lanjutan cerpen without rain sampai akhir


“Coffe late,,”
“Coffe late,,’’ kataku hampir berbarengan dengan orang yang dibelakangku. Setelah pelayan pergi aku penasaran dengan orang yang memesan sama denganku tadi. Aku membalikan tubuhku dan saat itu dia juga sedang melakukan hal yang sama denganku.
DEG!
Mataku melotot begitupun dengan orang yang ada di depanku ini.
“Alisa,,” ujarnya. Aku menelan ludahku dengan susah payah.
“Ustadz Fahri,,” timpalku masih tidak percaya. Tak beberapa lama ustadz menyunggingkan senyum khasnya itu. Lalu ustadz mengambil tempat duduk di depanku. Baru saja aku ingin bertanya bagaimana hubungan mereka ustadz lebih dulu menyapa dengan sentilan di dahiku.
Pletak!
“Aww,,!!” aku spontan meringis kesakitan dan cemberut, dia malah menatap dengan tatapan horornya. Aku jadi tidak bisa berkutik. Aku menatap seakan bertanya salahku apa?
“Kenapa kamu bisa tidak datang ke acara pernikahan temanmu, Zahra menunggu dengan cemas, sampai sekarang dia masih menunggu kabar darimu” katanya. Aku kaget, loh bukannya aku yang menunggu untuk diberi kabar darinya. Aku kan sudah memberinya alamat E-mailku.
“Maafkan saya ustadz,” sesalku.
“Loh kok sama ustadz minta maafnya,” kata ustadz.
“Ya kan sama aja, ustadz bisa sampein nati sama Zahra lewat telpon” kataku.
“Tidak semudah itu, ustadz tidak bisa seenaknya menghubungi orang yang sudah punya suami,,” mataku kembali melotot. Ustadz tersenyum, aku tau sepertinya dia mengerti dengan ekspresiku sekarang.
“Ustadz ini becanda aja, kan suaminya Zahra ustadz, jadi sama aja to?” sepersekian detik ustadz tertawa lepas, aku menyernyitkan dahi. Aku sebal. Sebentar kemudian ustadz menyudahi tertawanya yang lebay tadi.
“Jadi kamu tidak datang karena mengira yang menikah dengan temanmu itu adalah ustadz,,” kata ustadz sambil santai menyeruput coffe late yang telah tersaji di depan meja. Aku bengong, jadi orang yang menikah dengan Zahra itu orang lain? Aku tersenyum dalam hati supaya ustadz tidak tau aku pura-pura cemberut.
“Ih Geer sekali ustadz ini,,” kataku menimpali, “Waktu itu jadwal keberangkatan Alisa bertepatan dengan kabar menikahnya Zahra. Alisa nggak bisa seenaknya gitu dong ngebatalin keberangkatan, “
“Oww,,” kata ustadz seolah aku hanya tengah membuat alasan, tapi memang benar adanya. Aku sudah tidak berselera sekali dengan coffe late yang ada dihadapanku, tapi tidak mungkin akan kubiarkan saja dia dengan kepulan asapnya yang semakin menipis. Dengan mood yang kurang baik kunikmati coffe late itu.
“Jadi, Zahra menikah dengan siapa ustadz?” tanyaku.
“Dengan temannya ustadz, namanya Ilham” jawab ustadz
“Jadi ustadz kalah cepat dong sama teman ustadz itu,”
“Oh tentu tidak, ustadz memang sudah lama tidak berhubungan dengan Zahra. “ aku hanya menganggik takzim. Ustadz lalu menyodorkanku nomor hp Zahra.
“Sekarang Zahra sudah punya hp, jadi kamu bisa mengabarinya.”
“Terimakasih ustadz,,” ustadz hanya tersenyum.
Selama menikmati coffe late ustadz bertanya tentang kegiatanku disini, dimana aku tinggal dan lain sebagainya.
“Berarti seharusnya kamu kenal dengan adiknya ustadz dong” kata ustadz.
“Ustadz punya adik yang kuliah disini juga?” tanyaku.
“Iya, ustadz kesini untuk menjenguknya, dan insya Allah untuk kedepannya ustadz akan menetap cukup lama disini untuk melanjutkan S3 ustadz,,”
“Oww,,” aku ber ‘o’ ria seolah tidak terlalu terkejut dengan apa yang dikatakan ustadz, namun sebenarnya didalam hatiku aku tersenyum karena bisa saja nanti aku bertemu sesekali dengan ustadz. Ustadz tersenyum melihatku, ah pasti dia tau aku sedang berbohong, susah sekali menyembunyikan ekspresi di depan ustadz. Aku memalingkan wajahku ke arah lain.
“Kemungkinan ustadz akan kuliah di universitas yang sama dengan adiknya ustadz,,” aku hanya merunduk menatap meja, sok tak peduli sembari bergumam menanggapi. “ustadz juga akan tinggal di kawasan sekitar sini,,” tambahnya, dari nadanya aku tau ustadz tengah memancing reaksiku.
“Oww,,” aku kembali bergumam.
“Ya sudah sepertinya kamu sedang tidak enak badan, dari tadi mukamu sudah memerah, sebaiknya kamu pulang cepat ya, ustadz masih ada yang harus di urus. Assalamu’alaikum” kata ustadz melenggang pergi sembari tersenyum jahil setelah tadi menaruh bayarnya. Aku menghela nafas panjang dan menatap punggung ustadz yang semakin jauh meninggalkan cafe. Apa yang harus aku rasakan sekarang, haruskah aku senang? Atau bagaimana, aku tidak mau berharap banyak.
Dirumah aku mencoba menghubungi nomor hp Zahra. Alhamdulillah nyambung.
Assalamu’alaikum,,” suara yang sudah tidak asng lagi ditelingaku, Zahra.
“Wa’alaikumussalam, Ra” jawabku, aku ragu-ragu menyebut nama Zahra. Aku merasa bersalah sekali.
Alisa?? Ya Allah ini kamu Lis, bagaimana kabarmu?” aku menghela nafas panjang.
“Aku minta maaf ya Ra,,” ungkapku.
Oh, soal itu. Tidak usah di pikirkan, aku bisa mengerti posisimu. Aku juga minta maaf sebab tidak pernah menghubungimu,”
“Kenapa jadi kamu yang minta maaf, oh ya aku dapat nomor hpmu dari ustadz Fahri. Kebetulan sekali kami bertemu disini,”
Oh ya? Kenapa ustadz bisa sampai sana?
“Katanya beliau mau melanjutkan S3 nya disini”
Ow, kamu apa kabar Lis?
“Alhamdulillah baik, kamu sendiri bagaimana, sudah ada tanda-tanda kehamilan belum?”
Alhamdulillah sudah satu bulan,,”
“Benarkah? Alhamdulillah, “
Aku lega sekali Zahra tidak kecewa padaku, walau sebenarnya aku tau dia memang tidak pernah bisa marah. Apalagi marah, mengeluh pun aku tidak penah mendengar hal itu dari mulutnya. Saat ditanya dia akan membuat mulut kita terkatup untuk seterusnya, “Untuk apa kita mengeluh, toh pada akhinya kita akan menjalaninya seberat apa pun masalah itu, kan?” begitulah jawabannya.
....................

Hari berganti, aku senang karena komunikasiku sekarang sudah sepeti biasa lagi dengan sahabatku, Zahra. Subhanallah, aku memang beruntung telah diberi sahabat seperti Zahra oleh Allah. Jika ku telepon pasti dia selalu bercerita tentang betapa bahagianya dia bisa diberi kepercayaan oleh Allah untuk merawat jabang bayi yang masih ada dalam rahimnya. Dan banyak hal lagi yang terus dia ceritakan tentang makhluk kecil yang terus berkembang setiap hari itu.
Zahra juga menceritakan tentang kenapa bisa yang menikah dengannya bukan ustadz Fahri melainkan temannya ustadz Fahri yang bernama Ilham itu. Katanya, ada kejadian dimana hubungan mereka renggang karena ustadz Fahri ditugaskan mengajar di salah satu pondok yang juga satu ketua yayasan dengan pondok tempatku sempat nyantren waktu itu.
Dan entahlah Lis, saat itu kami berdua merasa tidak srek’ lagi jelas Zahra lewat telepon waktu itu. Zahra pun bercerita bahwa dia dan ustadz Fahri sama-sama bersepakat untuk mengakhiri hubungan mereka secara baik-baik.
Dan bisa jadi kejadian saat itu merupakan jalan yang sudah ditentukan Allah tambah Zahra. Iya, karena dengan kejadian itu ustadz Ilham yang saat itu adalah pengganti ustadz Fahri untuk mengajar di pondok berkesempatan mengungkapkan persasaan yang ternyata sudah lama ia pendam pada Zahra. dan ustadz Ilham pun meminang Zahra dan melangsungkan pernikahan saat Zahra lulus SMA.
Hari ini cukup melelahkan, tapi Alhamdulillah hari ini juga semua tugas yang mengggunung beberapa minggu ini terselesaikan dengan baik. Aku keluar dari perpustakaan kampus sembari meregangkan badan yang pegal. Aku melangkah dengan ringannya, ingin rasanya aku segera pulang lalu mengistirahatkan tubuh ini dan memanjakannya dengan air hangat, ah subhanallah pasti enak tuh. Saat menuju rumah kusempatkan membeli beberapa cemilan dan kopi cup untuk Kakek dan Nenek. Saat sampai dirumah ada mobil pengangkut barang yang keluar dari rumah yang tepat disebelah rumah Kakek. Rumah itu sudah lama ditinggalkan oleh pemiliknya, katanya sih mau dijual, mungkin ada yang sudah membelinya, batinku.
Aku mlangkahkan kaki melewati rumah tadi sembari sedikit mengintip suasana di dalam.
“Kamu sedang apa?” aku tersentak saat sedang mengintip dari gerbang rumah tetangga. Nenek yang terlihat membawa belanjaan menatapku bingung.
“Ini Nek, sepertinya ada penghuni rumah kosong ini, tadi Lisa lihat mobil pengangkut barang keluar dari sini’’
“Ow, iya kemarin Nenek bertemu dengan yang orang yang menempati rumah ini. Kemarin juga dia kesini, anak muda dan orang Indonesia juga. Sepertinya pemuda itu anak yang ramah, pasti menyenangkan karena akan punya tetangga dari negara sendiri, tidak perlu berbicara bule-bule kan?’’ jelas Nenek.
“Begitu ya,,’’
“Yasudah ayo masuk, Nenek kebetulan belum masak. Nanti tolong kamu bantu Nenek masak ya? Nanti bila perlu kita ajak tetangga baru kita untuk makan bersama, untuk mempererat silaturrahmi kan?’’ aku mengangguk takzim lalu beranjak menuju gerbang rumah.
Selesai masak Nenek meminta kakek untuk sekalian memanggil tetangga baru yang katanya dari Indonesia itu. Kata kakek tidak ada orang disana, sepertinya penghuni rumah sedang pergi.
 “Yasudah lain kali saja,,’’ kata Nenek. Kami melanjutkan makan siang.
---------
Di kantin kampus aku dan Caterin membicarakan tentang acara yang akan diadakan oleh SOI dau hari lagi. Pada awalnya aku tidak berniat ikut karena banyaknya tugas, tapi alhamdulillah tugas kemarin jadi melebihi targetku. Acara itu akan diadakan dalam rangka pengumpulan amal untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus. Acara itu akan diselenggarakan selama dua malam tiga hari.
“Alisa,,’’ panggil seseorang dari belakang, ternyata Yusuf. Yusuf melangkahan kaki menghampiriku dan Caterin. “Aku boleh duduk disini,,’’ katanya.
“Silahkan,,’’ kataku.
“Aku mau membicarakan soal acara hari kamis besok, aku harap kamu mau ikut’’
“Insya Allah,, aku mau minta izin dulu sama Nenek kalau memang Nenek tidak keberatan aku ikut,’’
“Yasudah, nanti sehari sebelum pergi aku hubungi ya. Kalau begitu aku pamit, assalamu’alaikum,,’’
“Wa’alaikumussalam,,’’ setelah Yusuf beranjak Caterin menyenggol lenganku.
Lelaki tadi, sepertinya dia suka padamu,’’ aku menatapnya.
“Suka bagaimana? Nggak mungkin banget, banyak kan cewek muslim yang lebih baik dan lebih cantik daripada aku di SOI. That’s impossible, right?’’
“Kita lihat saja nanti, tempo beberapa minggu lihat bagaimana tabir cinta akan terkuak,,’’ katanya sok puitis sekaligus dramatis. HE
--------
Aku sudah meminta izin pada Nenek untuk kegiatan SOI besok. Nenek tidak keberatan Nenek malah sangat terkesan karena masih ada pemuda yang peduli dengan orang lain, bukan hanya terus mementingkan dirinya sendiri,
Saat makan siang, Nenek bilang tetangga yang kemarin pindah itu sedang beres-beres rumah. Nenek memintaku untuk mengantarkan mereka makanan karena kebetulan Nenek masaknya cukup banyak hari ini.
“Ini, tolong kamu antar mkanan ini ya,,’’ pinta Nenek. Aku mengangguk, sekalian kenalan sama tetangga baru, batinku. Aku keluar rumah dengan membawa rantang platik yang terasa hangat. Gerbangnya dibiarkan terbuka, aku pun masuk dan berjalan melewati halaman yang di hiasi tanaman yang kurang terawat, pasalnya pemilik rumah sebelumnya sudah cukup lama meninggalkan rumahnya.
Aku mengetuk pintu yang terbuka lebar, tidak ada yang menyahut. Aku mengintip kedalam, barang-barang sudah tertata dengan rapi tapi ada beberapa kardus yang masih terlihat bertumpuk.
“Assalamu’alaikum,,’’ sapa seseorang dari belakangku. Aku menoleh.
“Loh, Yusuf? Kok kamu bisa disini?’’ tanyaku melihat sosok Yusuf.
“Aku sekarang tinggal disini, kamu sendiri ngapain disini dan membawa rantang pula,,’’ katanya melihatku membawa rantang plastik.
“Oh, aku tinggal dirumah sebelah, dirumah Nenek. Aku diminta Nenek buat ngasih ini ke tetangga baru, katanya kebetulan kamu lagi beres-beres rumah,,’’ paparku.
“Alhamdulillah, Nenek kamu baik sekali. Oh ya berarti sekarang kita tetanggaan ya?’’ tanyanya, aku hanya mengangguk sembari tersenyum. “Nah, kebetulan sekarang kamu disini jadi aku tidak perlu menghubungimu, bagaiman dengan keputusanmu untuk acara besok?’’ tanyanya lagi.
“Ah ya, alhamdulillah Nenek sangat mendukung acara itu, jadi Nenek memberikan izin’’ jawabku.
“Syukurlah, kalau begitu karena sekarang kita tetanggaan,besok kita bisa pergi bersama kan?’’ tanyanya lagi.
“Boleh,,’’ timpalku.
Prang...
Terdengar suara berisik dari dalam, kami berdua menoleh kearah dalam. Aku menatap Yusuf dengan tatapan tanda tanya.
“Kamu tinggal bersama orang tuamu?’’ tanyaku.
“Nggak, aku tinggal berdua dengan kakakku. Oh ya kamu mau masuk nggak?’’  tanyanya.
“Terimakasih, tidak usah aku masih ada hal yang dikerjakan’’ kataku. “Aku pamit dulu,,” kataku sembari memberikan makanan yang tadi.
“Sekali lagi terimakasih ya atas makanannya, sampaikan salamku pada Nenekmu, terimakasih banyak.’’
“Iya, tak perlu sungkan lagi, yaudah ya Assalamu’alaikum,,’’pamitku.
“Wa’alaikumussalam,,’’
Aku menyampaikan salam Yusuf pada nenek.
“Tu kan, apa Nenek bilang anaknya baik dan sopan bukan? Pemuda yang seperti itu cocok dijadikan pacar,,’’ nasehat Nenek. Lah, kenapa jadi larinya kesana?
“Alisa udah kenal baik sama dia kok Nek, Alisa kan sering ketemu dengannya di kampus,,’’ jelasku.
“Ow, tambah bagus itu,, dia tampan kan Lis. Sepertinya kamu cocok juga kalau disandingkan dengan pemuda ramah itu,,’’ kata Nenek semakin menjadi-jadi.
“Insya Allah kalau memang jodoh Nek,,’’ kataku. ’’ Alisa keatas dulu ya Nek,,’’ pamitku. Nenek yang sedang membuatkan Kakek kopi hanya mengangguk.
Dari balkon rumahku aku bisa melihat rumah yang ditempati Yusuf tadi. Aku bisa melihat taman serta dua kamar yang barada di lantai dua. Yang kemarin-kemarin hanya terlihat kamar yang tirainya tertutup dan gelap. Sekarang sudah bisa terlihat sinyal-sinyal kehidupan disana. Aku teringat dengan kata-kata Nenek tadi yang mengatakan bahwa aku itu cocok dengan Yusuf, tapi aku belum merasakan perasaan yang spesial padanya.
Aku mengambil kursi santai dan mengambil novel lalu mebaca dengan santai di balkon. Sebentar berselang tercium aroma cofee late, aliran saraf-saraf di otakku seakan memutar sebuah memori berkesan yang ada hubungannya dengan bau cofee late. Ah, aku ingat dengan jelas sekarang, memori itu adalah saat aku pertama kali bertemu ustadz Fahri satu minggu yang lalu di cafe. Setelah kejadian itu wajah ustadz Fahri terngiang di otaku, aku senang bercampur sedih saat itu, aku senang karena ternyata bukan ustadz yang menjadi suami Zahra, sahabatku. Tapi disisi lain aku merasa bersalah karena dengan rasa cemburu itu aku tidak menghadiri hari paling bahagia dari sahabatku.
Beberapa hari ini aku memang lupa dengan kejadian di cafe itu karena tugas yang bejibun. Tapi karena aroma tadi aku jadi harus mengingat semuanya kembali. Entahlah, aku tersenyum sendiri saat mengingatnya. Harapan itu kembali terhujam ke dalam hatiku yang dulunya sempat terkubur. Tapi aku masih belum mengerti dengan ustadz, aku tidak tau dia menganggapku seperti apa, di satu sisi tatapannya seakan menunjukan rasa iba dari seorang guru kepada murid, dan disisi lain aku merasa ustadz meemandangku layaknya adik kecil yang patut di kasih tau dan di tuntun. Dan di satu sisi yang mungkin saja hanya persepsiku semata, bahwa dibalik semua perhatian itu, ada satu perasaan bahwa ustadz akan mengaggapku lebih dari hal yang telah kujabarkan diatas. Tapi jika demikian aku yang akan merasa malu, karena jika dibandingkan denganku, aku sangat jauh dengan ustadz Fahri, dari segi ilmu, iman maupun akhlak, jika mengingat itu aku jadi putus harapan.
Lama aku semakin tenggelam dalam lamunan bersama ustadz Fahri, aku berhayal jika dalam kesibukannya, dalam kejudesannya, dalam segala tingkahnya itu. Ada sat dimana ternyata dia juga sedang memikirkanku, sedang menatapku dari seberang sana. Sedetik kemudian aku tersadar lalu menggeleng keras.
“Astagfirullah, Ya Allah kenapa aku jadi seperti ini. Maafkan hamba Ya Rabb.’’ Aku menutup buku dan hendak beranjak dari sana. Saat ku arahkan pandanganku kearah luar, aku melihat sosok yang tadi berkeliaran di otakku, melihatnya sedang memperhatikanku sembari duduk dan menikmati cofee late. Aku semakin menggeleng keras, dan terus melafadzkan istigfar dengan keras agar sosok itu menyingkir dari benakku sambil berjalan menuju kamarku. Ku tutup pintu yang mengarah ke balkon dan kucoba untuk tidur dan berharap semua yang terjadi tadi bisa hilang bersama dengan kesadaranku yang makin lama semakin lemah dan tergantikan oleh dengkuran yang halus.
------------
Paginya aku sudah siap dengan perlengkapan untuk acara SOI. Aku mengirimkan Caterin sms agar nanti kami bertemu di kampus. Aku keluar setelah tadi berpamitan dengan Kakek dan Nenek.
Saat sampai di gerbang ternyata Yusuf sudah menunggu, kami pun jalan menuju halte bersama. Yusuf sangat asik kalau diajak bicara, selalu nyambung dengan topik yang kita bicarakan. Dan sepanjang jalan menuju halte Yusuf banyak bercerita tentang kuliahnya, kenpa dia memilih kuliah disini, dan bagaimana ketatnya Kakaknya jika sudah berbicara soal pendidikan, makanya Yusuf tidak diberi fasilitas yang terlalu mewah, katanya kalau menuntut ilmu itu yang paling bagus itu cara pake cara yang sederhana. Istilahnya niatnya itu harus belajar jangan sampai terkotori arena niat pamer ilmu. Makanya Yusuf pun sudah tebiasa dengan semua itu, dan kalau ke kampus Yusuf menggunakan sepeda, hanya hari ini saja tidak pakai karena ada aku, aduh jadi merasa nggak enak.
Saat tiba di kampus Caterine melihatku turun dari bus yang sama dan berjalan bersama dengan Yusuf. Dia tersenyum jahil.
“Ini belum terhitung minggu lo, sudah ada kemajuan sepesat ini. Kalian sudah jadian?’’ tanyanya menyelidik.
“Hus,, ada-ada aja. Aku dan dia itu sekarang tetanggaan, makanya jalannya bareng..’’ Cateine hendak berceloteh lagi, tapi Kakak tingkat sudah memanggil untuk berkumpul.
Kita berangkat menggunakan bus, dan tidak memakan waktu lama kami sampai di tempat tujuan. Sebuah yayasan yang menampung anak-anak yatim dan keterbeakangan mental. Kami disini akan membantu apa saja yang bisa kami bantu, dan jauh-jauh hari panitia yang lain memang sudah menyelenggarakan beberapa acara peduli amal dan alhamdulillah terkumpul sekian banyak uang. Uang itu kami serahkan ke kepala yayasan saat baru sampai, ketua yayasan menyambut hangat kedatangan kami dan sangat berterimakasih atas semua bantuan yang kami berikan.
kami juga diberikan fasilitas penginapan yang layak oleh para pengurus disini. Ketua panitia membagi kami menjadi beberapa kelompok, ada yang bertugas membantu memasak, ada yang bertugas mengurus anak kecil, dan ada yang bertugas mengajar membantu para tenaga pengajar disini. Aku, Caterin dan Yusuf kebetulan satu kelompok dibagian mengjar. Dan tugas kami mulai siang ini.
Ini adalah pengalaman yang sangat luar biasa buatku, walaupun terkadang capek menghinggapi karena paginya kita semua harus membantu panitia beres-beres kamar dan lain-lain. Tappi saat melihat wajah anak-anak disini, melihat tawa canda mereka yang lepas membuat kami semua ikut larut dalam rasa bahagia mereka. Aku terpikir bagaimana jika itu anakku sendiri, haha.
“Damai ya rasanya melihat tawa mereka, mereka polos dan tanpa dosa.’’kata Yusuf tiba-tiba datang. Aku hanya mengangguk sambil tetap fokus dengan anak-anak yang sedang bermain di kelas. “Lis, kamu sudah punya pacar?,’’ tanya Yusuf. Aku memalingkan wajahku kearahnya, alisku mengkerut.
“Belum, memangnya kenapa?’’ tanyaku.
“Nggak kok, cuma nanya aja,,’’ katanya lalu beralih melihat anak-anak. “Ayo, kita mulai mengajar’’ ajaknya lagi. Aku hanya mengikutinya dari belakang.
Kegiatan terus berlangsung sampai hari ketiga, ini hari terakhir kami disini. Pagi-pagi sekali kami disambut oleh anak-anak kecil yang membawa kue. Katanya mereka yang membuatnya sendiri sebagai ucapan terimakasih karena kami telah bersama mereka tiga hari ini. Benar saja, kuenya sangat menggambarkan mereka, kue yang dihiasi begitu banyak hiasan warna warni. Ah, walau begitu rasanya sangat bahagia melihat tangan-tangan mungil itu membawa nampan kue lalu dengan senyum ceria mereka berkata terimakasih. Aku tidak tahan untuk memeluk makhluk kecil tanpa dosa itu. Ya Allah, aku sungguh tidak bersyukur, aku sering mengeluh karena hal yang sangat sepele, tapi mereka dengan segala keterbatasan mereka, mereka tetap tersenyum dan menjalani hari dengan penuh semangat.
Setelah acara perpisahan kecil-kecilan yang berkesan itu berakhir kami pun pamit untuk pulang pada semuanya dan pada kepala yayasan.
“Kami harap lain kali kalau ada waktu kalian mampir kesini,,’’ harap kepala yayasan.
Bus yang membawa kami pulang datang, kami semua naik dengan perasaan yang berat. Aku melihat kearah belakang, melihat anak-anak kecil dengan wajah polos sambil melambaikan tangan mungilnya. Aku tersenyum, lalu membalas lambaian mereka. Aku masuk dengan berat hati, aku duduk bersama Caterin di dekat kaca. Aku kembali melambaikan tangan saat bus mulai bergerak meninggalkan tempat itu. Di tengah perjalanan Yusuf maju dan berdiri ditengah-tengah bus yang sedang bergerak sembari memegang alat pengeras suara. Apakah dia mau menghibur kita yang letih karena acara tiga hari ini? Batinku.
“Maaf jika mengganggu waktu istirahat kalian,’’ katanya membuka. “Aku berdiri disini ingin menyampaikan sesuatu pada seseorang,,’’ katanya sembari menatapku.
Deg!!
Aku kaget, apa maksudnya menatapku sepetri itu? Aku mulai merasa tidak enak, agaknya ini akan rumit.
“Aku hendak mengungkapkan perasaanku pada seseorang disini, sejak dulu aku ingin mengatakannya tapi belum ada waktu yang tepat. Dan sekarang sepertinya hari yang tepat dan disaksikan oleh kallian semua.’’ katanya. Tepuk tangan mengudara seketika saat Yusuf menghentikan perkataannya.
“Dia sosok yang apa adanya, sederhana, dan baik hati. dia si penyuka kopi yang sekarang kebetulan telah resmi menjadi tetanggaku, dia,,’’ kata Yususf menggantiung, semua hening. “Alisa,,’’
Seketika riuhlah seisi bus, aku hanya bisa tertunduk malu saat dipanggil dan dilihat oleh teman-teman yang lain. Caterine menyenggol lenganku, aku menatapnya horor, jujur aku sangat malu. Aku harus bilang apa sekarang, mati aku, batinku.
“Tolong tenang sebentar,’’ kembali Yusuf berbicara, ’’ Maaf untuk Alisa, aku tidak bermaksud lancang tapi aku merasa ini waktu yang sangat tepat. Tapi aku tidak akan memaksamu menjawab sekarang, aku akan menunggu jawaban darimu. Aku hanya ingin kamu tahu perasaan aneh yang kurasa beberapa minggu ini, dan ternyata itu adalah perasaan cinta,,’’
------
Aku terbangun dari tidurku, aku teringat akan kejadian kemarin saat Yusuf mennyatakan perasaannya padaku. Sepulang dari sana aku meminta Caterine untuk mengantarku pulang, aku malu harus jalan bersama Yusuf. Aku mengambil air wudlu lalu shalat subuh. Usai shalat matahari mulai memancarkan semburat kuning keemasan. Aku membuka pintu yang menuju ke balkon menghirup udara segar, mencoba menetralisi perasaan tidak enak yang kubawa sampai tidur tadi malam. Aku meregangkan otot-ototku. Terdengar suara orang yang tengah menggunting tanaman dari arah rumah Yusuf. Rajin sekali Yusuf sepagi ini membereskan halaman rumah, batinku. Aku penasaran lalu mencoba memperhatikan asal suara itu. Sayangnya hanya punggungnya yang sedang memotong tanaman saja yang nampak, tapi kenapa Yusuf terlihat lebih tinggi dari sebelumnnya, atau mungkin saja itu Kakaknya yang pernah diceritakan waktu itu padaku. Karena cahaya dari matahari tubuh itu semakin jelas terlihat. Aku seperti tidak asing dengan postur tubuh itu, seperti pernah kulihat, gaya rambutnya dari belakang.
“Tunggu,, itu seperti ustadz Fahri,’’ gumamku. “Wah sepertinya aku demam, dan sekarang mulai ngaco pengelihatanku, suka sih suka tapi masak semua orang jdi terlihat seperti ustadz Fahri,,’’ aku pun beranjak dari balkon. Sepertinya aku harus mandi agar otaku bisa berfikir dengan lancar.
“Lis, hari ini kamu libur kan ?’’tanya Nenek saat kami sarapan.
“Iya Nek, ada apa ?’’ tanyaku.
“Kakek mau minta bantuanmu, kebetulan hari ini Kakek dan Nenek mau mengurus tanaman dibelakang rumah,sudah lama tidak diurus. Mumpung kamu libur Kakek mau minta kamu buat nganter bingkisan ini ke rumah aunti Mary. Kamu masih ingat kan?’’ tanya Kakek. Aku mengangguk.
“Beres Kek, Lisa juga masih ingat apartmennya kok, selesai makan Lisa langsung berangkat sekalian ada yang Lisa pengen beli.’’
“Coba kamu belajar motor atau sekalian mengemudikan mobil, kamu bisa pake mobil Kakek, atau nanti Kakek belikan motor kalau memang kamu maunya pake motor’’ kata Kakek.
“Jalan kaki itu sehat Kek, Lisa nggak mau nanti jadi manja, kemana-mana pake motor.’’ timpalku.
Selesai sarapan, kakek memberikan bingkisan berwarna cokelat yang ukurannya tak terlalu besar. Aunti Mary sebenarnya sudah diajak tinggal disini bersama kami tapi dia bersih keras ingin hidup mandiri dari uang hasilnya mengajar, mengajarnya pun di kampus tempatku kuliah hanya saja aunti mengajarnya untuk mahasiswa yang mengambil jurusan S2 dan S3. Dia memang sangat panatik, bisa dibilang begitu terhadap pendidikan. Makanya di usianya yang sangt muda itu, berkisar 26 lah dia sudah menyabet gelar .... Aku memang tidak terlalu sering bertemu aunti tapi jika sedang ada acara keluarga dan kami sempat ngobrol pasti aunti akan selalu memberi motivasi tentang pendidikan.
Aku melewati rumah Yusuf, aku mengintip sedikit. Kelihatannya sepi. Lalu kulangkahkan kaki sampai halte bus lalu berangkat menuju apartmen aunti Mary. Tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu 10 menit. Saat sampai di apartmen auntia aku langsung menuju lift dan menekan tombol 17. Lalu lift pun meluncur ke lantai yang dimaksud.
Setelah lift berhenti aku berjalan menuju kamarnya aunti Mary. Ku pencet bel sekian kali, pintu terbuka.
“Alisa,, disuruh Kakek ya?’’ tebak aunti, aku mengangguk. “Ayo masuk, aunti lagi ada tamu tapi,,’’ kata aunti.
“Tamu cowok ya? Siapa?’’ selidiku.
“Mahasiswa auntie,’’
“Ah, nggak asik,,’’ kataku menyesal
“Kamu ini,,’’ aunti mengacak-acak jilbabku. “Mereka berdua orang Indonesia,,’’ jawab aunti. Saat tiba diruang tamu aku mlihat ada dua orang yang satu cowok dan yang lainnya cewek cantik dengan rambut tergerai rapi.
“Maaf tadi sampai mana?’’ tanya auntie pada kedua orang tadi, “Alisa ayo duduk disini,’’ ajak aunti. Sontak cowok yang menggunakan kemeja coklat itu menatap kearahku, aku melongo.
“Ustadz Fahri,,’’ ujarku. Ustadz hanya tersenyum simpul. Aku beranjak duduk didekat aunti.
“Kamu kenal dengan Fahri?’’ tanya aunti. Aku mengangguk.
“Alisa ini santri saya dulu di pondok pesantren,,’’ jelas ustadz Fahri. Perempuan yang sedang duduk di dekat ustadz Fahri itu tersenyum ramah padaku. Aku membalas senyumnya.
“Ini Bela, ustadz dan dia teman satu universitas dulu, dan ternyata kita juga mengambil universitas yang sama sekarang’’ kata ustadz memperkenalkan perempuan tadi. Aku hanya mengangguk.
“Saya Alisa, muridnya ustadz Fahri’’ kataku memperkenalkan diri.
“Aku Bela,,’’ jawabnya ramah.
Pembicaraan pun berlangsung cukup lama. Karena merasa tugasku sudah selesai aku pun hendak pamit. Sebenarnya aku juga merasa risih, melihat ustadz sesekali bercengkrama akrab dengan mbak Bela. Uh, sebel.
“Auntie, Lisa pulang dulu ya. Kakek dan Nenek sedang mengurus taman, sepertinya butuh bantuan Alisa.’’ kataku.
“Ow, begitu ya. Yasudah, aunti titip salam aja sama Kakek dan Nenek ya’’ ujar aunti. Aku mengangguk lalu berpamitan.
Saat sampai di loby apartmen aku mencari mencari hpku, dan aku baru ingat kalau aku meninggalkannya di apartmen aunti Mary. Aku beranjak menuju lift. Saat lift terbuka munculah sosok ustadz Fahri, bersama mbak Bela tentunya. Aku tersenyum kearah mbak Bela.
“Mau kembali mencari ini,,’’ ujar ustadz Fahri memperlihatkan hpku. Aku mengangguk. Ustadz memberikan hp yang tengah dia pegang kepadaku.
“Mbak Bela Lisa duluan ya,,’’ pamitku pada mbak Bela. Sebelum mendapat persetujuan aku sudah pergi duluan. Saat berjalan menuju halte aku dikejutkan dengan suara klakson motor. Aku menoleh, ternyata ustadz Fahri.
“Mau ikut?’’ tanya ustadz
“Mbak Bela ditinggal?’’ tanyaku balik.
“Apartmennya kan deket sini, sudah ustadz anter kok tadi,,’’ jawab ustadz.
“Ow,,’’ aku ber ‘o’ ria.
“Nih pake helm.’’ perintah ustadz. Aku masih diam. “Ayo, ini perintah’’ kata ustadz lagi. Aku pun memakai helm dan naik ke motor ustadz. Aku memposisikan diri agak belakang. Sepanajang jalan aku terus saja diam, aku grogi, jujur. Aku hanya bisa menatap punggung ustadz Fahri.
“Nggak usah grogi,,’’ kata ustadz Fahri tiba-tiba. Kebiasan sekali ustadz ini.
“Nggak kok, oh ya aunti Mary itu dosen ustadz?’’ aku pura-pura bertanya agar ustadz tidak melanjutkan omongannya.
“Iya, ustadz mulai kuliahnya lusa’’ jawam ustadz, “Bu Mary itu tante kamu?’’ tanya ustadz balik.
“Iya,,’’
Karena keasyikan ngobrol aku sampai nggak sadar udah nyampe depan rumah. Aku agak kaget, aku bukannya belum kasih tau ustadz kalau aku tinggal di sini?
“Tau darimana ustadz kalau Lisa tinggal disini, Lisa kan belum ngasih tau ustadz?’’ tanyaku.
“Loh, sudah satu minggu jadi tetangga masak ustadz tidak tau,,’’ aku melongo, “Kamu lupa waktu di balkon, kamu kan lihat ustadz waktu itu’’ kata ustadz.
“Loh itu bukan hayalan toh?’’ kataku pada diri sendiri.
“Apa? Hayalan?’’ Tanya ustadz yang sepertinya mendengar gumamku tadi. Aa,, ustadz tau, waktu itu kamu lagi mikirin ustadz dan kebetulan kamu lihat ustadz dan,, dan kamu kira itu sekedar hayalan?’’ tebak ustadz.
“Eh nggak kok ustadz, bukannya gitu’’ aku mencoba mencari alasan. “Loh, jadi Yusuf itu adiknya ustadz?’’ tanyaku mengalihkan pembicaraan. Alhamdulillah aku bisa mengelak, batinku.
“Iya, kalian saling kenal?’’ tanya ustadz “Pantas saja,,’’ kata ustadz.
“Pantas apa?’’ tanyaku.
“Yusuf sering mengintip ke kamar kamu,’’ kata ustadz.
“Lisa, kamu udah pulang?’’ tanya Nenek dari dalam. Nenek mendekat kearahku dan ustadz. “Loh, nak Fahri, kenapa tidak masuk. Ayo masuk dulu, tamu kok dibiarkan berdiri diluar sih Lis,’’ kata Nenek.
“Tidak perlu Nek,’’
“Nenek sudah lama ingin mengajak nak Fahri ke rumah tapi tidak ada waktu melulu, sekarang kebetulan nak Fahri sudah disini, jarang sekali bisa kedatangan tamu dari kampung sendiri’’ kata Nenek. Ustadz Fahri pun tak bisa mengelak dan ikut masuk bersama Nenek.
Nenek memanggil Kakek yang baru saja selesai merapikan taman di belakang rumah. Saat berkumpul di ruang tamu Nenek memerintahakanku membuat minuman.
“Ini loh yang sering Nenek ceritakan itu Lis, ternyata memang sudah kenal. Bagus kalau begitu’’ kata Nenek memulai pembicaraan.
“Kebetulan dulu sewaktu di Indonesia Lisa ini santrinya Fahri di pesantren Nek’’ kata ustadz Fahri.
“Terus nak Fahri ini sudah punya pacar?’’ tanya Nenek. Aku kaget, aduh Nenek ada-ada saja yang ditanyakan. Ustadz tersenyum simpul.
“Sampai saat ini belum Nek,’’ jawab ustadz.
“Kebetulan sekali, Lisa juga belum punya pacar. Dan nak Fahri ini anak yang baik, benar kan Kek?’’ lanjut Nenek meminta pendapat Kakek. Aku melotot seakan berkata apa-apaan sih. Aku hanya bisa merunduk.
“Ah, Nenek terlalu memuji, Fahri juga manusia biasa Nek, masih sering khilaf dan berbuat salah’’ tukas ustadz.
“Bagaimana kalau siang ini nak Fahri ikut makan disini’’ ajak Nenek.
“Aduh kalau itu kayaknya Fahri tidak bisa Nek. Fahri kan tinggal bersama adiknya Fahri, ’’ jawab ustadz.
“Kalian hanya berdua? Terus yang masak siapa?’’ sekarang Kakek yang memotong.
“Kebetulan dulu Fahri sudah terbiasa hidup mandiri jadi Fahri bisa masak sekedar untuk sehari-hari’’
“Kurang apa lagi nak Fahri ini ya Kek, tampan, cerdas , sopan, jago masak pula’’ puji Nenek kesekian kalinya.
“Nenek ini terlalu berlebihan,’’ ustadz lagi-lagi harus menyangkal.
Hp ustadz berdering. Ustadz menghentikan aktivitasnya lalu mengambil hp yang terletak di kantong celananya. Ustadz mengisyaratkan untuk ke belakang sebentar untuk mengangkat telepon. Dari kejauhan ustadz terlihat berbincang-bincang dengan seseorang diseberang sana via telepon, dan sebentar kemudian hp dimatikan. Ustadz lalu berjalan mendekati kami lagi.
Maafkan Fahri ya Kek, Nek, tapi sepertinya Fahri tidak bisa ikut makan siang. Mm, adik Fahri sedang dirawat di rumah sakit’’ jelas ustadz Fahri. Mataku terbelalak.
Yusuf kenapa ustadz?’’ tanyaku setelah susah payah menelan sisa air minum yang masih di tenggorokanku.
Yusuf kecelakaan ringan tadi, katanya saat bersepeda dia keserempet mobil’’ papar ustadz.
Aku ikut ke rumah sakit kalau begitu,,’’ timpalku. Ustadz memicingkan mata, aku mengangguk mantap. Aku meminta izin pada Kakek dan Nenek, dan mereka mengizinkan. Aku pun mengikuti ustadz Fahri dari belakang setelah tadi mengambil tasku di kamar.
Perjalanan tidak memakan waktu yang lama untuk sampai di sebuah rumah sakit yang cukup besar yang di depan terpampang jelas nama rumah sakit bertingkat ini. ‘GLORIA HOSPITAL’. Aku langsung turun dari motor ustadz Fahri dengan perasaan yang tidak karuan, sepanjang jalan kesini aku tidak berhenti memikirkan keadaan Yusuf. Setelah memarkir motornya ustadz pun mengajakku masuk ke rumah sakit. Setelah bertanya sebentar di bagian administrasi, dan kami pun meluncur langsung ke tempat yang diberitahuan oleh staf tadi.
Sesampainya di ruang tempat Yusuf dirawat, ustadz langsung menghampiri sang adik yang tengah tergeletak di kasur dengan perban membalut kepala serta kaki kirinya. Yusuf yang tadi tengah memperhatikan pasien disebelahnya, kini memalingan wajah kearah kami datang. Kelihatannya Yusuf heran melihat aku datang dengan ustadz Fahri.
Apa kata dokter tadi?’’ tanya ustadz Fahri.
Aku nggak apa-apa kok kata dokter, aku hanya pelu istirahat dan dirawat barang satu atau dua hari disini sampai lukaku agak mendingan’’ papar Yusuf.
Tapi tidak ada luka yang serius kan?’’ tanyaku menyela. Yusuf menatapku lalu tersenyum manis.
Iya, aku hanya luka biasa kok, nggak parah katanya.  Aku menghela nafas lega. Lalu, kenapa Alisa bisa datang bareng dengan Kakak?’’ Tanya Yusuf pada ustadz Fahri.
Oh, kebetulan tadi Kakak sedang diundang oleh Kakek dan Nenek Alisa untuk makan siang, dan mendengar kamu sedang dirawat di rumah sakit dia memaksa ingin ikut’’ jelas ustadz Fahri.
Kakak kenal dengan Alisa?’’ kembali Yusuf bertanya seperti hendak mengintograsi.
Iya, Alisa adalah salah satu santri Kakak dulu di pondok’’
Apa jangan-jangan Alisa adalah cewek yang dulu kakak taksir?’’ ustadz ingin mengelak.
Bukan,,’’ kataku langsung memotong, Itu bukan aku, tapi, temanku yang bernama Zahra’’ jelasku.
Ee,, Yah, itu tadi, benar yang Alisa bilang,, he’’ jawab ustad kikuk. Yah, menurutku ustadz masih menyesali keputusannya waktu itu. Keputusannya untuk melepaskan Zahra begitu saja. Mungkin beliau merasa belum ada yang bisa menggantikan Zahra dihatinya, jadi sampai sekarang ustadz tidak mau mencari pasangan. Susah sekali mendapatkan wanita yang memiliki akhlak seperti Zahra di zaman sekarang.
Bagus kalau begitu’’ lirih Yusuf. Aku mengerti apa maksudnya itu dan sampai sekarang aku masih belum bisa menjawab pernyataan cintanya waktu itu.
Ustadz Fahri pergi untuk shalat ashar, dan jadilah tinggal aku yang menjaga Yusuf, karena kebetulan aku sedang berhalangan untuk shalat. Dan Yusuf, karena belum mampu untuk jalan dia pun wudlu dengan tayamum lalu shalat diatas ranjangnya. Sembari menunggu Yusuf selesai shalat, aku membaca novel yang belum selesai kubaca.
Selang beberapa menit Yusuf selesai menunaikan shalat. Aku duduk di dekat ranjangnya. Atmosfer sekitar terasa aneh, canggung dan hening, kecuali suara beberapa orang di ranjang sebelah. Satu menit, dua menit, masih hening.
Mm,, Lis,,’’ kata Yusuf membuyarkan keheningan. Aku minta maaf, waktu itu,,’’ Yusuf terlihat seperti berfikir. Saat itu, aku kira mengumumkan kepada semua teman-teman adalah hal yang paling benar. Tapi ternyata aku hanya mengacaukan semuanya. Aku menyesal sekali sudah membuatmu malu waktu itu’’ sesalnya.
Sudahlah, aku sudah melupakan kejadian itu,,’’ Yusuf dan aku banyak ngobrol, dia juga menceritakan bahwa temannya yang terkenal playboy lah yang telah mengajarnya untuk mengungkapkan perasaannya seperti itu. Aku bersyukur karena sampai saat ini Yusuf tidak menanyakan jawabanku atas pengungkapan cintanya waktu itu. Kurang lebih sepuluh menit kami ngobrol lalu ustadz Fahri menghampiri kami, dan karena sudah sore ustadz mengajakku untuk pulang. Aku pun berpamitan pada Yusuf untuk pulang, Cepat sembuh ya Suf,’’ kataku sebelum benar-benar keluar dari pintu. Aku berjalan di lorong rumah sakit bersama ustadz Fahri, aku terus saja memikirkan Yusuf, lebih tepatnya cemas, saking seriusnya aku memikirkan Yusuf aku pun tidak memperhatikan jalan dan hampir saja di tabrak oleh suster yang hendak membawa pasien, untung saja ustadz langsung menarik lenganku menjauh.
Yusuf akan baik-baik saja insya Allah’’ ujar ustadz yang selalu seakan tau apa yang ada di pikiranku. Ustadz dari saat kita berangkat tadi kelihatan murung, aku merasa bersalah di saat seperti ini, aku tidak tau apa yang sekarang tengah di pikirkan ustadz, sedangkan ustadz selalu bisa tau akan segala keresahan yang tengah kurasakan, dan disaat seperti itu beliau pasti akan menegurku dan menasehatiku walau terkadang dengan kritikan yang tajam. Aku tidak mampu membaca pikiran ustadz, maaf ustadz dalam keadaan seperti ini aku tak berguna sama sekali, maafkan muridmu ini ustadz.
Jangan murung terus, yang semangat. Jangan terus menerus menyalahkan diri sendiri,,’’ aku tersenyum karena sekarang sepertinya perasaan ustadz sudah mulai membaik. Alhamdulillah.
Ustadz, Mia boleh nanya nggak’’, ustadz hanya bergumam sambil terus berjalan. ’’ pada saat ustadz merasa lelah dengan dunia, apa yang ustadz lakukan’’ ustadz menatapku sembari tersenyum. Ustadz duduk sebentar di taman rumah sakit yang tidak jauh dari tempat parkir.
Ustadz akan pulang,’’ aku menyernyitkan dahi, Pulang ke pelukan Dia Yang telah Menciptakan ustadz, kamu dan jagad raya ini’’ aku mulai mengerti arah pembicaraan ustadz. “Mengingat betapa Allah telah murah hati memberikan ustadz tubuh yang sempurna, Allah juga telah mengirimkan ustadz dua malaikat penjaga yakni kedua orang tua ustadz. Dan yang pasti Allah telah berkenan memberikan ustadz iman yang dengannya juga Allah datangkan banyak ilmu serta hikmah dalam kehidupan ustadz, dan banyak lagi nikmat-nikmat Allah yang tidak mampu kita hitung walaupun dengan alat hitung tercanggih sekalipun’’ Subhanallah, ilmu lagi yang saya dapatkan dari ustadz.
Kata-kata beliau selalu saja bak mutiara yang sangat berharga, itulah kenapa aku tidak pernah merasa mengantuk saat beliau mengisi pelajaran di kelas dulu. Karena jika aku tertidur maka aku akan kehilangan mutiara yang amat sangat berharga.
Ustadz, Mia boleh minta nomor hp ustadz nggak’’
Buat apa?’’
Yah, nanti kalau ada yang Mia ingin tanyakan prihal agama, kan Mia bisa langsung tanyain sama yang ahli, ya kan’’ kataku. Ustadz pun mengeluarkan hp beliau lalu membacakan nomernya.
‘Kerang’ aku menyimpan nama ustadz dengan nama itu. Karena menurutku ustadz tidak beda jauh dengan kerang mutiara penghasil mutiara, walau agak aneh tapi makna yang tersimpan itu lo yang dalem.
Call ustadz,biar sekalian ustadz save juga nomer kamu’’ kata ustadz, aku pun mengikuti perintah ustadz. Selesai bertukar nomor telepon kami pun beranjak dari taman lalu pulang.
------------
Satu minggu setelah Yusuf kecelakaan akhirnya dia di izinkan pulang oleh dokter. Tapi, dia masih di rawat di rumah dan belum bisa kuliah. Sepulang kuliah Nenek memanggilku untuk membantunya masak.
“Nenek masaknya banyak sekali, aunti Mary mau berkunjung ya nek?’’ tanyaku.
Bukan, Nenek sengaja memasak sekalian untuk mnjenguk adiknya Fahri yang sakit itu,’’ jawab Nenek.
Bukannya kita sudah mnjenguknya beberapa kali?’’ tangan Nenek repleks mencubit pinggangku, aku spontan saja meringis. Aww,, sakit Nek,’’
Semakin sering malah akan semakin bagus, apalagi nak Fahri itu kan orang yang sopan dan baik. Nenek sering dibantu kalau sedang membawa barang bawaan yang banyak, Nenek juga sering diajak ngobrol, Kakek juga kadang dibantu menata taman.’’ Cerita Nenek sembari asik memasak.
Nah, Kakek mana. Lisa tidak lihat dari tadi’’ tanyaku, biasanya kalau tidak di taman belakang, pasti Kakek sedang membaca buku sore-sore seperti ini.
Kakek sedang belajar,,’’ aku menatap Nenek dengan tatapan tanda Tanya. Iya, Kakek sedang di rumah nak Fahri, sedang belajar ngaji’’ aku tersedak dengan wortel yang sedang ku makan.
Alhamdulillah, yang benar saja Nek/’’ tanyaku masih tak percaya.
Nenek juga awalnya kaget, tapi mendengar Kakek sering membahas tentang bagaimana sosok nak Fahri bisa membuat Kakek jatuh hati dan ingin mengenal Islam lebih jauh, Nenek tidak heran sama sekali’’
Memangnya sebegitu dekat ya Kakek dengan ustadz Fahri?’’
Kalau permasalahannya kedekatan, kenapa Nenek yang sudah puluhan tahun bersama Kakek malahan Kakek tidak menghiraukan ajakan Nenek. Nak Fahri itu special, kata Kakek dia nyaman saat ngobrol dengan nak Fahri, dia tidak menggurui dan juga tidak memaksa, dan saat bersama Kakek dia juga bisa menempatkan diri layaknya teman seusia yang bia diajak ngobrol segala hal’’ aku takjub mendengar cerita Nenek.
Lisa boleh ikut nggak Nek, Lisa kepengen lihat Kakek yang belajar ngaji’’ pintaku.
Bisa. Kalau begitu cepat selesaikan, biar kita cepat menyusul ke rumah nak Fahri’’ kata Nenek.
Setelah mandi, aku dan Nenek membawa bekal yang cukup banyak menuju rumah yang di tempati ustadz Fahri. Taman depan yang dulu tidak terawat sekarang tampak asri, persis seperti taman yang ustadz buat di belakang pesantren. Tapi bedanya yang ini lebih luas. Nenek mengetuk pintu lalu mengucap salam.
Pintu terbuka dan menampakkan sosok karismatik itu. Lengkung di bibirnya terpatri,
Nenek, Alisa, silahkan masuk’’ ajak ustadz Fahri ramah. Aku dan Nenek pun masuk berbarengan. Terhitung sudah tiga kali dengan hari ini aku memasuki rumah ini, itu karena Nenek yang selalu mengajakku menemaninya menjenguk Yusuf. Ruang tamu yang cukup luas ini tidak pernah berubah, selalu rapi dan bersih. Kakek terlihat tengah duduk santai dengan Yusuf di kursi tamu. Aku dan Nenek serta utadz Fahri pun bergabung.
Lukanya udah mulai sembuh Suf?’’ tanyaku.
Alhamdulillah, Insya Allah besok mungkin aku udah bisa masuk kuliah,’’ katanya.
Aku turut senang mendengarnya,’’
Obrolan pun berlanjut setelah Nenek mulai bertanya banyak hal pada ustadz Fahri, dari hal sepele sampai prihal agama. Kakek juga, yang mulanya di rumah hanya membicarakan pekerjaan dan taman, perlahan sepertinya mulai jatuh hati pada hal yang berbau agama. Alhamdulillah.
Kalau nak Yusuf sudah punya pacar atau belum?’’ Tanya Nenek tiba-tiba. Aduh  mulai deh Nenek. Aku dan Yusuf repleks saling tatap.
Belum Nek,’’ jawab Yusuf. Aku menghela nafas.
Kek, Nek sepertinya sudah masuk waktu shalat magrib, kita shalat berjamaah disini, bagaimana’’ usul ustadz Fahri. Kami pun mengiyakan, lalu mengambil wudlu dan shalat berjamaah. Ustadz Fahri yang jadi Imamnya. Selesai shalat kami juga makan malam bersama, awalnya aku menolak tapi apa boleh buat kata ustadz makanannya nanti mubazir karena terlalu banyak.
Keesokan harinya aku lihat Yusuf sudah masuk kuliah, dan juga mulai aktif lagi di organisasi. Tapi ada yang beda rasanya, Yusuf sekarang lebih pendiam dan kurang semangat entah apa yang ia pikirkan. Tapi kudengar gosip dari teman satu organisasi, setelah kejadian Yusuf di bus waktu itu dia mulai terlihaat murung. Ada juga kabar yang mengaatakan kalau penyebab kecelakaannya dia waktu itu karena rasa bersalahnya padaku, Ya Allah sampaai segitunya kah.
Aku jadi merasa bersalah, sepulang kuliah aku mencoba mengajak Yusuf bicara di taman. Dia agak kaget saat melihatku, tampak seperti orang yang paranoid.
Kamu nggak apaa-apaa kan Suf?’’ tanyaku.
Tentu, aku ngaak apa-apa kok’’ jawabnya ragu.
Kalau masalahnya tentang kejadian waktu itu, aku harap kamu tidak terlalu memikirkannya. jika memang kehadiranku di organisasi buat kamu jadi merasa risih, aku bisa mundur kok,,’’ kataku. Yusuf langsung memandangku.
Apa? Lis, aku memang merasa bersalah karena waktu itu. Tapi tidak semata-mata karena itu, sungguh. Jangan karena ego kamu jadi menyerah dalam dakwah ini, jangan egois Lis’’ kata Yusuf tegas, aku jadi bergidik ngeri. Sedetik kemudian air mukanya berubah, seperti menyesali perkataannya tadi. Ya Allah Lis, maaf tadi aku terbawa emosi. Aku mengaku salah, aku tak seharusnya membawa masalah pribadi ke dalam organisasi’’ ujar Yusuf mulai terlihat biasa.
Iya, aku nggak apa-apa kok,’’ jawabku. Aku juga tidak seharusnya mengungkit soal organisasi, dan membawanya kedalam masalah pribadi’’ sesalku.
Aku memang salah dalam hal ini Lis, tapi sekarang aku sadar ternyata aku juga egois, tapi aku minta kamu jangan keluar dari organisasi. Untuk agama Lis’’ kata Yusuf. Aku tersenyum, Yusuf memang mewarisi karakter ustadz Fahri, kalau berbicara soal agama, tidak pernah main-main.
Baik, insya Allah aku akan istiqomah di organisasi ini, tapi kamu juga janji nggak murung lagi lo,,’’ pintaku. Yusuf hanya tersenyum malu.
Selepas itu aku dan Yusuf pulang bersama, di pejalanan kami ngobrol seperti biasa. Yusuf juga punya sisi humoris, beberapa kali aku tertawa dibuatnya.
Aku masih heran, Kakek begitu antusiasnya belajar ngaji pada ustadz Fahri. Padahal aku dan Nenek sering sekali mengajak Kakek untuk ngaji tapi tidak pernah di gubris, pasti dijawab dengan candaan’’ aku menyinggung sedikit prihal perubahan Kakek.
Yang itu ya, aku juga sampai sekarang menjadi fans berat kak Fahri. Mulai dari akhlak, pengetahuan, pengalaman, aku sangat jauh dibawah kak Fahri’’
Jangan putus asa begitu dong. Itu artinya kamu punya kesempatan untuk belajar lebih banyak lagi, ustadz Fahri bisa jadi pecut buatmu, dengan selalu melihat ustadz kamu akan selalu bersemangat mengejar ilmu dan memperluas wawasan. Nah, siapa tau nanti kamu malah jadi lebih baik dari beliau, insya Allah’’ hiburku. Yusuf malah tersenyum seraya tertawa kecil.
Aku baru melihat sisi Alisa yang barusan,’’ katanya. Aku menatapnya dengan tatapan tanda Tanya. Aku suka sisimu yang seperti ini Lis, sisi Alisa yang pemberi semangat, yang dewasa dan apa adanya’’ kata Yusuf.
Baru tahu aja sih,,’’ kataku sok, Yusuf hanya tertawa mengiyakan. Saking asyik ngobrol tak terasa kami sudah sampai di depan gernang rumah Yusuf. Yusuf mempersilahkanku untuk berjalan duluan kearah gerbang rumah. Aku menatap ke belakang dan Yusuf masih setia menunggu diluar sampai aku masuk, aku tersenyum kearahnya lalu masuk.
-----
Alisa, segera datang ke kampus. Nanti sore akan ada seminar yang mengundang banyak tamu penting. Ini akan jadi seminar terbesar selama SOI didirikan. Begitu bunyi pamphlet yang kubaca di madding kemarin’’ kata Caterin dari seberang sana.
Kenapa aku tidak diberitahu Yusuf kemarin’’ tanyaku.
Yusuf dan kita kan bukan di defisi acara, jadi wajar belum tau, tapi tadi sudah ada yang menyebarkan info kok, jadi pagi ini juga semua anggota serta semua defisi di perintah untuk berkumpul’’ tambah Caterin lagi.
Kenapa mendadak sekali’’ protesku.
Menurut isu yang beredar, katanya ini bukan hanya sekedar seminar biasa. Salah seorang mahasiswa disana akan menjadikan seminarnya itu sebagai salah satu tugasnya. Nah, kebetulan organisasi kita dimintai bantuan’’ jelas Caterin.
Ow, yasudah sampai ketemu di kampus ya. Aku sudah pakai baju, selesai sarapan insya Allah aku akan langsung berangkat ke kampus’’ kataku lalu menutup telepon. Sebenarnya hari ini adalah hari libur. Tapi aku juga tidak bisa ketinggalan acara seminar SOI, dari mana lagi coba aku bisa menambah wawasan islam kalau bukan dari sana serta buku. Selesai sarapan tadi, aku langsung berangkat ke kampus. Kulihat sekilas tadi kediaman ustadz Fahri terlihat sepi, pasti Yusuf sudah dari tadi berangkat ke kampus, batinku. Aku berjalan semakin cepat menuju halte bus. Tak menunggu lama sampai aku tiba di kampus. Kampus tampak sepi, aku berjalan menuju ruang UKM. Sudah ada Caterin dan yang lain termasuk Yusuf disana, acara sudah dimulai sejak tadi kelihatannya. Aku pun langsung bergabung.
Untuk masng-masing defisi, silahkan melaporkan kesiapannya’’ jelas ketua SOI.
Beberapa orang dari perwakilan setiap defisi berbicara, mulai dari defisi acara sampai defisi konsumsi, yang anggotanya adalah termasuk aku dan Caterin.
Dari laporan masing-masing defisi, keseluruhan sudah siap ya. Jadi sekarang kita masih punya waktu untuk melengkapi kekurangan-kekuarngannya. Jadi kalian bisa langsung bergerak sekarang, dan sebelumnya terimakasih’’ perintah ketua. Semua langsung bubar, aku dan Caterin berkumpul bersama defisi konsumsi yang lain membicarakan tentang kelengkapan bahan makanan.
Sesuai dengan laporan defisi acara tadi. Kali ini tamu yang diundang cukup banyak, dosen yang akan ikut lumayan banyak, jadi mungkin kita akan membutuhkan biaya yang lebih kali ini, juga tenaga yang lebih banyak untuk membawa cemilan’’ tutur salah seorang teman lelaki. Kalau biasanya kan hanya saya dan beberapa teman, sekarang saya harapkan kita semua harus bekerja tanpa terkecuali, bias?’’ Tanya Irwan namanya. Kami pun menyetujui.
Irwan memerintahkan kami untuk mengikutinya ke tempat biasa ia langganan cemilan. Mobil Caterin yang akan digunakan untuk mengangkut cemilan. Sampailah kita disebuah bangunan yang berukuran cukup besar. Tempat ini menyediakan pesan catering dan lain sebagainya. Kami turun dan mulai bekerja mengangkut camilan yang cukup banyak kemobil Caterin, karena tidak muat akhirnya di pindahkan beberapa ke mobil teman yang lain.
Setelah sampai di kampus, kami pun lagi-lagi harus kerja rodi untuk mengangkut cemilan tadi. Cukup memakan banyak tenaga. Saat melihat kami Yusuf langsung saja ikut membantu. Selesai tugas, aku pergi ke ruang UKM sebelah pojok, tempat biasa aku shalat kalau sedang ada kegiatan di kampus.
Selesai shalat defisi yang sudah tidak ada tugas diperbolehkan untuk pulang mandi dan sebagainya. Tapi ketua memerintahkan untuk datang satu jam sebelum acara dimulai. Aku pulang berama Caterin.
Lis, aku nggak usah pulang aja ya, nanti dari rumahmu kita berangkat bareng ke kampus kata Caterin. Aku mengiyakan. Sampai dirumah aku dan Caterin langsung mandi, makan dan langsung berangkat. Waktu kita memang tidak banyak.
Aku dan Caterin gabung di defisi konsumi, kak Ita terlihat sangat sibuk disana. Kak Ita juga salah satu mahaiswa asal Indonesia. Jilbab besarnya tidak menghalangi keaktifannya di SOI.
Kak Ita, maaf ya kami baru datang’’ sesalku pada kak Ita. Kak Ita tersenyum kearah kami ramah.
Biar saja, kak Ita seneng kalian sudah mau gabung di SOI. Dulu itu kakak kerjanya Cuma berdua sama Fatimah’’ jawab kak Ita.
Kenapa kak Ita nggak ngusul sebagai defisi acara aja,’’ aku iseng bertanya sembari merapikan snack. Kak Ita kembali tersenyum, manis sekali.
Apapun defisinya, kita tetap satu. Nanti kalau kakak di defisi acara, yang menyiapkan makanan siapa? Dimanapun kita dek, yang penting niat kita. Insya Allah sama aja di mata Allah, sama-sama punya peran penting dalam mempertahankan dakwah dijalan-Nya’’ kata kak Ita, aku mengangguk mengerti. Aku sempat merasa minder karena ditaruh di defisi konsumsi, tapi mendengar kata kak Ita tadi, aku berubah pikiran, aku malu rasannya pernah berfikir seperti itu. Lihat kak Ita, sama sekali tidak mengeluh, karena niatnya baik, tidak peduli ditaruh dimana yang penting semua karena Allah. Masya Allah.
Nggak usah minder ya karena kita ditaruh di defisi konsumsi. Mungkin defisi konsumsi memang tidak sering terlihat, selalu dibelakang panggung. Tapi, bukan itu tujuan kita dek. Ibaratnya rumah , jika kita ibaratkan defisi konsumsi sebagai bagian yang kurang penting seperti genteng, oh tidak, paku aja yang lebih kecil. Maka walaupun rumah itu sudah punya pondasi yang kuat sekalipun, tidak akan sempurna kalau tidak ada paku yang mempererat kayu-kayunya. Begitu juga kita di SOI dek, mau dia defisi yang sering muncul di depan panggung, atau sembunyi sekalipun semua dibutuhkan dan saling mendukung untuk kepentingan dakwah’’ nasehat kak Ita. Kak Ita mengubah persepsiku tentang defisi konsumsi. Aku merasa semakin bersemangat.
Iya ya kak, Alisa jadi malu sempat minder’’ kataku.
Ah, itu hal biasa kok dek. Kakak juga sesekali pernah terbetik perasaan minder didalam hati. Tapi setelah kakak fikir-fikir bukan itu tujuan kita. Yang namanya setan itu memang tidak senang melihat kita ikhlas dek, tapi lawan saja, mereka itu memang musuh yang benar-benar nyata’’ papar kak Ita lagi. Teman-teman yang di defisi acara dan lainnya yang biasa sering tampak di muka umum juga punya cobaan mereka masing-masing. Kalau kita terkadang minder, mereka malah lebih berat dek, jadi, nggak main-main di defisi acara. Anggap saja sekarang mereka terkenal karena sering tampil menjadi pembicara di depan umum, sesekali pasti terbetik perasaan bangga, berbeloklah sedikit niat mereka. Yang dulunya karena Allah, bisa berbelok menjadi karena ketenaran, tapi insya Allah kalau kita selalu ingat kepada Allah, kepada niat awal kita, maka segala cobaan itu mampu menjadikan derajat kita lebih tinggi di sisi-Nya, insya Allah’’ jabar kak Ita panjang lebar.
Masya Allah, ikhlas itu memang berat ya kak’’ kataku lagi.
Memang, tapi jangan putus asa, karena kita bersama-Nya. Insya Allah, Allah akan membantu hamba-Nya yang menyebarkan ayat-ayat-Nya di muka bumi ini’’
Alhamdulillah Ya Rabb, Kau kirimkan kak Ita untuk mengingatkanku. Terimakasih, batinku bersyukur didalam hati.
Titttt,,,,,,
Microfon di ruangan berdering, sepertinya acara akan segera dimulai.
Cepat selesaikan, sepertinya acara segera mulai’’ kata kak Ita, kami mengangguk mengerti dan melanjutkan pekerjaan yang Alhamdulillah tinggal sedikit. Ruang di lantai dua yang diubah menjadi tempat acara sudah dipenuhi dengan banyak orang termasuk dosen-dosen yang sudah diundang. Aku dan Caterin mengantar snack ke tamu yang sudah datang, aku sudak tidak minder lagi sekarang. Aku membagikan snack dengan senyum yang mengembang di wajahku, kuharap niat kami yang tulus sampai pada mereka. Amin.
Setelah beres di tamu kami kembali lagi ke belakang. Kak Ita mendapat telepon dan memintaku untuk mengantar snack ke para narasumber. Aku agak malu karena harus mengantarnya sendiri, tapi yang lain juga tengah sibuk. Aku masuk membawa empat paket snack, lalu membagiaknnya ke para narasumber satu persatu. Aku berhenti sejenak, aku kaget karena melihat ustadz Fahri juga menjadi dalah satu narasumber disana, usadz sedang mengobrol dengan teman di dekatnya dan masih belum melihat keberadaanku. Aku segera memberikannya snack, ustadz melihatku sejenak lalu tersenyum. Aku pun berlalu dari sana.
Aku mengajak Caterine untuk ikut duduk di tempat peserta. Acara berlangsung beberapa puluh menit, kini tiba saatnya untuk narasumber utama menyampaikan materinya. Moderator kemudian mempersilahkan sang narasumber utama untuk maju di podium yang sudah di sediakan. Ternyata yang menjadi narasumber utama adalah ustadz Fahri, jadi ustadz yang dibilang mahasiswa itu. Selang beberapa saat setelah ustadz berdiri di podium, seorang wanita berparas cantik dengan rambut sebahu masuk kedalam ruangan, lalu duduk di tempat khusus narasumber tadi seraya memperbaiki blazer warna hijau yang dipadu indah dengan celana jeans panjang. Sesaat wanita tersebut menatapku lalu tersenyum manis, dia adalah aunti Mary. Aku pun balas tersenyum padanya. Seperti biasa ustadz dengan gaya khasnya yang penuh semangat serta dengan teori filosofisnya dalam menjelaskan materi keagamaan tak ayal mengahdirkan tepuk tangan yang meriah dari para peserta, begitupun dengan dosen-dosen yang hadir termasuk aunti Mary. Dilihat dari raut wajah aunti, sepertinya dia sangat puas dan bangga melihat presentasi dari ustadz Fahri tadi.
Saat acara selesai aunti mengajakku untuk ikut, aku pun pamit pada para senior dan juga Caterine. Di perjalanan banyak bertanya tentang kuliahku, dan seperti biasa aku selalu dinasehati tentang pentingnya berpengetahuan tinggi. Ternyata keras kepalanya Kakek memang menurun ke aunti Mary. Lalu aku iseng mulai menanyakan tentang calon suami pada aunti.
Belum ada,’’ jawab aunti singkat.
Nggak seru sekali, sebenarnya bukannya nggak ada, hanya saja aunti yang selalu menjauh saat ada seorang pria yang mencoba mendekati aunti,’’ kataku, aunti hanya tersenyum mendengarkanku yang sedanng kesal. Aunti ingat kan dulu, bagaiman Uncle Jakson dan uncle Bryan begitu gigih mendekati aunti, tapi auntinya malah sengaja tidak memberi respon yang berarti. Mau nunggu apa lagi sih aunti’’ kataku lagi.
Kamu memang selalu gigih dalam masalah yang satu ini ya, memangnya kenapa kalau aunti belum menikah, toh aunti baik-baik saja walau tidak ada pendamping aunti’’ jawab aunti. Aunti memang selalu saja keras kepala, ditambah dengan pemikirannya tentang kebebasan, tapi walau pun aunti masih tidak mau merubah keyakinannya aku akan tetap berusaha keras meyakinkan aunti, terutama soal pernikahan. Aunti memang sempat menganggap dirinya itu beragama Kristen, tapi aku tidak pernah melihatnya ke Gereja, bahkan aksesoris serta hal-hal berbau Kristen tidak tampak pada dirinya. Tapi ada untungnya, jadi kalau aku mengajaknya masuk Islam, aunti tidak punya alasan keagamaan untuk menolak, sama dengan Kakek waktu itu.
Aunti hampir lupa, kamu kenal dengan Fahri kan?’’ Tanya aunti tiba-tiba, aku mengangguk.
Iya, Memangnya kenapa aunti’’ tanyaku penasaran.
Nggak, hanya saja dia mahasiswa pertama yang membuat aunti tertarik, aunti beberapa kali harus bungkam saat debat diluar kelas dengannya. Apa lagi tentang agama. Kamu tau kan aunti ini bagaiaman kalau berbicara tentang agama, saat itu aunti sempat mengajaknya debat dan aunti bilang kalau agama itu buta tehnologi, dan juga amat mengekang dan tidak mengahargai kebebasan individu’’ aku tertari mendengar cerita aunti.
Terus, terus ustadz Fahri jawab apa’’ tanyaku antusias. Aunti tersenyum seraya melanjutkan ceritanya.
Dengan santainya dia menjawab, kalau memang agama mengekang dan buta tehnologi, lalu kenapa sebagian besar orang di dunia ini menganut agama, katanya. Aunti lalu menyangkalnya lagi. Aunti bilang karena mereka yang menganut agama merasa putus asa akan kehidupan, dan kebanyakan mereka yang tidak mampu menggenggam dunia’’
Lalu’’ tanyaku lagi antusias.
Katanya lagi, memang seperti yang kita lihat kebanyakan orang seperti itu. Tapi coba ibu lihat isi Al-Qur’an, kitab umat islam. Didalamnya sebagian besar juga berisi tentang ilmu pengetahuan dan isinya pun jika dikaji berupa argument-argumen yang bisa dijadiakan pandangan hidup yang kuat. Andai ibu juga bisa membaca sejarah Islam dahulu, para pembesarnya itu memiliki peran yang sangat penting di bidang ilmu pengtahuan. Lalu, jika memang agama itu terbelakang kenapa sekarang khususnya agama Islam tersebar luas di belahan dunia manapun bukankah mereka perlu uang untuk membiayai proses penyebaran tersebut. Lalu apakah itu yang disebut malas-malasan. Dan perlu ibu ketahui selama kurang lebih 5 abad, peradaban dunia pernah dipimpin oleh kepemimpinan Islam, Islam pernah menjadi pemimpin dunia. Begitu katanya saat aunti bertanya,’’
Reaksi aunti bagaimana/’’ tanyaku lagi.
Aunti hanya bisa bungkam,’’ jawab aunti.
Aunti belum tau kabar yang lebih menghebohkan kan/’’ kataku, aunti melirikku. ’’ Kakek sekarang mau belajar mengaji’’ kataku.
Yang benar? wah sepertinya usaha kamu dan Nenek sudah berhasil ya’’ kata aunti, aku mengeleng.
That’s wrong,, bukan gara-gara kami, tapi ustadz Fahri’’ kataku. aunti terlihat masih bingung dan hendak bertanya, tapi mobil sudah sampai di depan rumah, kami turun dulu sebentar. Saat berjalan aku pun melanjutkan cerita. Ustadz Fahri kan sekarang jadi tetangga kita aunti, nih di sebelah’’ kataku seraya menunjuk tembok sebelah kanan.
Tapi, memang tidak heran kalau Kakek bisa berubah seperti itu’’ gumam aunti. Aku membuka pintu dan memberi salam. Kakek dan Nenek yang tengah mengobrol diruang tengah melihat kearah kami dan langsung menyambut aunti. Nenek langsung saja merangkul sang putri kesayangan kedalam pelukan hangatnya. Terang saja, aunti sudah hampir sebulan tidak berkunjung. Aku pun ke dapur untuk menyiapkan minuman yang sejuk untuk kami semua.
Denger-denger kabar katanya Papa mau belajar mengaji sekarang Ma’’ sindir aunti saat kami tengah duduk santai diruang keluarga. Kakek yang tengah asik menonton tinju menoleh dan hanya tersenyum tipis.
Iya, Alhamdulillah. Ada seorang pemuda asal Indonesia yang sekarang menjadi tetangga kita yang berhasil membuat Papamu tertarik pada agama, kamu tau kan bagaimana teguh pendirian Papamu’’ kata Nenek dengan berbisik diakhir kalimatnya. Kami hanya tertawa kecil.
Ustadz Fahri itu mahasiswanya aunti lo Nek’’ kataku.
Oh ya? kebetulan sekali. Nak Fahri juga sering mampir untuk membantu Kakek merapikan tanaman, atau sekedar ngobrol-ngobrol’’ tutur Nenek. Aslinya sih, Nenek saja yang sering memaksa ustadz Fahri, batinku.
Selang beberapa menit ngobrol soal ustadz Fahri dan lainnya Nenek kembali menyindir soal pernikahan pada aunti seperti yang kulakukan tadi di mobil.
Nanti kalau memang ada pasti Mary kenalin ke Mama dan Papa,’’ jawab aunti singkat.
Nak Fahri itu orangnya baik kan, dan umur kalian kelihatannya sama’’ dadaku rasanya terhantap benda tak terlihat. Aku menarik nafas, dan berprilaku sebiasa mungkin.
Mama ini ada-ada saja, Fahri kan mahasiswa Mary, lagian Fahri juga mungkin sudah punya pacar’’ jawab aunti. Apa ini, terdengar seperti sinyal-sinyal ketertarikan.
Belum,, Mama pernah menanyakannya pada nak Fahri dan ternyata dia belum punya pacar’’
Oww,,’’ hanya itu jawaban dari aunti seraya meminum jus melonnya. Biasanya aunti pasti akan menolak dengan berbagai cara kalau Nenek atau aku mencoba mengenalkan seseorang padanya. Tapi, tidak untuk ustadz Fahri. Hatiku semakin terhimpit rasanya. Aku pun meminta izin untuk keluar sebentar, tak tahan rasanya mendengar kenyataan yang terjadi saat ini.
Saat sedang mencoba menetralisir rasa yang tidak mengenakan dihatiku dengan menarik nafas panjang aku dikejutkan dengan klakson motor. Aku membuka mata dan nampaklah sesosok makhluk yang tengah dibicarakan aunti dan Nenek tadi didalam. Aku mencoba bersikap sebiasa mungkin dan mendekat kearah gerbang.
Ustadz ayo mampir,’’ ajakku.
Kakek ada dirumah?’’ Tanya ustadz.
Iya, jam segini kan udah pulang kerja,’’ jawabku. Mau ngajar Kakek ngaji lagi ya ustadz?’’ tebakku, ustadz mengangguk.
Sekalian ada beberapa urusan juga’’ kata ustadz.
Masuk kalau begitu ustadz,,’’ kataku mempersilahkan ustadz.
Aku dan ustazd masuk ke dalam rumah lalu menuju ke ruang keluarga. Ustadz menjawab salam, Kakek yang tadi tengah menonton menyambut kedatangan sang guru spiritual. Nenek dan aunti mempersilahkan ustazd untuk duduk.
Bu Mary, kebetulan sekali’’ kata ustadz melihat aunti Mary, Tadinya selesai dari sini saya mau mengantarkan tugas laporan yang kemarin. Ibu akan menginap atau bagaimana?’’ Tanya ustadz.
Kebetulan memang saya akan menginap, mumpung besok tidak ada mata kuliah yang akan saya isi’’ jawab aunti.
Kalau begitu besok pagi saya akan antarkan kesini laporannya, bias?’’ kata ustadz lagi. Aunti mengangguk mengiyakan. Lama setelah ustadz selesai mengajar Kakek ngaji kami semua mengobrol, dan sepertinya Nenek tidak main-main dengan perkataannya tadi itu, tentang aunti dan ustadz Fahri. Aku meminta izin ke kamar, aku beralsan untuk mengerjakan tugas kampus. Aku berjalan malas menuju kamar. Aku mencoba mengalihkan pikiranku dengan cara membaca di balkon kamar. Sesaat kemudian ada pesan masuk, aku membukanya dan ternyata dari Yusuf.
lihat kesini,,
Sepertinya Yusuf tengah melihatku dari kamarnya. Benar saja saat ku tengok ke rumah sebelah Yusuf sedang membaca buku juga sepertiku. Yusuf kembali menelpon, aku mengangkatnya.
Sendirian aja,’’ katanya
Kamu sendiri sendirian,,’’ jawabku. Yusuf terkekeh.
Kan kak Fahri lagi di rumahmu’’ katanya. Sebentar kami hanya diam saling menatap dari jauh. Aku masih terpikir masalah yang tadi.
Hei,,’’ kata Yusuf mengagetkanku. Aku tersdar. Aku boleh ngomong serius kan’’ kata Yusuf lagi. Aku mengangguk.
Aku ingin serius denganmu Lis, dengan awal yang baik’’ aku kaget, aku kira Yusuf tidak akan mengungkit itu lagi. Tapi ternyata dulu itu bukan main-main. Aku ingin kamu selalu menjadi motivatorku Lis, seperti kemarin. Aku ingin disaat aku malas ada orang yang kusayangi yang mau memberi formula penyemangat untukku’’ katanya. Ya Allah apakah Yusuf orang yang pantas untukku. Aku baru sadar ternyata ustadz Fahri sangat jauh dari jangkauanku. Beliau sudah sampai di titik dimana beliau mampu menjadi panutan dan pembimbing sesama. Sedangkan aku, aku masih jauh, bahkan hanya berjalan di tempat rasanya, bagaimana bisa aku menyamai langkah beliau. Ya Allah betapa bodohnya aku telah berharap sesuatu yang jauh dari jangkauanku. Hatiku sesak menerima kenyataan demi kenyataan ini.
Kita bisa menjadi teman yang saling menasehati di jalan-Nya Lis’’ kata Yusuf lagi meyakinkan. Aku pun berfikir, apa salahnya.
Kalau memang niat kamu seperti itu, Insya Allah Suf’’ jawabku. Sebenarnya hubungan kami ini pun aku tak tau harus menyebutnya apa.
Makasih Lis,’’ Yusuf tanpa pikir panjang menutup telepon dan masuk ke dalam kamarnya. Aku bengong sendiri, kenapa dia malah lari ke dalam.
Aku melanjutkan membacaku sampai aunti Mary masuk. Aku mendekat kearah aunti.
Ustdz Fahri sudah pulang auntie?’’ tanyaku. Aunti mengangguk, aunti duduk di meja belajarku, sepertinya aunti sedang memikirkan sesuatu.
Aunti ada masalah?’’ tannyaku.
Aunti mau bilang apa ya Lis, aunti merasa aneh’’ jawab aunti. Memang, aunti tidak pernah terlihat seperti ini sebelumnya. Kalau aunti bilang aunti suka pada seseorang, bagaimana reaksimu?’’ Tanya aunti. Apa? Seperinya aku tau siapa orangnya.
Pada siapa aunti?’’ tanyaku pura-pura.
Kamu sangat kenal dia Lis, tapi aunti minder Lis. Karena kami berbeda dalam banyak hal, pandangan hidup, cara hidup dan,, keyakinan’’ kata aunti. Aunti juga malu Lis, dia mahasiswa aunti sendiri’’
Ustadz Fahri ya aunti,’’ tebakku lemas. Aunti mengangguk.
Menurut kamu bagaimana Lis,?’’ Tanya aunti. Aku mencoba tegar, aku juga sangat ingin aunti secepatnya mendapat pendamping hidup. Kenapa juga aku harus sedih sekarang. Toh, jika aku menharapkan ustadz Fahri, aku juga sama sekali bukan apa-apa. Aku bagaikan punguk merindukan rembulan.
Ustadz juga sepertinya belum ada calon, ustadz juga orang yang baik, Alisa sih setuju aja aunti, tapi masalahnya yang aunti bilang tadi. Aunti dan ustadz punya pandangan hidup yang amat beda. Tapi menurut Lisa perbedaan itu bisa diubah kok aunti, tapi kalau aunti mau sih’’ kataku memberi solusi, aku senang jika memang aunti Mary mau menganut agama Islam seperti halnya Kakek dan Mama.
Itu permasalahannya Lis, aunti masih belum siap’’ aunti beralih duduk di kasur, aku pun ikut duduk di dekat aunti.
Iya, nggak ada salahnya kan aunti coba-coba dulu kenal Islam, baca bukunya atau apalah, siapa tau aunti tertarik dan Allah membuka hati aunti’’ kataku. aku beranjak ke lemari tempat biasa aku menaruh buku-buku bacaan. Aku mengambil beberapa buku Islam, ada juga tentang muslimah juga tata cara berhijab.
Ini buku-buku Alisa, aunti bisa memulainya dengan membaca ini semua.’’ Kataku. aunti mencoba membolak-balik buku tersebut. Dan membacanya,
Aunti masih belum yakin Lis, pasalnya aunti tidak mungkin secepat itu mengubah pandangan hidup aunti yang sudah sekian lama ini menjadi teman hidup aunti’’ keras kepala aunti kambuh, persis seperti Kakek.
Apa salahnya aunti mencoba mengenal hal baru, pandangan hidup baru. Yang, siapa tau lebih baik dari pandangan hidup yang sejak dulu aunti pegang. Tidak ada salahnya mencoba kan aunti,’’ nasehatku.
Memangnya di agama Islam, tidak mengindahkan perbedaan ya,’’ Tanya aunti.
Oh, tentu sangat diindahkan. Bahkan jika sekalipun orang tua kita berbeda agama dengan kita, kita tetap harus bergaul dan berbakti pada mereka selama mereka tidak mengajak kita kepada berbuat maksiat pada Tuhan’’ jelasku. ’’ Tapi, apa enak aunti nanti berbeda pandangan hidup dengan pasangan hidup aunti?’’ tanyaku balik.
Tentu tidak,’’
Makanya itu Alisa kasih saran aunti untuk mengenal Islam, kenal saja dulu, ya?’’ pintaku. Aunti melihat tumpukan buku-buku itu. Baca-baca aja dulu, Alisa mau turun sebentar’’ kataku lalu beranjak turun.
‘Apa yang telah kulakukan, aku menyerahkan orang yang kucintai pada auntiku sendiri lalu menjalin hubungan yang entah apa namanya dengan orang lain. Apa aku membohongi perasaanku sendiri?’, batinku. Dadaku sungguh sesak dan sakit.
‘Apa aku telah salah mengambil keputusan, tapi nasi sudah menjadi bubur’. Tangisku tumpah, aku menyesali semuanya, apa yang harus kulakukan. Kubasuh mukaku yang mulai memerah agar Nenek dan yang lain tidak mengetahui kalau aku telah menangis. Aku menatap diriku di cermin,
‘ Sadar Lis, kamu juga tidak mungkin menyamai ustadz Fahri, menyamai akhlaknya, menyamai ilmunya, menyamai segala apa yang ada padanya. Kamu terlalu jauh Lis, jangan mimpi. Bangun Lis, kamu harus sadar dimana levelmu dan level ustadz Fahri berada,’ makiku pada diriku sendiri. Setelah merasa agak baikan aku keluar dari kamar mandi dan setelah mengambil wudlu tadi,  aku, Nenek dan Kakek shalat maghrib berjamaah.
----
Paginya, selesai shalat subuh ustadz Fahri datang mengantar tugas yang dimaksudkan kemarin kepada auntie Mary. Aku yang membukakan ustadz pintu karena auntie Mary masih tidur di kamar tadi. Ustadz hanya menitipkan tugas laporannya lalu langsung pergi. Sebelum aku benar-benar menutup pintu ustadz memanggilku lagi, aku terpaksa menahan pintu yang hampir ku tutup sempurna.
Yusuf menitip pesan tadi, katanya akan menunggu kamu di gerbang, katanya ingin berangkat ke kampus bareng’’ kata ustadz, aku terkejut. Melihat perubahan ekspersi yang sangat kentara kutunjukan ustadz malah tersenyum jahil. Kalian diam-diam sudah jadian ya,’’ selidik ustadz, aku kikuk dan sedetik kemudian menggeleng mantap.
Siapa bilang? Bukan pacaran ustadz,’’ tegasku. Ustadz hanya tersenyum.
Orang yang terpojok memang memiliki banyak alasan untuk berkelit. Tapi pada akhirnya ketahuan dengan sendiri,’’ tukas ustadz, aku hanya bisa menggaruk kepala malu. Aku sudah pasti tidak bisa beralibi kalau di hadapan ustadz Fahri. Yasudah, kalau begitu ustadz pamit dulu, assalamu’alaikum’’ pamit ustadz.
Wa’alaikumussalam warahmatullah’’ melihat ekspresi ustadz tadi aku kembali berfikir, betapa bodohnya aku berfikir selama ini ustadz juga sedikit tidaknya suka padaku. Malu sekali rasanya kalau mengingat semua itu dan membandingkan diriku dengan ustadz, sungguh tidak bisa diperhitungkan. Dikira-kira pun mungkin sulit, untuk menemukan kecocokan dan kesamaanku dengan beliau itu adalah suatu yang sia-sia belaka. Just like dream, no more. Andaikata auntie Mary dengan usadz mungkin jauh lebih pantas, karena riwayat pendidikan mereka sama, karaker mereka yang memgang prinsip sangat sama kuat, mereka juga orang-orang yang selalu optimis. Tinggal merubah keyakinan auntie yang keliru sedikit saja, maka sempurnalah dua pasangan itu jika disandingkan. Sedangkan aku? jangankan disandingkan, mengharapkannya pun sebenarnya tidak boleh, dan tidak mungkin. Kalau di analogikan, aku ini seperti seekor bebek kampung yang dekil yang berharap bersanding dengan angsa kerajaan yang gagah. Sangat tidak mungkin sekali, verry impossible.
Sekarang aku mulai bisa berfikir realistis dan logis. Kemarin-kemarin mungkin aku sudah terlena dengan angan-angan serta keinginan besar yang membuatku membuat kesimpulan-kesimpulan yang ngawur. Sekarang, aku sudah mulai sadar dan merasa telah berpijak pada daratan kesadaran.
Setelah selesai mandi, aku shalat duha sebentar. Lalu kupakai baju serta segala aksesoris pelengkapku untuk menuntut ilmu. Hari ini aku puasa, aku berfikir siapa tau dengan menerapkan puasa yang intensif segala hayalan serta keinginan dari nafsu yang tak perlu bisa terhindarkan. Aku melangkah menuju ruang tengah, auntie Mary, Nenek dan Kakek terlihat sedang sarapan di dapur, aku pamitan pada mereka sebentar lalu berangkat. Aku memberitahu auntie kalau tugas yang ustadz kasih tadi pagi aku taruh diatas meja belajarku. Auntie mengiyakan dan bermaksud hendak mengantarku ke kampus. Aku bilang sudah ada teman yang menungguku.
Saat keluar dari pintu aku menemukan Yusuf tengah menunggu sembari memegang buku kecil dan membacanya khusyuk, setelah kuteliti dari jauh sampulnya seperti Al-Ma’tsurat yang juga sering kubaca. Mendengar suara pintu tertutup Yusuf langsung mengarahkan pandangannya dan tersenyum kearahku, aku balik tersenyum padanya. Aku minta maaf padanya karena menunggu lama, kami pun pergi ke kampus bersama. Sepanjang jalan aku dan Yusuf banyak berdiskusi tentang banyak hal, dari hal yang penting sampai hal yang tidak penting sekali pun turut menjadi bahan pembicaraan kami. Aku sangat nyaman berbincang dengan Yusuf, rasanya seperti sedang dengan teman lama.
Saat pulang kuliah kembali Yusuf menunggu di depan kelas. Aku tidak risih sama sekali karena saat jalan Yusuf tidak pernah jalan sangat dekat denganku, masih seperti dulu, agak jauh. Tapi bedanya sekarang Yusuf lebih terbuka padaku, tentang keluarganya juga. Yusuf juga banyak bercerita tentang ustadz Fahri, dari Yusuf aku tahu bahwa ustadz Fahri itu dulu pernah ingin pindah agama, tapi atas izin Allah ustadz Fahri menemukan kebenaran Islam dan sekarang menjadi orang yang benar-benar mengenal Allah dan Islam dengan baik. Aku pun iseng bertanya pada Yusuf kenapa ustadz belum hendak menikah.
“Kakak katanya masih belum mantap, belum ketemu yang cocok juga katanya” terang Yusuf.
Saat sampai di gerbang rumah Yusuf, aku melihat ustadz juga tengah berjalan kearah gerbang tapi sepertinya sedang berbicara dengan orang via telepon. Ustadz terlihat sedikit berbicara tegang, sesaat telepon dimasukan ke saku celana. Dan saat melihat kami ustadz langsung menghampiri kami dengan raut muka yang sedikit kusut.
“Telepon dari siapa kak?” tanya Yusuf.
“Dari Mama,” jawab ustadz datar. Aku menatap Yusuf seolah bertanya ada apa, Yusuf hanya tersenyum dan mengangguk kecil, seolah berkata tidak apa-apa.
“Lis, aku ke dalam dulu ya,” kata Yusuf, aku mengangguk. Dua lelaki yang hampir sama tingginya itu berlalu melewati gerbang. Aku berjalan menuju gerbang di sebelahnya dengan perasaan yang menyiratkan tanda tanya. Aku khawatir.
Lama aku menunggu sms dari Yusuf di kamar, sebentar aku membaca buku. Hpku berdering, aku cepat membukanya, dari Yusuf.
Hei, kenapa mondar-mandir terus di balkon,
Aku melihat kearah kamarnya, Yusuf tengah duduk menatapku. Aku menelpon karena penasaran.
“Ada apa tadi?” tanyaku langsung.
Ow, tadi itu Mama, seperti biasa Mama lagi-lagi mau mencoba mengenalkan Kakak dengan seorang anak kenalan Mama, dan Kakak tidak ingin itu. Kakak ingin mencari sendiri yang sesuai dengan keinginan Kakak,” terang Yusuf.
“Lalu?”
Kata Mama, Kakak secepatnya disuruh pulang setelah tesisnya selesai, Mama malah bilang hendak menyusul kesini kalau Kakak bertele-tele lagi, pasalanya ini kali ke sekian Mama mencoba mengenalkan Kakak dengan perempuan” aku terdiam, sepertinya berat untuk ustadz mengambil keputusan cepat sedangkan ustadz berurusan dengan Mamanya sendiri.
“Lalu keputusan ustadz bagaimana? Mau pulang atau bagaimana?” kejarku.
Kakak masih berfikir, tapi sepertinya Kakak akan pulang. Kakak nggak kepengen Mama capek-capek kesini, kebetulan tinggal satu bulan lagi untuk penyelesaian tesis” jelas Yusuf lagi.
“Ow begitu.” Jawabku.
----
Seminggu ini auntie rajin sekali daaing dan juga menginap. Auntie banyak bertanya tentang apa yang dia tidak mengerti dalam buku yang dulu kuberikan padanya. Tapi tidak semudah itu auntie akan percaya, terkadang untuk memberitahu orang yang tidak berpendidikan menurutku lebih gampang dari pada orang yang berpendidikan. Karena kalau orang-orang seperti auntieku ini pasti akan berkelit dan menumbangkan kebenaran dengan banyak cara dari banyak literature. Tapi sejauh ini auntie sudah mulai luluh, walau seperti yang kubilang dari awal, keras kepalanya yang ditambah dengan prinsip kebebasan yang selalu diusungnya, auntie akan butuh waktu lebih lama dari Kakek rupa-rupanya. Tapi bagaimana pun sulitnya kebenaran harus tetap diperjuangkan.
Sepulang auntie tadi aku pergi ke perpustakaan kota yang tak jauh dari rumah kira-kira sekitar lima menit dengan jalan kaki, aku hendak mengembalikan buku yang kupinjam kemarin serta untuk mencari buku referensi untuk pembuatan makalah besok. Aku memasuki perpustakan yang cukup luas itu. Aku menaruh tas terlebih dahulu di loker yang telah disediakan di lantai dasar lalu beranjak menuju lantai dua. Perpustakaan terlihat agak sepi, aku beranjak menuju rak buku yang terletak didekat jendela. Aku mencari-cari buku yang sesuai dengan judul makalahku. Sekitar tiga buku yang sudah kubolak balik namun belum kutemukan yang cocok. Aku berallih ke buku yang lain, dan saat yang sama seseorang di seberang rak ini mengambil buku juga, sontak aku menatap kearah buku yang kosong, aku menyernyitkan dahi dan sedetik kemudian aku ingat sosok itu.
“Mbak Bela?” kataku. mbak Bela yang tadi terlihat seperti mengingat ngingat sekarang nampak cerah wajahnya.
“Alisa ya?” tanyanya, aku mengangguk. Mbak bela Beranjak dari tempatnya lalu mendekat kearahku.
“Mbak sendirian?” tanyaku.
“Sama Fahri,” jelas mbak Bela.
“Ustadz Fahrinya mana?”
“Sedang menerima telpon tadi, kamu sedang mencari buku?”
“Iya nih mbak, referensi buat bikin makalah,” aku dan mbak Bela kemudian mencari tempat duduk yang kosong. Sebentar kemudian setelah mengobrol cukup lama dengan mbak Bela, tentunya dengan suara agak dipelankan mengingat kami sedang di perpustakaan ustadz Fahri datang sembari masih memperhatikan hpnya.
“Alisa? Sedang apa?” Tanya ustadz setelah selesai dengan kesibukannya dengan hpnya.
“Nyari buku ustadz, tadi kebetulan ketemu sama mbak Bela,” jawabku. Ustadz lalu mengambil tempat duduk di depanku dan mbak Bela. Kami bertiga pun mengerjakan tugas masing-masing sembari sesekali mengobrol. Karena tugasku sudah selesai aku pun minta diri ke ustadz dan mbak Bela.
Setelah beberpa puluh meter berjalan aku melupakan sesuatu rasanya. Aku mengingat apa yang kulupa dan benar saja aku meninggalkan hpku di meja tempat peminjaman buku tadi. Aku berbalik untuk mengambil hpku, tapi saat itu juga aku dikagetkan oleh sesosok pria yang sedang berdiri kira-kira beberapa langkah dari tempatku berdiri sembari memegang hpku seraya diangkatnya dan tersenyum meremehkan. Kubalas dengan senyum manis, manis sekali seakan senyum itu berkata, ‘Maaf ustadz sudah kebiasaan, he' aku mendekati pria yang tak lain adalah ustadz Fahri.
“Maaf ustadz, lupa” kataku cengengesan.
“Lupa jangan dibuat jadi kebiasaan, “ timpal ustadz. Kami pun berjalan berbarengan.
“Selesai tesis ini ustadz akan pulang ke Indonesia?” tanyaku mengingat kejadian minggu lalu.
“Insya Allah, rencananya begitu. Lagian kan ustadz sudah tidak ada kepentingan lagi disini, di Indonesia kan ustadz masih ada kewajiban di pesantren” jawab ustadz. Aku hanya mengangguk takzim. “Tapi kelihatannya kamu yang sedih kalau ustadz pulang,” tambah ustadz. Spontan aku memalingkan wajah kearah ustadz.
“Maksud ustadz apa? Pede sekali,” kataku tidak terima.
“Loh kok sewot? Kan benar, sepulang ustadz nanti Yusuf juga akan pindah darisana, rumah itu bukan kami yang punya, ustadz dapat tumpangan sementara saja dari pembelinya yang kebetulan teman ustadz. Yusuf bisa saja tinggal, tapi katanya kalau rumah sebesar itu ditinggali sendiri pasti tidak betah. Makanya rencananya sepulang ustadz ke Indonesia Yusuf juga pindah ke kos-kosan temannya” papar ustadz, “Kamu ini mikirnya yang macem-macem aja,” tambah ustadz, aku kikuk karena salah paham.
“Yusuf itu adik kesayangan ustadz. Dulu saat ustadz masih tidak kenal Agama dengan baik, dia yang selalu mengajak ustadz shalat, dia selalu bangun lebih dulu dari ustadz. Sampai sekarang kalau ustadz ingat itu ustadz merasa tidak pantas menjadi kakaknya,” kata ustadz.
“Nggak kok, buktinya Yusuf bilang ustadz adalah idolanya” sanggahku.
“Diamanapun seorang adik memang selalu mengidolakan Kakaknya,” timpal ustadz. “Tapi bagaimanapun juga Yusuf adalah anak yang baik, dia punya banyak kelebihan dibanding ustadz. Sejak kecil dia sudah istiqomah dalam beribadah. Jadi semoga saja kamu jodoh dengan dia kelak’’
DEG!!
Entah kenapa kata-kata terakhir ustadz tadi sangat tidak mengenakkan dihatiku. Hatiku seakan tidak terima. 
Lalu kalau aku dengan Yusuf, lalu ustadz dengan auntie Mary, gitu? Ustadz enak sekali bicara seperti itu tanpa memikirkan perasaanku’ hatiku terus saja mengomel. Setelah tersadar aku beristighfar dalam hati.
Aku dan ustadz pun sampai di gerbang rumah Nenek. Aku pamit masuk pada ustadz dengan perasaan yang kurang enak. Rumah sangat sepi, jam segini Kakek pasti sedang mengecek toko, Nenek pasti sedang ke butik juga. Aku langsung beranjak menuju kamar, mengambil air wudlu lalu shalat dzuhur. Dalam sujudku aku terus saja meminta ampun pada Allah, aku merengek bagai anak bandel yang merengek karena telah lama kabur dari ‘Rumah’.
-----
Waktu terus berjalan, kegiatan SOI makin padat dengan acara keagamaan, aku semakin banyak mendapat pelajaran terutama dari kakak-kakak yang sudah senior. Aku kagum pada keteguhan mereka dalam dakwah ini. Waktu, uang, tenaga, semua mereka kerahkan demi memperjuangkan dakwah ini. Aku semakin salut saja pada mereka. Kak Ita selalu menjadi teman berbagi keluh kesahku tentang segala hal, terutama tentang Agama. Aku bertemu dengan Yusuf hanya saat SOI saja, karena sejak beberapa bulan lalu dia sudah pindah dari rumah itu dan pindah ke kos temannya bersamaan dengan pulangnya ustadz Fahri ke Indonesia.
Auntie Mary telah mantap dengan Islam, Alhamdulillah. Beberapa minggu setelah kedatangannya waktu itu aku dikagetkan dengan kedatangannya menggunakan hijab. Aku bertanya apa yang membuat auntie langsung menetapkan hati. dan ternyata auntie bilang dia belakangan itu sering berdebat dengan sutadz Fahri, ustadz menjelaskan proses terbentuknya agama yang menurut kebanyakan orang seperti auntie adalah karena kebudayaan. Ustadz mencoba menjelaskan sangat rinci, mulai dari contoh yang kongkrit sekarang, dan juga sejarah-sejarah terdahulu. Ustadz menjelaskan bahwa bukan budaya yang membentuk agama, tapi agama sendirilah yang menjadikan budaya itu lahir. Dan sejak saat itu juga auntie berhenti tinggal di apartemen, auntie memutuskan untuk tinggal dengan Kakek serta Nenek. Katanya auntie ingin berbakti dengan cara merawat Kakek dan juga Nenek.
Dan seperti yang kudengar dari Yusuf beberapa minggu setelah itu ustadz ternyata tidak keberatan dengan wanita yang dikenalkan kepadanya. Setelah kejadian saat itu aku sadar bahwa ustadz memang benar tidak memiki perasaan apa pun padaku. Buktinya ustadz sangat mendukung aku dengan Yusuf. Sejak saat itu aku juga mencoba untuk mencintai yang sudah aku miliki, bukan malah menginginkan semua yang aku cintai, seperti yang pernah kubaca di buku motivasi.
Saat baru masuk rumah aku dikagetkan dengan kedatangan Mama dan Papa. Aku segera saja mencium tangan mereka berdua, dua malaikat penjagaku.
“Mama sama Papa kok nggak bilang-bilang mau datang” tanyaku.
“Mamamu ini lo kangen banget sama kamu sekalian memberi kejutan katanya,” jelas Papa.
“Tapi bisa kan Mama kirim pesan supaya Alisa bisa jemput di bandara” kataku.
“Sudahlah, sekarang Mama kan sudah ada disini, itu yang penting” tambah Mama. Pintu terbuka dan menampakkan sosok wanita cantik dengan balutan dres serta jilbab warna hijau, auntie Mary.
“Kakak kapan datang?” Tanya auntie agak kaget. Mama dan Papa masih memandangi auntie lekat. Lalu sebentar Mama angkat bicara.
“Kamu cantik Ry, Kakak senang sekali mendengar kabar dari Mama kalau kamu sekarang muslim,” kata Mama. “Ma, Pa, aku nggak salah lihat kan ini, ini bidadari mungkin,” canda Mama. Kami semua tertawa, auntie tersenyum kecut.
“Kakak ini, kalau aku bidadari berarti Kakak ratunya bidadari” balas auntie.
“Sudah, sudah, sekarang kita makan saja dulu baru ngobrolnya dilanjutkan” kata Nenek menengahi candaan dua Kakak beradik yang lama tak bertemu itu.
Di meja makan Papa kembali angkat bicara, kini tentang tujuan kedatangan Papa dan Mama sebenarnya.
“Karena Nenek dan Kakek ada Mary yang menemaani dan Mama kamu sering mengeluh ke Papa karena sendirian terus dirumah, sebenarnya maksud Papa dan Mama kesini untuk menjemput kamu, kita pulang ke Indonesia” jelas Papa. Aku menatap Kakek dan Nenek.
“Nenek bahagia karena kamu mau menemani Nenek selama ini, tapi Nenek juga tidak mungkin terus-terusan meminta kamu untuk menemani Nenek disini sedangkan Mamamu juga butuh teman ngobrol,” kata Nenek.
“Lagian kan sekarang auntiemu sudah mau tinggal bersama Kakek dan Nenek” tambah Kakek.
Rencananya setelah mengurus surat pindahku, kira-kira dua atau tiga hari aku akan pulang ke Indonesia bersama Mama dan Papa. Aku juga harus berpamitan pada teman-teman di SOI, kak Ita, Caterine dan juga Yusuf.
Esoknya saat pertemuan SOI aku mengutarakan niat kepulanganku ke Indonesia pada ketua, dan saat itu juga diumumkan bahwa aku akan mundur dari kepengurusan. Ketua berpesan agar dimanapun aku berada aku akan membawa jiwa dakwah yang di bangun bersama di SOI. Saat selesai acara aku pamit pada kak Ita, kak Ita berpesan tak jauh dari yang dikatakan ketua tadi.
“Aku senang punya sahabat sepertimu,” hanya itu yang dikatakan Chaterine padaku, matanya berkaca-kaca.
“Insya Allah nanti aku akan sering kirim pesan lewat e-mail” kataku, Chaterin mengangguk lalu memelukku erat. Yusuf datang, Chaterin mengerti lalu membiarkan kami berdua.
“Kapan pulangnya?” Tanya Yusuf sembari tersenyum tipis.
“Besok,” jawabku.
“Sampai disana sering-sering kirim pesan,” katanya lagi, aku mengangguk. Aku sebenarnya tak ubahnya Kakak dan Adik dengan Yusuf, nasehat-nasehat darinya seperti makanan sehari-hari untuk hatiku. Karena sekarang rumah kami tidak searah, aku pun pulang diantar Chaterine, Yusuf pulang bersama temannya.
Malamnya aku menulis surat untuk Yusuf.
Assalamu’alaikum
Salam sejahtera mengawali kata demi kata untukmu yang berhati tulus
Sudah sekian lama kita saling mengenal lebih dekat, hubungan ini terserah mau dinamakan apa, pacarankah, itu hanya sebuah nama, tidak penting. Yang pasti itu satu, aku sangat berterimakasih karena kehadiranmu memberikan banyak hal baik kepadaku. Kau bagaikan seorang Kakak yang mengayomiku, juga seperti seorang guru yang selalu memberikan nasehat baik kepadaku, serta layaknya sahabat yang selalu mendengar keluh kesahku. Aku bahagia, karena kebersamaan kita tidak sia-sia. Namun, sekarang takdir membawaku menginjak kembali tanah air, jadi kukembalikan lagi semuanya pada Allah yang jodoh, rizki, serta maut berada di tangan-Nya. Jika suatu saat ternyata ada wanita yang jauh lebih baik dariku, kuharap hubungan kita ini tidak menjadi penghalang bagimu untuk mencari yang lebih baik. Aku bebaskan itu semua, begitupun sebaliknya. Aku tidak mau jika nanti diantara kita ada yang lebih dahulu mendapat jodoh, yang lain merasa tersakiti karena hubungan ini.Toh, jika suatu saat kita jodoh pasti kita akan bertemu, tapi jika tidak aku tidak mau membebanimu dengan hubungan kita ini, karena aku tidak sedang dalam keadaan kau khitbah. Sekali lagi terimakasih atas semua nasehat darimu, insya Allah aku akan sering mengirim pesan lewat e-mail.
Dari yang menyayangimu
Alisa Zahrana
Aku melipat kertas yang baru saja kutulis dan memasukannya kedalam amplop. Sesaat kemudian Mama membuka pintu dan mengajakku untuk makan malam. Setelah itu aku beres-beres barang yang akan kubawa besok dibantu Mama, auntie Mary dan juga Nenek. Sedangkan Kakek dan Papa sedang ngobrol sambil nonton tv.
------
Keesokan harinya tepat pukul 9 waktu sekitar aku sudah bersiap untuk pulang, antara bahagia dan sedih. Aku bahagia karena akan kembali ke tanah air, berkumpul bersama Mama, dan sesekali bisa mengunjungi Zahra yang kabarnya sudah melahirkan bayi perempuan. Di sisi lain aku juga sedih karena akan meninggalkan Nenek, Kakek, auntie Mary dan teman-teman yang sudah seperti keluarga bagiku. Sebentar kemudian taksi yang Kakek pesankan datang, sopirnya masuk dan membantu mengangkut barang bawaan. Kemudian, aku berpamitan dengan Kakek, Nenek serta auntie Mary.
“Jangan lupa sering-sering kasih kabar ya?” pesan Nenek, aku mengangguk.
“Nanti insya Allah lebaran Kakek, Nenek serta auntie Mary akan berkunjung ke Indonesia,” kata Kakek.
“Benar Kek?” tanyaku antusias, Kakek mengangguk mantap.
“Semoga auntie istiqomah ya, dengan hijab dan Islamnya,” kataku pada auntie.
“Amin,” kata auntie mengamini. Papa duduk di depan bersama supir taksi tadi. Aku dan Mama duduk dibelakang. Beberapa saat kemudian taksi melaju meninggalkan kediaman Kakek. Aku sempatkan untuk melambaikan tangan pada Kakek, Nenek serta auntie Mary. aku meminta Mama untuk mampir ke rumah Chaterine sebentar, aku ingin pamit serta menitipkan surat untuk Yusuf. Saat sampai dirumahnya Chaterine sedang duduk di teras sambil membaca buku. Karena waktu sudah mepet aku pun bergegas menemui Chaterin tanpa ditemani Mama dan Papa. Chaterine agak kaget dengan kedatanganku, aku memberikannya tiket nonton film terbaru serta novel yang sedang diincarnya. Aku mencari-cari tau cara untuk mendapatakan novel yang limited edition itu, Alhamdulillah dapat. Wajah Chaterine tampak cerah saat kuberikan dua benda kesukaannya itu. Aku juga menyampaikan pesan agar memberikan surat pada Yusuf. Karena keterbatasan waktu aku pun langsung pamit padanya.
Sekitar pukul sebelas waktu Indonesia aku sampai dirumah. Saat turun dari taksi kami disambut oleh Bi’ Iyem dan mang Ujang. Mereka tak ubahnya keluarga bagiku, mereka sudah mengabdi sejak sebelum aku dilahirkan ke dunia. Bi’ Iyem mau mengambil koper yang tengah kubawa tapi kularang, aku balik merangkulnya.
“Bibi nggak usah repot-repot, nanti tangan Lisa jadi manja kalau dibantu terus. Lah, terus kapan kerjanya coba, apa gunanya dua tangan yang Allah ciptakan untuk Alisa ini” kataku panjang lebar sembari jalan merangkul Bi’ Iyem yang tingginya sama denganku sekarang.
“Aduh non, Bi nggak enak sama nyonya dan tuan,” kata Bi Iyem. Aku berhenti dan menatap Papa dan Mama.
“Pa, Ma, Bi Iyem dan Mang Ujang nggak apa-apa dong sekali-kali santai, kan?” tanyaku. Papa dan Mama tersenyum mengiyakan. “Tu kan nggak apa-apa” timpalku.
Saat Bi Iyem sedang memasak aku masuk ke dapur untuk membantu. Bi Iyem memprotes tapi kuhiraukan, dan terus saja membantu.
“Alisa sudah biasa bantu Nenek waktu di Astrali, jadi Bibi diem aja. Insya Allah masakan Alisa juga enak kok.” Kataku.
“Bibi senang lo non, sekarang non Alisa sudah ceria lagi. Beberapa waktu lalu Bibi’ sedih sekali dengan keadaan non,,” ujar Bi Iyem menerawang, tatapannya seakan mengingat suatu waktu. Mungkin saja waktu aku berubah total waktu itu.
“Alhamdulillah Bi,berkat do’a Bibi juga,” mengingat waktu itu aku jadi teringat kejadian yang membuatku ingin berubah. Saat ustadz Fahri membentakku sampai membuatku merubah paradigmaku tentang kehidupan. “Oh ya Bi, Ramadhan kali ini Bibi’ pulang kampung atau tetap tinggal?” tanyaku.
“Kayaknya Bibi’ akan pulang kampung Non, seperti dua kali lebaran terakhir. Kan non sekarang sudah ada Mamanya non,” jawab Bibi sembari tetap memasak sayur bening.
“Bagaimana kalau tahun ini Bibi ajak keluarga Bibi kesini. Puasa dan lebaran juga disini, biar rame Bi. Karena insya Allah Kakek, Nenek dan auntie Mary serta keluarga besar Papa akan kesini lebaran. Jadi biar tambah rame.” Pintaku pada Bibi. Bibi terlihat berfikir, “Sesekali kan nggak apa-apa Bi, Bibi kan dulu sudah mengabdi pada keluarga Alisa, sejak Alisa belum lahir malah. Jadi Bibi sudah Alisa anggap keluarga, mang Ujang juga nanti sekalian. Pasti Mama dan Papa akan setuju” tambahku.
“Insya Allah non, nanti Bibi pikir-pikir lagi,” jawab Bi Iyem.
______
Esoknya aku berfikir untuk mengunjungi Zahra, tadi pagi sekali aku menelpon ke nomer pesantren untuk mendengar kabar ustadz Hamid dan juga santri di pesantren. Aku juga meminta alamat ustadz Ilham yang merupakan suami Zahra. Dan Alhamdulillah dapat. Aku meminta mang Ujang untuk mengantarku ke alamat yang sudah ku tulis di secarik kertas. Selang beberapa puluh menit aku dan mang ujang sampai di sebuah rumah yang cukup besar dan luas halamannya. Mang ujang memarkir mobil di halaman rumah itu. Pintunya terlihat agak terbuka, aku turun dan membawa serta beberapa bingkisan yang sudah kubeli sebelum kesini. Mang Ujang kuajak untuk ikut serta. Aku mengetuk pintu yang terbuka itu seraya memberi salam. Suara kaki terdengar sedikit berlari dari dalam disertai dengan jawaban salam dari mulut yang mungil kedengarannya. Nampaklah bidadari kecil yang mengenakan jilbab berwarna pink membukakan pintu dengan mata yang berbinar dan senyum yang tersungging cerah sekali. Aku tersenyum melihatnya.
“Tante cari siapa?” kata anak perempuan berumur kira-kira delapan tahun itu. Aku hendak menjawab tapi suara yang tak kalah lembut menyahut dari dalam, suara ini sangat familiar.
“Dek, ajak masuk tamunya,”seru suara itu. Itu suara Zahra.
“Ayo tante masuk,” katanya. Aku pun mengajak mang Ujang masuk. Sesaat kemudian dari ruang yang lebih dalam keluarlah perempuan seusiaku yang tengah menggendong buah hati yang mungil.
“Masya Allah, Alisa,,” aku tersenyum lalu menaruh bingkisan yang cukup banyak itu di meja tamu. Aku melangkah menuju Zahra lalu memeluknya sayang.
“Ini anakmu Ra? Masya Allah cantik sekali, seperti ibunya” ujarku. Zahra tersenyum kecil. Aku mencium dan mencubit pipinya yang gembul itu, pipinya terlihat putih dan kemerah-merahan. Bidadari kecil itu menggeliat saat kupegang pipinya. Matanya terkatup, dan bibirnya bergerak-gerak. Subhalallal. Zahra mengajakku duduk di kursi.
“Namanya siapa Ra,” tanyaku sembari tak lepas pandanganku dari wajah mungil itu.
“Fatimah Az-Zahra” jawab Zahra.
“Seperti nama putri Rasulullah?” tanyaku.
“Aku dan mas Ilham berharap kelak akhlaknya seperti Sayidah Fatimah, putri baginda Nabi,” ungkap Zahra.
“Amin,” kataku mengamini.
“Si kecil berjilbab pink ini siapa?” tanyaku sembari mengelus jilbab pink anak kecil yang tadi membukakanku pintu.
“Dia Anisa, adiknya mas Ilham,”
“Nah, suamimu mana?” tanyaku.
“Sedang mengajar di pesantren, nanti sore baru pulang,” jawab Zahra.
Aku melampiaskan rasa rinduku dengan banyak bercerita pada Zahra. tak ketinggalan aku meminta agar bisa menggendong si mungil Fatimah. Zahra menanyakan kuliahkku, aku pun menceritakan semuanya, begitupun tentang Yusuf dan ustadz Fahri. Tapi untuk perasaanku, aku masih tidak berani bercerita.
Aku pamitan pada Zahra karena kata Papa, siang nanti aku akan diajak unuk memilih Universitas tempatku akan kuliah. Aku dan mang Ujang langsung pulang dari kediaman Zahra.
----
Segala proses pindah dan sebagainya sudah selesai beberapa waktu yang lalu, sekarang aku memulai aktivitas perkuliahanku. Sepulang kuliah Mama meminta untuk aku membelikan beberapa bibit bunga beserta potnya di toko bunga dekat kampus. Saat dosen terakhir mengakhiri materinya aku langsung jalan menuju toko bunga yang biasa Mama kunjungi. Karena memang Universitas tempatku kuliah tak terlalu jauh dari rumah.
Dari luar terlihat bunga-bunga dengan berbagai macam warna dan bentuk berjejer indah di pelataran toko. Sebelum hendak memasuki toko itu aku melihat siluet seseorang yang tampak tak asing bagiku. Ustadz Fahri. Ustadz terlihat sedang bercengkrama dengan Mas Andika, penjaga toko bunga. Saat ustadz hendak keluar aku melangkah cepat-cepat ke belakang dan mencari tempat yang sekiranya tidak bisa dilihat oleh ustadz. Tampak ustadz keluar membawa bunga yang cukup familiar di benakku. Ah, benar itu bunga Anggrek hutan yang pernah kuceritakan pada ustadz. Bunga itu adalah bunga pavorit kami sekeluarga. Bunga anggrek itu sudah disukai mulai dari ibunya Nenek sampai aku, aku dan Mama memang lebih banyak menanam bunga anggrek, terutama anggrek hutan. Tapi ada apa ustadz membeli bunga anggrek? Ah, aku jadi lupa kalau di pesantren ustadz mempunyai taman bunga, barang kali ustadz kembali mengajar di pesantren. Mataku terus saja mengekori ustadz yang berjalan semakin jauh, aku tersadar dan langsung beristigfar dalam hati.
Selesai membeli semua pesanan Mama, aku langsung pulang dan membersihkan badan. Aku terpikir lagi dengan ustadz Fahri tadi, sekarang aku malah berfikir kalau-kalau bunga tadi akan ustadz berikan pada calon istri beliau itu, pasalnya wajah ustadz terlihat berseri-seri saat memegang bunga itu keluar toko. Aku menghela nafas lalu beranjak menuju rak buku dan mengambil novel untuk dibaca.
-----
 Kamu harus ikut pokoknya,” seru suara lembut diseberang telepon. Itu Zahra, dia memintaku untuk datang ke pondok, katanya ustadz Hamid meminta kami untuk turut menjadi panitia beberapa acara yang akan diselenggarakan bulan Ramadhan ini di pondok.
“Gimana ya Ra, masalahnya pemberitahuannya mendadak sekali. Aku tengah membantu Mama, ada acara arisan siang ini,” kataku seolah meminta permakluman pada sahabatku itu. Aku tidak bisa meninggalkan Mama dan Bi Iyem mengerjakan tugas memasak.
Begitu ya, aku juga sebenarnya dikasih tau tadi pagi. Tapi karena aku dan mas Ilham bisa jalan bareng, dan mas Ilham juga mengizinkan, akhirnya aku iyakan. Kalau nanti kamu berubah pikiran, telepon balik ya,”
“Insya Allah Ra, titip salam aja sama ustadz Hamid,” kataku agak menyesal.
Insya Allah,”
Aku melanjutkan memasak membantu Mama.
“Dari siapa Nak?” Tanya Mama.
“Telepon dari Zahra Ma, katanya ustadz Hamid mengundang alumni untuk turut menjadi panitia penyelenggara acara Ramadhan nanti, nah rapatnya sekarang Ma,” paparku.
“Terus kamu nggak ikut?” Tanya Mama, aku mengangguk, “Kenapa nggak ikut? Beliau itu kan orang baik, ikut saja. Biar tugas memasak ini Mama dan Bibi yang handle” kata Mama.
“Nggak usah Ma, kasihan Mama dan Bibi capek. Biar nanti teman-teman yang lain yang mewakili kan bisa,” kataku. Mama malah menggeleng mantap mendengar perkataanku tadi.
“Tidak, bukan persoalan banyak dan sedikit yang membantu sayang. Tapi rasa terimakasih pada guru yang pernah berjasa pada kita, itu yang terpenting,” nasehat Mama.
“Lalu nanti yang bantu Mama dan Bibi?” tanyaku.
“Sebentar lagi mang Ujang datang bersama anaknya Bibi non,” jawab Bibi. Aku menatap Mama.
“Mama yang mengizinkan Bibi buat lebaran disini,” Mama menjawab kebingunganku. Aku tersenyum dan berterimakasih sama Mama.
“Yasudah sekarang kamu mandi, ganti baju lalu berangkat. Oke?” kata Mama, aku mengangguk mantap lalu melesat ke kamar. Sebelumnya aku mengirim pesan singkat pada Zahra mengabarkan bahwa aku akan menemuinya nanti di pondok.
Setelah tadi sempat sebentar berkenalan serta menyambut kedatangan Lastri, anaknya Bi Iyem, aku dan mang Ujang langsung melesat menuju pondok. Di perjalanan aku seakan diajak bernostalgia mengingat pertama kali ke pondok. Ah, aku merasa bersyukur bisa menginjak pondok saat itu, aku bersyukur Allah telah mempertemukanku dengan orang-orang baik yang mampu menyadarkanku seperti Zahra, ustadz Hamid, ustadzah-ustadzah yang lain, dan juga tentunya ustadz Fahri. Utadz Fahri adalah guru peramaku dalam urusan agama yang mampu mengetuk pintu hatiku yang kelam kala itu. Di sisi lain aku sangat menghormati beliau sebagai sosok guru spiritualku, sangat menghormatinya. Tapi aku sangat menyesali perasaan lain yang hinggap dihatiku, yang sampai sekarang tak bisa aku hilangkan.
Astagfirullahal’adzim,,
Ya Allah hamba-Mu yang lemah ini tidak mampu menghindar dari pesonanya ya Rabb bantu hamba. Hamba takut setan akan mengambil kesempatan ini untuk menjerumuskan hamaba pada kelalaian mengingat-Mu. Bantu hamba-Mu yang lemah ini ya Rabb.
Beberapa saat kemudian sampailah mobil yang mang Ujang kendarai di pondok yang dahulu sempat menjadi tempatku menuntut ilmu agama. Aku turun dan diikuti oleh mang Ujang. Aku meminta mang Ujang untuk pulang kalau memang mau istirahat, tapi mang Ujang bilang hendak silaturrahmi pada ustadz Hamid. Sebelum sampai di ruang ustadz Hamid, aku disambut oleh Zahra, aku dan Zahra langsung pergi ke tempat rapat diselenggarakan. Tapi sebelumnya aku menemui Utadz Hamid dan juga istri beliau. Aku membawa sedikit bingkisan yang Mama titipkan tadi sebelum berangkat. Aku meninggalkan mang Ujang yang ingin berlama-lama bersama ustadz Hamid.
Aku dan Zahra memasuki ruangan yang biasa menjadi tempat untuk diskusi dan juga rapat oleh santri di pondok dulu. Tampak di ujung sebelah kiri sudah berkumpul pemuda-pemuda yang sebaya dengan kami dan ada pula yang lebih tua. Dan disebelah kanan kira-kira beberapa jauh jaraknya dengan lelaki yang disebelah kiri telah berkumpul banyak santri putri yang kebanyakan diantaranya aku kenal. Mereka rata-rata tersenyum melihat kedatangan kami, dan beberepa diantara mereka menyalami dan memeluk. Mereka beberapa ada yang kaget melihat penampilanku yang sudah mengenakan gamis dan jilbab yang syar’i. Masya Allah, beberapa kali perkataan itu terlontar dari mulut mereka, aku hanya tersenyum mengiyakan. Aku dan Zahra mengambil tempat duduk di tengah-tengah.
Acara pun dimulai dengan pembacaan ayat suci diawalnya. Lalu ketua meminta data kehadiran hari ini, kemudian merembukkan bersama, berapa orang ditaruh di acara yang ini dan yang itu. Lalu yang jadi ketua dan lain sebagainya. Aku dan Zahra akhirnya di pilih untuk acara kajian-kajian keislaman bersama beberapa teman yang ternyata satu asrama juga denganku dulu. Istirahat sembari shalat dzuhur dulu selama satu jam. Tadi rapatnya baru memilih anggota disetiap acara, belum kepada rencana apa saja yang bisa diajukan.
Karena cukup lama meninggalkan si kecil Fatimah, selesai shalat tadi Zahra pergi menemui santri yang tadi diminta untuk menjaga Fatimah di salah satu kamar asrama. Karena masih banyak waktu istirahat aku jalan-jalan sembari bernostalgia mengenang waktu yang kulalui disini dulu. Aku tak sengaja melewati gedung asrama laki-laki, aku beranjak menuju tempat yang sangat tidak asing bagiku, dan tempat itu merupakan tempat yang pernah menjadi tempat tongkronganku dulu saat sedih. Taman yang ustadz Fahri buat dan dimintai untuk ku rawat dulu.
Sedetik kemudian aku teringat sesuatu. Aku baru ingat kalau dulu aku pernah menulis surat pada ustadz yang kutaruh di tempat duduk kayu disekitar sini. Sekelebat pertanyaan menyerang otakku. Apakah ustadz menemukan surat tersebut dan membacanya? Pasalnya saat di Australi, ustadz sama sekali tidak membahas soal surat itu. Aku mencoba mencari, siapa tau ustadz lama tidak kesini dan ternyata surat itu terbang dan terjatuh di suatu tempat. Aku terus saja mencari sampai seseorang memanggilku.
“Alisa,” panggilnya, aku menoleh dan Zahra sekarang tengah berdiri tak jauh dari tempatku. “Sedang apa?” tanyanya mendekatiku. Aku kikuk, dan tak tau harus menjawab apa.
“Ini bukannya kebun yang ustadz Fahri buat, sepertinya kurang terawat sekarang” kata Zahra sembari mengamati sekeliling. “Lalu kamu sendiri kenapa disini?” Tanya Zahra lagi.
“Aku mencari surat,” kataku jujur. Aku pun menjelaskan seluk beluk kenapa surat itu bisa kucari sekarang.
“Setahuku memang setelah kamu pergi itu ustadz Fahri tidak terlalu sering kesini, tapi selalu datang memang, atau terkadang meminta bantuan santri untuk mencabuti rumput, “ jelas Zahra. aku masih bergelut dengan hatiku, aku ingin sekali meberitahu Zahra tentan perasaanku pada ustadz.
“Lis, kok melamun?” kata Zahra membuyarkan lamunanku. Lalu aku pun bertekat untuk menceritakan tentang perasaanku yang sampai saat ini masih kuragukan. Aku mengajak Zahra duduk disana dan mulai menceritakan tentang perasaan yang bertengger lama dihatiku.
“Di sisi lain aku menghormati beliau sebagai seorang guru Ra, tapi di satu sisi aku tidak bisa membohongi diriku bahwa rasa kagum itu berbuah perasaan suka Ra” kataku jujur.
“Sejak kapan?” Tanya Zahra dengan wajah serius. Aku pun menceritakan tentang perubahanku saat kesini dikarenakan nasehat beliau. Zahra malah meminta maaf padaku.
“Ya Allah Sa, kenapa kamu nggak bilang dari dulu. Berarti saat aku kabari perihal aku dan ustadz, kamu terzalimi. Ya Allah Sa, maaf” katanya. Aku pun menceritakan bagaimana rasa cemburu membuatku tidak menghadiri acara pernikahannya yang kukira dengan ustadz Fahri.
“Tapi jujur saat itu aku juga tidak bisa membatalkan tiket pesawat itu Ra, maaf sekali.” Kataku agak sedikit berkaca-kaca.
“Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu. Lalu sekarang permasalahannya apa. Sepertinya saat kamu bercerita tentang perasaanmu pada ustadz, kamu terlihat sedikit berfikir?” Tanya Zahra seakan tau perasaanku. Aku pun menceritakan tentang aku dan Yusuf, lalu tentang Yusuf yang memberitahu kalau Mamanya akan mengenalkan ustadz dengan anak teman Mamanya, lalu ustadz setuju.
“Aku juga sadar Ra, aku bukan siapa-siapa. Ilmuku masih cetek sekali, akhlakku masih belum terlalu baik. Jadi, siapa aku yang mengharapkan beliau sebagai pendamping hidup.” Kataku menutup cerita. Zahra malah tersenyum dan menatapku lembut.
“Kalau Allah berkata lain, bagaimana?” tanyanya membuatku kaget. Semua keraguan dihatiku seakan sirna seketika. Aku mengamini benar perkataan Zahra di dalam hatiku. Aku memeluk Zahra, aku selalu saja merasa tenang dengan nasehatnya. Aku sangat bersyukur Allah mengirimkanku orang setulus dan sebijaksana Zahra.
Acara selesai pukul 2, sekarang saatnya makan bersama. Tadi yang bertugas di bidang konsumsi sudah datang membawa segala keperluan yang dibutuhkan oleh si perut ini. Aku belum bergabung karena masih ingin menggendong si kecil Fatimah. Mata yang berbinar itu mengguratkan kepolosan, suci dan tak berdosa. Tangannya bergerak-gerak menggapai ruang hampa. Aku menarik tangan mugil itu lalu membenturkannya ke pipiku. Senyum gadis mungil itu mengembang, matanya berbinar. Masya Allah, cantiknya.
“Asslamu’alaikum,” sapa seseorang dari belakangku. Aku tau persis suara itu. Aku menengok kearah sumber suara dan kudapati sosok karismatik itu tengah berdiri sembari menenteng kitab.
“Wa’alaikumussalam ustadz” jawabku sekenanya sembari tetap menggendong si kecil Fatimah. Kini tatapan ustadz tertuju pada si kecil ini.
“Bayinya Zahra ya?” Tanya ustadz, aku mengangguk. Wajah ustadz tampak berseri melihat wajah mungil Fatimah yang kini tengah menggeliat dipangkuanku. “Sedang ikut acara rapat kepanitiaan?” Tanya ustadz seraya tatapannya tak berpaling dari Fatimah.
“Iya ustadz, “ jawabku.
“Loh, Fahri. Kemana saja antum?” sapa seseorang yang tak lain adalah sahabat karib beliau, ustadz Ilham, suami Zahra tepatnya. Ustadz spontan mengarahkan pandangannya pada ustadz Ilham.
“Ana habis mengajar tadi, jadi tidak ikut rapat, afwan” jawab ustadz Fahri. Zahra keluar lalu mengajakku masuk, karena sepertinya si kecil Fatimah sudah gelisah ingin diberi ASI. Aku berlalu meninggalkan ustadz Fahri yang tengah ngobrol bersama ustadz Ilham.
Selesai makan siang tadi aku niatnya ingin langsung menghubungi mang Ujang, tapi bateri hpku habis dan hujan pun turun dengan derasnya. Aku ingin meminjam hp Zahra tapi aku lupa nomor mang Ujang.
“Ada apa Ra?” Tanya Zahra yang tengah menggendong Fatimah.
“Aku tidak bisa menghubungi mang Ujang, bateri hpku habis dan aku lupa berapa nomor hpnya,” jawabku.
“Ikut aku dan mas Ilham saja” ajaknya. Aku menggeleng.
“Tidak bisa, rute ke rumahku kan sangat berbeda Ra, lagian kasihan Fatimah.” Sedetik kemudian Zahra seakan mendapat ide lalu menemui Ikhwan yang tengah berkumpul, Zahra menghampiri suaminya dan berbicara entah apa, aku tidak dengar dari sini. Ustadz Ilham menganguk lalu terlihat memanggil seseorang. aku kembali mencoba menghidupkan hpku, tapi percuma.
“Lis,” panggil Zahra. dia mengisyaratkan untuk aku mendekat, aku pun mengikuti perinthanya. Saat yang bersamaan ustadz Fahri keluar bertiga, dengan ustadz Ilham dan salah satu Akhwat yang kuketahui tadi bernama Ririn, dia adik kelasku dulu.
“Kebetulan Fahri juga akan cepat pulang, kamu bisa ikut dengannya. Ya kan Fahri?” Tanya ustadz Ilham. Ustadz mengangguk. Ririn tersenyum manis padaku.
“Apa tidak apa-apa?” tanyaku mencoba meyakinkan.
“Tidak apa-apa. Kan ada Ririn kak, “ kata gadis berkerudung merah muda itu. Aku mengerutkan kening, Zahra seakan tau kebingunganku, dia angkat bicara.
“Ririn ini keponakannya ustadz Fahri yang dulu adik kelas kita” kata Zahra memperjelas, aku hanya mengiyakan dalam hati.
Mobil sudah terpatri di depan, setelah berpamitan dengan semua aku dan Ririn mengambil tempat duduk di belakang. Hujan masih setia menyelimuti bumi, menemani deru mobil yang ustadz Fahri kendarai. Ririn mengajakku berbicara banyak hal, tentang pesantren dan katanya dia berkeinginan untuk kuliah di luar negeri. Keinginannya ingin ke Al-Azhar, Cairo. Aku mengimbangi pembicaraannya dengan sesekali menanggapi bagus dan juga bercerita beberapa kali. Ririn anak yang periang, tapi tetap menjaga kesopanan bertutur katanya. Ustadz lebih banyak diam seraya tetap berkonsentrasi dengan menyetir, sesekali merespon jika Ririn meminta tanggapan dan juga saat bertanya letak rumahku persisnya dimana.
Ustadz memmutar stir kearah gerbang rumahku lalu masuk, saat berada dipertengahan halaman rumah mobil tiba-tiba berhenti. Kami agak kaget.
“Ada apa paman?” Tanya Ririn.
Astagfirullah,” desis ustadz, ustadz memandang ke belakang, “Bensinnya habis Rin,” kata ustadz.
“Gimana dong Paman, hujan masih cukup deras” tambah Ririn.
“Bagaimana kalau sembari menunggu hujan reda, masuk saja dulu ke rumah. Nanti jika hujan sudah berhenti baru beli bensin” usulku. Ustadz menatap Ririn seakan meminta pendapat.
“Baiklah, dari pada terus diam didalam mobil, sekalian silaturahmi dengan keluarganya kak Alisa, ya kan kak?” Tanya Ririn. Aku hanya tersenyum mengiyakan.
Kami pun turun dari mobil lalu melangkah menuju rumah, ustadz satu payung dengan Ririn sedang aku memakai payung sendiri. Setelah sampai di pelataran rumah, aku merapikan payung lalu meletakkannya di dekat pintu masuk. Aku mengajak ustadz serta Ririn masuk. Kami masuk seraya mengucap salam. Papa dan Mama yang tengah menonton di ruang tamu menoleh dan menjawab salam. Mama berdiri dan menghampiri kami.
“Loh, kenapa kamu tidak telpon mang Ujang?” Tanya Mama.
“Bateri hp Lisa habis tadi Ma, jadi Alisa diantar oleh ustadz Fahri” kataku seraya memandang kerah dua orang yang berada tak jauh dari tempatkku berdiri. Mama yang sadar akan kedatangan seorang tamu itu sedikit kaget lalu tersenyum sembari mengatupkan tangan di depan dada, ustadz pun membalasnya. Ririn beralih mencium tangan mama takzim. Mama mengelus kepalanya sayang.
“Tapi Ma tadi diluar bensin mobilnya ustadz habis, jadi Alisa ajak aja mereka masuk sembari menunggu hujan reda” jelasku pada Mama.
“Oh, begitu. Ayo nak ustadz masuk, diluar cukup dingin. Nanti kita ngobrol-ngobrol didalam sambil minum sesuatu yang hangat,” kata Mama mempersilahkan ustadz masuk. Aku merangkul dan mengajak Ririn masuk disusul oleh ustadz.
Di dalam Papa menyambut ustadz dengan hangat. Kami bercerita panjang lebar ditemani hujan. Ustadz memperkenalkan dirinya sebagai seorang pengajar bantu di pesanten yang dulu sempat mengajarku. Aku pun sedikit bercerita kalau dulu saat kuliah di Australia aku pun sering bertemu ustadz saat beliau melanjutkan S3 nya. Kelihatannya Papa agak kaget dan mencoba memastikan.
“Ustadz Fahri ini sudah S3?” Tanya Papa. Ustadz hanya tersenyum seraya menganguk. Obrolan pun terus berlangsung, tapi tadi karena Ririn hendak buang air kecil aku pun mengajaknya ke kamar sekalian ganti baju. Papa dan Mama masih asik ngobrol dengan ustadz, terakhir kudengar Papa juga menanyakan ustadz sudah ada calon atau belum, aku belum sempat mendengar jawaban ustadz karena sudah dulu pergi. Pasti dijawab sudah ada, bukankah ustadz sudah dikenalkan kemarin dengan teman Mamanya. Di dalam kamar Ririn kembali bercerita, kini ia menyinggung soal ustadz Fahri.
“Aku tidak mengerti Kak, padahal kak Hilda itu cantik, soleh dan juga pintar. Tapi Paman juga tetap tidak mau,” cerita Ririn. “Terakhir kemarin Paman sempat mengiyakan setelah dikenalkan dengan Mbak Rita, tapi bukan karena tertarik. Tapi karena Paman memang kenal dengan Mbak Rita dulu sebagai teman SMA, dan ternyata Paman punya rencana lain, Paman malah mempertemukan Mbak Rita itu dengan mantan pacar Mbak Rita dulu. Lah, sekarang Mamanya Paman Fahri kembali mendesak untuk dicarikan menantu, kalau sampai satu minggu ini tidak ada calon beliau terpaksa akan mengambil kendali penuh dalam pencarian menantu” lanjut Ririn. Aku masih setia mendengar ceritanya.
“Aku sempat bertanya pada Paman, adakah orang yang sedang ia pikirkan dan hendak ia khitbah, Paman bilang tidak mungkin bisa. Jawabnya selalu itu jika kutanya. Dan saat kutanya kenapa, Paman hanya mengucek-ngucek kepalaku dan berkata tidak usah terlalu khawatir, tapi Ririn juga termasuk orang yang sangat dekat dengan Paman. Ririn curhat selalu sama Paman daripada pada Kakakku sendiri, mana mungkin Ririn akan diam saja melihatnya kan Kak?” Ririn mengakhiri ceritanya, aku tersenyum padanya, Dalam hati, aku merasa cenburu dengan sosok yang ustadz Fahri bilang ingin di khitbah tapi tidak bisa itu.
“Kamu sendiri apa punya seorang teman yang hendak kamu kenalkan dengan ustadz Fahri, siapa tau ustadz Fahri cocok” kataku coba memberi nasihat. Ririn coba berfikir sejenak.
“Di pondok ada sih Kak, banyak. Tapi masak iya mereka yang masih kelas 2 Aliyah sedangkan Mamanya Paman mendesak untuk langsung menikah” jawab Ririn. Sedetik kemudian mata Ririn berbinar, seakan mendapat ide cemerlang yang melintas begitu saja, aku menatapnya yang hendak membuka mulut.
“Bagaimana kalau Kak Alisa saja,” katanya langsung, aku seakan tersengat listrik, aku kaget.
“K, Kakak?” tanyaku tergagap seraya menunjuk kearahku. Ririn mengangguk mantap. “Kakak juga kan masih kuliah Rin,” kataku.
“Kan bisa nanti kuliah setelah menikah. Kakak kan sempat lama kenal sama ustadz, siapa tau ustadz juga menaruh hati pada Kakak, kita tidak tau sebelum mencoba Kak,” tambah Ririn.
“Sudahlah, urusan jodoh Kakak serahkan sama yang diatas saja,” timpalku.
“Lah, kan tidak ada salahnya berusaha kan Kak,” katanya lagi tak mau kalah, aku hanya tersenyum. Karena melihat hujan sudah mulai berhenti aku mengajak Ririn turun ke bawah menemui ustadz, Papa dan juga Mama.
Di bawah Papa, Mama dan ustadz terlihat masih ngobrol, terlihat sangat akrab. Sesekali tertawa kecil. Aku dan Ririn kembali duduk di tempat yang tadi.
“Wawasan nak ustadz sangat luas ya, salut sekali melihat anak muda secerdas nak ustadz Fahri ini” ujar Mama. Papa mengangguk mantap menyetujui.
“Andai semua pemuda Indonesia seperti ustadz Fahri ini, majulah Indonesia” tambah Papa. Ustadz tersenyum kecil.
“Bu, Pak sebaiknya panggil Fahri saja, saya juga masih sedikit ilmu agama saya jika dibandingkan dengan orang-orang yang pantas disandangkan gelar ustadz” kata ustadz.
“Ustadz ini terlalu merendah,” jawab Papa.
“Biar terdengar akrab juga Pak,” tambah ustadz. Papa mengangguk.
“Oh ya Tante, Om. Ririn boleh nanya sedikit, tapi ini sedikit pribadi” kini Ririn masuk ke dalam perbincangan. Semau mata tertuju pada Ririn.
“Silahkan” kata Papa. Ririn menatapku, aku mengerutkan dahi.
“Seandainya ada seseorang yang hendak mengkhitbah Kak Alisa, Om dan Tante kira-kira setuju atau tidak?” Tanya Ririn, semua semakin menjadikan Ririn sebagai objek tujuan pandangan. Mama dan Papa saling memandang. Tak lama kemudian Mama tersenyum lalu menjawaab sekenanya.
“Memangnya ada yang mau sama anak manja seperti Alisa ini?” kata Mama, “Kalau toh ada pria soleh yang melamarnya, semua keputusan Tante serahkan pada yang akan menjalaninya,” tambah Mama.
“Memangnya nak Ririn ada calon yang akan dikenalkan untuk Alisa?” Tanya Papa lagi, tapi sekilas hanya seperti gurauan saja.
“Ini kan seandainya Om, nanti kalau memang ada kan tidak menjadi keragu-raguan. Kan Paman?” Tanya Ririn pada ustadz. Dari nada tanyanya Ririn memang sedikit menyindir ustadz. Ustadz yang ditanya hanya tersenyum kecut.
“Pak, Bu sebaiknya kami pamit saja. Berhubung hujan sudah reda, sebenarnya memang ada yang hendak saya kerjakan di rumah makanya pulang cepat tadi dari pondok” kini ustadz angkat bicara.
“Cepat sekali, belum juga makan” ujar Mama.
“Tidak perlu Bu, nanti merepotkan. Tadi kan memang niatnya hanya menunggu sampai hujan reda,” tambah ustadz.
“Yasudah kalau memang nak Fahri ada keperluan. Tapi lain kali mampir lo, saya senang ngobrol dengan nak Fahri. Jarang-jarang ada teman ngobrol yang nyambung gini” kata Papa.
“Insya Allah Pak. Kami pamit dulu, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaaikumussalam,” Ustadz keluar di susul oleh Ririn. Ririn pamit dan memelukku.
“Pokoknya niat Ririn sudah mantep, tunggu saja kabar dari Ririn ya Kak,” katanya berbisik. Ada rasa senang yang sayup-sayup masuk ke relung jiwaku.
“Jangan memaksakan diri, nanti kalau ustadz nggak ikhlas bagaimana?” tanyaku,
“Pokoknya Kakak tenang aja” katanya seraya melepaskan pelukannya lalu mengikuti jejak ustadz Fahri yang meninggalkan rumah. Tadi Mama sudah meminta mang Ujang untuk membelikan bensin.
Sesaat sebelum benar-benar masuk ustadz menatap kearahku tepat saat aku menatap kearahnya.
Cess!!
Seakan ada sebuah bongkahan es batu yang mendarat mulus di hatiku. Ustadz langsung masuk, aku beristigfar dalam hati. ’kembalikan kesadaranmu Sa, jangan terlalu berharap banyak. Dilihat dari segi manapun kamu tidak cocok dan tidak selevel dengan ustadz’ kataku dalam hati.
Di kamar aku mendapat sebuah pesan dari Ririn. Ririn memintaku mengangat teleponnya dan mendengar apa yang akan di obrolkan dengan Pamannya, yakni ustadz. Aku pun menunggu telepon darinya. Sebentar hpku berdering lalu kuangkat. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan yang sedang melaju,
“Paman pertanyaan Ririn ke orang tua kak Alisa tadi, Ririn beneran lo, bagaimana menurut Paman?” kudengar kini Ririn mulai berbicara pada ustadz. Lama hanya deruman mobil terdengar.
“Apa kamu tidak lihat tadi, kedua orang tua Alisa tampak menjawab pertanyaanmu dengan nada bercanda. Apa kamu yakin kedua orang tua Alisa benar ikhlas melihat anak satu-satu mereka menikah sebelum kuliahnya selesai, atau bahkan mungkin mereka ingin menyekolahkannya lebih tinggi lagi,” samar-samar terdengar jawaban ustadz. Aku menghela nafas panjang. Aku mendengar lagi dengan sabar apa yang akan dikatakan Ririn.
Tapi kalau kak Alisanya mau bisa saja kan kak Alisa meyakinkan kedua orang tuanya,” sanggah Ririn.
“Tidak semudah itu Rin, Paman maunya menikah dengan adanya keikhlasan dari kedua belah pihak serta kedua orang tuanya. Menikah itu ibadah Rin, bukan main-main, jadi Paman inginnya semua bahagia dan ikhlas dengan ibadah yang Paman lakukan,” jawab ustadz lagi, aku masih tetap mendengar denan takzim.
“Lalu bagaimana dengan Paman, kalau nanti Nenek meminta Paman untuk menikah dengan orang yang tidak Paman inginkan, bukankah malah yang tidak ikhlas beribadah adalah Paman sendiri sebagai pelaku. Ririn sudah menganggap Paman lebih dari Kakak sendiri, jadi Ririn juga menginginkan yang terbaik untuk Paman,” kejar Ririn mulai agak menaikkan volume suaranya. Sejenak ustadz belum mampu menjawab pertanyaan Ririn.
 “Sudahlah, kamu jangan terlalu mengkhawatirkan Paman. Paman bahagia kamu mau perhatian pada Paman, do’akan saja supaya nanti yang akan menjadi pendamping hidup Paman adalah yang terbaik yang telah Allah pilihkan untuk Paman. Tawakkal saja,” suara ustadz lembut seakan mencoba menenangkan Ririn.
“Bukankah manusia juga punya tugas untuk betikhtiar Paman, jadi sekarang Ririn mencoba ikhtiar itu dengan mencarikan wanita yang menurut Ririn cocok untuk Paman. Dan menurut Ririn ya kak Alisa. Paman juga sudah kenal lama dengan kak Alisa kan?” kata Ririn lagi.
“Memang, Paman sangat kenal watak dan prilaku Alisa. Bagaiman dia bisa sampai saat ini Paman sangat tau, dan Paman juga tau kalau Paman tidak bisa dengan Alisa. Paman akan coba ikhtiar, tapi untuk Alisa sepertinya Paman sungguh tidak bisa Rin.”
Entah kenapa setetes mutiara tiba-tiba jatuh begitu saja dari peraduannya mendengar jawaban ustadz tadi. Aku langsung menutup telepon itu, aku terisak dan menutup mulutku, aku kembali teringat akan masa yang telah kulalui bersama ustadz. Saat dulu aku masih menjadi manusia yang tidak mengenal Rabbinya, dan sosok peri Allah itu datang menyadarkanku, hamba pilihan Allah itu datang menegurku atas khilafku. Dan ternyata memang itulah tugasnya, hanya menyadarkanku, hanya itu dan tidak lebih. Aku saja yang berharap lebih. Hpku bordering, ada sebuah pesan masuk. Kubuka dan ternyata dari Ririrn.
Maafkan Ririn kak ya. Kakak tenang aja, Ririn akan coba meyakinkan Paman lagi. Niat Ririn sudah bulat Kak, Ririn yakin dengan Kakak.
Aku membalas pesan Ririn.
Dek, jangan terlalu dipaksakan ya. Benar kata ustadz, Kakak juga belum terbesit niat untuk menikah. Mungkin saja memang ada yang lebih baik menurut ustadz.
Ririn tetap saja bersih keras, katanya merasa yakin denganku. Aku menaruh hp di atas meja belajar. Aku mengambil diary yang sudah lama tidak pernah kutulis. Masih ada tulisan lama yang dulu sempat kutulis. Aku mengambil pena lalu menggoreskan apa yang saat ini tengah mendera hatiku.
Dear diary,
Kali ini sepertinya memang harus cepat-cepat kuhapus rasa cinta itu sebelum nanti tidak bisa dihapus lagi. Aku cukup bahagia karena telah dipertemukan dengannya, yang ternyata merupakan peri yang bertugas untuk menegur serta menyadarkanku dari khilafku. Aku saja yang terlalu berlebihan, aku sadari itu. Aku sangat berterimakasih padanya karena telah menjadi orang yang baik, sehingga terpilihlah dia untuk menjadi guruku, aku bahagia dengan waktu yang tak terlalu lama ini, aku bahagia karena mencintainya, mencintai orang yang mencintai Allah. Aku bahagia untuk satu hal itu yang kini saatnya harus kuakhiri karena kutahu cepat atau lambat dia akan menemukan seseorang yang pantas menjadi pendamping hidupnya. terimakasih sekali lagi telah menjadi seseorang yang bermakna dalam hidupku, aku tidak akan pernah melupakannya karena dia merupakan salah satu orang yang pernah mewarnai hidupku dengan tinta emasnya. Bantu hamba untuk lepas dari pesona itu ya Rabb, namun aku ingin tetap menghormatinya sebagai guruku.
Lepaslah rasa cinta sebagaimana burung dara yang lepas dari sangkarnya.
Terbanglah, carilah tempat yang lebih indah.
Terbanglah, ikuti titah Tuhanmu…..
_____
Malamnya aku mencoba membuka laptop siapa tau ada E-mail dari Chaterin. Benar saja empat E-mail yang masuk. Dari kak Ita, Chaterine, auntie Mary dan Yusuf. Aku reflex menggerakkan kursor kearah email dari Yusuf, aku penasaran apa pendapatnya tentang surat yang ku kirimkan padanya. Aku takut dia tidak terima.
Waalaikumusslam. Wr. Wb. 
Aku menghargai pendapatmu, aku juga tidak ingin hubungan kita menjadi penghalang salah seorang dari kita untuk mencari yang terbaik. Jodoh tidak bisa dipaksakan, andai kata kelak kita jodoh pun tidak ada yang bisa menghalangi. Terimakasih sebelum dan sesudahnya. Aku berterimakasih atas kebersamaan kita yang sedikit tapi bermanfaat. Aku senang kamu juga mendapat kebaikan dari hubungan kita. Sekian dulu dariku.
Yusuf

Alhamdulillah, sudah kuduga kalau Yusuf adalah orang yang bijak. Aku tidak membalasnya. Aku kemudian membaca email-email yang lain. Chaterine memberitahukan bahwa dia sekarang sedang dalam proses mau mengenal islam lewat teman-teman SOI, katanya dia mulai agak tertarik dengan Islam. Kubalas emailnya, kukatakan bahwa aku sangat bahagia mendengarnya, aku do’akan semoga dia tetap berada di jalan hidayah dan dakwah di SOI juga.
Kak Ita memberi pesan agar dimanapun aku berada tetap membawa niat dakwah, dalam keadaan apapun dan dari media serta cara bagaimana pun tetap harus memproritaskan dakwah. Tapi kak Ita selalu mengingatkan kalau dakwah terbaik itu seperti yang tersirat di diri Rasulullah, yakni dakwah dengan perbuatan. Aku berterimakasih atas pesan kak Ita.
Auntie Mary mengabarkan bahwa lebaran kali ini mereka jadi ke Indonesia. Dan, aku sangat kaget mendengar dia akan membawa seorang Laki-laki. Dan laki-laki itu adalah calon suaminya yang berdarah Australi-Arab. Kata auntie dia sekalian akan silaturahmi ke keluarganya yang ada di Indonesia dan insya Allah akan mengadakan akadnya di Indonesia juga. Auntie memberitahukan agar aku memberitahu kabar baik itu pada Mama dan Papa. Aku menutup laptop lalu pergi memberitahukan Mama dan Papa segera.
Mama hampir tak percaya, “Aku pikir dia tidak akan mau menikah,” kata Mama.
“Kan sekarang auntie seorang muslimah Ma, jadi itu wajar, alhamdulillah” kataku.
Esoknya aku kembali dengan segala aktifitas perkuliahanku. Di dapur aku melihat Bi Iyem dan Lastri yang sedang masak sembari ngobrol. Aku ikut nimbrung dan juga membantu. Lasri langsung menyuruhku berhenti membantu, aku melirik kearah Bi Iyem seakan menyuruhnya memberi pengertian pada Lastri. Setelah diberitahukan kalau aku memang biasa membantu, Lastri walau terkadang mengambil bagian kerjaku tapi sudah tidak keberatan lagi. Aku juga kadang mengajak Lastri tidur denganku sebab kamar Bi Iyem cukup untuk satu orang, tapi selalu saja tidak mau. Lastri anaknya cukup cerdas, di kampung ternyata dia juga mengajar ngaji, aku salut padanya. Bacaan Al-Qur’annya fasih sekali. Aku kadang memanggilnya dengan mbak Lastri karena usianya terpaut 4 tahun dariku.
---
Pagi ini aku dikagetkan oleh dua kejadian yang satunya aku dapat sms dari Yusuf. Dia mengatakan dia sudah pulang dari Australi, katanya ada acara penting yang harus dihadirinya, bukan kabar itu yang mengagetkanku, tapi tiba-tiba saja di akhir smsnya dia memanggilku dengan sebutan Kakak. Aku kira dia salah tulis dia malah bilang tidak ada yang salah dengan smsnya. Itu meninggalkan tanda Tanya besar di kepalaku.
Hal kedua yang mengejutkanku adalah Kakek dan Nenek beserta auntie Mary mempercepat kedatangannya, dan kata Mama mereka akan datang hari ini. Bi Iyem sedang repot memasak di dapur dengan mbak Lastri. Mama mengajakku untuk pergi ke butik tempat biasa Mama membeli baju, katanya aku akan dibelikan baju yang banyak dan cantik-cantik.
“Masak menyambut Nenek sampai serepot ini sih Ma, pakai acara beli baju dan masak banyak. Alias juga kan masih punya baju yang bagus, nanti lebaran juga beli kan Ma” Protesku. Mama masih tetap terlihat repot berkemas. Aku beralih pada Papa yang hanya terlihat santai membaca Koran.
“Pa, Mama kok tiba-tiba jadi super sibuk begitu? Tiga hari ditinggal penelitian kok jadi aneh begini. Mama kenapa Pa?” tanyaku pada Papa sembari duduk di sebelah Papa sembari sesekali melihat Koran yang Papa baca.
“Ikuti saja perintah Mamamu, jarang-jarang kan Mamamu super sibuk,” Papa malah membela Mama. Mama sudah terlihat siap dengan gamis ungu dan tas warna senadanya. Mama tersenyum kearahku.
“Ayo cepat kita berangkat,” kata Mama.
“Alisa kan belum siap-siap Ma,”Protesku.
“Sudah, nanti saja disana. Kan kita mau beli baju,”
“Papa nggak ikut sekalian?” tanyaku pada Papa.
“Papa dan Mama sudah duluan beli, yang penting itu kamu,” Mama langsung menarik lenganku meninggalkan rumah. Aku pasrah saja mengikuti Mama seraya mensejajarkan langkah Mama yang agak cepat. Aku masuk mobil, Mama menyetir membelah jalan.
Sampai di butik, Mama makin gencar memburuku dengan baju-baju yang menurutku warna serta motifnya amat mencolok. Aku memilih yang lebih kalem, Mama malah bilang untuk yang satu ini pilih yang agak bagus, jangan yang simple. Aku menurut saja, tapi kupilih yang mendekati kata biasa daripada yang dipilihkan Mama awal tadi.
Sepulang dari butik sudah ada Nenek Ijah dan Kakek Surya yang tak lain adalah Ibu serta Ayah dari Papa. Aku beralih menciuk tangan mereka takzim.
“Kakek dan Nenek akan menginap ya, kebetulan sekali Nenek dan Kakek serta auntie Mary akan kesini dari Australi.” Kataku,
“Iya Nenek tau. Makanya Nenek kesini” kata Nenek, aku mengangguk. Belum selesai mengobrol dengan Nenek bel berbunyi. Mama membuka pintu. Wajahku cerah melihat Kakek, Nenek dan auntie yang baru saja kubicarakan sudah hadir. Aku langsung melangkah menuju pintu, aku mencium tangan mereka, aku melihat ke segala arah, auntie bingung.
“Mana, katanya mau bawa Ikhwan,” kataku. auntie tersenyum.
“Itu nanti, dia harus ke rumah keluarganya dulu.” Kata auntie, aku mengangguk. Siang ini aku senang sekali karena semua keluarga berkumpul. Biasanya kalau lebaran hanya Nenek Ijah dan Kakek Surya yang berkunjung atau kami yang berkunjung kesana. Semua tampak mengobrol, Mama malah mengajakku ke dalam untuk mencoba baju yang cocok katanya, auntie Mary juga ikut.
“Bukannya dipake lebaran Ma?” kataku.
“Lebaran juga di pakai, tapi yang penting itu sekarang,” kata Mama. Hpku berdering, telepon dari Zahra.
Assalamu’alaikum, Sa kamu sudah siap?” Tanya Zahra dari seberang telepon. Aku mengerutkan dahi.
“Siap untuk apa Ra?” tanyaku. Mama dan auntie Mary terlihat sibuk memilah dan memilih baju disampingku.
Sebentar lagi kami akan kesana, jadi kamu siap-siap ya,” katanya lagi.
“Loh, kamu mau kesini juga Ra? Kenapa nggak bilang dari tadi pagi,”
Yasudah nanti kamu dandan yang cantik aja. Aku mau siap-siap dulu ya. Assalamu’alaikum” Zahra menutup teleponnya. Aku menatap teleponku sendiri seakan menatap Zahra. Zahra sekarang ikut-ikutan membuatku bingung.
“Lis, sepertinya yang warna pink ini cocok buatmu, manis dan cukup istimewa” saran auntie Mary. aku masih dirundung rasa penasran. Auntie menempelkan gamis berwarna merah muda dengan sedikit corak yang memang cukup cantik.
“Pasti calon suamimu akan suka,” kata auntie. Aku semakin mengerutkan kening.
“Apa maksud auntie calon suami?” tanyaku memburu.
“Loh, hari ini kan kamu akan di khitbah,” jawab aunti masih sibuk memilih baju. Aku beralih ke Mama, aku merasa kurang enak dengan kabar ini.
“Apa maksudnya ini Ma, kenapa Mama tidak minta pendapat Alisa dulu. Alias kan belum lulus kuliah Ma, lagian nanti kalau Alisa menikah Mama yang menamani siapa?” tanyaku pada Mama. Mama menatapku dengan sayang lalu mengajakku duduk di kasur.
“Mama tidak mengambil keputusan secara sepihak, Mama lebih tau siapa kamu. Kamu pasti akan mau jika tau siapa yang akan mengkhitbah kamu. Mama juga tidak akan kesepian, karena Alhamdulillah dokter bilang Mama sedang mengandung” aku kaget mendengar perkataan Mama diakhir tadi.
“Mama hamil?” tanyaku memastikan. Mama mengangguk, “Alhamdulillah” sesaat aku kembali teringat pasal khitbah.
“Memangnya yang akan mengkhitbah Alisa siapa Ma?” kini hatiku mulai tak menentu. Mama belum sama sekali diskusi denganku dan sekarang, hari ini, aku langsung ingin di khitbah. Aku teringat dengan sms Yusuf tadi pagi, ah aku malu untuk berharap sejauh itu.
“Yang akan mengkhitbah kamu adalah nak Fahri” jawab Mama. Saat itu juga seperti ada petir di dalam dadaku. Dadaku bergemuruh, sekian lama aku masih termangu. Aku mengontrol diriku, aku beristigfar dalam hati.
“Masya Allah, kuasa-Mu ya Rabb” ujarku dalam hati.
“Sekarang apa kamu berani menolak?” goda Mama.
“Kenapa Mama bisa semantap itu kalau aku akan menerima ustadz Fahri?” tanyaku.
“Mama kan tidak bekerja sendiri,” kata Mama.
“Lalu?” buruku penasaran.
“Zahra, Ririn, mereka yang datang ke rumah saat kamu sedang ada kegiatan selama tiga hari ke luar kota untuk penelitian kemarin” kata Mama. Sekarang aku sudah mulai bisa tau jalan ceritanya kenapa pagi ini tidak seperti biasanya.
“Sudahlah, itu semua tidak penting sekarang. Yang penting itu sekarang bagaimana caranya kamu tampil cantik di depan calon suamimu”
Cess! Hatiku mendesir, setelah tau siapa lelaki yang akan mengkhitbahku aku merasa grogi sendiri, pipiku sepertinya sudah memerah seperti tomat sekarang. Ini sangat mendadak, puji syukur tak hentinya menggema dalam kalbuku. Bersyukur atas hari ini dan hari-hari sebelumnya yang telah Allah rancang seindah mungkin, akan hari-hari yang kulalui sehingga aku bisa berdiri hari ini, disini, menunggu sosok yang telah Allah siapkan jauh sebelum hari ini untukku. Alhamdulillah ya Rabb, sudah tidak bisa kurangkai lagi rasa syukur yang menyelimuti relung hatiku atas semua nikmat-Mu.
Aku teringat Yusuf tadi pagi. Aku merasa tidak enak, aku menelponnya, berarti dia juga tau dengan semua rencana ini.
Akulah yang meyakinkan kak Fahri. Sebelumnya dia tidak mau mengkhitbahmu karenaku. aku juga sebenarnya sudah tau sejak lama sepertinya kakak ada perasaan terhadapmu, jadi aku memaksanya untuk mau dan berani mengkhitbahmu” kata Yusuf menjelaskan.
“Lalu bagaimana denganmu?” tanyaku spontan.
Sudahlah, anggap saja aku menebus kesalahanku telah merebutmu dulu dari kak Fahri. Lagian sepertinya Chaterin itu akhwat yang cukup baik, dia muslim sekarang,” kata Yusuf.
“Chaterin?” tanyaku tak percaya.
Benar,”
Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Aku kira Yusuf tidak akan ikhlas dengan semua ini. Ternyata dia juga punya andil yang cukup besar. Sejam lamanya aku berdandan, aku tidak terbiasa bersolek, jadi kuminta auntie Mary membantuku. Sesekali aku memprotes karena terlalu mencolok, auntie malah menasehatiku.
“Besok kalau kamu menikah, kamu harus pintar dandan untuk menyenangkan suami. Bukankah itu yang diajarkan Islam?” kata auntie. Aku jadi malu sendiri.
Aku menatap diriku di cermin. Gamis pink dibalut jilbab senada yang di tata cukup bagus oleh auntie dan ditambah sedikit polesan yang tidak terlalu mencolok. Aku terlihat cukup beda dari biasanya. Tanganku terasa dingin, aku tak tau tiba-tiba dadaku sesak, aku grogi sekali, aku tidak menyangka akan secepat ini hari semenegangkan ini akan datang. Ya Allah, semoga semuanya berjalan dengan lancar.
Bel rumah berbunyi. Dadaku berdetak tak karuan, auntie melihatku lalu memegang pundakku.
“Kamu tunggu didalam dulu, nanti auntie kesini lagi” kata auntie. Aku meminta auntie agar mengajak sekalian Zahra kesini. Aku mencoba mencari kegiatan lain agar tidak tegang. Aku membaca buku, tapi tidak konsen, kutaruh buku itu diatas meja. Sebentar pintu kamarku terbuka, Zahra beserta Ririn masuk ke kamaraku. Ririn terlihat tersenyum lebar.
“Wah, wah yang mau dilamar, cantik sekali,” godanya. Rasanya agak mendingan grogiku melihat mereka.
“Selamat ya, dan maaf telah merahasiakannya darimu. Ririn yang punya ide,” kata Zahra. aku beralih menatap Ririn yang kini tengah cengengesan.
“Maaf lo kak, lagian tiga hari itu kakak juga tidak ada di rumah toh? Aku taunya yang dekat dengan Kakak itu ya kak Zahra, karena Ririn sudah mantap saat itu jadinya Ririn lakukan semampu Ririn. Lalu kak Zahra menceritakan semua yang perlu-perlu, aku senang sekali saat kak Zahra bilang sepertinya kak Alisa juga ada perasaan sama Paman. Lalu masalahnya tidak berhenti sampai sana kak, masalahnya ada di Paman, Paman bersih keras tidak ingin, tapi karena kemantapan Ririn. Ririn coba hubungi Paman Yusuf, dan ternyata jawabannya juga memuaskan. Paman Yusuf terus meyakinkan Paman Fahri. Dan setelah itu Ririn dan kak Zahra mengajak bertemu kedua orang tua kakak dengan kedua orang tua Paman. Awalnya memang ada keraguan di keluarga kak Alisa, tapi karena Paman sudah mau, Pamanlah yang meyakinkan kedua orang tua kakak,” Papar Ririn panjang lebar. Aku berkaca-kaca.
“Makasih banyak ya dek, kamu kok bisa-bisanya segigih itu” heranku.
“Ririn memang seperti itu kak, kalau sudah mantap dengan sesuatu harus sampai berhasil. Kebetulan sekali saat itu Ririn sudah sangat mantap kalau kak Alisa memang cocok dengan Paman,” katanya.
“Alhamdulillah, memang sudah jalan dari Allah” kata Zahra. “Kalau begitu mari kita turun kebawah, yang lain sudah menunggu” kata Zahra lagi.
“Aku grogi Ra,” kataku jujur.
“Coba lafadzkan asma Allah, insya Allah nanti tenang dengan sendirinya” saran Zahra. Zahra kemudian menggandeng tanganku menuju ruang tengah. Dari atas aku sedikit melirik ke bawah, cukup ramai karena semua keluarga dari pihak Papa dan Mama berkumpul ditambah keluarga ustadz Fahri. Aku melangkah menuruni anak tangga sembari tetap melafadzkan zikir dengan suara sangat pelan. Mama mengajakku duduk disampingnya. Aku tak pernah secanggung ini sebelumnya. Lalu sekarang Papa yang angkat bicara, Papa membuka acara. Papa sedikit bercerita tentang aku dan ustadz Fahri, Papa menyinggung kembali saat pertama kali bertemu ustadz, Papa mengutarakan rasa bangganya karena ustadz akan mengkhitbah putri satu-satunya ini.
Sesi demi sesi berlalu, kini tiba diacara utama yakni prosesi khitbah. Aku semakin gencar melafadzkan zikir didalam hati. tanganku masih dingin. Aku sampai tidak sadar bahwa sekarang giliranku untuk menjawab. Aku masih diam, tidak bisa menjawab sepatah katapun. Mulutku seakan tercekat. Semua diam, Mama pun angkat bicara, sepertinya beliau gemas melihatku yang tak mau angkat bicara.
“Biasanya Alisa kalau sedang grogi memang begitu, suka diam” kata Mama. Mama memegang pundakku. Aku angkat bicara.
“Bismillahirrahmanirrahim. Dengan mengharap Ridha Allah swt, dengan ini saya menerima lamaran ustadz Fahri” aku menghela nafas, seisi ruangan menggemakan takbir. Lalu ustadz Ilham yang beralih membaca do’a. aku tidak tau dari mana datangnya rasa sedih itu, air mataku seketika saja tumpah. aku menangis ditengah lantunan do’a yang ustadz Ilham bacakan, aku hanyut dalam rasa syukur pada-Nya.
Usai do’a Mamanya ustadz Fahri mendekatiku. Beliau mengecup keningku sayang, aku memeluk beliau seakan memeluk Mamaku sendiri. Lalu sesekali aku diajak ngobrol oleh beliau tapi lebih banyak mengobrol dengan Mama. Acara pernikahan akan dilaksanakan selesai lebaran. Tujuh hari setelah lebaran tepatnya, langsung dengan acara resefsinya. Semua setuju.
Usai makan bersama keluarga dari pihak ustadz Fahri pun berpamitan. Yusuf memberi selamat padaku, aku mendo’akan agar dia bisa membimbing Chaterine, aku juga titip salam pada semua anggota SOI. Aku beralih mencium tangan Mama dan Papa ustadz Fahri, ustadz juga demikian, bersalaman dengan Papa dan Mama. Aku masih tak berani menatap wajah ustadz. Ririn mendekatiku dan memelukku sayang.
“Sebentar lagi, kakak akan jadi Bibinya Ririn ya. Nanti Ririn akan sering mampir kesini, Ririn pamit dulu” katanya. Aku mengangguk seraya tersenyum manis padanya.
-----
Ramadhan tahun ini terasa sangat lama, menunggu memang merupakan hal yang membuat waktu terasa lama. Syururnya aku ada kuliah walau puasa, jadi sesekali perasaan menunggu itu hilang. Tapi tetap saja Ramadha kali ini merupakan Ramadhan terpanjang yang pernah kulalui.
Ririn sering berkunjung ke rumah. Dia banyak cerita pasal teman satu kelas dan satu pondoknya yang kecewa karena ustadz Fahri sudah mengkhitbahku.
“Teman duduk Ririn kak, sampai menangis lo. Dia menceritakan pada Ririn bagaimana dia mengagumi Paman sejak pertama kali mengisi pelajaran SKI. Ririn sih paham kak, jadinya Ririn hibur saja dia” katanya.
Ada juga yang sampai titip surat segala katanya pada ustadz. Aku jadi berfikir, andai aku berada di posisi mereka, mungkin aku pun akan bertindak demikian. Aku hanya bisa berdo’a supaya Allah memberikan kelapangan hati pada mereka.
Saat acara di Pondok dimulai semua panitia memberi selamat padaku. Aku tidak bisa bertemu dengan ustadz saat itu, karena teman-teman sengaja memisahkan kami. Aku pun seandainya disuruh memilih, aku malu untuk bertemu walau tidak bisa dipungkiri ada rasa rindu yang menyusup ke relung jiwaku, sangat.
Aku manfaatkan bulan Ramadhan ini untuk berdo’a supaya pernikahanku dengan ustadz Fahri kelak mendapat Ridho-Nya dan menjadi keluarga yang Sakinah mawadah warahmah. Aku memanfaatkan sekali hari dan malam di bulan Ramadhan ini untuk bermunajat pada Allah.Kulalui malam-malamku dengan ucapan rasa syukur serta harap akan Ridho Allah.
Tapi yang namanya waktu walau pun terasa lama, pada akhirnya pasti berlalu juga. Usai lebaran Mama semakin heboh, menyewa catering, menyiapkan ini, itu ditambah dengan adanya asistennya, siapa lagi kalau bukan auntie Mary. Pernikahan auntie Mary masih lama, akan dilaksanakan seminggu setelah acara pernikahanku, karena kebetulan acara lamarannya akan diselenggarakan setelah selesai resepsiku sekalian keluarga mempelai pria menghadiri acara pernikahanku.
Zahra sesekali berkunjung dan membawakan beberapa bingkisan yang nantinya diperlukan. Aku banyak bertanya pada Zahra tentang apa saja yang berkaitan dengan nanti saat menjalani biduk rumah tangga. Aku jujur saja padanya kalau aku belum terlalu mendalami prihal pernikahan, Zahra memberikanku buku panduan dan banyak menasehatiku.
“Ingat Lis, berkeluarga adalah menyatukan dua insan, dua perasaan, dua karakter individu serta dua keluarga. Jadi saranku kamu harus banyak-banyak sabar dan pengertian, andai nanti ada prilaku pasanganmu yang sangat bertentangan dengan dirimu. Bijaklah, kalau perlu mengalah, mengalahlah. Jangan sampai api kecil permasalahan yang tidak bisa ditindaki membakar biduk rumah tangga” pesan Zahra, aku mengangguk aku sangat tau dia sudah lebih dulu merasakan hal itu.
Hari pun berlalu dan hari ini aku sudah dirias dengan baju pengantin yang sangat cantik. Aku sendiri hampir tidak menyangka akan tampil sangat beda, aku memang jarang berhias sebelumnya. Zahra dan Ririn yang datang melihatku memuji.
“Masya Allah, pengantin wanitanya cantik sekali” ujar Ririn yang dibalas anggukan oleh Zahra.
“Biasa saja, periasnya yang handal. Andai bebek dirias pun mungkin akan secantik angsa kerajaan” kataku.
“Kakak bisa saja becandanya,”
“Yasudah, ayo turun” ajak Zahra. Ririn lalu beralih membantuku merapikan gaunku yang agak panjang dibelakangnya. Aku duduk di tempat yang sudah disediakan terpisah dengan mempelai pria. Sudah ada Mama, auntie Mary dan yang lain disana. Aku masih bisa melihat acara yang akan berlangsung dari sini.
Kini tiba saatnya acara utama, yakni akad nikah. Saat moderator menyampaikan hal itu hatiku berdesir. Aku menatap Zahra dengan mata berkaca, Zahra tersenyum dan memegang tanganku. Si kecil Fatimah sedang di gendong oleh Mamanya Zahra. Suara ustadz lantang saat mengucap ijab Kabul, saat semua serentak mengatakan ‘sah’ di ruang tamu yang disulap semegah mungkin itu air mataku tanpa permisi membanjiri pipiku. Memoriku berputar saat pertama kali bertemu dengan ustadz, tatapan sinis itu menjadi awal dari sederet kisah yang menakjubkan ini. Dalah hati kulantunkan puisi,
Bagiku, cukup dengan tatapan, tak perlu penjelasan.
Hanya dengan sesungging senyuman, tak perlu penjelasan.
Pun, hanya dengan satu picingan mata, dan tak perlu penjelasan.
Bagaikan tajamnya belati, picingan mata itu sudah cukup sakit mengenai ulu hati.
Sesejuk embun pagi yang membalut rerumputan, sesungging senyum itu mampu tenangkan kalbu
Seteduh pohon ditengah gersangnya gurun pasir, tatapan itu lembut membelai hati.
Hanya itu....
Bagiku itu sudah lebih dari cukup,,,
          Selesai acara akad. Aku langsung disandingkan bersama ustadz dipelaminan untuk menerima ucapan selamat serta do’a dari tamu-tamu yang telah datang. saat menuju pelaminan dadaku kembali bergemuruh, sejak sekian lama kini aku akan menatap wajah karismaik itu lagi, dan sekarang sebagai suamiku. Masya Allah, sungguh merupakan rahmat yang tak terkira rasanya. Ustadz masih terlihat asik mengobrol dengan ustadz Ilham saat aku sedang dibimbing kearah pelaminan oleh Zahra dan Ririn. Saat melihatku ustadz Ilham seakan mengerti lalu seakan meminta diri dari ustadz, ustadz beralih menatap kearahku. Ia sepertinya agak terkesiap, mukaku memerah rasanya aku salah tingkah tidak tau harus berbuat apa. Ustadz Ilham mengajak Zahra pergi dari sana, aku semakin canggung. Aku agak menunduk, sebuah tangan terulur kearahku, aku mendongak.
          Cess!! Senyum ustadz sekarang terpatri di wajahnya yang karismatik itu, aku balas tersenyum lalu menggapai tangannya yang tadi terulur kearahku. Aku dituntunnya untuk duduk bersebelahan.
          “Makasih ustadz,” lirihku. Ustadz malah terdengar tertawa kecil. Aku menatap kearahnya. Aku berfikir memangnya apa yang salah denganku.
          “Apa kamu mau terus memanggilku dengan sebutan ustadz sedangkan aku sudah sah menjadi suamimu sayangku,” bisiknya mesra. Hatiku kembali berdesir, baru kali ini aku mendengar ustadz berkata semesra itu, lembut sekali. Aku malu.
          “Lalu aku harus panggil apa? Ustadz maunya aku panggil apa?” tanyaku.
          “Ya, yang standar itu biasanya Mas, terserah kamu. “ kata ustadz. Aku jadi teringat sesuatu.
          “Oh ya, us, eh maksudnya mas jadi mengundang anak yatim?” tanyaku. Mas Fahri mengangguk. Aku masih ingat ustadz, aduh maksudnya mas Fahri pernah berkeinginan untuk mengundang anak yatim di acara pernikahan, mas Fahri ingin acaranya berkah, dan juga do’a mereka itu didengar oleh Allah.
          Benar saja, sebentar kemudian banyak sekali anak kecil yang menyalami kami. Usai acara pengkhitbahan auntie Mary aku berpamitan pada Mama dan Papa serta anggota keluarga yang lain. Aku tidak bisa tahan untuk tidak meneteskan air mata kala tanganku merengkuh lalu mencium tangan Mama dan Papa. Aku teringat saat aku dulu menjadi anak yang tidak berbakti, aku meminta maaf pada Papa. Tangan-tangan itu yang selama belasan tahun ini tanpa henti mengayomi dan bekerja keras demi melihat aku tumbuh sehat. Sungguh, tidak ada kasih sayang yang mengalahkan kasih sayang orang tua kepada anaknya di dunia ini. Allah mengaruniakan rasa sayang yang tak terhingga pada mereka yang terkadang menomor duakan diri mereka diatas kepentingan anaknya, dan dalam kurun waktu yang tidak sedikit. Aku kembali terisak di pelukan Mama. Aku berdo’a dalam hati semoga segala ketaanku pada suamiku membuahkan pahala atas mereka juga.
          Aku sampai di rumah mas Fahri. Rumah yang tidak jauh berbeda dengan rumahku, karena apa, ternyata di rumah ini ada taman bunga yang tak kalah indah dari taman yang kami buat di rumah. Bunga anggrek hutan yang berada di taman itu mengingatkanku akan suatu kejadian, iya saat aku bertemu mas Fahri di toko bunga.
          “Bunga itu spesial untuk menyambut kedatanganmu dirumah ini,” kata mas Fahri. Aku menoleh kearahnya. Jadi bunga itu ditujukan untukku. “Nanti juga anggreknya semakin banyak,” tambahnya. aku terkejut, sejak kapan kesukaanku begitu diketahui. Aku mencoba menerka-nerka sejak kapan mas Fahri sebenarnya mencintaiku.
          “Kalian langsung naik saja ke kamar” kata Mamanya mas Fahri. Mas Fahri menatapku lalu mengajak keatas. Aku mengingat-ingat apa yang harus dilakukan saat malam pertama kali memasuki rumah suami dari buku yang Zahra berikan itu.
          Pintu kamar dikunci oleh ustadz, dadaku bergemuruh. Aku kikuk begitu juga mas Fahri. Diam, hanya suara jangkrik yang terdengar dan mungkin saja detak jantungku. Sempat kubaca bahwa perasaan grogi ini merupakan anugerah dari Allah. Mas Fahri seperti tersadar akan sesuatu, dia lalu mendekat kearahku. Mas Fahri tersenyum manis kearahku, tepat berada di depan wajahku, dia lalu memegang ubun-ubunku seraya membacakan do’a barakah, aku mengamini dalam hati. selesai itu aku merasakan sesuatu yang hangat dikeningku, mas Fahri mencium keningku lama. Aku meneteskan air mata.
          “Kita shalat dulu ya” katanya, aku mengangguk saja menuruti. Aku menngambil wudlu bergantian dengan mas Fahri, lalu menunaikan shalat sunnah. Kemudian mas Fahri berdo’a kembali. Aku tak hentinya mengucap syukur dalam do’aku kepada Dzat yang pada-Nya terletak Jodoh setiap hamba. Usai shalat aku mencium tangan mas Fahri untuk pertama kalinya, aku ciumi tangan itu yang sekarang sudah sah menjadi suamiku.
          Mas Fahri mengajakku menuju balkon, disana sudah tersedia sopa empuk. Kami duduk berdua disana. Rembulan tersenyum kearah kami. Mas Fahri memegang tanganku erat, aku menyandarkan kepalaku di pundaknya sembari tetap memandangi rembulan.
          “Kamu tau dek, suatu malam aku memandangi rembulan dan rembulan itu seketika berubah wujud menjadi wajah yang sangat cantik, kecantikannya mengalahkan kecantikan rembulan. Kecantikan wajah itu membuat rembulan cemburu” Aku mengangkat wajahku lalu menatap wajah berseri-seri itu.
          “Lalu?” tanyaku. Sembari mengelus kepalaku sayang mas Fahri meneruskan ceritanya.
          “Wajah itu telah menyihirku, menyihirku menjadi sosok yang ingin selalu berada di dekatnya, menyihirku menjadi seorang yang lemah seketika. Aku lemah dihadapkan dengan pesonanya, aku sempat merasa telah salah dengan hatiku, karena jika aku mencintanya aku akan tersiksa, menunggu sekian lama sedang ia masih harus meneruskan studinya” aku tersenyum, aku kini mulai bisa menerka siapa wanita itu. Aku setia mendengar mas Fahri bercerita.
          “Kau tau dek, wajah yang mengalahkan rembulan itu sempat membuatku harus mencoba melupakannya, aku sempat merasa tidak bisa mendapatkannya. Karena jika aku memaksanya untuk bersamaku maka aku akan mendzaliminya. Tapi Allah berkehendak lain, Allah punya rencana yang indah, sehingga aku sekarang bisa menatap wajah yang mengalahkan rembulan itu tepat saat rembulan menampakkan keindahannya” mas Fahri beralih mengangkat kepalaku lalu menatap mataku lekat, aku kikuk. Tatapannya menyiratkan keteduhan sekaligus kehangatan.
          “Tu kan, sudah mas bilang wajah ini mengalahkan kecantikan rembulan” katanya semakin membuatku malu bercampur rasa senang. Pipiku memanas. Mas Fahri beralih mencium pipiku mesra, aku kaget.
          Ya humaira, mas senang melihat wajah kemerah-merahan itu” bisik mas Fahri lagi. “Sepertinya diluar sini memang dingin. Bagaiman kalau kita masuk saja.” Katanya lagi. Aku masih diam saja. Mas Fahri sepertinya gemas, dia beralih menggendongku. Aku kaget. Dia malah tersenyum jahil, pipiku kembali memerah. Aku takut jika dia kembali berbuat seperti tadi, aku beralih menenggelamkan wajahku di dadanya yang datar. Kami pun masuk, rembulan masih saja setia menemani kami. Aku kembali mengucap syukur atas nikmat yang Allah anugerahkan malam ini.
          ----
          Epilog..
          Suatu pagi aku menemukan sebuah catatan di dalam laci kerja mas Fahri. Aku penasaran karena catatan itu bersampulkan gambar hati. Aku membukanya, aku membaca lembar demi lembar catatan itu dengan mata berkaca-kaca. itu tidak lain merupakan catatan hati mas Fahri.
          Bermula dari rasa kasihan dan prihatin, kini rasa itu telah tumbuh menjadi benih-benih yang setiap saatnya berbuah menjadi kecambah cinta. Aku bingung sendiri kenapa kecambah cinta itu tumbuh semakin besar dan menjadi pohon yang tumbuh kokoh di hatiku. Semakin ingin kucabut pohon itu hatiku malah merasakan sakit yang begitu perih karena akar-akar cinta itu sudah tertancap dengan kokoh disana.
      Wahai Allah, Engkaulah yang memegang hati setiap hamba-Mu. Apalah artinya aku tanpa belas kasih-Mu. Kasihinnilah hamba-Mu ini yang sedang dilanda perasaan cinta. Hamba tidak mau kekurangan rasa Cinta terhadap-Mu namun hamba tidak bisa lepas dari pesonanya. Kasihinilah hamba-Mu ini Ya Rabb.
          Tanggalnya persis seperti tanggal aku baru masuk ke pesantren. di lembar ke berikutnya aku menemukan selembar kertas kusam, saat kuperhatikan ternyata itu adalah surat yang ku tulis dulu di taman bunga, aku tersenyum. Aku kembali membaca halaman yang lain, kadang kala aku tersenyum mengetahui bahwa aku dan mas Fahri merasakan hal yang tidak jauh berbeda. Aku membaca sesi dimana mas Fahri memutuskan untuk berpacaran dengan Zahra. Ternyata saat itu mas Fahri sedang dalam keadaan bimbang dan mengetahui kalau Zahra menaruh hati padanya dari Ririn.
          Zahra alangkah halusnya hatimu. Maafkan hamba Ya Rabb telah melakukan sebuah hal yang sia-sia. Hamba baru tau kalau perbuatan itu adalah salah. Terimakasih telah memberi jalan agar hamba terlepas dari jerat itu. Alhamdulillah, jagalah hati ini agar tidak melakukan perbuatan yang menjerumuskan hamba pada hal yang sia-sia dan membawa mudharat.
          Aku baru memahami sekarang, aku sempat bertanya-tanya kenapa mas Fahri dulu pacaran. Ternyata hanya sebuah kekhilafan semata, bukankah ustadz juga manusia? Dan dari catatan itu juga aku tau kalau mas Fahri memendam perasaannya selama ini sama sepertiku. Aku juga tahu kalau mas Fahri sempat kecewa atas kelakuanku yang pacaran dengan Yusuf. Dan ternyata ada cerita yang lucu yang ternyata sempat juga aku lakukan saat merasa cintaku pada mas Fahri tidak real saat itu.
          Ya Rabb bantu hamba mulai hari ini untuk mencoba berpuasa dan menyingkirkan sedikit demi sedikit celah bagi syaitan untuk menjerumuskan hamba pada nafsu dan perbuatan yang tidak Engkau Ridhoi.
          Aku tertawa sendiri karena aku juga sempat melakukan hal itu. Belum selesai kubaca catatan itu, aku dikagetkan dengan bisikan seseorang.
          “Asyik sekali ya membacanya,” aku terperanjah kaget. Aku menatap sosok yang tengah tersenyum itu. Aku tersenyum seakan tak merasa bersalah lalu cepat-cepat memasukan buku itu ke tempatnya semula.
          “Tadi nggak sengaja ketemu mas. Karena penasaran jadi aku baca” kataku membela diri. “Mas marah?” tanyaku. Mas Fahri malah tersenyum sayang, aku bernafas lega.
          “Kamu memang berhak tau,” katanya kemudian mengambil kursi lalu duduk di depanku sembari memegang tanganku dan menatapku sayang. “Selama ini mas saja yang tau perasaanmu. Jadi rasanya tidak adil sekali kalau kamu tidak tau perasaan mas,” katanya lagi, aku tersenyum mengingat kalimat terakhir yang kubaca.
          “Jadi mas dulu juga pernah berpuasa?” tanyaku menahan tawa. Mas Fahri mengangguk. Dia menyentil hidungku sayang.
          “Semua itu karenamu istriku, tapi disanalah letak indahnya cinta dalam balutan rasa takut pada Allah. pada akhirnya larinya ke ibadah. Aku mencintaimu dengan dasar agama Islam yang luar biasa menyanjung kesucian cinta, aku bersyukur kita dipertemukan dalam cinta kasih Islam,” mataku berkaca.
          “Aku menemukan matahari yang baru, yang tak kalah dengan matahariku yang dulu” ujarku masih dengan mata berkaca-kaca. “Aku bersyukur. Tapi jika aku menangis apakah akan mengotori cahayanya?” lirihku lagi. Mas Fahri seketika itu menarikku kedalam pelukannya. Pelukan hangat penuh cinta, nikmat Tuhan yang mana lagi yang tak patut ku syukuri?
          “Menangislah, air matamu sama sekali tidak akan mengotori matahari itu. Tanpa hujan pelangi tidak akan hadir menghiasi dunia yang cerah ini. Tanpa hujan hati yang penuh dengan cahaya matahari itu akan gersang, jadi menangislah. Karena mataharimu ini sama sekali tidak tersakiti dengan hujan itu, matahari ini akan menerima dengan lapang, karena akan hadir pelangi setelahnya,”
          Gerimis menghiasi pipiku yang tengah berada dalam hangatnya pelukan matahariku. Pelangi kebahagiaan menghiasi hatiku. Terimakasih Rabb. Jagalah cinta kami agar tetap berada dalam balutan Cinta Kasih-Mu Ya Rabb. Alhamdulillah.

Komentar

  1. hehe, Alhamdulillah. hanya jari jemari kecil ini yang mampu menguraikan sedikit saja dari kisah yang termaktub dalam hatiku.

    BalasHapus
  2. Aaaahhh mata perih melototin monitor terusss,,, heeee jadi gk puas bacanya....... pesanya jadi kurang nyampe,,, heee salam kenal yaaa :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, salam kenal juga ya. terimakasih udah mampir dan menyempatkan baca karya yang tak seberapa ini, hehe. jangan bosan untuk mampir dan baca ya. jazakillah.

      Hapus

Posting Komentar