WITHOUT RAIN
Tik!
Setetes mutiara putih itu jatuh dengan anggun lalu seketika lebur
menghantam tanah gersang yang sedang ku pijak.
Tik! Tik!
Bulir hujan satu persatu mulai membasahi bumi, menghapus jejak polusi di
udara. Menetralisir rasa panas terik matahari. Dan,, menjadi teman bulir-bulir
air mata yang kesekian kalinya harus rela meluncur dengan indah dari
peraduannya.
Kudongakkan kepalaku menyambut tetes demi tetes hujan yang mengiringi
tangis tak tertahankan ini. Air mataku deras mengucur bersamaan dengan semakin
derasnya hujan, menari bersama hujan menyembunyikan sesenggukan yang terbalut senyuman.
___
“Alisa mandi hujan lagi bi?” suara Papa terdengar membentak bibi di ruang tengah.
“Maafkan bibi tuan, non Alisa,,”
“Mana anak nakal itu?!!” suara Papa semakin meninggi, “ALISA!!” kini suara kaki Papa terdengar menaiki anak tangga. Aku pura-pura
tidur dengan masih mengenakan baju yang masih basah karena hujan tadi sore, aku
tak mau di perintah untuk membersihkan sisa air hujan oleh bibi dan sekarang
rasanya kepalaku sedikit pusing dan panas.
Brakk!!
Suara pintu dibuka kasar. Aku semakin memenjamkan mataku.
“Papa mau bicara!!” Papa membentakku degan kasar sembari menyibak selimut yang membalut tubuhku. Aku
terpaksa membuka mataku, samar. “Duduk!” Papa memegang lenganku, memaksaku untuk duduk.
“Lihat dirimu? Baju basah, rambut berantakan. Papa capek Sa, harus kerja
tiap hari, Papa nggak bisa ngurusin
kamu. Setidaknya bantu Papa
Sa, kamu kan sudah SMA, jangan buat Papa makin pusing dengan kelakuanmu yang semaumu sendiri” suara Papa mulai melemah. Aku seperti biasa hanya
diam, mendengarkan walau semua perkataan Papa seperti bola kasti bagiku, mengena sebentar lalu memantul kembali.
“Papa nggak mau tau, kalau kamu terus
seperti ini Papa akan pindahkan kamu ke pesantren, “ kata-kata Papa terdengar semakin samar,, aku semakin
kehilangan kesadaranku tapi kutahan.
“Papa sudah urus semuanya, besok kamu harus berangkat tapi Papa tidak bisa ikut, Papa sibuk, nanti biar mang Ujang yang
anter kamu,” Papa beranjak
keluar.
Lenganku terasa lemas, aku merebahkan tubuku lalu sedetik kemudian aku tak
tau antara tidur atau mungkin pingsan yang pasti paginya aku masih bisa membuka
mataku, menyambut hari yang sama membosankannya dengan hari kemarin. Mentari
bersinar dengan terang membuatku semakin malas untuk memulai hari.
Tok, tok!
Suara pintu diketuk, membuatku mengurung niatku untuk tertidur kembali.
“Ini mang Ujang non,” Aku
melangkahkan kaki malas kearah pintu lalu membukakan pintu untuk mang Ujang.
“Kata Papanya non Alisa,
mang Ujang disuruh nganter non sekarang,” ujar mang Ujang sopan. Aku beranjak
dari sana tanpa menutup pintu, mang Ujang pasti tau itu berarti aku hanya bisa
menurut saja. Aku menuruni anak tangga lalu beranjak kearah dapur.
“Eh, non sudah bangun,,” ada bi Iyem yang sedang mencuci piring di dapur.
Aku megambil susu di kulkas lalu menuangkannya ke gelas kemudian kutaruh keatas meja. Bi Iyem mengambilkanku roti yang sudah diolesi dengan
selai kacang. Aku melahap roti itu dalam diam, hanya satu gigitan dan satu tegukan
susu saja lalu beranjak ke kamarku untuk membersihkan diri.
“Bibi minta izin untuk mengemas barang-barang non ya, “ aku menghentikan
langkahku sebentar, lalu beranjak.
Setelah selesai membersihkan tubuhku, dengan handuk yang masih membalut tubuhku kulangkahkan kakiku
menuju lemari. Koper sudah bertengger di dekat kasur. Aku mengenakan baju
lengan pendek berwarna hitam dengan setelan lajing yang dibalut rok selutut
berwarna senada. Kupatuk diriku di depan cermin besar di dekat lemari, rambut
sebahu yang basah masih berantakan dengan kantung mata membuatku terlihat
seperti pesakitan, aku menyunggingkan senyum menyindir pada diriku sendiri.
Pantas saja tidak ada satupun teman-teman di kelas yang mau mendekatiku,
batinku.
Masih kubiarkan rambutku tergerai lalu sesaat setelahnya pintu diketuk
lagi, itu pasti mang Ujang. Kutarik koper yang berukuran besar itu kearah pintu
lalu membukakan mang Ujang pintu. Mang Ujang langsung mengambil alih koper yang
sedang ku pegang, lalu membawanya menuruni satu per satu anak tangga.
Bi Iyem memberiku bekal nasi goreng kesukaanku, tapi itu dulu saat Mama,, ah lupakan. Perjalanan memakan waktu
yang cukup lama, aku bukannya tidak mau mengelak perintah Papa hanya saja untuk kembali ke sekolahku
juga membuatku malas, sekolah itu tak ubahnya seperti rumahku, sepi dan hanya
aku sendiri rasanya. Aku sudah tak peduli lagi Papa mau mengirimku kemana lagi, toh semua tempat
sama saja.
Semakin kesini udara semakin terasa dingin dan cuacanya berubah mendung,
aku merasa lebih enakan karena sepertinya akan turun hujan di wilayah ini. Aku
bukannya benci melihat matahari, tapi bagiku matahariku hanya satu dan itu
sudah tidak disampingku lagi. Mama.
___
5 tahun sebelumnya,,,,
“Pa, Ma, mataharinya
indah ya, “
Hari ini Papa mengajakku
dan Mama untuk melihat
sunrise di pantai. Aku senang sekali karena Mama dan Papa bisa meluangkan waktu mereka untuk mengajakku ke pantai bersama.
“Alisa senang?” tanya Mama.
Aku mengangguk, “Mataharinya bagus kan?” tanya Mama lagi.
“Matahari Alisa lebih bagus,,” jawabku, Mama dan Papa menatapku. “Iya, matahari Alisa lebih bagus dan juga leebih cantik.
Mama lebih cantik dari matahari itu Ma,,” ujarku.
Mama dan Papa memelukku sayang. Sepulang dari sana aku tak menyangka semua
itu akan terjadi secepat itu, Papa memutuskan untuk menceraikan Mama. Mama dengan air mata yang mengalir tak hentinya di pipi cantiknya
pergi meninggalkan rumah. Sejak saat itu aku sudah kehilangan matahariku, Mamaku. Sejak saat itu juga aku jadi
pendiam, dan tak banyak bicara dan senyumku semakin hari semakin memudar.
Papa melarangku untuk mengunjungi Mama walaupun hanya sekali. Aku tahu Mama pindah ke Austarli, ke rumah Kakek, jadi jika aku memutuskan untuk kabur aku tidak bisa.
___
“Alisa Zahrana,”
“Iya ustadz,,” jawab mang Ujang saat lelaki yang berusia kurang lebih 40
tahun berpakaian serba putih itu menyebut namaku.
“Bapak ini ayahnya nak Alisa?” tanyanya lagi dengan sopan.
“Oh tidak ustadz, saya hanya disuruh untuk mengantar non Alisa karena tuan
sedang ada pekerjaan yang mendesak,,” aku tidak begitu tertarik dengan
percakapan mereka dan masih tetap menatap kosong kearah meja di depan kursi
tempat kami duduk.
Selesai berbincang-bincang mang Ujang pamit pulang dan lelaki yang
dipanggil ustadz oleh mang Ujang tadi memerintahkan salah satu santri untuk
mengantarku ke kamarku. Dia tersenyum kearahku, tapi aku tidak peduli, dia
mengajaku berjalan sembari membawa koperku. Aku mengikutinya dari belakang.
Kamar yang berisi empat kasur ini cukup luas dan bersih. Sepertinya gadis
yang tadi itu kamarnya juga
disini, dia mempersilakanku untuk mengganti baju dan menganjurkanku untuk
memakai penutup kepala, aku hanya diam dan melewatinya lalu membuka koperku dan
memassukkan bajuku di lemari.
Saat ini tepat pukul 5 sore, setelah beres-beres baju aku melihat sekeliling.
Wilayah pesantren masih sangat hijau, di perjalanan tadi aku tertidur dan aku
tidak tau daerah mana ini, yang pasti terlihat seperti di pegunungan. Asri dan
cuacanya lembab dipenuhi dengan pepohonan, bangunanya pun terbuat dari kayu dan
letaknya tidak datar. Seperti banguna asrama wanitanya terletak di bawah dan
asrama cowoknya terletak di dataran yang lebih tinggi.
“Disini toh kamu ternyata,” kata seorang gadis, gadis yang tadi mengantarku
itu. Saat kuperhatikan ternyata dia seorang gadis yang cantik dan manis. “Ayo
kita siap-siap ke mushola,,” ajaknya. Karena masih tetap diam dia menarik
tanganku dan mengajakku untuk pergi dari tempat itu.
Diperjalanan menuju kamar dia bertanya tentangku, seperti biasa aku lebih
banyak diam, hanya mengangguk dan menjawab saat dia bertanya namaku saja. Dia
hanya menghela nafas dan tetap tersenyum ramah padaku, namanya Zahra, mirip
dengan akhiran namaku.
Aku mengambil mukenah lalu berjalan mengikuti Zahra. Atmosfir di tempat ini
sangat berbeda sekali dengan di rumah, setidaknya selama disini aku tidak akan mendengar
teriakan Papa lagi. Adzan
magrib selesai berkumandang di mushola pesantren, semua santri baik santri
putri maupun putra memasuki mushola dari arah yang berbeda. Bi Iyem juga sering
mengajakku untuk sholat saat di rumah, tapi semenjak Mama pergi dari rumah aku enggan untuk di perintah
dan di atur. Zahra shalat dua rakaat setelah adzan dikumandangkan tadi, aku
duduk disebelahnya sembari mata ini menerawang entah kemana.
Usai shalat magrib Zahra mengajakku untuk ikut diskusi di aula pesantren,
katanya ada materi diskusinya bagus, soal motivasi. Namun aku menolak, lalu
pergi meninggalkan Zahra tanpa berkata sepatah kata pun.
Aku mengikuti langkah kaki yang membawaku menuju belakang sebuah bangunan yang aku belum tau bangunan apa
itu. Dengan lampu penerang seadanya aku terduduk di sebuah tempat duduk yang
sepertinya sengaja dibuat dari bahan kayu yang cukup untuk di duduki untuk
orang seusiaku. Aku juga baru memperhatikan ternyata di depanku terdapat
beberapa macam tanaman yang sepertinya sengaja di tanam, seperti tanaman obat
dan juga bunga-bunga yang cukup indah.
Saat kecil aku senang sekali ketika Mama menanam berbagai
macam bunga di halaman rumah, Mama sering mengajakku untuk menyirami bunga itu setiap hari dan merawatnya
bersama. Ah, kenangan itu membuat dadaku sesak.
Tik!
Hujan...?? Lega rasanya, hujan turun persis saat dadaku kembali bergemuruh,
aku tidak bisa menangis saat mentari bersinar tapi itu bukan karena aku
benar-benar tidak bisa, bukan. Aku hanya berfikir bahwa tidak seharusnya ada
hujan saat mentari terbit, itu hanya akan mengotori sinarnya, dan aku benci hal
itu.
Tik! Tik!
Aku menengadahkan kepalaku, dan dalam beberapa menit air hujan kembali
menemani deru tangisku yang kembali kubalut dengan senyuman, menangis dalam
diam di tengah derasnya hujan.
Aku kembali ke pondok dengan basah kuyup, Zahra dan penghuni kamar lainnya
belum datang dari acara diskusi mereka atau mungkin saja mereka terjebak hujan.
Aku mengganti baju lalu membaringkan tubuhku di kasur, pergi menuju dunia yang
tak kalah suramnya dari dunia ini, dunia mimpi yang tak pernah indah.
___
“Tadi malam kamu kehujanan ya?” Zahra menempelkan tangannya di dahiku.
“Kamu panas,,” terlihat air mukanya menampakkan kekhawatiran, aku kembali
meninggalkannya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai mandi,
Zahra mengajakku untuk pergi sarapan dengan sekian banyak santri putri lainnya,
aku hanya mencicipi tak lebih dari setengah piring, dan Zahra kembali
memperingatiku.
“Mubazir Lis,,’ tapi dia juga tak dapat berkata apa-apa saat aku pergi
meninggalkannya. Dia mengejar langkahku lalu menarik lenganku, kemudian
sampailah kami di sebuah ruangan yang dipenuhi dengan bangku dan meja. Zahra
mengajakku duduk di bangku terdepan dan satu persatu santri putri memasuki
ruang belajar. Zahra terus saja mengajakku bicara walau aku tak pernah membalas
obrolannya. Dia bercerita tentang ustadz dan ustadzah disini, dan banyak lagi.
“Ustadz yang akan mengajar kita sekarang ini cerdas banget, pengetahuannya
soal agama sangat luas, masih muda lagi!” aku hanya menatap datar kearahnya
lalu suara gagang pintu di buka dan menampakkan sosok lelaki dengan kemeja
warna cokelat serta celana seperti yang dipakai guru kebanyakan. Dia tersenyum
dan mengucap salam, semua menyambut salamnya serempak.
Ustadz itu memulai materi dengan senyuman yang tak pernah lepas dari
bibirnya. Aku tak terkesan sama sekali dan tetap menatap datar kearah depan.
Tiba-tiba dengan nada suara yang cukup tinggi ustadz tadi memanggilku.
“Kamu!!” aku sontak kaget dengan suaranya, suara itu mengingatkanku pada Papa, sejenak dadaku kembali bergemuruh
namun kutahan dengan sedikit menggigit bibirku. Aku menatap ustadz tadi. “Kamu
mendengarkan penjelasan saya atau tidak?!” bentaknya. Zahra menatap khawatir
padaku. Senyum yang tadi sirna seketika. Aku hanya menatap takut padanya.
“Saya tegaskan pada kalian,, kalian semua masih muda, dan dunia ini tidak
sesuram sepeti yang ada di dalam tempurung otak kalian!!” ustadz tadi melirik
kearahku dengan penekanan kata-kata terakhir, aku berkeringat dingin, tak tau
kenapa kata-kata itu menusuk langsung kedalam ulu hatiku. Zahra cemas melihat
perubahan mimik mukaku.
Ustadz tersebut kembali melanjutkan materi dan meninggalkanku yang tengah
bergelut dengan hatiku, aku bertanya-tanya dan menimbang kata-kata tadi, sudah
lama sejak aku menerima sebuah pesan masuk ke dalam otakku dan ku proses begitu
seriusnya sampai saat kembali ke asrama dan Zahra masih terlihat cemas
melihatku.
“Ustadz memang terkadang seperti itu, tapi percaya saja itu pasti demi
kebaikan kita” nasehat Zahra. Aku mengangguk, Zahra kaget. Aku juga agak kaget,
untuk pertama kalinya aku merespon Zahra dengan anggukan tapi itu bukan atas
kehendak diriku sendiri, aku masih terbawa dengan suasana menegangkan tadi.
Sampai sore aku terus terpikir soal yang tadi pagi itu, baru pertama kali
ada orang selain Papa yang
membenatkku seperti itu, bahkan lebih menyeramkan daripada Papa. Saat teringat wajah ustadz tadi
dadaku bergemuruh, hatiku perih sekali mengingat kata-katanya yang seperti
menyindirku. Hujan kembali membasahi wilayah ini dan tanpa disuruh air mataku
pun turut menyambut kehadirannya, sembari duduk di tempat yang tadi malam aku
duduki. Aku tak mampu lagi untuk menahannya kali ini, aku berteriak di derasnya
hujan, aku mengeluarkan semuanya rasa sedih yang telah ku pendam selama 5 tahun
terakhir ini.
“Hiks, hiks,, AAAAAA......!!!!” aku berteriak dengan sekuat tenaga,
mengeluarkan racun di dada ini sembari ku pukul dada ini tak tahan dengan sesak
yang memenuhinya. Untuk pertama kalinya aku menangis dengan lepas dan membuatku
merasa sangat lelah, dadaku kembang kempis, pundakku naik turun mengontrol air
mataku yang tidak terkendali keluar dengan sekehendaknya. Kepalaku terasa
berat, aku mencoba untuk tetap berdiri dan berpegangan di tempat duduk tadi,
namun nihil kali ini aku menyerah pada keadaanku, semua gelap.
___
“Mas, tolong biarkan aku
bertemu dengan Alisa barang sebentar saja,, kumohon” Mama terlihat memohon pada Papa sembari memegang tangannya erat. Papa hanya memalingkan
wajahnya kearah lain tanpa berkata sepatah katapun. Aku hanya bisa menatap dari
kejauhan, aku ingin sekali menggapai mama namun langkahku terasa kaku.
“Ma, Mama hiks, Mama,,” Mama menatapku dengan linangan air mata. “MAMA!!”
Aku terbangun dengan peluh yang membanjiri tubuhku. Aku mencoba mengontrol
napasku yang tak beraturan.
“Alhamdulillah kamu sudah sadar,,” kata Zahra yang baru datang membwa
nampan. “Kamu pingsan di kebun belakang, untung saja ada ustadz disana, kalau
tidak mana ada yang tau kamu disana sedang pingsan. Lagian kenapa kamu bisa
sampe kehujanan disana, kenapa nggak langsung balik ke kamar” terang Zahra
mengintrogasi. Dia menghela
napas saat melihatku hanya terdiam.
“Yasudah, kamu makan dulu ya. Ini aku bawain nasi,.” katanya sembari menaruh nampan berisi nasi dan lauk
di kasur. Karena melihatku masih diam Zahra mengambil nampan itu dan menyuapiku
nasi. Aku menatapnya datar, dia malah menatap seakan memaksaku membuka mulut.
Keadaanku pun tak memungkinkanku untuk pergi lalu menurut saja dengan
kemauannya.
___
Esoknya keadaanku mulai pulih, aku bisa ke sekolah lagi. Ku pasang baju
berwarna hijau tua khusus para santri di pesantren ini, aku berjalan sendiri ke
kelas. Zahra sudah duluan pergi dia tidak tau kalau aku akan mengikuti kelas hari
ini.
“Kamu kan masih demam,,” katanya saat melihatku datang ke kelas. Aku hanya
menggeleng kecil. Dia hanya bisa menghela napas panjang. Pelajaran pertama
selesai, saat pintu dibuka dadaku berdegup sangat kencang, napasku saling
berburu, ustadz yang waktu itu, batinku. Aku hanya menunduk dengan takzim.
Zahra memberikan aku selembar kertas dan membuatku menatapnya sebentar, dia
balik menatap seaakan menyuruhku cepat membacanya.
|
Aku menatap tak percaya ke Zahra dan dia hanya
mengangguk meyakinkan. Aku kembali tertunduk, tak tau harus memikirkan apa, aku
pusing.
“Harus seimbang antara takut dan harap kepada
Allah,,” kembali ustadz menerangkan dengan senyum lebar ciri khasnya. Tapi itu
tidak untukku, entahlah aku merasa aku sangat tidak disukai oleh ustadz tapi
aku tidak tau kenapa.
“Takut saja tidak baik, karena akan membuat kita
berputus asa dari rahmat Allah, dan Allah tidak menginginkan hambanya untuk
putus asa, orang yang berputus asa hanyalah orang kafir”
Dug, kembali hatiku rasanya terhantam. Aku tak tau
kenapa setiap kata yang terlontar dari mulut ustadz itu selalu saja seperti
peluru yang mengenai ulu hatiku.
“Rasa takut itu mesti kita imbangi dengan rasa
harap, tapi lagi-lagi jangan sampai rasa harap itu mendominasi karena akan
membuat kita menganggap enteng dosa kecil. Kita akan berkata, ah ini kan dosa kecil toh Allah maha
pengampun. Ya nggak?” semua mengangguk menimpali perkataan ustadz.
“Jadi kesimpulannya antara takut dan harap itu
harus setara, harus sama besarnya, oke?” dengan senyumnya kembali membuat yang
lain ikut tersenyum kecuali aku.
“Dan satu lagi, ingat bahwa Allah selalu berada
dekat denga kita, tinggal kitanya saja mau terus terpuruk atau bangkit
menyambut kasih sayang Allah” aku mendongakkan kepala dan ustadz sedang
menatapku dengan senyumnya, seolah kata-kata yang tadi itu dia tujukan
kepadaku, aku mencoba untuk membalasnya dengan senyuman sebisa mungkin walau
yang terlihat mungkin hanya seberkas senyum yang dipaksakan, tapi itu
benar-benar tulus dari hatiku, aku merasa tenang sekali, sangat tenang.
Ternyata aku telah salah menganggap ustadz adalah orang yang bengis, dia hanya
ingin memberitahukan sesuatu yang bagiku telah hilang dari diriku, namun dengan caranya sendiri.
Sepanjang jalan menuju pondok aku tak hentinya
tersenyum, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku memikirkan betapa
bodohnya aku. Zahra terlihat bingung dengan perubahanku, namun dia terlihat
enggan bertanya karena pada akhirnya aku tidak akan berkata apa-apa.
Tengah malam aku terbangun dari tidurku, aku
melihat jam ternyata jam menunjukan pukul 3 malam. Aku ingin merebahkan tubuhku
tapi aku teringat kata Zahra yang sering memperingatiku agar mencoba untuk
bertahajjud. Lalu kusibak selimutku kemudian beranjak untuk mengambil air wudhlu. Dalam setiap
wudhu yang kulakukan aku merasakan sensasi yang berbeda, terasa lebih spesial
dan lebih menentramkan.
Saat shalat tak terasa bulir-bulir air mataku
menetes dengan sendirinya, tapi aku tak merasakan dadaku bergemuruh seperti
biasanya dan untuk pertama kalinya aku menangis tanpa ditemani hujan. Ini
tangisan yang terasa melegakan, tersirat gambaran kelakuanku pada Papa. Rasa lelah Papa yang kubalas dengan muka masam dan cuek. Aku
kembali menangsi mengingat saat-saat aku meninggalkan shalatku hanya karena
egoku. Aku tenggelam bersama sujud-sujud tulusku pada Rabbku untuk pertama kalinya.
___
Ustadz itu bernama Fahri, dia adalah saudara jauh
dari pemilik pesantren ini dia lulusan S2 di ibukota. Dan sekarang dia banyak
membantu pesantren dalam mengajar. Kedatangannya dua tahun ini ke pesantren
membuat pesantren lebih hidup, ustadz banyak membuat kegiatan tambahan selain
pembelajaran di dalam kelas. Seperti acara diskusi dan organisasi lainnya dan
juga telah banyak mengikuti perlombaan di tingkat kabupaten maupun kota.
Yang mengatakan itu tidak lain adalah Zahra, dia
salah satu santri yang selalu ada di setiap acara yang diadakan ustadz Fahri.
Zahra itu anak yang baik dan periang, dia juga tidak pernah berkeluh kesah
melihat tingkah lakuku yang tak pernah mau berbicara dengannya, dia sangat
pengertian dan tulus. Namun beberapa hari ini aku sudah mulai untuk sedikit
demi sedikit berbicara dengannya walau terkadang rasanya agak canggung namun
kubiasakan dengan tersenyum padanya.
“Nah gitu dong, aku kan tidak harus tersenyum
sendiri terus sekarang” timpalnya melihat senyumku yang pertama padanya. Aku
sudah berkomitmen untuk mencoba merubah sikapku yang dingin lagi.
Siangnya setelah semua kegiatan sekolah usai aku
ke tempat biasa aku menyendiri, tapi tujuanku bukan untuk menangis lagi, aku
ingin merawat tanaman yang ada disana sebagai kegiatan sampinganku.
Aku membersihkan sekitarnya dan memperhatikan satu
persatu bunga serta tanaman disana, ah baru kali ini aku memperhatikan bahwa
tempat ini sangat indah dan tidak sepantasnya kukotori dengan tangisanku.
Hari-hariku di pesantren semakin menyenangkan karena kegiatan-kegiatan
keagamaannya. Aku menemukan aku yang dulu saat 5 tahun dulu yang periang dan
ceria.
“Hei! Kamu !” suara judes itu? Aku memalingkan
wajahku dan benar saja itu ustadz Fahri. Kenapa dia ada disni? Tanyaku dalam
hati. Aku masih agak takut-takut saat melihatnya walau masalah saat itu sudah
terselesaikan.
“Sedang apa?” tanyanya masih judes.
“Anu ustadz, saya hendak merawat bunga-bunga ini”
jawabku sesopan mungkin.
“Sini kamu!” perinthanya kepadaku untuk agak
mendekat. Aku mengikuti perintahnya. “Kalau memang itu niatmu aku serahkan
kebun bungan ini untuk kamu rawat, “ katanya sembari menampilkan senyum
khasnya. Aku membalasnya dan berterimakasih. Ustadz beranjak dari sana lalu
berhenti sejenak dan membalik badannya lalu tersenyum kearahku lagi, “Lain kali
kalau ketemu saya jangan takut lagi ya?” katanya lalu beranjak, aku hanya
tertawa sendiri, aku sudah terbiasa di skak mat olehnya. Aku juga merasa aneh
kenapa saat bertemu ustadz aku merasa takut dengannya, dengan tatapannya saat pertama mengajar, namun di
sisi lain aku merasa tenang karena akan ada orang yang mau melihatku dari sisi
lain diriku, mau membangkitkannya dan bukan malah menjauhiku atau bahkan
mengasihaniku.
Selangkah keluar dari keadaanku yang kemarin
membuat perubahan yang sangat kentara tentang cara pandangku terhadap dunia
ini. Aku seperti kembali ke masa lima tahun yang lalu, suasana indah di kebun
bunga di depan rumah, bersenda gurau bersama Mama dan Papa saat akhir pekan. Papa duduk di kursi sambil membaca koran sembari
ditemani kopi panas. Aku dan Mama asyik menata pot-pot bunga. Mengingatnya membuat rinduku pada Mama semakin membuncah.
“Tu kan, kamu pasti disini lagi” Zahra membuyarkan
lamunanku. “Ayo ikut aku!” ajaknya sembari menarik lenganku menjauh dari kebun.
Zahra terus saja berjalan tanpa memberitahu hendak kemana kita. Semakin sana
ternyata Zahra mengajakku ke ruang kepala madrasah, aku tak tau kenapa dia
membawaku kesana, apa mungkin Papa kesini untuk mengunjungiku?
Benar saja ada Papa disana sedang duduk sembari berbincang dengan
Ustadz Hamid, kepala madrasah. Dan siapa wanita berjilbab yang ada disamping Papa. Zahra mengucap salam, semua menoleh
dan seketika itu juga tubuhku terasa kaku, kakiku kaku tak bisa digerakkan
melihat sosok yang selama lima tahun ini selalu menjadi fatamorgana bagiku,
kini aku meyakinkan diriku bahwa ini bukan sebuah fatamorgana ataupun ilusi.
Ini benar-benar Mama, Mamaku, matahariku.
“Alisa,,” benar, ini bukanlah fatamorgana, suara
itu benar-benar masih sama seprti lima tahun lalu. Mata Mama berkaca-kaca, aku masih tidak bisa bergerak
dari tempatku sekarang. Aku tak tau harus menangis atau bahagia. Mama mendekat
kearahku dan sedetik kemudian aku merasakan kehangatan itu, kehangatan dari
pelukan matahariku. Matahariku yang spesial, tidak terasa panas namun hangat
menentramkan. Kueratkan pelukanku pada Mama, aku tak bisa menahan bulir bening yang sejak tadi menggenang di
pelupuk mataku. Kini aku tau aku tidak akan mengotori matahariku dengan air
mata yang sia-sia karena ini adalah air mata kerinduan yang turun bersama
dengan adanya matahariku disampingku dan menciptakan pelangi yang indah di
hatiku.
“Ma,, ini benar Mama?” tanyaku disela-sela tangisku. Mama mengangguk dalam pelukanku. Setelah
merasa cukup untuk mentransfer rasa kangennya Mama meregangkan pelukannya lalu menatapku dan
membersihkan sisa air mata yang masih bertengger di pipiku. Aku melihat Papa dan tersirat segala tingkahku yang
egois, Papa mendekat lalu memegang
kepalaku sayang. Aku langsung memeluk Papa yang terlihat agak terkejut.
“Maafin Alisa ya Pa, Alisa nggak berbakti sama Papa, Alisa udah jadi anak durhaka” sesalku dalam dekapan Papa. Papa membalas sembari mengelus kepalaku.
“Iya, Papa juga minta maaf, Papa
egois dan hanya memikirkan karir Papa tanpa memikirkan perasaan anak Papa sendiri” Papa
memegang pundakku dan menatapku. “Papa punya hadiah buat Alisa,,” kata Papa. Aku menatap Mama dan Mama hanya tersenyum.
“Apa itu Pa?” tanyaku.
“Mama sama Mapa sudah memutuskan untuk rujuk” aku menatap Papa tak percaya. “ Iya, Papa sadar ternyata Papa terlalu egois,” Mama langsung memegang pundak Papa.
“Tidak usah terlalu disesali Pa, yang terpenting sekarang kita kembali
seperti dulu” kata Mama
menentramkan suasana yang mengharukan tadi.
Aku melihat Zahra, dia mengusap air matanya dengan
jilbab cokelatnya. Aku tersenyum padanya lalu mendekatinya.
“Pa, Ma kenalin. Ini Zahra, selama di sini Zahra yang selalu merawat Alisa. Dia
juga yang membuat Alisa kembali menemukan semangat hidup Alisa,,” Zahra
menatapku seolah ingin protes atas kata-kataku tadi.
“O ya? Terimakasih sudah baik pada Alisa,” ungkap Mama.
“Itu sudah menjadi kewajiban saya tante sebagai
seorang teman,,” jawab Zahra.
Kini ustadz Hamid yang maju mengambil alih
pembicaraan. “Begini Alisa,,” kata ustadz memulai pembicaraannya. “Kedua orang
tuamu kesini bukan hanya bertujuan untuk sekedar menjengukmu,,” aku kaget,
Zahra juga. “Mereka meminta untuk membawamu kembali ke rumah” aku menatap Papa dan Mama.
“Begini Lis, Papa tau mungkin sekarang kamu mulai betah disini.
Tapi Papa ditugaskan untuk
kerja diluar kota dan rencananya kita akan pindah sebab sepertinya Papa akan cukup lama dipindah tugaskannya”
jelas Papa. Aku bimbang, aku
baru saja merasa betah dengan suasana pesantren, tapi di sisi lain aku ingin
sekali bersama Mama lebih
lama lagi.
“Nanti kalau Alisa memang pengen nyantri lagi, Papa bisa cariin pesantren di sana” kata Papa.
“Kita berangkatnya kapan Pa?” tanyaku.
“Besok pagi jam 10. Papa akan jemput besok, kita
akan berangkat langsung dari sini” aku menatap Zahra sebentar, dia hanya
mengangguk seakan mengerti akan keadaanku.
___
Aku merasa bingung, ilmuku belum cukup untuk
mengarungi dunia ini sendiri tanpa para pembina seperti ustadz dan ustadzah
disini atau seperti Zahra. Kebetulan hari ini hari libur dan Zahra sedang
beres-beresdi kamar.
“Zahra,,” panggilku. Zahra yang sedang beres-beres
tempat tidur menoleh kearahku. “Aku bingung,,” curhatku. Zahra menghentikan
kegiatannya dan mengajaku duduk.
“Hari ini pertama kalinya aku melihatmu sebahagia
ini Lis, kamu terlihat seperti dirimu sendiri dan juga sekarang kamu sudah mau
berbicara denganku. Mungkin ini memang jalan yang terbaik Lis,,” tutur Zahra.
“Tapi, aku tidak tau kepada siapa aku bertanya
tentang berbagai kesulitan yang menimpaku setelah ini tanpa pengajar dan juga
kamu Ra,, aku akan sendiri setelah keluar dari sini”
“Kan ada Allah,,” tukasnya.
Astagfirullah,, kata-kataku tercekat di
tenggorokan.
“Allah akan selalu ada bersamamu Lis, dan aku
yakin kamu itu wanita yang kuat. Nanti kalau kamu kangen sama aku kamu bisa
menelpon ke telepon pesantren, atau kamu bisa mengirimiku surat kapan-kapan”
jelas Zahra sembari tersenyum manis padaku.
“Sebenarnya aku juga berat melihatmu pergi, tapi
aku tidak bisa berbuat lebih dari ini, aku hanya bisa mendo’akanmu supaya kamu
menjadi orang yang sukses dunia dan juga akhirat” aku menatap Zahra dengan mata
berkaca-kaca.
“Terimakasih ya atas kebaikanmu selama ini. Selama
lima tahun terakhir ini tidak ada satu pun orang yang mau menjadi temanku. Kamu
satu-satunya yang sudi melihatku dengan kondisiku seperti waktu itu. Aku
sungguh bahagia telah dipertemukan dengan orang sebaik dan setulus kamu Ra.
Sekali lagi maaf jika selama disini aku hanya merepotkan kalian,” ungkapku.
“Sudahlah, biarkan semuanya berjalan seperti air
yang mengalir,,” katanya.
“Kok gitu?” tanyaku penasaran.
“Iya, jika air itu kamu paksa agar diam disana
dengan cara membendungnya, air itu akan terus saja bertambah banyak sampai tak
bisa dibendung dan akhirnya akan timbul masalah yang lebih besar. Namun jika
air itu kita biarkan mengalir, maka dengan sendirinya ia akan menemukan tempat
berlabuh yang terbaik” terang Zahra panjang lebar. Aku hanya mengangguk saja
walau tak tau apa yang dimaksud Zahra. Anak kelas satu SMA sudah memiliki
pemikiran yang luar biasa seperti itu, cantik, solehah, bijaksana pula.
Beruntung sekali aku memiliki sahabat seperti Zahra.
Zahra membantuku mengemas barang bawaanku. Sekarang
masih jam 9 satu jam lagi Papa
akan datang menjemputku. Aku teringat sesuatu, dan meminta izin untuk pergi
sebentar pada Zahra. Aku melangkahkan kaki menuju belakang gedung madrasah,
tepatnya di kebun bunga yang biasa aku singgahi. Aku lupa kalau aku punya tugas
untuk merawat bunga-bunga ini, tapi apa yang akan kukatakan pada ustadz setelah
ini dan bisa jadi ustadz tidak kesini dan aku tidak bisa mengatakan kalau aku
tidak bisa merawat bunga-bunga ini lagi. Aku mengambil kertas yang biasa selalu
ada di sakuku guna mencatat sesuatu yang kudapat dari ustadz-ustadz.
|
Kutaruh kertas tadi di tempat duduk itu lalu
kulapisi dengan plastik bening agar jika hujan tidak basah dan kutaruhkan batu
diatasnya agar kertasnya tidak terbang.
Papa dan Mama sudah sampai dan menunggu di ruang kepala madrasah. Zahra mengantarku
dan membantu membawakanku koprer. Saat keluar dari kamar aku terus saja
melihat kearah belakang siapa tau ada ustadz Fahri, tapi nihil. Diruang kepala
madrasah sudah berkumpul guru-guru yang lain untuk mengantarku. Aku pamitan
pada mereka semua tak terkecuali sahabatku Zahra, dia terlihat mencoba tegar
tapi tak bisa, air matanya mulai menggenang di pipinya yang putih, aku
memeluknya untuk terakhir kali lalu pergi meninggalkan pesantren yang telah
membawaku menuju Alisa yang baru. Saat melewati gerbang utama aku melihat sosok
ustadz Fahri baru saja datang menggunakan motornya memasuki pesantren, kami
berpapasan dan ustadz melihatku dengan wajah penuh tanya tapi sayangnya
pertemuan kami hanya berlangsung sepersekian detik sebelum mobil melaju dengan
kencang kembali di jalan yang diaspal seadanya itu.
___
“Ma, siapa cinta pertamanya Mama?” tanyaku iseng pada Mama saat sedang menyirami bunga-bunga di halaman
rumah baru kami.
“Kenapa anak Mama nanya gitu, lagi jatuh cinta ya?” goda Mama.
“Alisa juga bingung ma, padahal waktu pertama bertemu
itu Lisa sebal sama dia Ma,
sok-sok marahin Lisa gitu. Tapi ternyata Lisa tau kalau itu bukan sekedar marah
yang nggak ada sebabnya, tapi Alisa kepikiran terus sama dia sejak saat itu Ma,,”
“Oh anak Mama beneran lagi jatuh cinta ya?” goda Mama lagi. Aku hanya menggeleng.
“Nggak kok,, Lisa cuma sekedar ,, mm” aku mencoba
mengelak. Mama tersenyum lalu menggenggam tanganku.
“Anak Mama sudah besar sekarang, cinta itu anugerah dari Yang Maha Kuasa jadi tidak
seharusnya kamu mengelaknya. Kamu mengerti kan sayang, Mama tau kamu sudah dewasa jadi kayaknya Mama nggak usah capek-capek ngasih tau
kan?” kata Mama lalu pergi
meninggalkanku.
Setiap minggu aku setidaknya satu kali saling
kirimi surat dengan Zahra, aku memang tidak sekolah di pesantren kali ini, tapi
aku tetap memakai hijab dan Zahra juga selalu memberiku nasehat-nasehat serta
kadang kala aku sempatkan membeli buku-buku tentang agama. Zahra juga sesekali
bercerita tentang ustadz Fahri tapi aku belum mau menceritakan padanya tentang
perasaanku ini.
Paling lambat mungkin besok balasan Zahra datang,
aku tidak sabar menerima surat darinya, karena di setiap suratnya selalu ada
pesan yang dia berikan padaku. Semakin bertmabah bijaksana saja diasekarang, dan aku selalu kagum padanya, pada
pengetahuanya tentang agama dan pada akhlaknya.
“Alisa, ada surat untukmu sayang,,” Mama yang tadi pergi kembali lagi lalu
memberiku selembar kertas yang dibungkus amplop berwarna biru muda. Ternyata
surat Zahra datang lebih cepat dari dugaanku. Aku mengambil surat itu.
“Makasih ya Ma,” ungkapku pada Mama lalu dibalas senyuman. Aku pamit utuk ke kamar
pada Mama untuk membaca surat
dari sahabatku, Zahra.
Di kamar, kubuka surat dari Zahra, aku sudah tak
bisa hitung berapa banyak surat yang telah dikirimkan padaku, aku menempel
beberapa dan kubuat bingkai denngan ukuran besar untuk surat-surat yang berisi
kata-kata motivasi ataupun yang berkaitan dengan pesan-pesan keagamaan dan
kehidupan. Lalu surat yang lainnya aku simpan dengan apik di lemariku.
Assalamu’alaikumwarahmatullah,,
Alhamdulillah aku selalu baik-baik saja disini Sa. Aku harap kamu disana
juga baik-baik saja. Aku senang jika pesan-pesanku yang kusampaikan melalui
surat yang sebelum-sebelumnya bisa berguna, setidaknya kan walau aku tidak
disana tapi kata-kata itu bisa mewakiliku menemani harimu, hehe. Oh ya, ada hal
penting yang ingin kuberitahukan padamu. Sebenarnya dari dulu aku sudah menaruh
hati pada ustadz Fahri Sa.....
DEG..!!
Aku berhenti sejenak membaca surat dari Zahra. Hatiku
tiba-tiba berdebar kencang. Aku memang tahu Zahra selalu mengikuti acara yang
diadakan oleh ustadz Fahri tapi aku kira itu hanya karena materi-materi ustadz
yang bagus. Aku mencoba melanjutkan membaca surat Zahra.
....dan kemarin melalui
temanku yang kebetulan adalah saudara jauhnya ustadz, ustadz mengirimiku surat
Sa, dan aku tidak menyangka ustadz juga punya perasaan yang sama denganku....
Kini bukan hanya dada ini terasa perih, mataku pun
mulai memanas, aku belum siap untuk menerima berita seperti ini dan parahnya
lagi dia adalah sahabatku sendiri. Air mataku mengalir, kubaca lagi surat itu
yang kini terlihat samar karena air mata yang menghalangi pengelihatanku.
.....seandainya kamu disini
waktu itu Sa mungkin kamu bisa menjadi orang pertama yang ikut membaca surat
itu. Aku tidak bisa berkata apa-apa saat itu Sa, dan sekarang kami resmi
pacaran. Oh ya, kamu belum pernah menceritakan padaku siapa orang yang telah
mengisi ruang dihatimu, aku penasaran siapakah orang yang beruntung tersebut.
Nanti, kapan-kapan kamu harus cerita ya, eh siapa tau kamu sudah punya pacar
tapi tidak mau kasih tau.Kalau begitu sekian dulu surat dariku ya, aku selau
berdo’a semoga kamu selalu sehat dan selalu mendapat rahmat-Nya. Amin.
Wassalamu’alaikum warahmatullah.
Dari sahabatmu: Zahra
Aku mencoba menahan isak tangisku, tapi usahaku
sia-sia tangisku semakin kutahan semakin deras mengucur. Kubenamkan kepalaku
pada bantal guling agar isak tangisku tak terdengar sampai luar. Bodoh sekali
aku telah berpikir bahwa apa yang waktu itu dilakukan ustadz adalah bentuk
perhatiannya padaku. Dengan bodohnya aku berharap bahwa perhatian itu merupakan
bentuk rasa suka, aku bodoh!! Makiku pada diriku. Aku beristigfar lalu mencoba
untuk sebisa mungkin menghentikan tangisku. Aku berjalan kearah kamar mandi
lalu mengambil air wudlu kemudian shalat sunat dua rakaat seperti yang sering
Zahra pesan padaku.
___
2 tahun kemudian.
Aroma coffe late panas menyeruak masuk ke rongga
hidungku, menyambut pagi nan indah di negara yang dikenal dengan kanggurunya,
Australia. Ya, pagi ini, aku tengah menikmati segelas coffe late sembari
membaca novel.
“Loh, belum berangkat kuliah Alisa?” wanita separuh
baya itu tak lain adalah Nenekku.
Nenek mengambil tempat duduk di dekatku, di bangku berjumlah empat yang mengelilingi
meja bundar di halaman belakang kediaman Nenek yang dipenuhi dengan rumput hijau serta
beratapkan kaca. Ada berbagai macam bunga aneka warna juga yang Nenek dan Kakek menanamnya.
“Masih pagi Nek,,” sahutku sembari menyeruput
coffe late yang mulai mendingin.
“Makanya, kan Nenek sudah bilang kalau mau baca novel jangan sebelum mau berangkat
kuliah. Kamu tidak tau kan kalau sekarang sudah pukul 8” aku hampir saja
tersedak dengan coffe late yang kuminum tadi. Aku melihat jam tanganku dan
benar saja ini sudah menunjuknan pukul 8 pagi dan parahnya lagi Chaterin baru
saja mengirimiku pesan, katanya dosen sudah datang.
“Aduh, Nek Alisa berangkat dulu ya,,” kataku
langsung melesat meninggalkan Nenek yang geleng-geleng kepala melihat kelakuanku. Aku melintasi jalan-jalan
setapak beberapa puluh meter sebelum sampai di jalan raya.
Setelah sampai di kampus aku segera melesat menuju
lantai tiga. Aku sedikit mengatur pernapasanku saat baru saja menyelesaikan
anak tangga lantai tiga lalu sedikit berlari lagi menuju ruanganku. Saat hendak
berbelok aku bertabrakan dengan seorang lelaki.
“Aww,,,!!” ringisku.
“I’m so sorry,, are you allright?” tanyanya.
“Ow, I’m fine,,” aku tak menghiraukannya dan
langsung melesat setelah mengambil novelku yang terjatuh tadi.
“Kenapa kamu bisa telat tadi?” tanya Caterin saat
kami pulang.
“Aku keasyikan membaca novel,,” jawabku
cengengesan. Caterin hanya geleng-geleng kepala. Aku berpisah dengan Caterin di
gerbang kampus.
Usai shalat dzuhur aku iseng membuka internet,
siapa tau ada email dari sahabatku, Zahra. Karena aku sempat menaruhkan alamat
emailku di surat terakhirku padanya tapi sampai sekarang belum ada kabar
darinya, dan kutebak alamatnya sudah bukan di pesantren lagi jadi bagaimana
bisa aku mengiriminya surat. Aku jadi teringat saat itu, aku menyesal sekali
tidak menghadiri acara pernikahan sahabatku sendiri karena keegoisanku.
Beberapa bulan yang lalu sesaat sebelum
keberangkatanku ke Australia untuk melanjutkan kuliahku, surat Zahra datang
bersamaan dengan surat pemberitahuanku padanya bahwa hari itu aku akan pergi ke
Australia. Dia memberitahukan akan menikah, dan sontak aku terkejut bukan main,
saat itu pikiranku bukan soal akan menghadiri pernikahan sahabatku itu. Yang
terlintas dibenakku hanya kesedihanku melihat orang yang kucintai bersanding
dengan sahabatku sendiri. Dan sesampainya di Australia aku baru tersadar, dan
sampai sekarang belum ada kabar dari Zahra. Semoga dia tidak marah dan kecewa
padaku.
Hpku berdering menandakan ada sms masuk. Caterin
mengajakku sore ini untuk menghadiri acara seminar. “Ini tentang pembuktian
ayat dalam kitab agamamu melalui metode ilmiah. Hitung-hitung menambah ilmu
buatku” kata Caterin di pesan itu.
Pukul empat sore Caterin menjemputku menggunakan
mobilnya. Dan di tempat acara aku mengambil posisi duduk paling depan. Sosok
pria bertubuh tegap masuk dan duduk di tempat khusus untuk narasumber yang
jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat duduk penonton. Dan di iringi dengan
dua orang lagi yang membawa berbagai macam peralatan yang akan mereka gunakan
untuk presentasi.
Lelaki yang datang pertama tersebut membuka acara
dan langsung ke pokok pembahasan. Namun aku agak risih karena sedari tadi saat
pertama melihatku ia agak terkejut dan terus saja melihatku. Apa dia baru kali
ini melihat wanita menggunakan hijab? Bukankan dia juga seorang muslim, dan di
ruangan ini juga banyak yang mengguanakan hijab, batinku. Aku menghindari
tatapannya dan terus saja mendegar dengan seksama pembahasan tentang berbagai
ayat Al-Qur’an yang dijelaskan melalui metode ilmiah. Aku kagum pada pemuda
seperti mereka yang memiliki bukan hanya sekedar kata-kata untuk membela agama
namun mampu berbuat lebih.
Usai acara Caterin pegi ke toilet dan aku
menunggunya di luar ruangan. Kembali laki-laki tadi menatapku dari kejauhan dan
sekarang dia malah mendekta kesini, aku sengaja berjalan menjauh pura-pura
tidak tau. Dia semakin mengejarku dan aku bersembunyi di sebuah ruangan kosong.
Pintu itu dibuka paksa dan,,
“AAaa!! Tolongggg,,,” aku berteriak kencang sampai
lupa tadi aku memakai bahasa Indonesia. Aku mengulangi lagi. “HELP,, SAVE
ME,,,!!”
“Maaf aku tidak bermaksud jahat,,” katanya memelas
ketakutan karena aku berteriak. Eh? Dia juga orang Indonesia? Aku berhenti
berteriak dan sok cuek bebek.
“Lalu kenapa anda mengejar saya?” tanyaku.
“Oh itu, ini!” katanya menyerahkan novel punyaku.
Aku menyernyitkan dahiku.”Tadi pagi saat kita tabrakan di lantai tiga kamu
mengambil buku yang salah, jadi aku berniat untuk mengembalikannya dan
kebetulan aku melihat kamu tadi di acara seminar” jelasnya. Oh, ternyata itu
sebabnya dia menatapku dari tadi.
“Begitu ya, maafkan saya sudah berpikir yang
tidak-tidak” ungkapku, “Tapi buku kamu tidak kubawa, kemungkinan besok akan
kubawakan. Semester berapa?” tanyaku.
“Semester awal,,” aku kaget. Baru semester awal
tapi sudah bisa membuat seminar sebagus tadi, subhanallah. “Atau aku kasih nomer hpku saja supaya nanti kamu bisa menghubungi ku,,” lanjutnya.
“Boleh,, ini” aku menyerahkan hpku.
“Oh ya, namaku Yusuf kamu siapa?” katanya setelah
menulis nomor hpnya di hpku.
“Alisa,,” jawabku.
“Baiklah Alisa, kalau begitu saya permisi dulu,
dan maaf sudah membuat kamu kaget. Assalamu’alaikum,,” katanya.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah,,”
Hpku berdering,, Caterin menelpon.
“Where’re u?” tanyanya panik.
“Sorry tadi aku ada keperluan mendadak, kamu lagi
dimana nanti aku temui di tempat parkir” kataku.
“Baiklah,,” Caterin menutup teleponnya.
____
“Bisa, di taman kampus bagaimana?”
“Baiklah, sekarang aku kesana, assalamu’alaikum,,”
“Wa’alaikumussalam warahmatullah,”
Aku melangkah menuju tempat yang dibilang Yusuf
guna mengembalikan buku punyanya. Sesampainya di taman aku mencari-cari sosok
Yusuf, dan nampak seseorang pria berperawakan tinggi tengah menunggu di dekat
sebuah pohon. Yusuf sepertinya tengah mencari keberadaanku lalu pandangannya
tertuju padaku, dia pun segera berjalan menghampiriku.
“Ini, sekali lagi maaf karena telah salah ambil,”
ungkapku.
“Saya maklum kok. Ikut organisasi apa?” tanyanya.
“Nggak ada, soalnya nggak ada yang cocok”
“Mm, bagaimana kalau ikut organisasi kita aja,
kamu pernah lihat kan acara kita waktu itu, kebetulan juga di kita anggotanya
nggak banyak, hanya mahasiswa muslim saja dan beberapa mahasiswa luar yang
tertarik, bagaimana?”
“Mau banget. Aku ajak temen aku sekalian boleh?”
tanyaku.
“Lebih banyak lebih bagus” katanya, “Baiklah nanti
saya hubungi untuk kapan jadwal-jadwal kegiatannya ya” tambahnya.
“Oke”
___
Aku dan Caterin resmi menjadi anggota di
organisasi SOI (Sains Of Islam). Organisasi ini baru-baru ini berdiri dengan
semakin banyaknya mahasiswa islam yang menuntut ilmu disini, ada beberapa
mahasiswa non muslim juga yang ikut.
Beberapa minggu berjalan kami semakin akrab dengan
anggota lainnya terutama Yusuf, aku sering bertanya banyak hal padanya terutama
tentang Agama, wawasannya cukup luas pada usianya yang terbilang muda. Aku juga
beberapa kali ikut saat ada acara seminarnya di berbagai sekolah. Seminarnya
tidak selalu yang berkaitan dengan islam, kalau kita sedang berhadapan dengan
anak SMA berbeda lagi temanya, lebih ke pemberian motivasi dan berbeda lagi
kalau kita ke anak setingkat SMP. Kita juga sering mengunjungi berbagai panti
asuhan untuk memberi sumbangan, ini sebabnya ada beberapa mahasiswa non muslim
yang tertarik dengan organisasi ini.
Hari ini sepulang dari ada acara pemberian
sumbangan ke salah satu panti asuhan yang berada di dekat kediaman Nenek aku mampir ke cafe yang selalu
kukunjungi ketika aku sedang ingin menikmati coffe late yang tentunya bukan
instan seperti yang sering
kunikmati di rumah. Aku memasuki cafe yang bergaya klasik itu dengan meja yang
ditata cocok untuk kumpul dengan teman atau keluarga. Saat ini masih jam kerja
jadi tempat ini masih sepi, hanya ada satu atau dua orang yang sedang menikmati
coffe sambil ngobrol. Aku memilih tempat di belakang seseorang yang
kelihatannya sendirian saja. Sepertinya dia baru datang dan belum memesan
coffe. Aku duduk dengan membelakangi orang yang tadi itu dan sebentar datang
seorang pelayan yang kebetulan bersamaan dengan pelayan lainnya yang menuju
meja dibelakangku.
“silahkan,,” kata pelayan menyerahkan buku menu.
“Coffe late,,”
“Coffe late,, kataku hampir berbarengan dengan
orang yang dibelakanguku. Setelah pelayan pergi aku penasaran dengan orang yang
memesan sama denganku tadi. Aku membalikan tubuhku dan saat itu dia juga sedang
melakukan hal yang sama denganku.
DEG!
Mataku melotot begitupun dengan orang yang ada di
depanku ini.
“Alisa,,” ujarnya. Aku menelan ludahku dengan
susah payah.
“Ustadz
Fahri,,” timpalku masih tidak percaya.to be continue or TBC.........
Komentar
Posting Komentar