Dua Malaikat serta Para Peri Allah
Hari ini setelah beberapa kali beradu mulut dengan Bapak tentang kemana aku
akan melanjutkan kuliah, ya walaupun sebenarnya bukan aku langsung yang
berbicara, aku tidak mungkin bisa menentang apa yang dikatakan Bapak. Lebih
tepatnya aku mengadu pada Kakak tertuaku dan dia yang membantuku untuk
berdiskusi dengan Bapak, aku
senang pada awalnya Bapak menunjukan sinyal-sinyal yang bagus. Saat itu hatiku
berbunga-bunga, namun sayang beribu sayang ternyata Allah tidak menginginkan
hamba-Nya untuk senang terlalu berlebih. Saat hal yang sama kami rundingkan
dengan Ibu, reaksinya sangat mengecawakan, Ibu memang tidak banyak berkomentar
namun kami tau dari mimik muka serta isyarat tubuh Ibu, beliau sudah pasti
memberi jawaban yang sangat jelas,, TIDAK. Dan yang pasti untuk saat itu jangan
coba-coba untuk berkata lagi.
Motor yang Bapak kendarai melaju dijalan raya, menuju kampus tempat ku akan
melanjutkan studi, walau sebenarnya ini bukan sepenuhnya yang kuinginkan tapi
aku mencoba untuk berfikir positif, mungkin ini yang terbaik menurut Allah.
Ketakutan sesekali menghinggapiku ketika Bapak menaikkan kecepatan motor yang
beliau pinjam dari tetangga ini, karena kesehatan beliau sudah tidak seperti
waktu aku masih SD dulu, dengan penyakit diabetesnya, sesekali beliau mendadak
merasa lemas. Sebenarnya aku sudah meminta kakak keduaku untuk mengantarku
mendaftar, tapi Bapak tidak mau dan memaksakan diri untuk mengantarku langsung.
Kami mencari kos tempat keponakanku mondok di dekat kampus terlebih dahulu,
untuk mencari tahu informasi lebih lanjut tentang cara mendaftar. Cuaca disini
cukup panas, dan sesekali Bapak mencari tempat untuk berteduh serta melepas
penat. Bapak memijat-mijat kakinya sesekali sembari meringis kesakitan. Aku
hanya bisa menghela nafas sambil menahan haru, Bapak memang sudah tidak terlalu
kuat jalan jauh sekarang karena penyakit asam urat beliau. Paling nggak sekedar
untuk ke masjid saja kuatnya, kalau yang lain Bapak menggunakan sepeda motor antik hasil pemberian estapet
dari Kakak iparku. Bapak bukannya tidak mau mengganti motor, tapi Bapak selalu
saja lebih mementingkan anak-anak beliau. Waktu itu Kakak cowokku ingin
berhenti kuliah karena ingin pergi merantau, aku mengerti keinginannya untuk
meringankan beban orang tua, tapi Bapak tidak setuju dan menasehati Kakak.
Saat itu Bapak memanggil Kakak untuk mengahadap, Bapak menasehati Kakak
saat aku dan Ibu sedang masak waktu itu. Bapak bilang beliau setuju saja asal
Kakak selesaikan dulu kuliahnya. Lalu Bapak membelikan Kakak motor agar dia mau
kuliah lagi, dan itupun motor second.
Waktu itu Bapak juga sudah berniat untuk menjual kayu-kayu di kebun yang tidak terlalu luas peninggalan Kakek
karena akan beliau tanami alpukat, dan hasilnya beliau belikan motor. Tapi,
urung lagi karena keperluan lain. Salah satunya untuk membiayai kuliahku
sekarang, dan untuk membeli obat-obat beliau, serta untuk melunasi biaya Bapak
untuk ke tanah suci. Itu keinginan Bapak yang sampai sekarang belum
terealisasikan, tapi Alhamdulillah setidaknya ada secercah harapan untuk Bapak
bisa pergi ke tanah suci, Bapak tinggal menunggu beberapa tahun lagi Insya
Allah. Dari dulu Bapak selalu memimpikan untuk ke tanah suci. Bapak membeli
buku-buku yang berkaitan dengan tanah suci. Dan jikalau ada yang menayangkan
tentang tanah suci di TV Bapak pasti antusias.
’’ Nah, yang itu namanya Ka’bah,,’’ dengan wajah berseri-seri Bapak
menceritakan tentang mekah saat menonoton bersama cucu beliau puasa kemarin. Aku hanya bisa berdo’a dalam hati agar
Bapak bisa secepatnya berangkat ke tanah suci.
’’ Bapak sedang mencari seseorang?’’ tanya sepasang suami istri yang
seumuran dengan bapak saat kami berteduh tadi.
’’ Oh ya, kami sedang mencari kos-kosan. Kalau nggak salah namanya pondok
An-Nisa’’ jawab Bapak.
’’ Pondok An-Nisa? Mari kami antar kesana,’’ ajak sang suami. Kami pun
mengikuti mereka dari belakang. Tak terlalu jauh dari tempat kami duduk tadi
setelah memasuk beberapa gang.
’’ Nah, ini dia Pak tempatnya,’’ kata Bapak tadi menunjuk gerbang yang
terpampang diatasnya plang dengan tulisan ‘pondok khusus putri An-Nisa’
’’ Terimakasih banyak Pak nggeh,,’’ ujar Bapak santun. Sepasang suami istri
itu pun menganggukkan kepala sembari tersenyum lalu beranjak dari tempat tadi.
Setelah masuk dan bertemu dengan Ibu kos, Bapak bertanya tentang biaya
pertahun disini, Bapak memang berniat untuk menyewa satu kamar disni untukku
dan sepupuku. Setelah banyak berbincang kami pun melihat-lihat keadaan di
dalam, dan juga mengunjungi keponakanku itu. Dia memang satu tahun lebih tua
dariku, tapi karena aku anak terakhir dari 7 bersaudara dan anak pertama yakni Kakak perempuanku memiliki anak yang
lahirnya lebih dulu dariku, yah benginilah jadinya keponakanku lebih tua satu
tahun dariku.
Katanya sistem pendaftaran sekarang sudah pakai sistem online jadi aku bisa
mendaftar dari sana sekalian. Pada saat mendaftar aku sama sekali tidak tau
harus mengambil jurusan apa, aku hanya memilih yang terbesit dalam benakku saat
itu. Aku mengambil jurusan pendidikan fisika dan bahasa inggris. Aku berfikir saat
itu tidak terlalu banyak yang meminati jurusan pendidikan fisika, jadi
kuputuskan untuk mengambilnya.
Setelah pamitan dengan keponaanku serta Ibu kos, kami menuju bank untuk
membayar uang pendaftaran.
’’Maaf Bapak, untuk penyetoran mahasiswa itu bukanya dari pukul 8 pagi
sampai pukul 12 siang. Bapak bisa kembali lagi besok pagi,’’ kata satpam Bank
itu dengan ramah.
’’ Ow nggeh, terimakasih sebelumnya. Assalamu’alaikum’’ ujar Bapak
’’Wa’alaikumsalam,,’’ jawab satpam ramah tadi sembari tersenyum lebar.
Bapak melepas peci hitamnya lalu memakai kembali helm yang tadi sempat di
lepas sebentar.
................
Proses pendataran berlangsung tiga hari lamanya dan Bapak masih kekeh
mengantarku, dan ini hari terakhir. Kami berada di gedung sekretariat STKIP
Hamzanwadi Selong. Aku duduk di sebuah kursi panjang, menunggu bapak yang
sedang pergi mengkopikan SKHU, Bapak semangat sekali dari hari pertama
mengantarku kesini, aku amat sangat merasa tidak enak karena hatiku belum
sepenuhnya ingin disini. Aku merasa seperti di Novel ‘Laskar Pelangi’ di scene
dimana Ikal diantar oleh Ayahnya untuk mendaftar sekolah tapi bedanya Ikal
menunggu teman agar cukup sepuluh siswa, sedang aku menunggu antrean.
Bapak dengan langkah di percepat datang dari arah kiriku, aku menatap beliau.
Aku semakin merasa bersalah saat beliau dengan tergopoh-gopoh membawa kertas
poto koppian SKHU. Cara jalan itu hanya dua kali pernah kulihat, saat beliau
hendak ke Masjid dan sekarang ini. Bapak mengisyratkan agar aku mengikuti
langkahnya menyerahkan kertas tadi ke bagian PMB.
’’ Tinggal tunggu pemberitahuan selanjutnya mengenai tanggal opspeknya
ya,,’’ kata salah seorang yang bertugas disana.
’’ Baiklah, terimakasih banyak Pak nggeh,,’’ Ujar Bapak.
’’Ayo kita pulang,’’ ajak Bapak. Aku hanya mengikuti Bapak
disampingnya. Saat menuju tempat parkir Bapak tertinggal di belakang, saat
kuliat Bapak sedang merintih kesakitan sambil memegang lutut beliau ‘ Ya Allah,
Bapak...’ aku hanya bisa terisak di dalam hati. Aku beralih ke belakang Bapak,
berjalan sembari memperhatikan punggung yang tidak lagi gagah itu.
...........
Sebulan kemudian sudah ditentukan jadwal opspek, dan sehari sebelum opspek
berlangsung aku beserta sepupuku yang sudah menginjak semester 3 di kampus yang
sama denganku pergi membawaserta barang-barang kami menuju kos dihantar oleh keluarga menggunakan mobil bak terbuka.
Saat sampai di tempat tujuan Kakak ku yang cowok beserta keluarga yang laki-laki mebawa barang-barang ke dalam kamar kos, semua mulai dibenahi, mulai dari lemari sampai gas untuk
memasak. Ibu kos baik sekali menyuguhkan air es pada kami semua ditengah
beres-beres serta terik matahari yang menyengat.
Setelah semua selesai dikerjakan, Bapak mengajak kami untuk menghadap ibu
kos, sekalian mau pamit pulang. Ibu tidak banyak bicara, memang seperti itu
beliau kalau merasa senang, sedih, atau marah sekalipun. Tapi tak jarang jika
sedang mengomel, apalagi jika mengomeliku yang malas buat bersi-bersih dirumah, beliau suka panjang lebar. Tapi itulah beliau dengan
omelan yang entahlah, akhir-akhir
ini baru kumengerti makna itu, jika kalian belum mengenal beliau mungkin kalian
akan beranggapan bahwa beliau tipe ibu-ibu yang suka ngomel, tapi percayalah
itu tidak pernah sampai ke hati beliau.
Setelah Bapak ‘menyerahkan kami’ kepada ibu kos, rombongan keluarga pamit
pulang.
’’ Kalian betah-betahkan disini ya,,’’ ujar Ibunya sepupuku, ’’ Dan jangan
diam di kamar aja kerjaannya, keluar caranya kenalan sama teman-teman kos yang
lain’’ lanjutnya dengan wajah
menyindir, tau aja kalau kami ini manusia
gua, haha.
’’ Yasudah kami pamit ya, Assalamu’alaikum,,’’
“Wa’alaikumussalam,,”
Aku mencium tangan Bapak dan Ibu. Ah, wajah ibu datar, aku tidak tau apa
makna dari ekspresi itu, baru pertama kulihat. Aku tidak bisa bayangkan kalau aku
sampai kuliah diluar kota, ekspresi beliau akan seperti apa. Setelah semua
pergi kami lalu masuk ke dalam kos. Ini hari yang kutunggu-tunggu sejak dulu, ingin mencoba hidup mandiri. Walau
tidak sepenuhnya mandiri, karena aku tidak sendiri, karena aku memang tidak bisa tidur sendiri. Sampai
sekarang kuliah aja aku sering tidur sama Bapak dan Ibu, bisa dihitung berapa
kali aku tidur sendiri.
Hari-hari berlalu, kegiatan opspek mulai berjalan. Semua berjalan dengan
lancar, lauk masih banyak jadi kami tidak perlu repot-repot memasak, tinggal
kuliah, pulang langsung makan, terus tidur deh, wah bakalan nambah
nih berat badanku, pikirku awalnya. Tapi
memang yang namanya tidak tinggal di rumah sendiri, ada aja kurangnya. Pada
awalnya memang semua lancar, tapi usai opspek semua penduduk kos-kosan pada
berdatangan dari libur panjang mereka, dan hari-hari berlalu tidak sama seperti seminggu lalu, sekarang semua serba
ngantri, mau mandi ngantri, nyuci baju ngantri, dan apalagi kalau sedang
emergensi alias panggilan alam pagi-pagi, wah ruwet sudah urusannya, dan pagi adalah waktu dimana adek-adek yang
sekolah di SMA akan mandi untuk berangkat sekolah. Dan alamat saya harus
menahan hasrat terpendam itu dalam-dalam.
Waktu terus berlalu, pohon mangga yang berada tepat di tengah-tengah kos sudah
mulai terlihat berbunga, wajah-wajah yang dulu terasa asing, kini sudah
tersimpan di memori otakku dan sekarang mulai bisa akrab. Begitupun dengan
acara mengantri yang dulu amat menyiksa batin, makin kesini terasa seperti
tradisi yang harus diikuti.
-----
Usai acara opspek, perkuliahan pun mulai
bejalan. Terkadang aku merasa ingin kembali ke masa SMA dulu, dimana aku bebas
mengerjakan apa pun semauku di kelas. Duduk di lantai sambil makan snack, tidur
kalau tidak ada guru, atau bercanda tawa sebebas-bebasnya. Tapi, mengeluh pun
tak akan meringankan kerinduanku pada teman-teman SMAku. Jadi kala rindu itu
tengah hinggap pada diriku, kucoba untuk menulis cerita atau membaca buku
pelajaran dan sebagainya.
Malamnya Yulia menelpon, aku gembira
sekali. Aku dan dia banyak cerita tentang masa awal kuliah. Pada awalnya aku
ingin sekali kuliah di UNRAM bersamanya, namun apa daya tangan tak sampai, kata
orang. Kulampiaskan rasa rinduku dengan mencurahkan semua isi hatiku pada
Yulia. Yulia pun begitu. Yulia merupakan salah satu sahabat yang Allah kirimkan
kepadaku untuk mengajariku banyak hal, Yulia mengajariku tentang betapa
besarnya kekuatan dari sebuah kepercayaan, betapa kuatnya kekuatan dari kasih
sayang, dan sampai sekarang aku sangat bersyukur karena Allah berkenan
mengirimkan salah satu orang kepercayaan-Nya kepadaku sebagai jalanku untuk
belajar tentang kehidupan. Tentunya bukan hanya Yulia saja yang Allah kirimkan,
ada banyak yang lainnya. Ada Pita yang mengajariku cara untuk bertahan
menghadapi peliknya kehidupan dengan perasaan bahagia serta syukur. Ada Eka
yang mengajarkanku tentang kerja keras, Eka juga kadang selalu membuatku iri
dengan kesnungguhannya dalam segala hal. Ada Ati si periang yang selalu
berhasil membuatku mau mengeluarkan apa yang tengah kurasakan didalam hati agar
tak menjadi racun di dalam diriku. Ada Bain yang mengajariku tentang pentingnya
belajar, ah, si tekun itu selalu saja membuatku terheran-heran akan
kegigihannya dalam menuntut ilmu. Aku juga tidak akan lupa dengan Har, si kuat
fisik namun bersikap keibuan itu telah memberiku ilmu bagaimana caranya
menghargai hidup yang Allah berikan. Tak kelupaan si manja Nur yang
mengajarkanku arti kesedihan dan juga ketabahan. Si manja yang satu itu kerap
kali membuatku kuat untuknya, dan ingin rasanya berbagi kasih sayang padanya.
Walau umurnya lebih tua dariku tapi aku merasa seperti Kakak buatnya. Dan masih
banyak lagi orang-orang pilihan yang telah Allah kirimkan di dalam hidupku,
tapi tak mungkin bisa kujabarkan dengan rinci disini. Biar kusimpan didalam
hati saja. Terimakasih kawan, jasa kalian hanya Allah yang mampu membalas,
do’aku semoga apa yang telah kalian tanamkan tentang ilmu di kehidupanku juga
sebagai jalan Allah memberikan kalian lebih banyak ilmu yang bermanfaat, Allah
juga akan membalasnya dengan balasan yang lebih baik, amin.
Selang beberapa minggu aku mulai bisa
menerima keadaan baruku, menerima orang-orang baru disekitarku yang sekarang
menjadi bagian dari kehidupanku. Beberapa hari ini aku baru mengetahui dan
mengerti kenapa Allah tidak mengizinkanku untuk kuliah di luar kota. Aku baru
tau bahwa aku adalah orang yang lemah, aku mudah terbawa oleh pergaulan. Dan
disini, di kota yang terkenal dengan kota santri ini, aku mendapat banyak ilmu
dari berbgai guru. Baik guru di kampus maupun guru di sekolah Ma’had. Teman
satu kos ada yang sekolah di Ma’had, sekolah yang mengajar khusus ilmu Agama.
Dan selesai magrib aku pasti diajaknya untuk pergi mengaji kitab di mushola
Ma’had. Letaknya tidak jauh dari sini. Awalnya aku merasa ogah, entah kenapa.
Tapi atas izin-Nya kak Nila lah yang Allah pilih untuk mengajakku, dengan
sikapnya yang agak sedikit memaksa, aku akhirnya mau pergi mengaji walau
awalnya karena paksaan. Tapi kak Nila perna bilang.
’’ Pokoknya kakak harus terus paksa kamu,
yang namanya kebaikan itu memang harus dipaksa,’’ katanya. Aku pun berfikir
begitu. Dan siapa lagi yang membisikan hal seperti itu dalam hati kak Nila
kalau bukan Allah. Alhamdulillah, aku bersyukur karena Allah masih berkenan
menunjukanku pada jalan-Nya.
Banyak kisah dan juga cerita yang terjadi
selama satu semester ini di kampus. Aku bertemu dengan kawan baru yang ternyata
juga merupakan orang-orang pilihan Allah yang mengajarkanku banyak hal. Kali
ini ada Imah yang mengajarkanku bagaimana memanag uang agar tidak cepat habis.
Dia merupakan ibu bendaharaku yang banyak membuatku tersadar bagaimana indahnya
hidup sederhana dengan menabung. Ada juga si imut Aidi, dia juga mengajarkanku
akan pahit manis kehidupan yang mesti kita jalani. Dia juga banyak cerita tentang
kehidupan pondok yang dari dulu menjadi idamanku. Aidi pernah menceritakan
sosok seorang anak SMA kelas satu yang amat sangat bijaksana menurutku. Aku
lupa siapa namanya, tapi yang jelas dia adalah sosok wanita yang patut
dijadikan contoh untuk kita khususnya pelajar. Ada satu kata bijak yang selalu
kuingat sampai sekarang, kata Aidi waktu masa SMA kelas satu berlangsung mereka
banyak mengeluh, kecuali si cewek bijak tadi. Saat ditanya, jawaban yang keluar
sangat mengejutkanku saat itu ketika Aidi bercerita.
’’ Untuk apa juga kita mengeluh, toh pada
akhirnya mau mengeluh atau tidak kalian akan tetap menjalaninya, bukan?’’ jawabnya singkat tapi berisi. Subhanallah, aku juga berdecak
kagum mendengar cerita Aidi tentang sosok sahabatnya itu. Dan suatu ketika aku
tengah dirundung capek dengan tugas, aku terkadang mengeluh dan teringat
kata-kata Aidi waktu itu, tapi sungguh, teori memang mudah diucap, tapi saat di
praktikan sangat sulit, aku jadi befikir bagaiamana bisa waktu itu anak SMA
kelas satu bisa berargumen seperti itu, luar biasa.
Semakin hari semakin banyak orang-orang
hebat yang kukenal. Belajar dari mereka, merupakan suatu kebahagiaan disamping
mendapatkan saudara dan kawan baru. Aku juga bersyukur karena mendapat banyak
petuah dari guru-guru spiritual yang hebat di bidangnya. Kalau di kampus ada
ustadz Fikri yang mengubah persepsi keislamanku, membuatku mampu menatap dunia
keislaman dari kaca mata yang berbeda. Beliau Allah kirimkan untuk
menyadarkanku dan mengajarkanku banyak hal, baik tentang hidup, lebih-lebih
tentang agama. Dulu, aku memandang islam itu agama yang rumit dan memberatkan,
lalu ustadz mengubah paradigmaku dan juga kami semua bahwa islam adalah agama
yang mudah tapi tidak memudahkan. Artinya jangan kita persusah diri kita, hanya
saja kita juga jangan membuat ibadah menjadi serba dipermudah. Sosok ustadz
Fikri yang selalu mempelopori semangat muda atau semangat bajang
memperkenalkanku pada dunia agamis yang berbeda, lebih fres dan remaja banget
kalau menurutku. Berfikir serta bersyukur, itu dua ilmu yang menurutku menjadi
acuan beliau dalam mengajar kami. Satu nasehat beliau yang masih kuingat sampai
sekarang disamping nasehat-nasehat lainnya,
’’ Kita terkadang enggan untuk beribadah
karena takut riya’. Kalau memang riya’, riya’ sudah. yang terpenting kan
bagaimana caranya kita berterimakasih kepada Allah atas apa yang selama ini
Allah berikan. Kita setiap hari bernafas gratis, minum gratis, kesehatan
tercukupi. Kalau menunggu riya’ hilang dalam diri kita, terus kita kapan
berterimaksihnya pada Allah’’ begitu kurang lebih nasehat beliau. Aku hanya
manggut manggut sambil mengiyakan benar-benar didalam hati. Rasulullah saja
sampai kaki beliau bengkak dalam beribadah, saat ditanya oleh istri beliau,
beliau kurang lebih menjawab seperti makna penyampaian ustadz Fikri diatas.
’’ Apa salah aku bersyukur kepada
Tuhanku’’ subhanallah, syukur memang merupakan obat. Obatnya hati yang sedih
dan susah, itu argumenku sih karena pernah kurasakan.
Lalu di sekolah Ma’had ada Ustadz Suhaimi
yang selalu membuatku ingat akan mati. Bagaiman mati merupakan rahasia Allah,
tempat, waktu serta usia merupakan mutlak rahasia Allah. Tapi uniknya,
disela-sela ketakutan akan mati,beliau pasti menyelipkan guyonan-guyonan yang
mampu membuat kita tertawa, tapi tidak berlebihan juga. Ada juga ustadz Mustofa
yang menumbuhkan rasa harap kita akan nikmatnya Surga Allah. Beliau juga kadang
kala memberi nasihat-nasihat yang menyejukkan hati, dan penyampaian beliau itu
tidak menggurui, seakan-akan beliau sedang menasehati anak sendiri, jadi kita mersasa seperti sedang bersama orang tua
kita. Serta tidak ketinggalan ustadz Munawir, ustadz yang satu ini motivator
handal yang selalu membuat kita menjadi berfikir kembali betapa ceteknya ilmu agama
yang kita miliki, betapa malasnya kita menggali ilmu agama, dan beliau juga
selalu mengingatkan kita akan tanggung jawab. Serta ada ustadz Husnan Yang
memegang ilmu hadits, beliau piawai dalam membuat goyonan juga, materi yang
beliau sampaikan pun mudah masuk sebab beliau selalu mengemas apik hadits
menjadi sebuah pesan yang mampu kita resapi. Ada juga ustadz-ustadz yang lain
yang aku kurang tau namanya, namun mereka semua hebat di bidang mereka. Yang
jelas mereka semua adalah Hamba Allah yang mencintai Allah, dan mereka adalah
hamba kepercayaan Allah untuk menyebarkan agama Allah di muka bumi. Aku
bersyukur telah dipertemukan dengan guru-guru yang luar biasa seperti
beliau-beliau ini, harapku ilmumu akan menjadi bekalku menapaki hidup serta
Allah jua yang mampu membalas jasamu guru-guruku. Amin.
-----
Aku bangun
dengan hati berseri-seri mengingat hari ini adalah hari yang sangat
mendebarkan. Ya Allah rasanya benar-benar seperti mimpi, dream come true
bangettt. Bagiku hari ini merupakan anugerah yang luar biasa dari Allah, aku
bisa bertemu dengan sosok panutan yang sudah lama ini menjadi sosok guru
spiritual juga bagiku, walau aku hanya sekedar membaca Ebook serta menonton
video dakwah beliau dari internet. Namun sangat tak terduga dan benar-benar
mendadak kabar ini tiba begitu saja tadi malam, aku spictless dan tidak bisa
membedakan antara mimpi dan kenyataan, aku seakan berjalan di dalam mimpi saat
pulang dari mushola Ma’had. dan pagi ini ternyata semua itu memang bukan mimpi,
Ya Allah terimakasih, aku tak henti-hentinya berucap syukur.
Kak Nila
mengajakku mengenakan seragam Ma’had saat pergi nanti, aku pun dari pagi mulai
menyetrikah seragam itu, tak sabar lagi rasanya menunggu sore nanti, aku
membayangkan sendiri sembari dada ini berdetak tak beraturan dengan cepatnya. Tapi
sejenak terbesit rasa khawatir kalau-kalau rencana kedatangan beliau nggak jadi
atau sebagainya. Tapi aku mencoba untuk tawakkal dan positif thinking,
seandainya beliau nggak jadi datang berarti memang belum saatnya aku bisa
bertemu, tapi kalau memang jadi Alhamdulillah sekali. Keputusan Allah pasti
yang terbaik.
Dzuhur tadi
aku mendapat pesan singkat dari rumah, yang mengabarkan bahwa Bapak tiba-tiba
lemas lagi dan harus di infus dirumah. Rasa senangku sejak tadi pagi berganti
dengan mendung dihatiku yang kebetulan sekali cuaca juga tengah mendung dan
sedikit hujan. Aku menangis sendiri,
’’ Ya Allah
tolong berikan kesembuhan pada Bapak, tanpa beliau aku tidak akan ada disini,
tanpa kerja keras beliau aku tidak akan mendapat kebahagiaan untuk bertemu
sosok idolaku, tanpa do’a mereka aku mungkin bukanlah apa-apa ya Rabb. Sayangi
mereka ya Rabb, kasihi mereka seperti halnya mereka mengasihi dan menyayangiku
sejak kecil. Ganti semua peluh yang menghiyasi sekujur tubuh beliau dulu untuk
membesarkan kami dengan pahala yang tiada habisnya di Sisi-Mu ya Rabb.
Perkenankan kami untuk berkumpul kembali di Syurga-Mu kelak ya Rabb.’’ Aku
berdo’a dalam hati ditemani rintik-rintik hujan.
Usai shalat
asar, aku sudah siap dengan pakaianku. Tapi aku malu untuk keluar, malu dengan
seragam Ma’had yang kupinjem tadi. Kak Nila memanggilku dan terpaksa aku harus
keluar. Adek Re yang kosnya tepat di depan kosku pun terheran-heran.
’’ Loh, kak
Wari Ma’hadah?’’ tanyanya seraya mata bulatnya itu semakin membulat
karena heran. Aku hanya terkekeh.
’’ Ma’hadah
foto copy dek,’’ jawabku malu-malu. Dek Re hanya ber ‘o’ ria sembari
mengangguk.
Aku pun
berangkat bersama dengan rombongan Ma’hadah lainnya yang satu kawasan kos. Agak
malu rasanya, tapi untuk menuntut ilmu kan. Sesampainya ditempat acara, kami
sudah agak telat karena kelihatannya orang sudah berdesak-desakan di panggung
putih. Pangggung putih yang cukup luas ini hampir saja penuh, ada yang menonton
dari bawah juga. Serta tak ketinggalan kamera-kamera sudah bersiap mengabadikan
momen ini. Yah, gimana tidak beliau ini sering sekali muncul di stasiun TV
nasional.
Ibu-ibu yang
duduk dibelakang mempersilahkan kami untuk maju ke depan. Kami di utamakan,
anak Ma’had memang jadi keutamaan. Bukan apa-apa, mereka merupakan pewaris
menurutku, mereka merupakan para penerus agama, mereka di didik untuk mengemban
tanggung jawab di masyarakat untuk menjadi penyeru agama Allah. Kami menunggu
cukup lama, aku dirundung kegelisahan. Beginikah rasanya orang yang hendak
bertemu dengan sosok idola, aku tidak bisa membayangkan andainya yang akan
bertemu denganku itu Rasulullah SAW. Apa mungkin aku sudah pingsan puluhan
kali, ini saja aku sudah hendak pingsan rasanya. Aku menarik nafas berkali-kali
saking sesaknya. Aku pun berdo’a didalam hati agar Allah menguatkanku dan
mengizinkanku bertemu dengan salah satu orang kepercayaan-Nya, kekasih-Nya yang
menyeru risalahh islam di bumi ini. Subhanallah, MasyaAllah baru saja aku
berdo’a entah dari mana hembusan angin sejuk datang menerpaku. Masya Allah
sungguh nikmat rasanya ditengah sesak begini Allah menghadiahkan udara segar
yang entah dari mana berasal, sangat sedikit tapi nikmat, Alhamdulillah.
Sepertinya malaikat Allah sudah berkumpul sejak tadi untuk menaungi perkumpulan
ini, perkumpulan hamba-Nya yang tengah berzikir pada-Nya.
Rombongan tamu sudah datang bersama
dengan bapak Gubernur NTB sekaligus salah satu pendiri yayasan tempatku kuliah
serta banyak lembaga pendidikan lainnya, yakni Tuan Guru Bajang atau akrab
disapa TGB. Beliau datang bersama sang tamu undangan beserta keluarga. Aku
tidak bisa melihat kedatangan beliau karena semua berdiri dan maju berdesakan.
Alhasil saat duduk mereka semakin berdesakan. Dadaku berdetak semakin tak
karuan, aku hampir pingsan tapi kukuatkan diriku, entahlah Subhanallah angin
sejuk itu kembali hadir menguatkaanku, Alhamdulillah. Semua duduk, aku pun
tepaksa harus semakin berdesak-desakan. Tahan saja, ini tidak seberapa,
batinku. Kini nampaklah sosok itu, tengah duduk dengan TGB di depan podium yang
sudah disediakan beserta dengan guru-guru Ma’had lainnya. Tidak ketinggalan
juga ada ustadz Suhaimi, ustadz Mustofa dan banyak lagi. Ya Allah, wajah beliau
berdua cerah dan menyejukan hati. wajah-wajah para kekasih-Mu ya Rabb yang tak
pernah lelah menyerukan agama-Mu di muka bumi ini. Air mataku menetes menatap
wajah-wajah kekasih Allah itu. Kini, bukan dari foto ataupun tayangan di
internet dan TV. Ini benar-benar nyata, dan ternyata wajah beliau lebih dan
lebih tampan dari yang ada di TV, masya Allah padahal umur beliau kurang lebih
50 tahun tapi wajah itu masih terlihat tampan.
Setelah
selesai penyambutan oleh tim wasiat yang menyanyikan beberapa lagu pembukaan.
Moderator pun mempersilahkan TGB untuk memberi sambutan. Setelah beberapa
menit, beliau lalu mempersilahkan tamu utama untuk menyampaiakan kajian
agamanya. Beliau pun berdiri seraya senyuman khas itu tak pernah lepas dari
wajah beliau, Masya Allah tampan sekali,batinku. Ini kah aslinya AA Gym,
Abdullah Gymnastiar yang membuatku jatuh cinta dengan tausyiah beliau yang
selalu menyentuh kalbuku. Wajah ini sekarang bukan sekedar gelombang-gelombang
sinyal yang membentuk rupa di layar kaca. Tapi ini sungguhan, dan kini mimpi
itu kenyataan. Walau aneh memang, kemarin aku mimpi bertemu ustadz Yusuf
Mansyur, eh ketemunya malah dengan beliau, AA Gym. Terimakasih ya Allah, hadiah
darimu ini sangat special. Beliau memulia tausyiah tentang ‘Kiat-kiat menjadi
manusia unggul’. Pertemuan ini memang tidak lepas dari skenario-Nya seperti
yang AA Gym bilang. Seperti biasa disela-sela tausyiah beliau, guyonan-guyonan
ringan juga menyertai, membuat kita tertawa dan menerima kajian dengan perasaan
senang. Tapi sayangnya waktu kita tidak banyak, dan beliau juga harus
meninggalkan pulau Lombok malam ini juga. Poin yang kudapat dari tausyiah
beliau hari ini adalah, manusia unggul itu mampu memanage waktu dengan baik,
kalau orang biasa menghabiskan waktu dengan melamun maka orang unggul
menghabiskan waktu dengan dzikir atau membaca mungkin. Jika orang biasa
menghabiskan malam dengan tidur, maka orang unggul akan menghabiskan waktu
dengan tahajjut. Acara terakhir sebelum pepisahan dengan beliau adalah do’a.
masya Allah, seperti saat menonton di TV, aku selalu saja tersentuh dengan
do’a-do’a sederhana beliau namun mengena dalam kalbu. Bait demi bait do’a itu
seakan memenuhi kalbuku, do’a untuk orang tua dan agar kita menjadi jalan bagi
kedua orang tua kita mendapatkan kemuliaan di Sisi Allah. Aku melebur dalam
harap kepada Allah seraya air mata ini tak henti-hentinya meluncur mulus di
pipiku, membasahi hati ini. Aku teringat Ibu dan Bapak, terlintas dalam benakku
betapa besar peran mereka sehingga membuatku mampu berada disini, peluh dan
rasa sakit yang mendera mereka selama merawat kami semoga menjadi bekal kembali
yang baik di hadapan-Mu kelak Ya Rabb. Mereka adalah dua malaikat penjaga yang
Kau kirimkan pada kami ya Rabb, terimakasih.
Ya Allah sekali lagi terimakasih telah
hadirkan mereka, orang-orang pilihan-Mu. Sungguh, jika hati ini terpaut
dengan-Mu maka kau akan kirimkan hamba-hamba-Mu yang terkait hatinya dengan Mu
agar menjadi pelajaran bagi kami juga. Terimakasih atas scenario yang indah ini
Ya Rabb. Terimakasih telah mengirim peri-peri Mu yang menjadi teman serta
penujuk jalanku yang kau pilih dengan cermat untuk hambaMu yang lemah ini. Dan mereka
juga bukan asal Allah pilih, karena mereka adalah orang-orang yang tekun dan
berilmu,hati mereka juga tulus sehingga Allah pun memilih mereka sebagai
peri-peri pilihan-Nya. Ya Rabb sekali lagi terimakasih telah mempertemukan
kami, semoga pertemuan demi pertemuan ini membawa kami semakin dekat pada-Mu Ya
Rabb, amin.
Usai acara,
aku pun pulang bersama kak Nila dengan hati yang baru. Kami pulang ditemani
rintis hujan rahmat yang turun sangat lembut membasahi bumi yang gersang, bukan
hujan yang lebat disertai angin yang menakutkan, melainkan hujan rintik yang
menyejukkan hati yang gersang.
Komentar
Posting Komentar