, menunggu memang merupakan hal yang membuat waktu terasa lama.
Syururnya aku ada kuliah walau puasa, jadi sesekali perasaan menunggu itu
hilang. Tapi tetap saja Ramadha kali ini merupakan Ramadhan terpanjang yang
pernah kulalui.
Ririn sering berkunjung ke
rumah. Dia banyak cerita pasal teman satu kelas dan satu pondoknya yang kecewa
karena ustadz Fahri sudah mengkhitbahku.
“Teman duduk Ririn kak,
sampai menangis lo. Dia menceritakan pada Ririn bagaimana dia mengagumi Paman
sejak pertama kali mengisi pelajaran SKI. Ririn sih paham kak, jadinya Ririn
hibur saja dia” katanya.
Ada juga yang sampai titip
surat segala katanya pada ustadz. Aku jadi berfikir, andai aku berada di posisi
mereka, mungkin aku pun akan bertindak demikian. Aku hanya bisa berdo’a supaya
Allah memberikan kelapangan hati pada mereka.
Saat acara di Pondok dimulai
semua panitia memberi selamat padaku. Aku tidak bisa bertemu dengan ustadz saat
itu, karena teman-teman sengaja memisahkan kami. Aku pun seandainya disuruh
memilih, aku malu untuk bertemu walau tidak bisa dipungkiri ada rasa rindu yang
menyusup ke relung jiwaku, sangat.
Aku manfaatkan bulan
Ramadhan ini untuk berdo’a supaya pernikahanku dengan ustadz Fahri kelak
mendapat Ridho-Nya dan menjadi keluarga yang Sakinah mawadah warahmah. Aku
memanfaatkan sekali hari dan malam di bulan Ramadhan ini untuk bermunajat pada
Allah.Kulalui malam-malamku dengan ucapan rasa syukur serta harap akan Ridho
Allah.
Tapi yang namanya waktu
walau pun terasa lama, pada akhirnya pasti berlalu juga. Usai lebaran Mama
semakin heboh, menyewa catering, menyiapkan ini, itu ditambah dengan adanya
asistennya, siapa lagi kalau bukan auntie Mary. Pernikahan auntie Mary masih
lama, akan dilaksanakan seminggu setelah acara pernikahanku, karena kebetulan
acara lamarannya akan diselenggarakan setelah selesai resepsiku sekalian
keluarga mempelai pria menghadiri acara pernikahanku.
Zahra sesekali berkunjung
dan membawakan beberapa bingkisan yang nantinya diperlukan. Aku banyak bertanya
pada Zahra tentang apa saja yang berkaitan dengan nanti saat menjalani biduk
rumah tangga. Aku jujur saja padanya kalau aku belum terlalu mendalami prihal
pernikahan, Zahra memberikanku buku panduan dan banyak menasehatiku.
“Ingat Lis, berkeluarga
adalah menyatukan dua insan, dua perasaan, dua karakter individu serta dua
keluarga. Jadi saranku kamu harus banyak-banyak sabar dan pengertian, andai
nanti ada prilaku pasanganmu yang sangat bertentangan dengan dirimu. Bijaklah,
kalau perlu mengalah, mengalahlah. Jangan sampai api kecil permasalahan yang
tidak bisa ditindaki membakar biduk rumah tangga” pesan Zahra, aku mengangguk
aku sangat tau dia sudah lebih dulu merasakan hal itu.
Hari pun berlalu dan hari
ini aku sudah dirias dengan baju pengantin yang sangat cantik. Aku sendiri
hampir tidak menyangka akan tampil sangat beda, aku memang jarang berhias
sebelumnya. Zahra dan Ririn yang datang melihatku memuji.
“Masya Allah, pengantin
wanitanya cantik sekali” ujar Ririn yang dibalas anggukan oleh Zahra.
“Biasa saja, periasnya yang
handal. Andai bebek dirias pun mungkin akan secantik angsa kerajaan” kataku.
“Kakak bisa saja
becandanya,”
“Yasudah, ayo turun” ajak
Zahra. Ririn lalu beralih membantuku merapikan gaunku yang agak panjang
dibelakangnya. Aku duduk di tempat yang sudah disediakan terpisah dengan
mempelai pria. Sudah ada Mama, auntie Mary dan yang lain disana. Aku masih bisa
melihat acara yang akan berlangsung dari sini.
Kini tiba saatnya acara
utama, yakni akad nikah. Saat moderator menyampaikan hal itu hatiku berdesir.
Aku menatap Zahra dengan mata berkaca, Zahra tersenyum dan memegang tanganku.
Si kecil Fatimah sedang di gendong oleh Mamanya Zahra. Suara ustadz lantang
saat mengucap ijab Kabul, saat semua serentak mengatakan ‘sah’ di ruang tamu
yang disulap semegah mungkin itu air mataku tanpa permisi membanjiri pipiku.
Memoriku berputar saat pertama kali bertemu dengan ustadz, tatapan sinis itu
menjadi awal dari sederet kisah yang menakjubkan ini. Dalah hati kulantunkan
puisi,
Bagiku,
cukup dengan tatapan, tak perlu penjelasan.
Hanya dengan
sesungging senyuman, tak perlu penjelasan.
Pun, hanya
dengan satu picingan mata, dan tak perlu penjelasan.
Bagaikan
tajamnya belati, picingan mata itu sudah cukup sakit mengenai ulu hati.
Sesejuk
embun pagi yang membalut rerumputan, sesungging senyum itu mampu tenangkan
kalbu
Seteduh
pohon ditengah gersangnya gurun pasir, tatapan itu lembut membelai hati.
Hanya
itu....
Bagiku itu
sudah lebih dari cukup,,,
Selesai acara akad. Aku langsung
disandingkan bersama ustadz dipelaminan untuk menerima ucapan selamat serta
do’a dari tamu-tamu yang telah datang. saat menuju pelaminan dadaku kembali
bergemuruh, sejak sekian lama kini aku akan menatap wajah karismaik itu lagi,
dan sekarang sebagai suamiku. Masya Allah, sungguh merupakan rahmat yang tak
terkira rasanya. Ustadz masih terlihat asik mengobrol dengan ustadz Ilham saat
aku sedang dibimbing kearah pelaminan oleh Zahra dan Ririn. Saat melihatku
ustadz Ilham seakan mengerti lalu seakan meminta diri dari ustadz, ustadz
beralih menatap kearahku. Ia sepertinya agak terkesiap, mukaku memerah rasanya
aku salah tingkah tidak tau harus berbuat apa. Ustadz Ilham mengajak Zahra
pergi dari sana, aku semakin canggung. Aku agak menunduk, sebuah tangan terulur
kearahku, aku mendongak.
Cess!! Senyum ustadz sekarang terpatri
di wajahnya yang karismatik itu, aku balas tersenyum lalu menggapai tangannya
yang tadi terulur kearahku. Aku dituntunnya untuk duduk bersebelahan.
“Makasih ustadz,” lirihku. Ustadz
malah terdengar tertawa kecil. Aku menatap kearahnya. Aku berfikir memangnya
apa yang salah denganku.
“Apa kamu mau terus memanggilku dengan
sebutan ustadz sedangkan aku sudah sah menjadi suamimu sayangku,” bisiknya
mesra. Hatiku kembali berdesir, baru kali ini aku mendengar ustadz berkata
semesra itu, lembut sekali. Aku malu.
“Lalu aku harus panggil apa? Ustadz
maunya aku panggil apa?” tanyaku.
“Ya, yang standar itu biasanya Mas,
terserah kamu. “ kata ustadz. Aku jadi teringat sesuatu.
“Oh ya, us, eh maksudnya mas jadi
mengundang anak yatim?” tanyaku. Mas Fahri mengangguk. Aku masih ingat ustadz,
aduh maksudnya mas Fahri pernah berkeinginan untuk mengundang anak yatim di
acara pernikahan, mas Fahri ingin acaranya berkah, dan juga do’a mereka itu
didengar oleh Allah.
Benar saja, sebentar kemudian banyak
sekali anak kecil yang menyalami kami. Usai acara pengkhitbahan auntie Mary aku
berpamitan pada Mama dan Papa serta anggota keluarga yang lain. Aku tidak bisa
tahan untuk tidak meneteskan air mata kala tanganku merengkuh lalu mencium
tangan Mama dan Papa. Aku teringat saat aku dulu menjadi anak yang tidak
berbakti, aku meminta maaf pada Papa. Tangan-tangan itu yang selama belasan
tahun ini tanpa henti mengayomi dan bekerja keras demi melihat aku tumbuh
sehat. Sungguh, tidak ada kasih sayang yang mengalahkan kasih sayang orang tua
kepada anaknya di dunia ini. Allah mengaruniakan rasa sayang yang tak terhingga
pada mereka yang terkadang menomor duakan diri mereka diatas kepentingan
anaknya, dan dalam kurun waktu yang tidak sedikit. Aku kembali terisak di
pelukan Mama. Aku berdo’a dalam hati semoga segala ketaanku pada suamiku
membuahkan pahala atas mereka juga.
Aku sampai di rumah mas Fahri. Rumah
yang tidak jauh berbeda dengan rumahku, karena apa, ternyata di rumah ini ada
taman bunga yang tak kalah indah dari taman yang kami buat di rumah. Bunga
anggrek hutan yang berada di taman itu mengingatkanku akan suatu kejadian, iya
saat aku bertemu mas Fahri di toko bunga.
“Bunga itu spesial untuk menyambut
kedatanganmu dirumah ini,” kata mas Fahri. Aku menoleh kearahnya. Jadi bunga
itu ditujukan untukku. “Nanti juga anggreknya semakin banyak,” tambahnya. aku
terkejut, sejak kapan kesukaanku begitu diketahui. Aku mencoba menerka-nerka
sejak kapan mas Fahri sebenarnya mencintaiku.
“Kalian langsung naik saja ke kamar”
kata Mamanya mas Fahri. Mas Fahri menatapku lalu mengajak keatas. Aku
mengingat-ingat apa yang harus dilakukan saat malam pertama kali memasuki rumah
suami dari buku yang Zahra berikan itu.
Pintu kamar dikunci oleh ustadz, dadaku
bergemuruh. Aku kikuk begitu juga mas Fahri. Diam, hanya suara jangkrik yang
terdengar dan mungkin saja detak jantungku. Sempat kubaca bahwa perasaan grogi
ini merupakan anugerah dari Allah. Mas Fahri seperti tersadar akan sesuatu, dia
lalu mendekat kearahku. Mas Fahri tersenyum manis kearahku, tepat berada di
depan wajahku, dia lalu memegang ubun-ubunku seraya membacakan do’a barakah,
aku mengamini dalam hati. selesai itu aku merasakan sesuatu yang hangat
dikeningku, mas Fahri mencium keningku lama. Aku meneteskan air mata.
“Kita shalat dulu ya” katanya, aku
mengangguk saja menuruti. Aku menngambil wudlu bergantian dengan mas Fahri,
lalu menunaikan shalat sunnah. Kemudian mas Fahri berdo’a kembali. Aku tak
hentinya mengucap syukur dalam do’aku kepada Dzat yang pada-Nya terletak Jodoh
setiap hamba. Usai shalat aku mencium tangan mas Fahri untuk pertama kalinya,
aku ciumi tangan itu yang sekarang sudah sah menjadi suamiku.
Mas Fahri mengajakku menuju balkon,
disana sudah tersedia sopa empuk. Kami duduk berdua disana. Rembulan tersenyum
kearah kami. Mas Fahri memegang tanganku erat, aku menyandarkan kepalaku di
pundaknya sembari tetap memandangi rembulan.
“Kamu tau dek, suatu malam aku
memandangi rembulan dan rembulan itu seketika berubah wujud menjadi wajah yang
sangat cantik, kecantikannya mengalahkan kecantikan rembulan. Kecantikan wajah
itu membuat rembulan cemburu” Aku mengangkat wajahku lalu menatap wajah
berseri-seri itu.
“Lalu?” tanyaku. Sembari mengelus
kepalaku sayang mas Fahri meneruskan ceritanya.
“Wajah itu telah menyihirku,
menyihirku menjadi sosok yang ingin selalu berada di dekatnya, menyihirku
menjadi seorang yang lemah seketika. Aku lemah dihadapkan dengan pesonanya, aku
sempat merasa telah salah dengan hatiku, karena jika aku mencintanya aku akan
tersiksa, menunggu sekian lama sedang ia masih harus meneruskan studinya” aku
tersenyum, aku kini mulai bisa menerka siapa wanita itu. Aku setia mendengar
mas Fahri bercerita.
“Kau tau dek, wajah yang mengalahkan
rembulan itu sempat membuatku harus mencoba melupakannya, aku sempat merasa
tidak bisa mendapatkannya. Karena jika aku memaksanya untuk bersamaku maka aku akan
mendzaliminya. Tapi Allah berkehendak lain, Allah punya rencana yang indah,
sehingga aku sekarang bisa menatap wajah yang mengalahkan rembulan itu tepat
saat rembulan menampakkan keindahannya” mas Fahri beralih mengangkat kepalaku
lalu menatap mataku lekat, aku kikuk. Tatapannya menyiratkan keteduhan
sekaligus kehangatan.
“Tu kan, sudah mas bilang wajah ini
mengalahkan kecantikan rembulan” katanya semakin membuatku malu bercampur rasa
senang. Pipiku memanas. Mas Fahri beralih mencium pipiku mesra, aku kaget.
“Ya
humaira, mas senang melihat wajah kemerah-merahan itu” bisik mas Fahri
lagi. “Sepertinya diluar sini memang dingin. Bagaiman kalau kita masuk saja.”
Katanya lagi. Aku masih diam saja. Mas Fahri sepertinya gemas, dia beralih
menggendongku. Aku kaget. Dia malah tersenyum jahil, pipiku kembali memerah.
Aku takut jika dia kembali berbuat seperti tadi, aku beralih menenggelamkan
wajahku di dadanya yang datar. Kami pun masuk, rembulan masih saja setia
menemani kami. Aku kembali mengucap syukur atas nikmat yang Allah anugerahkan
malam ini.
----
Epilog..
Suatu pagi aku menemukan sebuah
catatan di dalam laci kerja mas Fahri. Aku penasaran karena catatan itu
bersampulkan gambar hati. Aku membukanya, aku membaca lembar demi lembar
catatan itu dengan mata berkaca-kaca. itu tidak lain merupakan catatan hati mas
Fahri.
Bermula dari rasa kasihan dan
prihatin, kini rasa itu telah tumbuh menjadi benih-benih yang setiap saatnya
berbuah menjadi kecambah cinta. Aku bingung sendiri kenapa kecambah cinta itu
tumbuh semakin besar dan menjadi pohon yang tumbuh kokoh di hatiku. Semakin
ingin kucabut pohon itu hatiku malah merasakan sakit yang begitu perih karena
akar-akar cinta itu sudah tertancap dengan kokoh disana.
Wahai Allah, Engkaulah yang memegang hati setiap hamba-Mu.
Apalah artinya aku tanpa belas kasih-Mu. Kasihinnilah hamba-Mu ini yang sedang
dilanda perasaan cinta. Hamba tidak mau kekurangan rasa Cinta terhadap-Mu namun
hamba tidak bisa lepas dari pesonanya. Kasihinilah hamba-Mu ini Ya Rabb.
Tanggalnya persis seperti tanggal aku
baru masuk ke pesantren. di lembar ke berikutnya aku menemukan selembar kertas
kusam, saat kuperhatikan ternyata itu adalah surat yang ku tulis dulu di taman
bunga, aku tersenyum. Aku kembali membaca halaman yang lain, kadang kala aku
tersenyum mengetahui bahwa aku dan mas Fahri merasakan hal yang tidak jauh
berbeda. Aku membaca sesi dimana mas Fahri memutuskan untuk berpacaran dengan
Zahra. Ternyata saat itu mas Fahri sedang dalam keadaan bimbang dan mengetahui
kalau Zahra menaruh hati padanya dari Ririn.
Zahra alangkah halusnya hatimu. Maafkan hamba Ya Rabb telah
melakukan sebuah hal yang sia-sia. Hamba baru tau kalau perbuatan itu adalah
salah. Terimakasih telah memberi jalan agar hamba terlepas dari jerat itu.
Alhamdulillah, jagalah hati ini agar tidak melakukan perbuatan yang
menjerumuskan hamba pada hal yang sia-sia dan membawa mudharat.
Aku baru memahami sekarang, aku sempat
bertanya-tanya kenapa mas Fahri dulu pacaran. Ternyata hanya sebuah kekhilafan
semata, bukankah ustadz juga manusia? Dan dari catatan itu juga aku tau kalau
mas Fahri memendam perasaannya selama ini sama sepertiku. Aku juga tahu kalau
mas Fahri sempat kecewa atas kelakuanku yang pacaran dengan Yusuf. Dan ternyata
ada cerita yang lucu yang ternyata sempat juga aku lakukan saat merasa cintaku
pada mas Fahri tidak real saat itu.
Ya Rabb bantu hamba mulai hari ini untuk mencoba berpuasa
dan menyingkirkan sedikit demi sedikit celah bagi syaitan untuk menjerumuskan
hamba pada nafsu dan perbuatan yang tidak Engkau Ridhoi.
Aku tertawa sendiri karena aku juga
sempat melakukan hal itu. Belum selesai kubaca catatan itu, aku dikagetkan
dengan bisikan seseorang.
“Asyik sekali ya membacanya,” aku
terperanjah kaget. Aku menatap sosok yang tengah tersenyum itu. Aku tersenyum
seakan tak merasa bersalah lalu cepat-cepat memasukan buku itu ke tempatnya
semula.
“Tadi nggak sengaja ketemu mas. Karena
penasaran jadi aku baca” kataku membela diri. “Mas marah?” tanyaku. Mas Fahri
malah tersenyum sayang, aku bernafas lega.
“Kamu memang berhak tau,” katanya
kemudian mengambil kursi lalu duduk di depanku sembari memegang tanganku dan menatapku
sayang. “Selama ini mas saja yang tau perasaanmu. Jadi rasanya tidak adil
sekali kalau kamu tidak tau perasaan mas,” katanya lagi, aku tersenyum
mengingat kalimat terakhir yang kubaca.
“Jadi mas dulu juga pernah berpuasa?”
tanyaku menahan tawa. Mas Fahri mengangguk. Dia menyentil hidungku sayang.
“Semua itu karenamu istriku, tapi
disanalah letak indahnya cinta dalam balutan rasa takut pada Allah. pada
akhirnya larinya ke ibadah. Aku mencintaimu dengan dasar agama Islam yang luar
biasa menyanjung kesucian cinta, aku bersyukur kita dipertemukan dalam cinta
kasih Islam,” mataku berkaca.
“Aku menemukan matahari yang baru,
yang tak kalah dengan matahariku yang dulu” ujarku masih dengan mata
berkaca-kaca. “Aku bersyukur. Tapi jika aku menangis apakah akan mengotori
cahayanya?” lirihku lagi. Mas Fahri seketika itu menarikku kedalam pelukannya.
Pelukan hangat penuh cinta, nikmat Tuhan yang mana lagi yang tak patut ku
syukuri?
“Menangislah, air matamu sama sekali
tidak akan mengotori matahari itu. Tanpa hujan pelangi tidak akan hadir
menghiasi dunia yang cerah ini. Tanpa hujan hati yang penuh dengan cahaya
matahari itu akan gersang, jadi menangislah. Karena mataharimu ini sama sekali
tidak tersakiti dengan hujan itu, matahari ini akan menerima dengan lapang,
karena akan hadir pelangi setelahnya,”
Gerimis menghiasi pipiku yang tengah
berada dalam hangatnya pelukan matahariku. Pelangi kebahagiaan menghiasi
hatiku. Terimakasih Rabb. Jagalah cinta kami agar tetap berada dalam balutan
Cinta Kasih-Mu Ya Rabb. Alhamdulillah.
subhanallah ukht... :)
BalasHapushehe, Alhamdulillah. hanya jari jemari kecil ini yang mampu menguraikan sedikit saja dari kisah yang termaktub dalam hatiku.
BalasHapusAaaahhh mata perih melototin monitor terusss,,, heeee jadi gk puas bacanya....... pesanya jadi kurang nyampe,,, heee salam kenal yaaa :)
BalasHapusiya, salam kenal juga ya. terimakasih udah mampir dan menyempatkan baca karya yang tak seberapa ini, hehe. jangan bosan untuk mampir dan baca ya. jazakillah.
Hapus