cerpen setulus kasihmu


SETULUS KASIHMU
 “Mia,,, tau enggak aku bawakan kamu apa?”
“apa?”
“tada! Tiket liburan ke Bali,”
“Ohh ya?? Kapan?”
“libur ujian ini sayang, Via dan Susi sudah ambil bagiannya tadi. Nih! Ambil. Satu bulan dari sekarang ya. Aku ada perlu dulu sama anak pengurus osis”.
“Cika, tunggu!” Cika terpaksa menghentikan langkahnya yang setengah berlari tadi diambang pintu.
“Aldo ikut nggak?” Cika tersenyum simpul lalu mengangguk.Yess! Aku teriak kegirangan didalam hati.
Aldo adalah sepupunya Cika, dia sementara tinggal dirumah Cika sampai ia lulus SMA. Aku mengenalnya saat kami belajar kelompok dirumah Cika. Kira-kira 1 tahun yang lalu saat kami masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Aldo anak yang tampan dan pandai, dia tipe cowok yang apa adanya dan langsung akrab dengan siapa saja. Tapi sekolahnya tidak sama dengan Cika, ia sekolah di SMK.
“Ya udah ya Mi, Susi udah nunggu nih, bye”
Aku, Susi, Via, dan Cika bersahabat sejak SMP, kami terbiasa bersama namun memiliki kesukaan yang berbeda dalam setiap bidang. Aku dan Cika suka sesuatu yang berbau biologi dan sejenisnya dan besok saat kelulusan kami berencana mengambil jurusan kedokteran. Susi berencana menadi guru, dan Via si kutu buku masih ragu dengan dirinya sendiri. Suatu ketika ia ingin menjadi penulis karena membaca buku yang berudul ‘how to be a writer’, dan di lain waktu ingin menjadi seorang penemu, dan lain sebagainya. Dia akan terobsesi dengan apa yang ia baca.
Namun, bagaimanapun kerasnya kami berdebat dalam hal itu. Kami akan bersatu padu dalam hal musik. Kami adalah pecinta musik, dan kami membuat band kami sendiri dan sering mengikuti kontes yang diselenggarakan baik oleh sekolah atau pun luar sekolah.
Susi, si pianis. katanya, tuts-tuts piano itu umpama jalan kehidupan, jika kita mampu memainkan jalan itu dengan baik dan benar, maka kita akan terbawa dengan suasana indah kehidupan, layaknya nada yang keluar beraturan dari sentuhan jari pemain piano.
Via, dia sangat suka biola. Baginya biola seirama dengan suara alam, terutama hutan. Tenang, dan damai. Begitulah pendapatnya.
Cika, dia ahli dalam bermain gitar. Tapi jika ditanya kenapa dia suka gitar, dia akan tanya balik. “Aku nggak tau, emang apa alasan kalian suka makan?”,. Dia tidak memiliki kesan tersendiri pada alat musiknya, namun jika tangannya sudah menyentuh gitar, seakan semua isi hatinya telah ia tuangkan kedalam nada-nada yang teralun dari gitarnya.
Aku sedikit berbeda dengan teman-temanku yang lain. Aku tidak pandai bermain alat musik. Aku lebih suka bernyanyi. Mendengar lagu-lagu yang menenangkan hati adalah kesukaanku, aku sangat suka lagu klasic, selain menurut beberapa ilmuan itu dapat meningkatkan kecerdasan, music klasik salah satu pelarianku ketika hatiku tak menemukan ketenangan di luar sana.
Sebenarnya sudah lama ini aku merasakan hal yang sedikit rumit. Entahlah, aku seakan bosan, tapi tak tau mengapa. Aku senang ketika berkumpul bersama sahabatku, bernyanyi, shoping, nonton, ngobrol, tapi setelah itu di rumah aku sering menangis sendiri tanpa sebab. Dadaku terasa sesak, dan perih. Aku merasa seprtinya aku hanya terus berjalan pada tempat. Rasa senang yang kudapat dari berkumpul dengan teman-temanku seakan-akan selalu saja menguap seperti air yang menetes di keringnya gurun pasir.
Tapi hari-hariku tetap kulalui seperti biasa bersama sahabatku. Tak ku terlalu hiraukan perasaan itu. Kuanggap itu hanya sebagai hal yang biasa dialami oleh remaja seperti ku.
1 bulan kemudian.....
“Ma, Mia berangkat dulu ya,,” pamitku pada mama yang sedang asik memasak sarapan untuk keluarga pagi ini. Mama berhenti sejenak dari aktifitasnya lalu mendekatiku.
“Nanti disana jangan lupa istirahat dan makan yang cukup ya. Dan jangan lupa waktu, ya?” pesan Mama. Aku hanya mengangguk kurang bersemangat. Tapi dari tadi aku belum melihat dua jagoan di rumah ini, siapa lagi kalau bukan papa sama abangku.
“Oh ya, Papa sama kak Bagas mana Ma?”
“Papa masih mandi, kakakmu masih tidur di kamarnya” aku mengangguk lagi.
“Cika udah dateng belum Ma?” kuambil satu buah roti lalu mengolesina dengan selai cokelat kesukaanku.
“Belum sayang, kamu sarapan saja dulu,”. Mama kembali dengan aktifitasnya yang tadi dan aku dengan santai mengunyah roti yang baru saja kuolesi dengan selai. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi klakson motor dari luar rumah. Aku kenal sekali dengan suara pespa itu, siapa lagi yang suka memakai pespa kalau bukan sahabatku, Cika.
“Ma, Mia berangkat ya,, bye” pamitku lalu mencium pipi mama dengan menyeret serta koper besarku.
“Kok pergi tanpa pamit sama Papa” suara bas Papa terdengar dari arah belakang. Aku tersenyum manis lalu memeluk papa sayang. “Inget, nanti waktu pulang papa gak mau anak papa ini jadi item karena keseringan berjemur di pantai” goda papa. Aku hanya tertawa kecil.
“Bawain abang mu oleh-oleh ya,,” satu suara kembali terdengar. Entah sejak kapan mas Bagas sudah nangkring di anak tangga.
“Ogah! Aku pamit ya Pa, Ma, mas Gas,, tut, bau, Hehe” secepat kilat aku berlari sebelum mas Bagas membalas perkataan jahilku tadi.
Terdengar samar omelan mas Bagas dari kejauhan, tapi itu malah semakin membuatku tertawa lepas sampai di depan motor Cika.
“Ada apa sih?” tanya Cika penasaran melihatku bergegas tergopoh-gopoh sambil tertawa.
“Biasa, ngejailin mas Bagas, he” jawabku santai dan dibalas gelengan kepala oleh Cika, dia juga sudah terbiasa melihatku bertengkar dengan mas Bagas.
“Come on, kita berangkat,” aku hanya mengangguk taat lalu menaruh koper ku di atas jok motor Cika lalu menempatkan diriku pada posisi senyaman mungkin.
Selang beberapa puluh menit kami sudah sampai halaman rumah Cika. Mobil yang mengantar kami ke bandara sudah terparkir apik di depan rumah Cika.
“Aldoooo,,,,!!” Susi yang baru baru datang langsung meneriaki sosok Aldo yang baru saja keluar dari dalam mobil. Sejak beberapa bulan ini kami memang jarang bertemu karena kesibukan menjelang ujian.
Aldo mendekat ke arah ku dan Susi, “Hai, long time no see,,” sapanya sok berbahasa bule,, aku hanya tersenyum kecil. Aldo tampak sedikit aneh, karena menatap ku begitu lama. Tak seperti biasa, batinku.
“Hai, Mi, Si, bantuin aku nih, berat,” seru Via yang kewalahan mengangkat koper ke dalam bagasi mobil. Serempak kami bertiga bergegas membantu sambil memasukan koper-koper yang tersisa.
Setelah pamitan pada mama dan papa Cika, kami pun berangkat ke bandara diantar oleh sopir pribadi papanya Cika. Aku menaikan kaca mobil lalu menikmati setiap belaian udara pagi yang masih terbilang sejuk di tengah kota yang sudah tercemar polusi udara ini. Menikmati pemandangan kota yang ditanami beberapa pohon di pinggir jalan.
Karena merasa bosan dengan pemandangan diluar aku pun beralih menatap ke depan. Enatah sejak kapan Aldo menatapku dari kaca di depan. Sontak ia tersadar saat mata kami bertemu tatap lalu ia senagaja memalingkan wajanya ke arah lain. Sejak tadi tingkah lakunya memang terlihat agak aneh.
___
“Mi, bangun. kita udah nyampe bandara”, samar-samar terdenngar suara Via membangunkanku yang enatah sejak kapan tertidur di dalam mobil. Aku mengerjap sebenatar.
“Kita udah nyampe?” tanyaku sambil menguap kecil.
“Yang lain dah pada jalan tu, ayo jalan!”ajaknya. Aku pun mengiyakan lalu mengambil koperku berjalan beriringan dengan Via.
Singkat cerita kami pun sampai di Bali dan langsung menuju resort milik papanya Cika. Kami berencana bermalam disini selama satu minggu. Tanpa peduli dengan koper yang belum dibereskan kami dengan asyik melempar tubuh di kasur dan langsung terbang ke dunia mimpi.
_____

Suara deburan ombak terdengar merdu di telingaku. Aku terbangun dengan sesungging senyum menyambut hari pertama di Bali. Dengan masih berpakaian jeans dan T-sirt berwarna cream, aku melangkah ke arah deru ombak yang tak jauh dari resort. Tanpa peduli dengan kenyataan bahwa aku baru bangun tidur, baju kusut, rambut berantakan.
Angin laut menerpa tubuhku dan menerbangkan rambutku tak tentu arah. Kubentangkan kedua tanganku, angin dengan ganas menerpa lalu menelusup diantara sela-sela jemariku. Kuhempaskan tubuhku di atas pasir putih. Langit biru membentang indah, kokoh berdiri tegak, tak membiarkan satu titik pun awan menyentuh kulit terangnya.
“Mi,,” suara bas yang khas dari seseorang yang ku kenal. Aku berdiri dari tidurku lalu terduduk dan menoleh ke arah suara bas yang tak asing lagi bagiku. Siapa lagi kalau bukan Aldo. “Boleh aku duduk,,” tanyanya agak canggung sambil menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal.
Aku hanya mengangguk tanda setuju. Aku masih saja aneh dengan sifat Aldo sejak kemarin, dari sejak pertama aku mengenalnya baru kali ini aku melihat Aldo yang selalu care sama orang menjadi terlihat seperti orang yang demam panggung.
“Do, kamu kenapa, sakit?” tanyaku agak cemas. Dia dengan cepat menggelengkan kepalanya. Kembali senyap,, Aldo hanya menatap kosong ke arah pantai, entah apa yang sedang berkecamuk di kepalanya, yang pasti dia sangat tidak menikmati apa yang tengah ia lihat, aku jadi tidak berminat lagi dengan objek yang sedari tadi ku lihat.
“Ada masalah?” tanyaku lagi, dia kembali menggeleng lalu tertunduk sebentar. Ia terlihat menarik napas dalam lalu sepersekian detik ia langsung menatapku tepat di dalam mataku sambil menggenggam tanganku erat. Kurasakan tangannya begitu dingin, apa mungkin karena cuaca di sini dingin? Aku bertanya dalam hati.
Dia sama sekali tak memalingkan pandangannya dari mataku, aku beberapa kali ingin melepas genggaman tangannya tapi tak mampu. Aku hanya terdiam mengikuti arah pandangnya.
Tatapannya tak bisa ku tebak, matanya terlihat ingin berkata sesuatu tapi ragu, sebentar berbinar, sebentar lagi meredup. Lalu dengan cepat ia melempar tanganku yang tadi ia genggam erat lalu berlari kencang meninggalkanku tanpa satu penjelasan pun. Aku hanya terduduk tak mengerti. Apa mungkin Aldo,,? Batinku. Aku menggelengkan kepala keras dan mencoba tidak ambil serius kejadian tadi,
____

Saat sarapan tadi, Aldo tak banyak bicara. Dan yang pasti teman-teman yang lain bertanya tanya. Selesai sarapan ia permisi pergi dengan alasan ingin melihat pemandangan di luar. Namun siapa yang akan percaya dengannya, dengan wajah yang begitu kusut. Kami berempat hanya menatap heran padanya. Susi sampai tak nafsu makan karena tak ada yang mengajaknya bicara dan bercanda seperti biasa.
Selesai beres-beres kamar, Cika mengajaku ngobrol di teras belakang resort yang berhadapan langsung dengan pantai. Aku pun bertanya tentanya tentang sikap Aldo, lalu menceritakan kejadian tadi pagi. Cika agak terkejut.
“Yang bener?” tanya Cika antusias, matanya berbinar saat ku ceritakan Aldo yang menggenggaum tanganku lalu pergi begitu saja. Cika hanya tertawa tertahan. “Kamu tau gak kalau Aldo itu belum pernah naksir sama cewek?” tanyanya. Aku hanya menatap tak percaya padanya. “ tapatnya tidak pernah berani menyatakan perasaannya” tegasnya.
“Dia emang pernah beberapa kali suka sama cewek tapi satu masalahnya, dia susah mengungkapkannya sampai cewek yang dia suka itu digebet duluan sama orang lain, haha menyedihkan bukan?” tanyanya lagi sambil menertawai nasib sepupunya. Aku hanya mengangguk takzim mendengar penjelasan Cika.
“Terus sampai kapan dia bakalan kayak gini?” tanyaku. Cika hanya mengangkat bahunya, lalu meneguk jus alpukat yang di sediakan oleh pelayan.
“sekarang aku tanya kamu. Kamu suka gak sama dia?” tanya Cika balik. Aku sedikit berfikir, aku juga kurang tau, karena sejak kenal dia aku hanya seneng aja bisa langsung akrab dan sharing tentang pelajaran sama dia, aku seneng dia selalu bisa membuat suasana menjadi seru. Tapi untuk urusan yang jenjangnya lebih tinggi seperti cinta aku masih belum tau.
“Entahlah Cik, aku juga gak tau. Kita emang udah kenal lama, aku sudah anggap dia teman. Tapi entahlah,,” jawabku, “terus gimana kalau dia terus kayak gini, bakalan berabe kalau liburan kita berantakan hanya gara-gara Aldo gini”
“Biarin aja dulu dia berfikir, nanti juga mikir sendiri tu anak,, “
“Tapi,,”
“Udah, gak usah tapi . Percaya deh sama aku, sekarang ayo ajak yang lain, kita main volly di pantai. Jangan lupa ambil net di kamar ya?” perintah Cika.
Setelah memberi tahu Susi dan Via, aku bergegas ke kamar mengambil net dan bola volly. Aku dengan susah payah menenteng tiga bola beserta net yang cukup panjang. Aku agak kewalahan dengan beban yang kubawa, aku hendak menaruhnya lalu ketiga bola yang tadi ku samprikan di punggungku terasa tertambil oleh seseorang. Dan saat ku tengok ke belakang ternyata yang mengambilnya adalah Aldo. Dengan senyum khasnya yang seperti biasa ia dengan santai melaluiku yang masih terheran dengan sikapnya yang sekarang kembali normal.
“Aldo tunggu,,” teriakku sambil mengejarnya dan menyelarsaskan langkahku. “Tadi pagi itu,,” sekarang giliranku canggung bertanya.
“Maaf ya,,” dengan cepat ia memotong perkataanku. Aku kembali terheran. Secepat itukah dia merubah sikapnya? “Mungkin kamu kaget dengan sikapku tadi pagi, tapi sekali lagi aku minta maaf, jangan kamu ambil hati ya,,” katanya sambil tersenyum. Ini dia Aldo yang ku kenal, tapi aku masih bingung dengan maksudnya tadi pagi. Jujur aku merasa digantungkan. Tak jelas, aku harus apa setelah dia bersikap demikian tadi pagi? Walau pun dia bilang tadi pagi itu hanya candaan, aku tidak rela, aku memang tak apa, tapi hatiku masih tak rela, ingin ada penjelasan atas semua ini, dia sudah terlanjur memulai. Tapi apa boleh buat, aku tidak mungkin memaksanya mengakui bahwa dia punya perasaan terhadapku.
“Mi, kamu gak apa-apa kan soal yang tadi pagi?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Oh, ya, gak apa-apa kok” jawabku kikuk. Kenapa aku jadi berharap besar setelah apa yang Aldo lakukan tadi pagi. Aku hanya menatap punggungnya yang tegap berjalan semakin jauh lalu menghilang di tikungan kamar. Aldo, kenapa kamu harus bersikap seperti ini, kamu hanya membuatku bingung.
Keadaan sudah seperti biasa lagi, Aldo sudah menjadi Aldo yang biasa. Susi sekarang sudah senang bisa bercanda lagi dengan Aldo sambil asik bermain volly, hanya satu orang yang tidak biasa, yakni aku. Sejak kejadian itu aku tidak tau harus bersikap seperti apa, Aldo suda terlanjur memberi sinyal padaku, aku tidak bisa bersikap biasa saja. Aku yang sekarang menjadi kurang enak saat bersama dengannya.Aku memutuskan untuk pergi saja dari sana, pergi ke entah kemana kakiku melangkah.
Setelah berjalan selama kurang lebih 20 menit aku samapi di sebuah pasar yang cukup ramai. Aku tak tau akan berbuat apa disini, ada banyak macam baju-baju khas bali dan segala pernak perniknya tapi aku kurang berminat karena moodku yang kurang baik, sayang sekali, andai suasana tak seperti sekarang mungkin aku akan melahap semua barang disini. Aku hanya berjalan dengan tak tentu arah seperti anak kecil yang tersesat mencari kedua orang tuanya.
Selama 10 menit lebih aku hanya berjalan terus melihat-lihat apa saja yang mungkin akan menarik perhatianku, karena kurang teliti memerhatikan jalan aku tidak memperhatikan lubang yang cukup dalam dan aku pun terjerembah didalamnya. Ah, celanaku basar dan kotor, kakiku terasa nyeri. Dengan perasaan yang semakin tidak baik aku membersihkan kakiku dengan sapu tangan.
“Kakak nggak apa-apa?” tanya seorang gadis kecil berusia kurang lebi 6 tahun dengan rambut yang diikat kuncir dua. “Kalau kakak mau, Ris ajak ke rumah nenek, gak jauh dari sini kok, kakak mau?” tawarnya polos. Tulus sekali kelihatnya dari matanya. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Kuseret langkahku dengan dibantu gadis keci yang ternyata bernama Riska tadi.
Tak lebih dari lima menit kami sudah sampai di sebuah rumah yang bergaya Bali sekali, ada beberapa kolam ikan dan tanaman hias di halaman rumahnya. Aku masuk bersama gadis kecil tadi.
“Assalamu’alaikum,, nenek, mama” panggil gadis kecil itu. Aku terperanjah. Dia barusan mengucap salam? Berarti dia orang islam, tapi dari tadi aku juga tidak mendengarnya memakai logat Bali saat berbicara, apa mungkin dia juga seorang pelancong sepertiku?
“Wa’alaikumsalam,, kamu dari mana aja sayang?” timpal seorang wanita berkerudung berumur kurang lebih 40 tahun yang memiliki wajah yang mirip dengan Riska, dia pasti ibunya. “Ini siapa?” tanya ibu tadi saat melihatku.
“Ini kak Mia ma, tadi saat Ris bermain di pasar kak Mia kakinya masuk ke lubang, kasihan ma kaki kakak berdarah,,” jawab Riska. “Ayo kak masuk, nanti Ris balut lukanya kakak,,”
“Oh ya, ayok masuk nak,,” ibu tadi mempersilahkanku masuk. Riska membantuku menaiki satu per satu anak tangga yang tak lebih dari sepuluh anak tangga. Nuansa rumahnya di dalam memang tak jauh berbeda dari nuansa Bali, hanya saja ada beberapa aksesoris khas agama islam didalamnya.
Setelah lukaku diobati oleh Riska aku dipersilahkan untuk ikut makan siang bersama mereka, awalnya aku menolak tapi mereka malah memaksa, dan aku pun memang merasa lapar setelah berjalan begitu jauh. Kami makan dalam diam, tak ada satu pun suara.Usai makan aku diajak ngobrol di ruang tamu, ada aku, Riska, mamanya Riska, serta sepasang suami sitri yang menginjak usia lanjut yang ku ketahui adalah kakek dan nenek Riska, dan saat itulah aku tau bahwa mereka adalah keturunan jawa-bali. Kakek Riskalah yang keturunan Jawa lalu menikahi nenek Riska yang asli orang Bali, lalu nenek Riska memilih mengikuti agama kakek namun ingin terus tinggal di Bali. Sedangkan Riska sekeluarga sedang kesini untuk berlibur sama sepertiku. Kebetulan juga daerah tempat tinggal kami di Bandung berdekatan. Hanya berjarak beberapa kilo.
“Ma, mas Gagah mana?” tanya Riska.
“Mas Gagah sedang pergi silaturahmi ke rumah Bibi sayang,” jawab mamanya.
“Oh ya, tante, kek, nek. Mia kayaknya harus pamit, nanti yang lain bisa khawatir karena tadi pagi Mia pergi gak bilang”
“Kok cepat sekali, tadinya nenek sama kakek mau ngajak kamu jalan-jalan melihat perkebunan dibelakang rumah,,” jawab nenek.
“Makasih sekali kek, nek, tapi Mia pergi sudah cukup lama, Mia takut yang lain bisa panik nyari Mia” jawabku sungkan.
“Kalau gitu biar Ris anter cari bus ya kak,,” tawar Riska. Aku ingin menolak tapi mamanya Riska sudah menimpali.
“Iya, nanti biar Riska yang anter kamu sampai depan”
“Coba ada mas Gagah, kan kita bisa dianterin pake mobil, “ gerutu Riska. Tak lama terdengar suara mobil di pelataran rumah. “Tu kan, baru aja diomongin orangnya udah nongol” kata Riska mendengar suara kedatangan mobil itu.
Seorang lelaki dengan postur tubuh tegap melangkah kedalam rumah dengan berbaju kemeja rapi, dia lelaki yang gagah seperti namanya.
“Assalamu’alaikum,,” sapanya.
“Wa’alaikumsalam,,” serempak menjawab salanya. Dia sedikit terkejut melihatku. Wajahnya bertanya-tanya.
“Ini Mia, tadi Riska yang mengajaknya kesini, kakinya terluka,,” jawab tante seakan tau akan apa yang dipikirkan anaknya.
“Kamu gak keberatan kan Gagah, kalau mengantar nak Mia, kakinya masih sakit.” sekarang giliran kakek yang angkat bicara. Yang ditanya masih agak bingung. “Riska juga akan ikut menemani kalian,” timpal kakek lagi.
“Iya mas Gagah, bisa ya, ya” kata Riska memelas. Akhirnya Gagah pun mengangguk tanda setuju. Semua ikut mengantarku sampai halaman rumah.
“Tante, nek, kek, terimakasih atas jamuannya. Mia pamit ya”
“Iya, lain kali jangan sungkan buat mampir ya,,” kata tante.
“Ma, Riska berangkat ya, Assalamu’alaikum,,”
“Wa’alaikumsalam warahmatullah,,”
Aku duduk di belakang dengan Riska. Aku kira Gagah itu sosok yang anti terhadap wanita dan tidak akan mengajakku berbicara sama sekali. Tapi kenyataannya beberapa kali aku ditanyai tentang beberapa hal. Hanya saja ia tak sering mengahadapkan pandangannya kearahku. Ditambah dengan adanya Riska yang menambah ramai suasana.
 Saat sampai di resort, Cika langsung hendak memarahiku namun melihat kondisiku dia berubah iba, dan membantuku untuk berjalan. Aldo terlihat tak begitu senang saat melihat Gagah. Salah sendiri, batinku.
“Kami harus pulang dulu ya,,” pamit Gagah. Tapi sepertinya Riska ingin protes, namun melihat anggukan sang kakak, Riska terpaksa mengiyakan. Riska mendekatiku.
“Kakak jaga diri baik-baik ya,, “ katanya tulus, “nanti kalau sempat Ris akan kesini ditemani mas Gagagh,” lanjutnya. Gagah hanya tak banyak komentar. “Kalau sempat, kakak juga ke rumah nenek ya, nanti kit bisa metik sayur bareng di kebun”
“Iya deh, “ jawabku.
“Ya udah, Ris pulang ya kakak. Assalamu’alaikum,,”
“Wa’alaikumsalam,,”
____
Malam harinya aku jalan-jalan sendiri di kelapan malan di pantai. Aku memikirkan tentang keluarga Riska, aku merasa aneh saat bersama mereka. Aku sudah 16 tahun menyandang status keislaman, namun mengucap salam saja seperti hal yang asing bagiku. Apalagi shalat, itu pun kalau ingat, kalau nggak ya lupa. Kedua orang tuaku tak pernah mempersoalkan hal itu semua.
“Ini sudah malam Mi, kenapa masih di luar?” suara Aldo dari belakang membuatku terperanjah. Aku hanya tersenyum tipis. dia mensejajarkan dirinya denganku, “Yang tadi siang itu siapa?” tanyanya. Aku menatapnya, wajahnya cukup tenang, tak seperti kemarin malam.
“Oh, itu Gagah, adiknya yang menolongku saat aku jatuh di pasar. Memangnya kenapa?” tanyaku menatap dalam matanya. Dia memalingkan wajahnya ke arah pantai. Dia kembali menghirup oksigen dalam-dalam. Apa kali ini dia juga akan pergi?
“Aku boleh jujur sama kamu Mi?” tanyanya. Tapi tanpa menghadap kearahku, dia memandang lurus kearah laut. “Aku mulai merasakan getar cinta padamu, “ nampak satu bulir keringat menyembul dari pori-pori wajahnya. “Aku takut sekarang kamu akan diambil oleh cowok lain, jadi Mi,,” katanya mulai menatap mataku dalam. “Aku berharap kamu bisa mengerti akan perasaanku. aku menyayangimu melebihi rasa sayang sebatas teman Mi” matanya terlihat berbinar diterpa sinar rembulan.
“Apa kamu tulus?” tanyaku. Dia mengangguk mantap.
“Aku tau kalau kamu masih bingung dengan perasaanmu, tapi aku akan menunggu sampai kau pastikan perasaanmu. Tapi selama itu apa kamu mau, menjalin status yang lebih dari sekedar teman denganku?” aku sungguh bingung. Bukan karena aku tak suka pada Aldo. Apa lagi yang aku pikirkan? Bukankak aku sendiri yang ingin Aldo menjelaskan maksudnya yang waktu itu. Apa-apaan aku ini, Aldo memberanikan diri untuk pertama kalinya mengungkapkan perasaannya padaku.
“B, baiklah. “ jawabku. Aldo tersenyum lebar.
“Ehem, yang udah jadian,, ciye... Cuit,, cuitt!!” Cika dan yang lain ternyata sedari tadi berada tak jauh dari keberadaan kami. “Kalian lama sekali sih prosesnya, kami kedinnginan tau menunggu kalian. Untung aku sudah merekam semua adegan yang romantis tadi,,” celetuk Cika. Aku langsung melotot ke arahnya hendak mengambil kamera itu, tapi sial aku lupa dengan kakiku. Aku terjatuh, namun tubuhku belum sempat menyentuh tanah karena tangan Aldo langsung menahan dan langsung menggendongku menuju resort. Cika, Susi, dan Via terus berdehem dan menggoda kami, tapi peduli amat, walaupun sekarang jantunngku terpompa kencang aku tidak bisa berbuat apa-apa, kakiku terasa sakit sekali karena cuaca yang cukup dingin di luar.
Tak bisa dipungkiri bahwa aku merasa nyaman saat Aldo menggendongku, pipiku terasa tak hendak berhenti bersemu. Alangkah indahnya merasakn cinta pada usia remaja, ah, masa remaja memang masa yang indah. Ya, atau begitulah kata kita yang sedang merasakan indahnya cinta, entah bagaimana dengan mereka yang sedang dilanda galau.
Tiga hari berlalu setelah kejadian Aldo menyatakan perasaannya padaku. Kami menikmati hari-hari di Bali dengan pergi ke pusat pariwissata yang cukup tekenal disini. Kami melakukan segala hal, belanja, diving, dan lain-lain. Kami seperti biasa selalu berlima, Aldo seperti biasa selalu membuat suasa menjadi lebih asik. Hanya saja bedanya, sekarang dia lebih memberi perhatian lebih padaku, tentu saja karena aku sekaraang berstatus pacarnya, hehe.
Hari ini, sepulang dari pantai kami mampir dulu di pasar tradisional dekat resort, tepat di pasar tempatku terjatuh beberapa hari yang lalu. Aku jadi teringat akan Riska, aku ingin sekali bertemu denganny sebelum balik ke Bandung. Ah, kenapa aku tidak belikan saja dia sesuatu sebagai tanda terimakasih sekaligus kenang-kenaangan.
“Do, temenin aku kesana bentar,,” pintaku menunjuk pedagang yang menjual pernak pernik yang terbuat dari bahan-bahan kayu. Aldo yang sedari tadi tak berhenti menggenggam tanganku langsung kutarik kearah pedagang tadi. Aku memlilah dan memilih sesuatu yang kira-kira Riska suka.
“Yang ini kayaknya cocok deh buat kamu,,” kata Aldo memperlihatkan gelang kayu yang terlihat agak mencolok.
“Aku bukan mau beli untuk aku sendiri, tapi buat Riska. Kamu masih ingat kan anak kecil yang nganterin aku waktu itu?” tanyaku. Aldo hanya mengangguk takzim sambil ikut mencari.
“Yang ini gimana Do,,” kataku sambil memperlihatkan sepasang ikat rambut dengan tambahan boneka lucu yang terbuat dari kayu juga. Aku teringat Riska yang sering mengkuncir rambutnya.
“Bagus,,”
“Kamu mau gak nanti anterin aku kerumahnya, aku pengen ngucapin terimaksih sekalian pamit sama dia,,” pintaku pada Aldo.
“Sekarang?” tanyanya.
“Iya, nanti setelah aku beli beberapa buah baju atau apa kek buat tante, nenek dan kakek.” kataku. Aku jadi teringat dengan Gagah, mau aku belikan apa ya dia.
Selesai dari pasar kami hendak mencari kendaraan, kami sengaja tidak menyuruh sopir untuk mengantar kami tadi pagi. Niatnya sih pengen jalan-jalan sekalian haking, taunya Susi udah capek, terpaksa rencana kita atur ulang.
“Kak Mia,,!!!” teriak gadis kecil yang menyembulkan kepalanya dari dalam mobil avanza yang baru saja berhenti di depan kami.
“Riska?”
“Kakak mau kemana? Ayo ikut ke rumah, kakek bilang pengen ngajak kakak berkebun,,” aku berpikir sejenak. Aku menatap kearah Aldo dan yang lain, meminta pendapat mereka.
“iyain aja Mi, kebetulan aku juga udah capek jalan nih,,” timpal Susi.
“Ayo kakak, ajak juga kakak-kakak ini,,” paksa Riska. Aku menatap kearah Gagah yang berada di depan stir mobil. Dia hanya mengangguk sambil tersenyum tak keberatan. Aku pun mengiyakan, kami berempat duduk di belakang, sedangkan Aldo menemani Riska di depan. Diperjalanan Aldo banyak ngobrol dan bercanda dengan Gagah dan Riska. Riska sepertinya juga menyukai Aldo, aku sudah bis tebak itu, Aldo memang memiliki perangai yang baik dan cukup humoris, dia cepat mengakrabkan diri dengan lingkungannya.
“Nanti kalau udah nyampe di Bandung, mas Aldo jangan lupa sering main ke rumah Ris ya, nanti ajak kak Mia juga” kata Riska riang. Aldo hanya tersenyum sambil mengelus rambut Riska sayang.
Saat sampai dirumah neneknya Riska ternyata kami sudah disambut oleh nenek  sekeluarga. Mereka ternyata memang sudah mempersiapkannya dan juga sudah membuat makanan untuk kami.
“Jadi ngerepotin tante,,” ujarku tak enak.
“Biar, tante sudah lama nggak masak banyak. Kebetulan semau hidangan ini juga hasil dari perkebunannya kakek dibelakang rumah.” jawab tante, “Ayo, yang lain nggak usah sungkan ya, nggak baik nolak rezeki,”
Setelah makan, aku dan yang lain membantu tante beres-beres, itu pun harus perlu memaksa tante agar mau dibantu. Katanya, kami ini tamu, dan tamu itu raja. tapi mana mungkin kami mau kalah, he. Aldo dan Gagah diajak kakek bantu metik sayur lagi dibelakang, Riska juga ikut, sepertinya dia benar--benar suka pada Aldo, aku sudah punya saingan ternyata.
Selelsai membantu tante, aku dan Cika ikut membantu kakek di belakang sekalian melihat-lihat perkebunan kakek. Susi dan Via pengen istirahat katanya. Tapi jangan kira mereka akan tenang istirahatnya, karena di dalam masih ada nenek yang sedang merajut, nenek mengajak mereka ngobrol panjang lebar. Kebun kakek cukup luas, tadinya seperti ingin dibuat kamar, karena masih ada bekas bata yang tak teratur.
Kakek terlihat asik sekali mencabut singkong yang sudah siap panen, karena terlalu besar akhirnya Aldo membantu kakek yang kewalahan. Aku dan Cika membantu memetik sayur saja, yang tak memerlukan tenaga ekstra.
Langit terlihat mendung, kami berniat ingin pamit. Tapi belum juga kesamapaian hujan sudah duluan turun dengan lebatnya. Samapi malem pula. Kami tak tau harus bagaimana, mobil Gagah tadi di pinjem sama pamannya buat nganter bibinya ke Denpasar.
“Kalian menginap saja untuk malam ini, kami masih punya banyak kamar tamu” kata nenek. Aku hendak menolak, “Nggak usah merasa nggak enak, nenek kan memang niatnya mau ajak kalian buat nginep. Yah, sekarang apa boleh buat, kalian mana bisa pulang hujan begini,,” jelas nenek. Benar juga memang kata nenek. Apa boleh buat, udah malem juga.
Shalat magrib dan isha kami lakukan berjamaah. Gagah yang mengimami. Terakhir kali aku shalat berjamaah saat aku masih kecil dulu, saat masih mengaji di mushola dekat rumah. Aku merasakan kedamaian bersama dengan keluarga ini, bukan karena keluargaku bukan keluarga yang baik dan jarang berkumpul seperti ini, bukan. Hanya saja untuk persoalan agama mereka kurang peduli, ada rasa sejuk dihatiku tatkala melihat shaf-shaf shalat, bersalaman, mengaji. 10 tahun yang lalu, terakhir kali aku merasakan hal ini,, tenang, damai, entahlah yang pasti aku merasa hatiku seperti mulai mendapat formula yang baru.
Selesai shalat isha berjamaah, kami tidur. Aldo diajak tidur dengan Gagah. Kami berempat tidur di kamar tamu, cukup luas dan nyaman.
Tengah malam aku terbangun oleh suara petir yang menyambar disertai kilat. Aku ingin sekali pergi ke kamar kecil. Walau agak takut, aku memberanikan diri pergi karena Susi tak mau dibangunkan sama sekali. aku membawa lampu sorot kecil seadanya. Jarak kamar mandi dengan kamar-kamar agak jauh. Ada dua buah kamar mandi, salah satu kamar mandi itu terlihat lampu penerangnya bermasalah sehingga terlihat agak gelap.
Terdengar suara pintu dibuka di kamar mandi sebelah yang tak berlampu itu, aku mencoba menyingkirkan perasaan takut. Itu hanya suara angin Mia,, batinku. Dengan perlahan aku membuka pintu kamar mandi dan melihat ke arah sekeliling. Tu kan nggak ada apa-apa. Batinku lagi. Seketika itu pintu  kamar mandi itu terbuka dan menampakan sosok yang hitam. Aku langsung berteriak ketakutan.
“AAARGGGHH!!” aku langsung terduduk. Seketika itu terlihat lampu menerangi wajahku.
“Eh, ini aku Gagah,,” aku berhenti berteriak dan mengahadapkan wajahku kearah sosok yang tadi yang ternyata adalah Gagah. Ah. Leganya, aku menarik nafas dalam. “Kamu ngapain malam-malam disini?” tanyanya.
“Aku pengen pipis tadi. Lah, kamu sendiri ngapain?” tanyaku balik. Ia sedikit berfikir.
“Aku,, ya sama juga kayak kamu.” jawabnya. Aku hanya mengangguk. “Silahkan, kamu duluan,,” katanya mempersilahkanku unutk jalan duluan. Aku pun menurutuinya lalu berjalan menuju kamar. Gagah mengikuti dari belakang dan suara kakinya tak terdengar lagi saat melewati kamarnya. Aku kembali ke kamar, namun aku tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Tenggorokanku terasa kering, aku melangkahkan kaki menuju ruang makan, menenggak beberapa teguk air mineral.
saat hendak balik ke kamar aku mendegar lirih suara dari ruang tempat kita shalat yadi malam. Aku mengintip dari luar, ternyata Gagah. Pantes tadi wajahnya terlihat basah, ternyata dia mau shalat malam. Batinku. Karena asik memperhatikannya aku tak sadar kalau ia sudah memalingkan wajah kearahku, aku sedikit kaget, dia mengerutkan dahinya.
“Kamu sedang apa?” tanyanya,, aku jadi bingung sendiri.
“Aku boleh ikut shalat?” jawabku cepat. Aduh, apa boleh buat itu perkataan pertama yang meluncur dari mulutku. Gagah masih terlihat kaget.
“Mm, boleh kok. Kamu udah wudlu?” tanyanya lagi. Aku menggeleng, “Ya sudah, kamu wudlu saja dulu, nanti biar kita shalatnya jamaah.” terangnya. Aku mengangguk lalu bergegas ke kamar mandi.
Usai mengambil wudlu aku mengikuti Gagah shalat malam jamaah, walau awalnya aku meminta karena terpaksa tapi hatiku merasakan kembali sensasi itu, sensasi yang tak dapat dijelaskan. Sensasi yang membuat hatiku seperti mendapat isi ulangnya kembali. Ditengah derai hujan yang menghujam bumi, aku menikmati setiap sujud-sujduku, terasa lebih bermakna, lebih nikmat dan lebih tenang. Selesai shalat malam, Gagah mempersilahkan aku ke kamar jika aku hendak tidur lagi.
Pagi harinya setelah selesai shalat subuh jamaah, seperti biasa kakek sudah berada di kebun bersama Gagah, kami membaantu tante di dapur. Tapi aku belum melihat kemana perginya Aldo.
“Cik, Aldo mana?” tanyaku pada Cika yang sedang memasak sayur bening.
“Tadi Riska ngajak dia pergi ke pasar, sekalian beli bumbu dapur” jelas Cika. Makin akrab saja mereka berdua.
“Mia, bisa tolong tante ambilin gunting di kamarnya Gagah, “ pinta nenek.
“Bisa nek,,” jawabku lalu bergegas ke kamarnya Gagah. Kamar yang cukup rapi, dengan lemari baju yang berukuran sedang dan ada rak buku di dekat lemari itu, ada begitu banyak buku disana, aku penasarn lalu melihat-lihat buku. Mayoritas bukunya bertemakan islami, beberapa tentang bisnis dan politik juga. Aku membaca beberapa buku yang membuatku tertarik. Hanya sedikit saja sebelum Gagah datang menngagetkanku.
“Ah, maaf aku lancang. Tadi nenek menyuruhku mengambil gunting, dimana ya?’ tanyaku gugup.
“Ini! “ katanya menyerahkan gunting serta , buku? Aku menatapnya yang sekarang tengah tersenyum. Aku mengerutkan dahi. “Ini buku yang mau ku kasih ke ibu, tapi ternyata ibu sudah punya. Jika kamu mau, kamu boleh mengambilnya,,”
“Aku mau kok,” jawabku cepat. Dia tertawa kecil, tampan sekali. Aku menggeleng keras.
“Kamu mau kan?” tanya Gagah lagi.
“oh ya,ya makasih. Mm, sebaiknya aku pergi,,” kataku langsung meninggalkan kamar Gagah. Apa-apaan kamu Mi, Gagah itu terlalu istimewa untuk kamu miliki. Dia alim, baik, sedang kamu? Lagian Aldo kamu mau kemanain, mikir dong Mi. Aku menasehati diriku dalam hati.
____
Siangnya Gagah mengantar kami kembali ke resort. Besok rencananya kami akan kembali ke Bandung. Riska merengek minta Aldo tinggal untuk beberapa hari, namun Gagah berhasil membujuknya dengan imbalan dia akan membawanya mengunjungi Aldo nanti setelah sampai di Bandung. Aku tak lupa memberi bingkisan yang sempat kubelikan waktu itu, tante kuhadiahi sebuah baju, tadinya hendak membelikan gamis atau kerudung, tapi tidak ada toko yang menyediakan itu di pasar itu, akhirnya aku memilih baju yang berlengan panjang dan berwarna kalem. Nenek ku belikan peralatan merajut lengkap, kakek aku belikan baju dan sabit, he.
“Supaya kakek tambah semangat bekerja di kebun,,” tambahku, kakek tertawa kecil dan menghusap kepalaku sayang.
Riska berteriak riang saat kuberi sepasang ikat rambut serta boneka beruang. Pada awalnya aku bingung mau belikan Gagah apa, tapi aku ingat saat masuk dikamarnya itu, aku berinisiatif untuk membelikannya kuas lengkap dengan alat melukis. Saat dikamarnya aku melihat ada kaligrafi yang belum terselesaikan, sepertinya kaligrafi yang ada dikamarnya ia sendiri yang membuat. Dia hanya tersenyum simpul atas pemberianku.
_____
Tepat pukul 09.00 kapal menuju Bandung lepas landas di bandara Ngurah Rai Bali. Aku duduk bersama Aldo, aku meriang tak tertangguhkan dan Cika meminta tolong pada Aldo untuk menjagaku. Aldo membujukku untuk memberi tahu pramugari supaya pesawat bisa melakukan pendaratan darurat, tapi aku dengan tenaga yang tersisa menggeleng lemah, aku takut membuat penumpang lain terganggu.
Akhirnya Aldo tak bisa berbuat apa-apa, dia hanya bisa menghela nafas panjang. Melihatku yang semakin menggigil ia tak tega, lalu membuka jaketnya lalu menyelimuti tubuhku. Aldo menaruh kepalaku di pundaknya lalu menggosok-gosokkan tangannya pada punggungku, mencoba meringankan kedinginan yang melanda tubuhku.
“Kenapa kamu keras kepala sekali sih Mia,” ujar Aldo, suaranya tertahan dan sedikit bergetar, dia menyembunyikan kecemasannya dengan memarahiku, “Ya Tuhan, kapan pesawat ini akan mendarat!! “ kecemasan semakin menyeruak terlihat di wajahnya, aku menenangkannya dengan menggenggam tangannya erat, lalu menatap matanya dan mengangguk seakan berkata semuanya baik-baik saja. Kamu begitu tulus Do, terimakasih. Batinku. Dia memalingkan wajahnya, tak mampu membendung butiran cairan bening yang menggertak ingin keluar.
Aku merasa semuanya terlihat buram dan kepalaku terasa berat, aku meletakkan kepalaku di pundak Aldo dan semua terasa gelap. Saat bangun, aku sudah berada di sebuah ruangan yang cukup luas dengan banyak ranjang. Kepalaku masih sedikit pusing, saat hendak bangun aku limbung dan terjatuh ke lantai.
“Astaga Mia,,” Aldo membuang plastik yang sedang dipegangnya, lalu mengangkatku ke ranjang, “Kamu masih pusing?” tanyanya cemas lalu memberikan air mineral padaku. Aku menggeleng.
“Kita dimana Do?” tanyaku, suaraku agak serak.
“Kita masih di Bandara, kamu tidak sadarkan diri saat turun dari pesawat. Dan tim kesehatan membawamu ke ruang kesehatan,” papar Aldo, “sebaiknya kamu mau makan dulu, nanti setelah ini kita bisa bawa kamu pulang,,” terangnya.
“Yang lain mana?” tanyaku melihat tidak ada sinyal ketiga sahabatku itu.
“Oh, tadi setelah membawamu kesini mereka mengurus barang-barang bawaan, sebentar lagi juga pasti datang.”
Butuh waktu lama untuk membujuk petugas agar mengizinkan kami pulang, mereka bersih keras ingin membawaku ke rumah sakit terdekat, tapi aku keberatan. Dengan terpaksa mereka mengiyakan.
Dua hari setelah itu demamku tak kunjung turun lalu mama membawaku ke rumah sakit terdekar untuk di opname. Awalnya aku tak mau tapi mama memaksa, aku tak dapat berkata apa-apa. Setiap hari Cika, Susi, dan Via selalu menjengukku, mereka membawa kue, tapi aku larang mereka. Aku hanya ingin mereka memainkan alat musik. Kesunyian di rumah sakit membuatku merasa tidak sembuh-sembuh. Karena jenuh lalu aku menyuru sahabat-sahabatku memainkan beberaaa lagu setiap hari.
Tak terkecuali dengan Aldo, lelaki yang sudah satu dua minggu menjadi kekasihku itu tak kalah perhatian, dia selalu memberikan perhatiannya. Mulai dengan menyuapiku, memberi motivasi, membuat guyonan yang mengocok perut. Yang pasti aku senang dengan adanya dia di sisiku.
Pagi ini, kami mendapatkan hasil pengumuman kelulusan. Dengan perasaan yang campur aduk aku menanti surat dari sekolah. Cika yang pertama datant dengan membawa dua buah surat. Aku tersenyum getir, antara senang dan takut. Cika menunjukan raut wajah datar dan ditekuk, aku semakin takut.
“Kita LULUS,,,!!” teriaknya memelukku. Aku menagis senang didalam pelukannya. Cika mengabarkan bahwa yang lain termasuk Aldo juga demikian. Mama dan papa memelukku senang, memberi selamt padaku. Kak Bagas masih di luar kota sedang mengurus proyeknya, aku sengaja melarang mama untuk tidak memberitahunya dulu. Aku tahu walau mas Bagas sering tidak akur denganku, namun jika tahu aku sakit dia tidak akan memikirkan sedang apa dan dimana. Jadi aku rahasiakan saja sampai tugasnya terselesaikan dengan baik.
 Tak lama kemudian pintu kamar VIP di ketuk. Itu pasti Aldo. Mama membukakan pintu, dan tampaklah sosok Gagah. Aku terkejut, sejak kapan dia tau aku di rumah sakit? Dari belakangnya melangkah tante yang masuk dengan pakaian yang waktu itu kubelikan untuknya.
“Kak Mia,,” gadis kecil berkuncir beruang itu berterik dan berlari kearahku dengan air mata yang menggenang di pipi mungilnya, dia naik ke kursi lalu memelukku erat. “Kakak sakit apa? Kenapa nggak bilang sama Ris,,hiks” ujarnya sesenggukan.
“Maafin kakak ya sayang. Kak Mia nggak apa-apa kok “ ujarku menenangkannya.
“Maaf ya tante baru tahu, itu pun kalau nggak Ris yang merengek pengen ketemu kamu, kami mungkin tidak akan tahu kamu sakit,” tante mendekat kearahku setelah tadi bersalaman dengan mama dan papa sebentar. Aku tersenyum manis lalu menyalami tante.
“Makasi ya tante udah repot-repot jenguk Mia,” ungkapku. Riska yang tadi duduk di kasurku digendong oleh Gagah.
“Kamu sakit apa Mi?” tanya Gagah.
“Kata dokter sih, anemia,” jawabku.
“Semoga kamu cepat sembuh,,” katanya, aku mengangguk dan tersenyum.
“Iya, kakak nggak boleh lama-lama ya sakitnya,,” sahut Riska yang masih berada di gendongan Gagah, tangisnya sudah reda, hanya sesekali ia masih sesenggukan. Papa dan Mama mengajak tante ngobrol diluar. Cika menemaniku di dalam.
“Mi, Gagah itu seperti namanya ya,,” tiba-tiba Cika nyeletuk. Aku menyernyitkan dahi. “Iya, bukan? Dia gagah seperti namanya, ditambah lagi dia alim, tutur katanya lembut. “ mata Cika terliat berbinar-binar menceritakan tentang Gagah. Aku belum tau ternyata selama ini ia menaruh perasaan suka pada Gagah. Aku akui, siapa yang tidak akan terpikat dengan karisma seorang Gagah, yah kecuali Susi dan Via tentunya, mereka masih lebih mencintai piano dan biolanya, hehe. Kalau aku? Aku kan sudah ada Aldo, meski terkadang saat tidak ada Aldo aku teringat selintas kebersamaan kami di Bali, tapi bisa ku pastikan bukan karena cinta, hanya karena dengan mengenalnya aku bisa menjaga shalatku dengan baik sekarang.
“Sejak kapan Cik,,??” selidikku sambil nyengir kuda. Dia terlihat agak malu-malu.
“Sejak kapan ya,, sejak pertama aku melihatnya, melihat tatapan yang sayu dan menentramkan, melihat pesonanya saat mengimami kita shalat. “
“Ciye, ciye, gitaris kita sedang jatuh cinta ni ceritanya, pake acara puitis-puitis segala lagi,,” aku menggodanya.
“Emang salah ya? Emang sendirian kamu apa yang pengen punya pacar” katanya cemberut. Aku tertawa kecil.
“Becanda kok sayang,,” kataku memelukknya erat. “Cinta itu fitrahnya manusia Cik,,” kataku mengutip kata-kata dari buku yang Gagah berikan waktu itu yang berjudul. ‘wanita solehah’.
“Tapi kamu jangan sekali-kali bilang sama yang lain ya,, plis!!” pintanya sembari melepas pelukanku. Aku mengangguk. “ Terutama sama Aldo, kamu tau sendiri kan dia suka becanda, nanti kalau dia becanda-canda di depan Gagah soal aku yang suka sama dia berabe urusannya,” paparnya, aku hanya mengiyakan sembari tersenyum manis kepadanya.
Malamnya Riska merengek tak mau pulang, ia ingin tetap menemaniku disini, tapi tante tidak bisa menemaninya disini, “papanya Riska tidak ada yang masakin,” kata tante. Akhirnya Gagahlah yang harus bertugas menjaganya selama disini, mendengar itu Cika ikut menginap disini. Mama terlihat agak capek, jadi ku pinta mama agar pulang istirahat.
“Mama sama papa pulang aja, istirahat, nanti biar Gagah, Cika dan Riska yang nemenin Mia disini. Sebentar lagi juga Aldo dateng,,” mama menolak, tapi papa meyakinkan, mama pun mengiyakan.
Beberapa menit berselang, Aldo, Susi dan Via datang, Riska senang bukan main melihat pangeran kodoknya dateng. Tanpa nasa-basi Riskalangsung berhambur ke gendongan Aldo. Malamnya Susi, Via dan Cika ku minta memainkan musik, saat itu Gagah meminta izin untuk keluar. Kami menghabiskan malam dengan mengobrol. Aldo, asik dengan Riska, beginilah jika ada Riska aku pasti tidak dapat jatah perhatian dari Aldo.
Tengah malam semua tertidur, Susi, Cika dan Via tertidur di ssofa, sedang Aldo tertidur di lantai dengan memeluk Riska. Gagah belum kembali setelah pergi tadi, sepertinya ia pergi ke musholla rumah sakit untuk menunaikan shalat. Aku mengambil buku pemberian Gagah yang belum selesai kubaca. Lembar demi lembar ku baca dengan seksama. Disana ada beberapa hal yang menyinggung tentang cara berpakaian dan cara bergaul seorang muslimah. Berhijab salah satunya, tertulis bahwa perintah itu adalah wajib atas setiap wanita muslimah. Wajib, bukan sunah ataupun makruh. Begitulah kurang lebih bunyinya. Aku terpekur sebentar, saampai terdengar suara pintu yang dibuka, oleh siapa lagi kalau bukan Gagah.
“Assalamu’alaikum,,” sapanya dengan salam.
“Wa’alaikumsalam,,” jawabku sambil menutup buku yang kubaca. Dia mendekat kearah Riska lalu memperbaiki selimut yang menutup tubuhnya. Aku masih ragu dengan materi di dalam buku tadi daan berniat menanyakannya pada Gagah.
“Gah, boleh nanya nggak?” tanyaku agak ragu, ia menoleh lalu mengangguk.
“Boleh, memangnya mau nanya apa?” jawabnya.
“Mm, gini. Ini soal hijab. Wajib itu berarti harus kan? Terus bagaimana dengan mereka yang merasa bahwa berjilbab tanpa diikuti oleh hati yang bersih adalah sia-sia? Bukankah membersihkan hati itu jauh lebi penting?” tanyaku. Dia tersenyum lalu mempernaiki duduknya.
“Begini,,” katanya memulai. “Wanita itu ibarat permen, jika aku berikan kamu permen yang masih terbungkus dengan rapi dengan permen tanpa bungkus. Lalu aku buang kedua permen itu di tanah, kamu akan memilih permen yang mana?” tanyanya.
“Tentu saja yang terbungkus dengan rapi,” jawabku tegas.
“Begitu pula dengan wanita muslimah. Namun, bukan berarti semua wanita yang memakai hijab akan otomatis bersih hatinya sepenuhnya. Kita hanya manusia biasa, yang tak luput dari salah dan khilaf. Tapi setidaknya, mereka mau menjalankan perintah Allah swt, mereka mau ikhtiar untuk bisa lebih dekat dengan-Nya.” papar Gagah dengan terang dan jelas. Aku mengangguk takzim mendengar penjelasannya yang menurutku sangat menarik. Wawasan agamannya begitu luas. Entah kenapa setiap kali bersama dengan Gagah, aku merasakan ketenangan, bukan berarti setiap kali bersama Aldo aku tidak tenang, bukan. Hanya saja tenang ini ada di dalam lubuk hati, tenang yang bukan hanya untuk saat ini saja, inikah yang disebut dengan kebahagiaan yang hakiki? Tidak bisa, aku tidak boleh suka sama Gagah. Ya Allah, aku nggak boleh seperti ini, jika aku memaksakan egoku aku akan menyakiti dua orang yang sangat aku sayangi.
“Mi, kok bengong?” tegur Gagah membuyarkan lamunanku.
“Ah, ya, apa, kamu bilang apa tadi?” tanyaku gagap.
“Ini kan sudah malam, sebaiknya kamu cepat tidur. Bukankah suster berpesan agar kamu tidur jangan larut malam,” katanya mengingatkan. Aku yang masih terbawa lamunanku tadi hanya mengannggu lalu merebahkan tubuhku lalu mencoba untuk memejamkan mata, walau sesungguhnya sulit rasanya. Aku menengok sejenak kearah Gagah yang tengah tertidur, wajahnya sungguh menawan. Aku teringat lagi, lalu memalingkan wajah, dan mencoba sekuat tenaga mengusir jejak-jejak Gagah dalam benakku. Aku menatap wajah Aldo yang tidur di dekat Riska. Teringat akan kasih sayangnya yang tulus, aku jadi ingin marah pada diriku sendiri. Aku berharap saat aku bangun besok, aku bisa melupakan semua ini lebih cepat, agar perasaanku ini tidak berbuah cinta.
___
Matahari sudah terbit di upuk timur. Tadi pagi selesai shalat subuh berjamaah, Aldo dan Gagah keluar, Susi, Via dan Cika menemaniku disini. Nanti siang dokter akan melakukan transfusi darah agar aku cepat pulih. Dan mungkin besok lusa aku bisa segera pulang. Baru kali ini aku sakit sampai separah ini. Tapi terkadang sesekali saat aku terbangun ditengah malam karena rasa pusing yang sangat mengganggu, aku sering terpikir kalau aku akan mati, takut sesekali menyeruak di daasar jiwaku, aku pun sempat bertanya, kalau nanti aku mati, amal apa yang akan menjadi bekalku, yang akan menjadi temanku di dalam kubur. Perasaan-perasaan seperti itu yang selalu menggangguku.
Aku teringat Allah, 16 tahun lamanya aku meninggalkan-Mu, membuat-Mu menunggu akan kesadaran seperti ini. Maafkan hamba-Mu ini Ya Allah, jarang sekali aku mensyukuri nikmat yang Kau beri, sampai Kau menegurku dengan penyakit ini. Ternyata begitu besar nikmat sehat yang selama 16 tahun ini Kau berikan. Saking seringnya Kau memberikan nikmat itu setiap detiknya, aku sampai tak menyadari sampai sekarang Engkau mengambil satu dari begitu banyak nikmat-Mu Ya Rabb, maaf.
Selesai transfusi darah, ternyata Dokter membolehkan untuk ku pulang lebih cepat dengan syarat, jika aku mengalami pusing lagi, aku harus cepat ke Rumah sakit. Kata dokter perkiraannya ternyata melenceng sedikit. Aku memerlukan lebih sedikit kantung darah dari yang diperkirakan, Alhamdulillah.
Siangnya aku Mama dan Papa mengemas barang-barang yang akan dibawa pulang. Semua ada disana, Aldo, ketiga sahabatku, Gagah dan Riska pun masih disana. Setelah membereskan perbendaharaan, kami bergegas pulang. Ah, lega rasanya aku bisa menghitup udara segar, setelah sekian lama mendekam di dalam ruang rawat rumah sakit.
Gagah dan Riska tidaak mengantar sampai rumah, katanya dia ada jadwal mengajar ngaji di musola dekat rumahnya. Riska yang sedang tertidur tidak bisa dengan mudaah dibawa pulang, tentunya tanpa merengek meminta Aldo ikut, he.
“Cik, nih aku kasih pinjem buku, kalau kamu memang ingin mendapatkan hatinya Gagah. Wanita yang model begini yang lelaki seperti Gagah idam-idamkan,” kataku menunjuk gambar wanita yang memakai hijab di cover buku yang Gagah kasih ke aku. Mata Cikaberbinar lalu mengambil buku yang kusodorkan padanya.
“Benarkah?” tanyanya senang, aku mengangguk mantap. Sesampai di rumah dia tidak tunggu lama, Cika langsung dengan sigap membuka dan membaca buku itu, dia seperti orang yang kelaparan lalu disodorkan makanan lezat.
Besoknya Cika datang ke rumah bersama Aldo. “Kamu sudah merasa baikan?” tanya Aldo saambil memberikan bingkisan yang berisi cokelat kesukaanku. Aku tersenyum lalu mengambilnya. Mas Bagas sudah pulang kemarin, dia sangat marah karena aku tidak memberitahukan bahwa aku telah dirawat di rumah sakit cukup lama, aku menggodanya dengan berkata bahwa dia ternyata sungguh menyayangiku. Lalu dengan cepat pula ia berkata tidak peduli, sok acuh.
Aldo, berbincang sebentar dengan mas Bagas. Cika menariklenganku lalu membawaku ke luar. “Kamu bisa bantuin aku nggak?” tanyanya.
“Bantuan apa?” tanyaku penasaran. Dia mengeluarkan buku yang kemarin ku kasih pinjem.
“Ini,,” katnay menunjuk gambar di cover buku itu, “Antar aku untuk membeli kerudung ya, pliss!!” pintanya.
“Kamu serius?” tanyaku tak percaya, ia bisa secepat itu ingin berhijab?
“Iya, bisa ya, mumpung Aldo lagi ngobrol sama mas mu,,” katanya memelas. Aku menghela nafas lalu mengangguk. Dia tersenyum manis. Aku minta izin pada mama untuk pergi sebentar. Mama meniizinkan, Aldo menatap kearahku daan aku hanya mengangguk dan tersenyum.
Kami samapi di toko baju yang tak jauh dari rumah. Sekarang sedang trend baju muslimah, jadi tidak sulit untuk menemukan baju-baju dengan beragam motif dan bentuk. Kami memilih dan memilah sesuai selera. Karena sudah terlanjur mengantar Cika, aku jadi berinisiatif untuk membeli juga, siapa tau nanti dengan berjalannya waktu aku bisa istiqomah memakai hijab. Cika membeli cukup banyak kerudung serta baju-baju berlengan panjang serta rok, Cika juga membeli sebuah gamis yang cantik berwarna biru. Aku juga membeli baju dan kerudung tapi hanya beberapa buah saja.
“Ayok pulang!” ajak Cika semangat.
“Emangnya kamu nggak takut digodain Aldo nanti kalau lihat kamu membeli kerudung?” tanyaku.
“Oh iya, ya. Tapi tak apalah, walau pun sekarang aku mencba menutupi, besok juga bakalan ketahuan kan? Aku sudah mantap ingin pakai hijab Mi,”
“Karena Gagah?”
“Bagaimana ya, bisa dibilang begitu, tapi kalau begitu aku kan nggak ikhlas namanya. Yah, walau tidak sepenuhnya karena Agama, tapi aku mengerti banget arti dari kata wajib yang ditegaskan di dalam buku itu” tuturnya. Aku kembali merenung, sebaiknya apa yang aku lakukan sekarang? Aku masih belum sanggup di tanyai oleh mama, papa dan mas Bagas. Tapi buat apa aku malu kepada orang lain toh yang akan aku lakukan adalah perintah Allah. Perkataan Gagah terngiang ditelingaku. ‘Tapi setidaknya, mereka mau menjalankan perintah Allah swt, mereka mau ikhtiar untuk bisa lebih dekat dengan-Nya.’ aku lalu bertekad untk berhijab mulai saat itu.
“kalian habis beli apa?” tanya mas Bagas saat kami baru pulang membawa bungkusan plastik yang cukup banyak.
“Beli baju,” jawabku, “Mas mau baju cewek?” tanyaku.
“Ih, ogah.” jawabnya mengibaskan kedua tangannnya diudara.
Setelah menaruh baju yang baru kubeli tadi di kamar aku menemui Aldo dan yang lain di bawah. Aku membantu Mama membawa beberapa camilan dam minuman ke ruang tamu.  Kami ngobrol seputar rencana kuliah.
“Nak Aldo mau melanjutkan kuliah dimana?” tanya Mama pada Aldo. Aldo menatapku, aku tau apa maksudnya, karena ia sudah lulus SMK dia akan kembali lagi ke rumahnya di Jakarta. “Mma sudahberencana menguliakan Aldo di Jakarta tante, mengambil jurusan managemen” jawab Aldo.
“Loh, kenapa nggak sekalian aja kuliahnya disini?”
“Papa rencananya mau menaruh Aldo sebagai salah satu staf di kantornya tante, “ jawab Aldo lemah, dia menatapku sesaat dengan tatapan sendu. Aku hanya tersenyum tipis.
“Tapi nak Aldo akan sering kesini kan nanti selama tinggal di Jakarta?” tanya Mama lagi.
“Oh, tentu tante, Aldo usahain,”
Selesai perbincangan tentang rencan kuliah Aldo mengajakku untuk ke taman belakang sebentar, ada yang ingin dia katakan. Aku terdiam seribu bahasa, aku tak bisa menyembunyikan perasaanku bahwa aku akan ditinggal dalaam waktu yang cukup lama oleh orang yang begitu aku sayangi.
“Aku akan sering kesini kok Mi, tapi selama aku di Jakarta kamu nggak usah lirik cowok lain ya,” katanya bercandaa. Aku memukul lengannya, dia tertawa lalu mengacak rambutku.
“Do, kamu setuju nggak kalau aku pakai hijab?” tiba-tiba aku teringat akan niatku. Aldo menataap kearahku dengan tatapan kaget, seolah berkata kamu serius?? “Tadi saat pergi bersama Cika, aku diajak untuk membeli jilbab, dan kami berdua bertekad untuk menjadi muslimah yang menjalankan perintah Allah Do. Menurutmu bagaimana?” tanyaku lagi.
“Semua keputusan ada ditanganmu, jika menurutmu itu baik aku tidak bisa berkata apa-apa, lagian yang pake kan kamu bukan aku,” katanya bercanda lagi. Aku lega kalau Aldo mau menerima pendapaatku. “Kamu pasti tambah cantik kalau pakai jilbab, besok saat kamu mengantarku ke bandara, aku mau kamu pakai jilbab” aku kaget.
“Besok??” Aldo mengangguk.
“Iya, hari ini aku kesini untuk pamit sama kamu dan keluarga. Mama menelpon kemarin, kalau memang aku sudah dapat pengumuman kelulusan aku diminta cepaat-cepat pulang,” aku tertunduk lemah, secepat itukah? “Aku kan sudah bilang aku akan sering kesini, yang penting kamu mau setia menungguku” katanya mencoba menghiburku. Ia mengambil sesuatu dari balik tubuhnya, sebuah cincin.
“Mi, ini aku berikan karena aku menganggap kamu itu penting dalam hidupku, aku tidak mau main-main.” kata Aldo serius. “Tapi bukan berarti aku akan mengekang kamu sepenuhnya, aku tau, jodoh itu tidak ada yang tau, tapi aku hanya ingin kamu tau bahwa perasaanku ini bukan hanya sekedar hanya untuk menikmati sebuah hubungan masa remaja, aku serius sayang sama kamu, jadi aku harap kamu mau memakai ini sampai aku datang nanti untuk melamarmu,” Aldo tersenyum, matanya seperti biasa selalu tegas dan bersinar. Aku tau dia jujur dan tulus.
Aku hampir saja meneteskan air mata, aku tak mengira Aldo akan berkata sperti itu, sejak dulu, walau pun terkadang Aldo sering sekali jahil, tapi dia selalu bersikap dewasa, tapi aku tak menyangka dia akan seserius ini dengan hubungan kami. Tapi aku senang, aku tidak akan kehilangan orang sespesial Aldo.
“Aku sungguh mencintaimu Mi, mencintaimu dengan segala apa yanng ada padamu, “ aku tak bisa membendung cairan bening yang menyeruak ingin keluar dari pelupuk mataku. Aku menangis saat itu juga. Aldo menggapai wajahku lalu membersihkan air mataku dengan jari-jarinya. Lalu Aldo memasangkan cincin itu di jari manisku, aku tersenyum dalam tangisku, tangis bahagia.
___
Paginya setelah shalat subuh aku keluar menghirup udara segar sembari jalan-jalan disekitar komplek rumah. Ah, begitu lama aku hidup di dunia ini, baru kali ini aku merasakan nikmatnya menghirup udara pagi yang sesegar ini, Subhanallah. Betapa bodohnya aku sejak dulu Tuhanku sudah memberikan semua fasilitas ibadah yang luar biasa namun aku menolaknya mentah-mentah.
Sekiar jam 6 pagi aku kembali ke rumah, dan mobil Cika sudah terparkir di depan rumahku, ada apa dia sepagi ini? Batinku. Aku masuk dan melihat seseorang yang duduk di sofa dengan jilbab warna biru melekat indah dikepalanya. Dia menoleh, aku tertegun. Cika cantik sekali memakai jilbab warna biru itu. Aku mendekat lalu memeluknya.
“Kmau cantik sekali,,” ujarku senang, dia tersipu malu. “Oh ya kenapa pagi sekali datangnya, ada apa?” tanyaku.
“Aku kan mau jemput kamu sayang, pagi ini Aldo udah mau berangkat ke Jakarta,” tuturnya. Aku sampai lupa kalau pagi ini Aldo bakalan balik ke Jakata. Aku ingat pesan Aldo saat itu, agar aku mengenakan jilbab saat mengantarnya ke bandara.
“Aku sampai lupa. Tunggu dulu ya, aku mau mandi terus siap-siap dulu. Kamu ngobrol dulu aja sama mama,,” kataku sambil berlari ke kamar.
Usai mandi aku mengambil baju yang kemarin baru ku beli. Baju berwarna cream dan bawahan rok warna coklat. Lalu kupasang kerudungku, kebetulan tidak sulit karena aku membeli jilbab yang jadi, tinggal diikat talinya ke belakang dan ditambahkan bros biar tambah cantik. Aku mematuk diri di depan kaca. Ah, betapa indah rasanya melihat diri berbalut kerudung.
Aku turun menemui Cika, disana sudah ada mama, papa dan mas Gagad yang siap buat pergi kerja. Semua menatap kearahku. Mas Bagas kaget bukan main, dia hampir saja tersedak oleh makanannya sendiri, aku hanya tertawa kecil. Papa, Mama, dan Cika tersenyum melihatku. Mas Bagas langsnung mendekatiku dan meletakkan tanganya di dahiku.
“Suhu badannya normal,,” celetuknya. Aku melotot. “Ma, mana salah ngasih obat mungkin sama dia kemarin,” katanya lagi menggodaku.
“Ah, mas, kok gitu sih, nggak seneng ya lihat adeknya cantik memakai jilbab gini. Ya kan ma, pa, Mia cantik kan pake jilbab?” aku meminta dukungan dari mama dan papa. Mereka hanya mengangguk tersenyum, “Tuh kan, mama sama papa aja nggak keberatan.” kataku cemberut.
“Iya deh, adeknya mas cantiiik sekali pakai jilbab,” katanya sambil menjewer pipiku. Aku melepas tangannya sambil meringis kesakitan. “Tapi lebih cantik lagi kalau tersenyum,,” katanya melihat ekspresiku yang ingin marah padanya. Aku pun mengurungkan niatku.
Usai sarapan aku berangkat bersama Cika setelah sebelumnya pamit pada Mama, Papa udah berangkat kerja duluan sama mas Bagas. Kata Cika nanti kita ketemunya di bandara aja. Sebelum sampai bandara aku sempatkan membeli sesuatu untuk Aldo. Aku membelikan Aldo kopiah dan sejadah, jika memang dia berniat lebih serius, aku ingin dia bisa menjadi imamku kelak, aku ingin agar dia istiqomah dalam shalatnya. Aku meminta untuk dibungkuskan dan menulis sebuah note diatasnya.


Rounded Rectangle: Jika kamu memang berniat serius denga hubungan kita, aku harap kamu kelak bisa menjadi imam buatku Do. Karena bagiku pernikahan bukan hal yang main-main. Hadiah ini jangan sampai kau buat sebagai pajangan semata. Aku ingin kamu memulainya dengan mengistiqomahkan shalatmu.

Dari kekasih hatimu.
 










Kami pun akhirnya tiba di bandara. Di kursi tunggu terlihat sosok lelaki memakai pakaian rapi sedang menunggu dengan gelisah. Kakinya tak berhenti menghentak-hentak di atas lantai. Aldo, orang yang sangat spesial yang pernah ku temui, aku mendapatkan segala hal yang spesial darinya, kasih sayang yang disertai ketulusan dari seseorang yang begitu spesial.
“Assalamu’alaikum,,” aku menyapanya dari belakang. Dia kaget dan langsung memalingkan wajahnya kearah belakang. Dia diam untuk beberapa saat dan langsung tersadar sambil menjawab salamku dengan pelan dan tergagap.
“W, wa’alaikumsalam,,” jawabnya, “Ini Mia, cantik sekali,” kata itulah yang meluncur dari mulutnya melihatku mengenakan jilbab. Aku tersipu malu ditatap seperti itu.
“Bengong aja, ini manusia bukan pajangan,” semprot Cika pada sepupunya yang masih bengong itu, dia tersadar dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Oh ya, pesawatnya berangkat jam berapa Do, “ tanyaku.
“Tinggal 10 menit lagi, makanya tadi aku khawatir kalian datang terlambat,” ujarnya. Aku teringat akan bingkisan itu. Aku mengeluarkannya dari dalam tas.
“Nih Do, kenang-kenangan dariku.” katku menyerahkan bingkisan dengan bungkus berwarna biru muda “Nanti dibuka saat tiba di Jakarta,,” pesanku, dia tersenyum lalu mengambilnya. Terdengar suara petugas yang mengumumkan penerbangan untuk tujuan Bandung-Jakarta akan segera berangkat. Aldo menatapku sendu, sepertinya dia hendak memelukku namun dia urungkan, mungkin saja karena ia melihatku ingat sekarang aku telah mengenakan hijab.
“Aku berangkat ya,,” pamitnya lalu menaruh tas ransel yang tergeletak di lantai ke punggungnya.
“Hati-hati di jalan, jangan lupa berdo’a” Aldo tersenyum sesaat lalu pergi. Ku tatap punggungnya yang emakin menjauh, sebentar dia berbalik dan melambaikan tangannya lalu pergi lagi, dan pada akirnya Aldo hilang diantara kerumunan orang berlalu lalang. Kami segera pulang dari sana, kebetulan papa dan mamanya Cika sibuk dengan segala proyek pembangunan resort di Lombok dan tidak ada yang menemaninya sepeninggal Aldo ke Jakarta, Cika ikut ke rumah dan menginap untuk beberapa hari.
___
Perlahan tapi pasti aku dan Cika mulai teguh dengan pendirian kami untuk berhijab. Perasaan ilfiel memang terkadang sering datang silih berganti, dan godaan lainnya tak luput kami rasakan. Kami berduasudah mendaftar di universitas, aku nggak jadi dengan rencana awalku untuk mendaftar di fakultas kedoteraan, aku lebih memilih mendalami ilmu agama dengan mengambil jurusan PAI agar kelak juga aku bisa mengajar orang tentang agama yang mulia ini, yang diturunkan kepada hamba-Nya yang paling mulia pula.
Cika tetap ingin melanjutkan impiannya menjadi dokter, tapi tujuannya sudah beda sekarang. Kami dulu bercita-cita ingin jadi dokter karena ingin mengenakan pakaian serba putih. Namun sekarang aku bangga padanya, dia bilang dia ingin menjadi dokter yang solehah, membantu dan menyemangati orang yang sakit terutama dari kalangan orang miskin.
Susi dan Via memilih untuk melanjutkan bakat mereka pada musik. Mereka belajar ke luar negeri, keberangkatan mereka dirahasiakan, katanya surprise. Mereka juga bukan asal ingin menjadi pemusik. Mereka bilang mereka punya rencana nanti disana, mereka akan belajar banyak tentang musik, dan kelak saat mereka pulang ke Indonesia mereka ingin membuat suatu organisasi pecinta musik jalanan. Mereka akan merekrut para anak jalanan untuk dilatih bermusik. “Siapa tau nasib mereka bisa berubah dari belajar musik,” ujar Susi. “Kalian berdua,” kata Via padaku dan Cika, “Akan menjadi guru ngaji mereka, agar antara dunia dan akhirat mereka balance,” begitulah katanya saat kami kumpul-kumpul beberapa hari yang lalu. Dari sejak SMP kami memang terobsesi dengan kegiatan-kegiatan yang berbau sosial.
Dua minggu sejak kepergian Aldo, terhitunga hanya empat kali dia menelponku, sms pun jarang. Aku tau pasti dia sibuk dengan segala aktivitas barunya disana, karena kata Cika selain mengurus kuliahnya, papanya juga telah menugaskannya untuk bekerja di peusahaan milik papanya.
Selesai dhalat dzuhur tadi, aku buka-buka internet untuk melihat kelanjutan dari tes yang sudah kulakukan minggu kemarin, setelah menmasukkan nomer pendaftaran aku dengan perlahan menekan tombol enter.
Klik!
Terpampang di depan layar laptopku, Mia Lestari, jurusan PAI. LULUS. Alhamdulillah. Handponeku berdering, tak ada namanya. Apakah Aldo? Dengan cepat ku tekan hp.
“Assalamualaikum, Do,”
“Waalaikumsalam warahmatullah,,” jawab suara di seberang sana. Tapi, ini bukan suara Aldo. “Ini Gagah Mi,,” Gagah rupanya yang menelpon. Sudah cukup lama dia tidak ada kabar.
“Oh, ada apa Gah?” tanyaku.
“Maaf jika aku mengganggu. Mama yang minta aku buat hubungin kamu. Kata mama, minggu depan akan ada acara undangan keluarga di Jakarta. Kamu beserta keluarga diajak oleh Mama untuk ikut. Mama sebenarnya tidak mau merepotkan kamu tapi Riska lagi-lagi memaksa, maafin ya” terangnya.
“Oh, nggak apa-apa kok, nanti aku omongin dulu sama mama dan papa mogaa aja mereka bisa,” jawabku.
“Mm, sekali lagi aku minta maaf ya, aku merepotkan kamu lagi,,”sesalnya.
“Tak apa, kebetulan minggu ini aku masih ada waktu sebelum masuk kuliah”
“Kuliah dimana?”
“Di IAIN”
“Jurusan apa?”
“PAI,,”
“Oh,, sepertinya kita akan sering bertemu ya nanti,” katanya.
“Kuliah disana juga?” tanyaku penasaran
“Yah, nanti juga tau sendiri. Oh ya, aku harus nganter Riska les dulu ya. Terimakasih sebelumnya, Assalamu’alaikum,,”
“Wa’alaikumsalam warahmatullah,,”
Pip.
Aku meletakkan hp di meja lalu kembali menatap laptopku, menelusuri dunia maya sembari mencari beberapa informasi tentang wanita.
___
“Apa?? Ke Jakarta bersama Gagah?” terdengar suara Cika dari kejauhan sangat ceria saat ku kabari ingin mengajaknya pergi bersama Gagah.
“Iya, mama sama Papa bilang mau pergi ke rumah nenek. Aku malu pergi sendirian, makanya ngajak kamu,” terangku.
“Oke, oke. Kapan waktunya?” tanyanya antusias.
“Minggu depan,, nanti deh aku telpon sehari sebelum pergi.”
“Baiklah,,”
“ya udah. Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumussalam warahmatullah,,”
Pip!
Belum sempat hpku ku taruh didalam saku, sudah ada sms masuk. Dari Via.
Hai Mi, besok kita ketemu di cafetaria jam 11, aku udah kirim pesan sama yang lain. Ada surprise buat kamu, jadi kuharap kamu tidak datang terlambat.
Keesokan harinya jam 11 di cafetaria, kami sudah berkumpul berempat. Ternyata sore ini juga Via dan Susi akan pergi ke luar negeri, aku kaget dengan berita itu.
“Kenapa ngasih tahunya hari ini?” tanya Cika.
“Kan dulu udah aku bilang, surprise.” Via yang menjawab.
“Kita kesana untuk tugas yang mulia, kalian masih ingat itu kan? Jadi kami harap kalian terus mendo’akan dari sini. “ sambung Susi.
“Aku pasti akan kangen sama kalian, “ ungkapku, mataku terasa mulai memanas.
“Eits, hari ini tidak boleh ada yang menangis. Hari ini kita mau happy-happy aja. Coba tebak siapa tamu spesial yang datang?” kata Susi sambil melirik ke arah belakang kami. Aku penasaran lalu menengok ke belakang. Aldo? Aku tau apakah harus menangis ataukah bahagia. Dua minggu adalah waktu yang lama sekali, dan sekarang Aldo ada disini. Dia bukan hanya sekedar seorang pacar buatku, dia orang yang lebih dari sekedar hanya diberi status sebagai seorang pacar, dia punya sesuatu yang paling berharga yakni ketulusan.
“Assalamu’alaikum,,” sapanya.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah.” sahut kami bersamaan. Aldo menggunakan jas berwarna hitam dengan dalaman senada serta dasi. Aldo duduk didekatku aku tersenyum kearahnya, begitupun dengannya.
“Weiss, jadi bos nih ceritanya sekarang?” goda Via. “Kayaknya hari ini kita ditraktir bos baru nih,,” lanjutnya. Kami tertawa kecil.
“Baiklah, hitung-hitung untuk merayakan kepergian dua pemusik handal kita, akutraktir kalian deh.” jawab Aldo. Susi berteriak girang. “Eit, tunggu dulu, kamu kira ini akan gratis beneran?” cegat Aldo, Susui berhenti berteriak, “Ada syaratnya, nanti aku kasih tau, kalian siap-siap aja,,” lanjut Aldo santai sambil melirikku. Susi terlihat agak sebel. Aldo mendekatkan wajahnya kearah telingaku.
“Terimakasih atas adiahnya, alhamdulillah aku sudah bisa istiqomah mengerjakan sholat. Tenang saja, aku akan jadi imam terbaik buatmu,,” bisik Aldo padaku. Pipiku bersemu, hatiku tenang rasanya mendengar itu. Aku tersenyum kearahnya., begitupun sebaliknya.
Obrolan kami semakin seru dengan datangnya Aldo, mengenang masa-masa SMA dan ALdo sempat menyinggung saat pertama kali dia suka padaku. Cerita itu belum ku ketahui, memalukan sekali ternyata.
“Waktu itu Mia sedang ke perpustakaan daerah, entah sedang meminjam apa,,” tutur Aldo, “Kebetulan waktu itu aku sedang disana, dari celah-celah buku terlihat siluetnya di meja tempat membaca buku,” paparnya lagi sambil menatapku. Aku kaget, agak lupa dengan saat itu.
“Aku memperhatikannya saat tengah serius membaca buku, lama setelah itu matanya sayu, agaknya dia ngantuk saat itu, pada akhirnya dia tumbang diatas buku yang tengah ia baca, Mia tertidur. Aku ketawa sendiri saat itu, tidak ada yang melihatnya kecuali aku.” Aldo terdiam sebentar. Aku mengingat saat itu, ah, aku malu sekali. Ternyata Aldo ada disana saat itu.
Aldo melanjutkan, “Ceritanya belum selesai sampai disana. Dengan lelapnya ia tertidur diatas buku sampai tak tau kalau perpustakaan akan tutup. Petugas menyuruh semua untuk keluar, tak terkecuali Mia, dia dibangunkan. Dan, pak petugas itu memarahinya, bukan karena dia tertidur, tapi karena buku perputakaan kotor olehnya. ‘anak gadis kok jorok sekali’ itu kata petugas saat itu. Aku hanya tersenyum menatap kearahnya dari kejauhan saat itu. Mia terus meminta maaf pada petugs sampai dipersilahkan keluar” Aldo menatapku dalam, aku agal jengekel sebenarnya, sejak tadi yang lain sudah menertawakanku, tapi Aldo malah menatapku sendu.
“Tapi kalian tau,” katanya serius, “Kenapa aku dengan bodohnya sampai hampir dua jam tak beranjak dari sana?” Aldo terdiam dan terus menatap mataku, aku kikuk dan sengaja melihat kearah lain. “Aku menjadi manusia bodoh saat melihatnya tidur dengan begitu polosnya diatas buku itu. Aku terhipnotis hanya dengan melihatnya tertidur pulas saat itu, dan saat itu pula aku mulai jatuh cinta padanya. Pada seorang anak manusia bernama Mia, yang sekaraang tumbuh menjadi wanita solehah. Dan aku sadar ternyata aku tidak percuma menjadi bodoh saat itu,” aku menatapnya, hatiku berdegup kencang. Matanya sepeti biasa, berbinar., menampakkan ketulusan seorang Aldo. Yang lain terdiam, sesaat setelah tertawa tadi.
“Ehm, Ah gak asik!” celetuk Susi membuyarkan lamunan, “Masak ketemunya di perputakan daerah, nggak romantis!” katanya merendahkan. “Kamu harusnya nggak terima Mi, Aldo nggak romantis banget gitu, masak adegan berharga kalian saat kamu tidur,,” goda Susi terus.
“Apa boleh buat, aku menghargai semuanya kok,Aldo sudah menjadi orang yang spesial dihatiku, apa pun alasannya mencintaiku itu tak penting bagiku,” kataku menanggapi Susi.
“Iya deh yang pada jatuh cinta sampai nggak tau mana tai kucing sama mana cokelat,” semua tertawa. Dan pembicaran berlanjut sampai Aldo membisikkan sesuatu pada Susi dan Via.mereka berdua maju ke podium. Aku menatap Aldo seakan bertanya, ‘apaan sih?’ Aldo kembali menatap seakan berkat, ‘lihat saja’
“Lagu ini kami persembahkan untuk teman kami yang sedang berbunga-bunga” kata Via memulai perporm mereka. Lantuna musik terdengar dari tuts-tuts yang dimainkan oleh Susi. Dilanjutkan dengan biola yang dimainkan apik oleh Via, terdengar sangat armonis. Mereka menyanyikan lagu yang kami buat saat SMP dulu, aku melebur bersama kenangan saat kebersamaan kami dulu di SMP, saat menjadi top band di sekolah, semuanya sampai saat ini. Tak terasa mataku memanas, begitu juga dengan Cika.
Selesai menyanyi Susi dan Via mengatakan kata-kata terakhir sebelum pergi ke luar negeri, intinya mereka menyayangi kami. “Kita akan tetap memegang mimpi kita, mimpi keempat sahabat yang polos” kata mereka menutup pidato lalu turun dari podium. Kami berpelukan, lalu menumpahkan semua rasa rindu bersama air mata yang mengalir.
Sorenya kami ke Bandara untuk mengantar Via dan Susi ditemani denga orang tua mereka. Aldo juga, dia sedang ada meeting di Bandung jadi mungkin besok dia akan berangkat ke Jakarta. Aldo mengantarku sampai rumah, dan dia bilang masih ada klien yang harus ia temui makanya dia tidak bisa mampir ke rumah.
___
Paginya setelah usai sholat subuh ada dua sms masuk di hpku, dari Aldo, juga dari Cika.
Maaf Mi, aku terpaksa berangkat tanpa memberitahumu. Papa memaksa agar cepat pulang, papa bilang ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja, Cik juga pergi bersamaku. Kami tidak bisa mengabari karena ini mendadak.
Sms dari Cika.
Mi, sory ya, sepertinya kamu harus berangkat sendiri bersama keluarga Gagah, tadi malem, mendadak keluarganya Aldo teleepon dan menyuruh kami untuk langsung berangkat ke Jakarta, katanya ada urusan keluarga yang sangat penting. Sepertinya akan lama juga. Sekali lagi aku minta maaf ya.
Apa boleh buat, aku tidak enak untuk menolak ajakan keluarga Gagah, lagian mereka sudah baik padaku. Aku mencari buku yang kemarin kubeli lalu mebacanya sambil ditemani secangkir cokelat hangat.
___
“Mi, ada nak Gagah dibawah. Kamu udah siap-siap belum?” teriak mama dari bawah.
“Iya ma, sebenta lagi,” aku segera merapikan mengambil tasku lalu bergegas turun menemui mama dibawah. Gagah terlihat mengobrol bersama papa, lalu menataap kearaahku. Sepertinya dia agak kaget, pasalnya kami terakhir bertemu saat aku masih belum menetapkan hati untuk berhijab.
“Maaf ya, menunggu lama,” sesalku.
“Oh nggak apa, aku juga minta maaf karena sudah merepotkan Mia sekeluarga,” jawabnya sopan.
“Maaf ya nak Gagah, kami nggak bisa ikut. Neneknya Mia ingin kami kesana, jadi nggak apa kan kalau hanya Mia yang mewakili kami,” kata papa.
“Gagah mafhum sekali dengan hal itu, “ timpal Gagah.
“Ya udah, kalian berangkat gih sana,” kata Mama. Aku lalu menggapai tangan mama dan papa. Dan berangkat bersama Gagah.
“Mia berangkat ya Ma, “
“Assalamu’alaikum,,” pamitku berbarengan dengan Ggagah.
“Wa’alaikumussalam,,”
Mobil Gagah melaju dengan mulus dijalan raya, berpacu perlahan menghantam udara Bandung di padi Minggu kurang lebih jam 8 pagi. Gagah masih terlihat berkonsentrasi dengan kendali mobil yang agak macet.
“Oh ya Mi, sejak kapan kamu mulai berijab?” tanya Gagah berhenti di lampu merah.
“Sudah dua minggu ini, Cika yang pertama mengajakku, dan alhamdulillah sampai sekarang kami istiqomah untuk berhijab,,” Gagah tersenyum.
“Alhamdulillah,, bagaimana hubunganmu dengan Aldo?” aku menoleh kearahnya, sejak kapan dia tau kalau aku ada hubungan dengan Aldo?
“Oh, alhamdulillah baik-baik saja.”jawabku. “Apa Riska sering menanyakan tentang Aldo?” tanyaku penasaran, bagaimana dengan saingan kecilku itu.
“Iya, dan aku sama Mama harus berpikir keras untuk membuatnya tidak merengek minta ketemu sama Aldo,, dua minggu ini kami mengirimnya ke tempat sepupu kami agar ia tidak kepikiran. Tapi sepulang dari sana dia malah mencari kamu,” kata Gagah terkekeh. “Dia bilang, dia berharap sekali kamu itu menjadi kakaknya seperti sepupu kami itu, dia bilang iri sekali karena punya kakak perempuan yang baik dan berhijab pula,” aku ikut tertawa kecil. Ada-ada saja gadis kecil itu.
“Namanya juga anak-anak, selalu iri dengan apa yang dimiliki oleh temannya.”
“Iya, makanya sepulang dari sana Ris ingin sekali ke rumah kamu. Sambil merengek lagi, makanya kami minta kamu untuk ikut hari ini,” tutur Gagah.
Lampu hijau menyala dan mobil Gagah melaju sampai kira-kira sepuluh menit kami sudah tiba di halaman rumah Gagah. Gadis kecil terlihat sedang asik dengan bunga ditangannya sampai melihatku turun dari dalam mobil lalu membuang bunga yang tadi di tangannya dan berhambur ke pelukanku sambil berteriak.
“Kak Mia,,” Gagah hanya tersenyum senang melihat adiknya yang manja itu.
Karena semua sudah siap kami berangkat menggunakan kereta api, kurang lebih empat jam perjalanan akhirnya kami sampai di Jakarta. Aku berharap bisa bertemu dengan Aldo, tapi sayangnya aku tidak tau alamat rumahnya. Tante mengajak kami menginap dirumah salah satu saudaranya yang menikah di Jakarta. Acaranya akan berlangsung besok pagi, jadi kemungkinan kami akan menginap selama tiga hari disini.
Perasaan lelah membuatku tertidur dengan pulas sampai aku dibangunkan untuk sholat berjamaah, sholat ashar berjamaah sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga tante. Usai sholat aku ingin mengirim sms pada Cika, untuk mengabarkan bahwa aku sudah ada di Jakarta, tapi setelah kucari-cari ternyata aku lupa membawa hp, dan aku juga lupa nomor hpnya Cika.
Malamnya Riska memaksa agar tidur bersamaku, tante melarangnya “Mia nggak keberatan kok tante,” kataku.
“Tuh kan, kakak aja nggak keberatan, “ rengeknya. Tante hanya bisa pasrah dengan sifat manja anaknya yang satu ini. Tapi aku senang, setidaknya aku bisa merasakan bagaimana rasanya memiliki seorang adik.
Riska terus saja mengajakku mengobrol, menceritakan tentang sepupunya yang memiliki kakak ipar cewek, Ria namanya. “Kak Ria itu kak,,” katanya, “Selalu mendongengkan kami sebelum tidur, menyisir rambut kami, mengkuncirkan rambut kami, pokoknya asik deh kak.” lanjutnya. Aku hanya tersenyum mendengar ceritanya, sambil mengelus rambutnya yang tergerai indah di pahaku.
“Kan Ris udah punya mas Gagah,” kataku.
“Mas Gagah kan cowok, lagian mas Gagah asik, nggak bisa nguncirin Ris rambut Ris,,” katanya menyesali punya kakak cowok. “Oh ya kak, kakak dongengin Ris ya, biar cepat tidur,“ lanjtnya lagi.
“Gimana ya, kakak kurang bisa dongeng, gimana kalau nyanyi aja,” usulku.
“Dongeng dulu tapi,,” rengeknnya lagi.
“Biar mas aja yang dongengin Ris ya, kak Mia nanti yang nyanyi buat Ris, gimana?” Gagah yang sedang lewat langsung berpendapat.
“Asiikk,,,!!!” teriak Ris. Gagah mengambil kursi lalu meletakkannya di dekat ranjang lalu mulai mendongengkan kisah Siti Fatimah, putri Rasulullah SAW. Gagah memulainya dengan sangat apik, terus sampai Riska menguap beberapa kali, aku ikut mendengar dengan takzim.
“Walaupun ia sudah ditinggal oleh sang bunda sejak masih belia, dia tidak pernah bermanja-manja pada ayahnya, dia selalu bekerja keras” tutur Gagah.
“Riska juga nggak manja kan mas?” tanya Riska memotong perkataan Gagah, kami hanya tertawa tertahankan.
“Iya, iya Ris nggak manja kok, “ kataku. Masih tersenyum padanya.
“Dongengnya udah, sekarang tinggal kak Mia yang nyanyi ya?” pintanya.
“Ris pengennya lagu apa?” tannyaku. Dia terlihat berpikir.
“Pelangi, soalnya Ris suka sekali pelangi” katanya.
“Mas Gagah juga ikut nyanyi dong, biar seru” kataku. Gagah agak sedikit ragu dan ingin mengeilak.
“Iya, mas Gagah juga, nanti kita nyanyi sama-sama,” kata Riska girang. Gagah hanya bisa menghela nafas, aku terawa melihatnya ditindas oleh adiknya yang manja ini.
Pelangi-pelangi alangkah indahmu
Merah, kuning, hijau, dilangit yang biru
Pelukismu agung siapa gerngan
Pelangi-pelangi ciptaan Tuhan.
“Nah sekarang kan nyanyinya udah, Ris bobok ya,” kata Gagah. Riska hanya mengangguk pelan sambil menguap kecil. Saat hendak terlelap dia bangun dan berkata.
“Coba mas Gagah sama kak Mia nanti nikah, kan aku Ris bisa di nyanyiin tiap malam,,” celetuknya dengan polos. Aku dan Gagah saling tatap. Gagah terlihat kikuk, aku hanya tersenyum kecil.
“Huss, anak kecik mana boleh ngomongin soal nikah,” kataku menjewer pipinya pelan.
“Mas Gagah kan udah besar, kak Mia juga. Harusnya bisa kayak kak Ria, ya kan mas Gagah?” lanjut Riska. Aku hanya tersenyum melihatnya. Gagah yang ditanya malah garuk-garuk tengkuk.
“Ris tidur aja ya, udah malem, besok kan mau pergi ke rumah bibi,,” kata Gagah sembari menyelimuti Riska.
“Riska nggak mau tidur,, mas Gagah bilang dulu kalau mas Gagah itu suka sama kak Mia, kak Mia juga ya?” katanya memaksa sambil cemberut pula. Aku menatap Gagah yang menghela nafas panjang. “Ayo bilang,, “ rengeknya lagi. Gagah menatapku.
“Iya, mas Gagah suka sama Kak Mia,” Riska tersenyum senang. Lalu dia menatapku, aku pun hanya bisa mengikuti kemauannya. Toh ini cuma bohongan, batinku.
“Kakak Suka kok sama mas Bagas” kataku menatap Gagah.
“Yeee,, mas Gagah dan kak Mia udah jadian,, yeee,,” teriaknya girang. Kami hanya tersenyum melihat kelakuan Riska.
“Nah, sekarang Ris bobo’ ya” kataku menyelimutinya lagi, dia mengangguk patuh. Gagah beranjak pergi setelah Riska mendengkur dengan halus. Perlahan aku pun mengikuti jejak Riska, meluncur ke dunia mimpi.
Keesokan harinya suasana dihebohkan dengan teriakan Riska, dia berteriak kencang sambil berlarian didalam rumah, mengabarkan bahwa aku sudah resmi menjadi kakaknya karena kejadian tadi malam.
“Ma, mama, bibi, kak Mia sama mas Gagah tadi malam pacaran, berarti sekarang kak Mia itu boleh tinggal terus dong dirumah,” katanya polos didepan mamanya dan yang lain yang sedang masak di dapur. Semua hanya tertawa melihat kelakuannya. Aku kebetulan juga sedang membantu disana, ah walaupun hanya bohongan tapi kalau harus diumumkan didepan tetua seperti ini kan jadi malu.
Dulu aku memang sempat hampir suka sama Gagah, tapi ketulusan Aldo membuatku tak mampu berpaling darinya. Dimeja makan kami masih saja digoda oleh Riska. Riska menceritakan bagaimana kami saling mengungkapkan perasaan, kami sebagai korban hanya bisa tertunduk sambil meneruskan sarapan kami.
Pukul 11 tepat, kami semua berangkat menuju tempat acara, kata tante sih ada acara tunangan anak dari adiknya, tapi acara memang serba mendadak. Sampai disana Riska menjerit pengen ke toilet. Aku mengantarnya mencari toilet, saat hendak ke tempat acara aku melihat siluet wanita berjilbab yang mirip sekali dengan Cika, sedang apa dia disini? Tanyaku dalam hati, dia terlihat sedang sibuk menghubungi seseorang sembari mondar mandir tak tenang.
“Mi, sudah ketemu toilet?” tanya tante mengagetkanku.
“Iya, Riska sudah selesai kok tante,” jawabku. Aku hendak melihat kembali ke tempat dimana Cika berada tadi, tapi sudah tidak ada. Akhirnya kami pun pergi dari sana, siapa tauu nanti ditempat acara aku bisa bertemu lagi dengannya. Andai aku bwa hp.
Ruang tamu yang cukup luas tertata dengan sangat rapi dan elegan, disebelah kiri khusus tempat makanan, dan ada panggung yang tidak terlalu besar ditata tepat ddepan ruangan ini.
“Mas Aldo, itu mas Aldo kan ma?” tanya Riska girang. Aku menengok ke arah telunjuk Riska mengarah. Cowok dengan pakaian serba hitam dengan jas itu masih belum jelas tampak wajahnya oleh banyaknya orang yang lalu lalang. Iya, itu Aldo, aku tersenyum bahagia, akhirnya aku bisa juga bertemu dengan Aldo. Tapi sepertinya dia tidak mendengar teriakan Riska saking banyak orang diruangan ini.
aku urungkan niatku untuk kesana saat seorang lelaki berbadan tinggi berseragam datang menghampirinya sambil menunjukan hp. Aldo marah-marah sambil membanting hp yang tadi diserahkan oleh orang itu, dia terduduk disofa yang tersedia lalu memijit kepalanya, Aldo berteriak, namun suara musik mengalahkan teriakannya.
Kembali seorang lelaki berjas rapi serta berdasi mendekatinya, Aldo terlihat berdebat keras dengannya. Namun Aldo berhasil diseret oleh lelaki itu.
“Tes,, 1,2.,,” suara mikropon dinyalakan. Semua aktifitas terhentikan semua mata sekarang tertuju kearah panggung, disana telah berdiri lelaki yang baru saja menarik tangan Aldo, “Selamat siang, saya ucapkan banyak terimakasih karena kalian semua sudah meluangkan waktu untuk menghadiri undangan kami. Hari ini adalah hari bahagia untuk kami sekeluarga, karena hari ini, anak kami satu-satunya Aldo Wiraguna akan bertunangan,” deg! Hatiku seperti terhantam oleh benda tak terlihat. Gelas yang tadi kupegang jatuh dan pecah dilantai, kakiku kilu rasanya tak bisa digerakkan sama sekali.
“Sejak kecil mereka sudah berteman baik, sangat cocok satu sama lain, tapi saat SMA mereka berpisah, mereka sama-sama menyelesaikan sekolahnya di tempat yang berbeda, dan sekarang mereka kami pertemukan kembali disini, bukan hanya sebagai sebatas teman biasa lagi,”
“Baiklah, sepertinya kita tak perlu menunggu lama lagi. Kami persilahkan mereka untuk ke atas panggung.” itu memang Aldo, dan dia sedang menggandeng seorang wanita cantik, dengan gaun yang menjuntai indah serta rambut yang tertata rapi. Mereka berjalan bersama dengan anggunnya. Aku tak tahan, air mataku sudah tak mau berkompromi lagi. Sesaat setelah berdiri di atas panggung Aldo melihatku, dia tampak sangat kaget, matanya menatapku sendu. Aku tak sanggup untuk mlihat semua ini. Kulangkahkan kakiku keluar ruangan itu sembari kuseka air mataku.
Langkah kakaiku sampai ditempat yang cukup lapang yang ditumbuhi oleh rerumputan yang dirawat dengan apik. Aku terduduk memeluk kedua kakiku lalu menangis dengan kencangnya.
“Mia,,” aku menoleh, aku sungguh berharap yang datang itu Aldo, tapi harapanku pupus, itu bukan Aldo melainkan Gagah.
“Maaf, aku sungguh tidak tau kalau yang akan bertunangan dengan sepupuku adalah Aldo. Sebelumnya bibi tidak memberitahu kami Mi, andai aku tau, aku tidak akan mengajakmu kesini. Aku sungguh minta maaf Mi,,” sesal Gagah. Aku tak menghiraukan perkataannya, saat ini aku hanya bisa menangis. Kutatap cinin yang melekat manis dijari manisku. Jika aku tetap disini, aku tidak akan cukup kuat untuk hanya sekedar berdiri tegap dikakiku sendiri.
“Gah, bisa kita pulang sekarang juga” kataku serak. “Aku tidak sanggup melihat mereka berdua, kumohon..” pintaku. Aku bangun lalu mencoba menyeimbangkan tubuhku yang t erasa entah sangat lemah sekali, alhamdulillah setidaknya aku massih bisa menenangkan diriku dengan beristigfar.
“Mia,,” suara seseorang di ambang pintu, lagi-lagi bukan Aldo. Cika dengan cepat memelukku erat, dia menangis kencang di pundakku, aku juga tak bisa menahan haru. “Maafkan aku Mi, aku sungguh tidak tau akan semau ini, begitupun dengan Aldo, aku mencoba menghubungimu dari kemarin tapi tak ada yang mengangkat. Ya Allah, aku tidak menyangka jika kamu akan ada disini,, Mia maafin aku Mi, maaf,,” ujar Cika. Aku melepas pelukannya.
“Aku tidak sanggup untuk disini Cik, aku harus pulang.” kataku, aku melepas cincin yang Aldo berikan padaku dulu, “tolong kamu kasih ini ke Aldo ya,” pintaku pada Cika. Dia menatap nanar kepergianku. Aku ditemani Gagah pergi mengemas pakaianku, “Aku titip salam pada tante ya, aku juga minta maaf karena pergi tidak bilang-bilang. Bilang aja kalau aku sedang ada keperluan mendadak,” Gagah dengan setia menemaniku sembari sesekali menasehatiku.
Sampai di stasiun kereta aku menunggu kemberangkatan kereta jurusan Bandung bersama Gagah setelah sebelumnya kami shalat dzuhur tadi. Aku sesekali masih teringat akan Aldo, janjinya yang dulu hendak meminangku membuatku tak kuasa menahan derai air mataku lagi. Gagah tak mampu berbuat banyak, dia hanya bisa menasehatiku untuk tawakkal, menyerahkan semua ini pada Allah. Tetapi praktiknya memang tak semudah memahami teori. Aku hanya bisa beristigfar didalam hati.
Gagah mengantarku sampai depan pintu kereta, dan berpesan agar aku hati-hati dijalan, aku hanya mengangguk lalu masuk dan mencari tempat duduk yang masih tersisa. Kereta melengking keras, berdeum keras meninggalkan tanah Jakarta, aku masih masih belum sepenuhnya pulih, entah sudah berapa kali kerudungku ini basah oleh air mata.
___
Sampai rumah, mama menanyakan kenapa aku cepat pulang tidak sesuai rencana. “Acaranya dipercepat Ma, Mia capek mau istirahat ya,” jawabku. Aku tidak berniat untuk memberitahu mama tentang Aldo, biar nanti mereka tau sendiri. Aku bersyukur Aldo hanya mengatakan padaku tentang keinginannya dulu, jadi jika mama dan papa tau Aldo bertunangan, mereka tak akan mempermasalahkannya. Tubuhku terasa remuk redam, kubaringkan tubuhku diranjang selesai shalat isha tadi. Aku takut-takut untuk memejamkan mata, aku takut kalau sampai Aldo akan muncul lagi didalam mimpiku.
Dua bulan kemduian.
Sejak kejadian itu aku tidak lagi pernah mendapat kabar dari Aldo, Cika datang ke rumah saat pulang dari Jakarta. Dia tidak bisa lagi membujuk papanya Aldo. Aldo sendiri tidak tau harus berbuat apa-apa, kalau papanya sudah berkehendak tidak ada yang bisa menghentikan titahnya. Stelah acara itu selesai semua akses telekomunikasi Aldo sita dan diganti oleh papanya, dia mengetahui tentang hubungan kami, dia menyita semua hal-hal yang dapat mengingatkan Aldo padaku.
Aku juga sejak saat itu mengganti nomor hp, aku membuang semau hal yang berbau Aldo, foto, segala bentuk barang pemberiannya. Tapi hanya satu yang tidak bisa ku buang, yakni hati yang selalu mencintainya, aku belum bisa membuangnya sampai selang waktu dua bulan ini.
Hari ini sudah dua hari aku mulai perkuliahan, aku bersyukur karena mulai sibuk dengan tugas-tugas kecil, jadi setidaknya wajah Aldo bisa sesekali tergantikan dengan deretan kata-kata yang akan kutulis dilembar kerja.
Dua bulan ini juga Gagah tidak ada kabar, mungkin pada sibuk, atau mungkin Riska sudah punya kakak baru, aku tak tahu. Hari ini dengan malas kulangkahkan kaki menuju halte terdekat, menunggu lama sambil berdesakan dengan sekian banyak dan sekian rupa orang, mulai dari yang akan berangkat kerja, ibu-ibu yang mau ke mini market, sampai anak kuliahan sepertiku. Saat busway datang semua beralari berhamburan, membuat debu-debu berterbangan dengan bebas.
Sampai halte dekat kampus aku kaget melihat jam tangan ternyata aku sudah telat 10 menit. Mulanya aku berjalan dengan agak cepat, dateng sms dari temen kalau dosen sudah masuk, malah ngatain dosennya ganteng pula. Aku nggak peduli, kupercepat langkahku sampai sesekali terhantuk batu. Sampai depan pintu aku merapikan baju yang agak kusut, lalu menarik nafas sebentar lalu membuka pintu sembari mengucap salam.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah,,” aku mengerutkan kening, loh Gagah? Tanyaku dalam hati. Dia hanya tersenyum lebar lalu mempersilahkanku untuk masuk. Aku menurut lalu mengambil tempat duduk yang masih tersisa dibelakang.
“Baik kita lanjutkan,, “ Gagah mengambil spidol lalu menggukir huruf arab dengan indahnya di papan putih, sebentar ia selesai dan persis seindah kaligrapi yang dia buat saat di Bali waktu itu. Lalu dengan piawai ia menjelaskan apa arti serta akna dari ayat yang ia tulis tadi, dan rata-rata semua teman-teman kagum dengan penjelasan Gagah yang disajikan dengan kesederhanaan dan sedrhana seperti biasanya.
“Kamu tau Mia,” kata Rini teman satu kelasku, “Pak Gagah ini baru saja selesai S1 tapi sudah idrekrut jadi dosen oleh universitas. Kamu tahu sendiri bukan, bagaiman ketatnya penerimaan untuk dosen pembimbing disini, kalau dibawah gelar DR dilarang keras mendekat. Tapi, setelah aku melihat bagaimana cara mengajarnya, hal itu bisa saja terjadi.” bisik Rini ditengah pelajaran tengah berlangsung.
“Aku kira juga begitu,,” jawabku dengan santai. Nampaknya Rini masih belum puas dengan penilaiannya, dia beberapa kali menanyakan beberaapa hal, tapi dengan rileksnya Gagah menjawab semua pertanyaan Rini dengan sederhana namun berkesan. Tak ayal tepuk tangan mengudara saat Gagah menutup jawaban.
Sepulang kuliah aku berpapasan dengan seorang cewek, rasanya sangat tidak asing. Dadaku berdegup kencang. Bukankah itu tunangan Aldo? Aku menghentikan langkahku dan menatapnya nanar dari kejauhan, iya tak salah lagi itu adalah tunangan Aldo, ada urusan apa dia dataang ke Bandung. Sesaat datang mobil avanza hitam, mobilnya Gagah. Ah, aku jadi lupa kalau Gagah dan wanita itu sepupu.
___
“Cika, ngomong-ngomong kamu masih suka sama Gagah?” tanyaku pada Cika disela-sela makan siang di warteg dekat universitas. Universitaku dengan Cika memang berdekatan.
“Kenapa emang?” tanyanya.
“Tadi di kelas, aku ketemu sama dia. Ternyata dia jadi salah satu dosen kami disana.”
“Aku nggak tau ya Mi, “ katanya berfikir, “Sekarang ini aku tak terlalu memikirkannya, tapi kekagumanku masih tak hilang. Hanya saja aku sedang dekat dengan seseorang sekarang,” katanya malu. Aku menenggak minumanku dengan susah karena kaget.
“Serius??” tanyaku. Dia hanya mengangguk. “Gimana orangnya, ceritakan padaku,” pintaku antusias. Dengan sedikit malu dia mulai menceritakan detail seseorang yang sedang dengannya itu. Bermula dari pertemuannya saat opspek, cowok bernama Rudi itu adalah kakak tingkatnya. Cika bilang, dia terpesona saat Rudi mengisi ceramah waktu itu di mushola, “Penampilan sederhana sekali Mi, tapi rapi dan yang pasti dia mengerti agama,” tegasnya.
“Terus kalian pernah saling hubungi lewat telepon?” selidikku.
“Ya, sesekali Rudi menelponku, tapi aku tidak mau berharap banyak padanya Mi. Dia banyak didekati teman sekelasnya,” Cika menghela nafas berat. Aku teringat akan tunangan Aldo yang tadi bersama dengan Gagah, karena penasaran aku pun menanyakannya pada Cika. Cika bilang dia sedang melanjutkan studinya di Bandung, dia sengaja dikirim oleh keluarganya untuk tinggal bersama keluarga Gagah untuk sementara, sekalian dia belajar agama.
“Begitu berita yang kudapat dari mama,” kata Cika.
“Kamu tidak pernah menghubungi Aldo?” tanyaku memberanikan diri.
“Aldo sibuk sekali Mi, tapi sesekali dia pernah mengirimiku surat. Dia melarangku untuk memberitahumu, dia takut itu akan membuatmu semakin benci padanya. Dia sampai detik ini masih mencintaimu Mi, tapi dia takut kamu tidak mau memaafkannya.” hatiku sakit rasanya, air mataku menggenang. “Maafkan aku, sebenarnya aku dilarang memberitahumu, tapi aku kasihan pada kalian, papanya Aldo masih bersih keras dengan perjodohan ini, padahal setahuku Pipit, tunangan Aldo juga tidak setuju dengan perjodohan ini, tapi dia bilang demi kebahagiaan kedua orang tuanya dia rela melakukan apa saja.”. Air mataku terus saja menggenang, Cika memelukku lalu mengajaku pulang ke rumah.
___
Waktu terus berjalan, kuliahku semakin padat saja, sampai suatu hari aku pergi ke pantai untuk refresing. Penat sekali dengan tugas-tugas kuliah. Aku sengaja tidak mengajak Cika, dia sedang ada kerja penelitian bersama Rudi, aku takut mengganggu, jadi aku hanya pergi sendiri. Aku berjalan di tepi pantai sambil sesekali memotret keindahan pemandangan sekitar pantai yang diapit oleh dua buah bukit yang membentang hijau. Kebetulan ini hari libur, jadi pantai sedikit ramai lalu kuputuskan untuk mencari tempat yang lebih tenang.
Saat hendak berbalik aku ditabrak oleh seorang gadis kecil dia terjatuh lalu meringis, “Astgfirullah, adek maaf, kakak nggak sengaja. Eh, Riska ?” Riska juga kaget melihatku. Dia memelukku.
“Kak Mia, kangenn,,” katanya manja. “Kak Mia jahat, kenapa waktu di rumah bibi, kakak pergi nggak ngasih tau Ris,,” Riska cemberut. Aku agak jongkok untuk mengimbangi tingginya.
“Maafin kakak ya sayang, bukannya kakak nggak mau kasih tau Ris, tapi kakak ada keperluan mendadak yang nggak bisa di tunda, “ astagfirullah, aku terpaksa membohongi Riska. Dia tersenyum lagi.
“Tapi Ris senang karena waktu itu Ris bisa digendong sama mas Aldo, becanda juga, tapi mas Aldo nggak banyak senyum, kayaknya lagi sakit.” tutur Riska polos. Bayangan-bayangan Aldo kembali menari dalam otakku, aku termenung beberapa saat sampai seseorang yang suaranya tak asing memanggil Riska. Itu suara Gagah.
“Mia? Lagi ngapain disini?”
“Lagi refreshing, suntuk dengan tugas kuliah,” jawabku lalu bangun dari posisi dudukku tadi. Riska langsung berhambur dalam gendongtan kakaknya.
“Mas, sekarang kak Mia bisa kembali ke rumah lagi dong, “ dengan polosnya Riska berkata seperti itu pada kakaknya, aku hanya tersenyum, Gagah bingung harus menjawab apa.
“Kakak nggak bisa ke rumah dulu sayang, kakak harus kuliah dulu biar kakak bisa pintar bercerita kayak mas Gagah,” jawabku.
“Iya deh, kan dirumah juga ada kak Melati yang dongengin Ris,,”
“Siapa itu kak Melati? Pacarnya mas Gagah ya?” tanyaku.
“Bukan,,!!” jawab Gagah spontan, kelihatannya sadar dengan reaksinya ia langsung tertawa kikuk, “Dia, mm,, tunangannya Aldo,” lanjut Gagah agak sungkan menyebut nama Aldo.
“Iya, dia pacarnya mas Aldo, kan pacarnya mas Gagah itu kak Mia,” potong Riska.
Selanjutnya kami bermain bersama disana, kebetulan juga aku merasa bosan di pantai sendiri, jadi kuputuskan untuk bersama Gagah dan Riska menghabiskan waktu di pantai. Kebetulan sudah dibangun musola di selitar sana jadi mudah saja jika kita ingin sholat. Riska memaksa ingin melihat sunset jadi kami dengan terpaksa ikut sampai sore menemaninya. Nyatanya yanng mengajak malah tertidur dengan pulasnya. Karena sudah terlanjur sampai sore kami putuskan untuk ikut menikmati sunset dari pinggir pantai bersama Gagah yang tengah menggendong tubuh mungil Riska yang tengah tertidur.
“Mia,.” tiba-tiba Gagah berkata memecah keheningan. Aku menengok kearahnya yang tengah tersenyum sembari melihat sunset. “Apa perasaanmu pada Aldo seperti sunset ini?” tanyanya. Aku mengerutkan dahi.
“Maksudnya?”
“Iya, sunset yang selalu menemani sang sore dengan setianya.” aku semakin bingung. “Bisakah perasaanmu itu seperti bulan saja, yang setiap hari semakin berkurang dengan berjalannya waktu.,” aku terlonjak, apa benar Gagah menaruh hati padaku?
“M, maksudnya?: tanyaku pura-pura tidak tau.
“Saat kamu memakai hijab saat itu aku sangat senang, sebelumnya di Bali aku sengaja membelikan buku itu padamu bukan karena ibu sudah punya. Aku hendak membicarakan hal serius denganmu sebelum kutahu kamu dan Aldo memliki hubungan spesial.” aku menatap nanar kearah sunset. Gagah masih saja setia dengan pandangannya, mengarah kearah sunset yang sebentar lagi terbenam. Aku tak mampu berkata-kata, aku tidak merasakan getar-getar seperti saat aku betrsama Aldo di pantai di Bali dulu. Aku sungguh bingunng dengan kejadian ini, aku memang sempat menaruh perasaan dulu pada Gagah, tapi rasa itu sudah lenyap sejalan dengan besarnya perhatian Aldo padaku.
“Aku mengatakan ini bukan untuk medapat jawaban darimu, aku lega bisa mengungkapkannya, hanya itu saja tak lebih. Aku harap kamu tidak menjadikannya bebab yang berarti” katanya tersenyum kearahku. “Ayo pulang!” dengan santainya dia menngajakku pulang seperti tidak pernah terjadi sesuatu.
Aku hanya menurut, karena aku sungguh tak tahu mau bilang apa jika Gagah meminta jawaban dariku, aku tenang jika sedang bersamanya karena dia sudah seperti guru spiritual bagiku, tak lebih. Kami pulang, Gagah menyetir dalam diam, entah apa yang sedang berkecamuk didalam kepalanya, aku tidak tau, aku sungguh tidak bisa menebaknya, sampai detik ini aku belum yakin bahwa dia memiliki perasaan padaku, karena dia selalu datar saat bersama denganku, tidak bisa kubaca sama sekali. Imajinasiku terus melayang menggapai dunia seorang Gagah yang sampai saat ini belum kumengerti, aku hanya mengerti bahwa dia orang yang mengerti tentang agama, itu saja.
___
Hari-hariku berlangsung dengan wajar, Gagah seperti biasa menjadi dosenku, malahan sepertinya dia semakin bersemangat, dia beberapa kali bertemu denganku dan dengan enjoynya dia mengajakku berbincang dan menceritakan keinginan Riska untuk jalan-jalan laagi bersamaku.
Minggu pagi aku mendapat sepucuk surat dari seseorang yang tidak diketahui namanya, dia hanya menulis kata “pengembara yang singgah”. Aku membuka surat itu,
Assalamu’alaikum, kesejahteraan semoga selalu menyertai harimu.
Aku merasa bersalah karena telah menungkapkan perasaan hatiku padamu, tak seharusnya aku melakukan itu, namun kurasa dengan memberitahumu semuanya akan menjadi lebih baik. Namun sayang, ternyata itu malah membelenggu jiwaku, aku diajak bu’ de untuk tinggal di Jakarta, sebenarnya aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan yang sudah diamanahkan kepadaku, yakni mejadi dosen. Namun, jika kamu berfikir aku menyetujui untuk pergi ke Jakarta sepenuhnya karenamu, tidak benar Mia, aku minta maaf, aku tahu setelah saat itu kamu merasa terbebani. Tapi sekali lagi aku tidak berniat agar kamu menjawab semua itu, aku tau hatimu kan selalu ada untuk satu orang, yakni Aldo. Aku mengerti akan hal itu Mia. Maafmu sungguh berharga untukku, Mia. Sekali lagi maafkan aku.
Wassalamu’alaikum.
Gagah

“Maafkan aku juga Gagah,,” batinku.
Sebelum berangkat ke kampus aku menyempatkan untuk bertemu Cika di taman sambil ngegoole tugas-tugas kuliah. Cika  tidak datang sendiri, dia bersama seorang cowok, tampan dan berpakaian rapi, sepertinya dia yang dimaksud oleh Cika waktu itu, kalau nggak salah namanya Rudi. Usai mengucap salam kami mencari tempatt duduk yang cukup teduh disekitar taman. Rudi anaknya cukup asik diajak ngobrol, apalagi soal agama, pantas Cika kecantol.
Saat mencari tugas aku iseng membuka akun facebookku siapa tau susi dan Via sedang online, batinku. Benar saja, Via sedang online, dia langsung mengirimiku pesan.
Vheea_humanlovesmusic
Bu guru kenapa tidak pernah ada kabar?”
Mia Citra
Hehe, tugas menghantui setiap hari. Bagaiman disana, kalian berdua baik-baik saja kan?
Vheea_humanlovesmusic
Begitulah, bedanya tidak ada kalian bertiga. Oh ya tadi aku baru saja selesai chatting dengan Aldo. Tumben sekali bos sok sibuk itu membalas pesanku. Kalian ada masalah ya? Barusan waktu ditanya soal kamu, dia bilang sudah lama tidak berhubungan denganmu, kalian putus?
Mia Citra
Seminggu setela keberangkatan kalian ke AS, Aldo dojidohkan dengan sepupunya Gagah. Karena tidak tau, aku mengiyakan ajakan keluarga Gagah untuk ikut ke acara itu, dan begitulah, semuanya terjadi.
Vheea_humanlovesmusic
Whaatttt???!!! Kenapa bisa?? Sayangku, maaf aku tidak tau. Apa kalian tidak pernah berhubungan sejak saat itu?
Mia Citra
Ia, aku kubur dalam-dalam kenanganku bersamanya.
Vheea_humanlovesmusic
Sudahlah, manusia sejenis Aldo itu kan masih banyak, bila perlu aku kenalkan pada teman-temanku disini, ada yang mancung hidungnya sepuluh senti, dua puluh, yang satu meter pun akan kucarikan. Hehe
Mia Citra
Makasih, aku nggak tertarik, disini juga masih antri banyak yang ngvantri, he.
Vheea_humanlovesmusic
Ya udah deh, udahan dulu ya, aku dan Susi sedang ada proyek nih. Ingat rencana sosial kita terhadap anak-anak jalanan itu? Nah, sepertinya kami sudah menemui titik terang disini.
Mia Citra
Alhamdulillah, aku senang dengernya.
Vheea_humanlovesmusic
Iya, udahan dulu ya. Sampai nanti, bye.
Obroalan dimatikan.

Aku terpikir lagi dengan perkataan Via tadi, apa didalam hati Aldo masih tersimpan semua kenangan tentangku? Aku berharap sekali seperti itu, tapi secepatnya aku harus bisa melupakannya karena dia akan memilik istri cepat atau lambat.
“Mia, sebentar lagi aku ada jam kuliah, kamu mau ikut ke kampusmu sekalian nggak?” tanya Cika.
“Aku masih ada beberapa tugas yang harus dicari, nan\ti aku belakangan, kalian berangkat aja dulu,”
“Baiklah kalau begitu, sampai nanti ya Mia. Assalamu’alaikum” pamit Rudi.”
“Wa’alaikumussalam,”
Bersamaan dengan perginya Rudi dan Cika, aku kembali dengan aktifitasku mencari beberapa referensi untuk pembuatan makalah dan beberapa tugas lainnya. Semakin banyak mencari tugas aku semakin banyak mengetahui tentang islam. Seperti kata pepatah, sekali mendayung, dua, tiga pulau terlampaui. Aku bisa mencari tugas kuliah sembari menambahh ilmu tentang agama.
Benar saja hari ini dikelas heboh karena saat mata kuliah yang dipegang oleh Gagah diganti ole dosen lain, semua bertanya-tanya, kecuali aku.
“Pak Gagah pindah tugas ke Jakarta atas permintaan kedua orang tuanya, jadi saya yang akan menggantikan beliau untuk mata kuliah sejarah islam,” terang dosen perempuan berjilbab biru langit itu.
___
Satu tahun kemudian

Ada telepon masuk pagi-pagi sekali, dari nomor baru.
“Mia sayang, ini Via.”
“Ya Allah, Via. Kapan pulang?” tanyaku pada suara di seberang sana.
“Kemarin. Oh ya, aku ada hadiah buat kamu”
“Oh ya, kapan ketemu?”
“Besok di Bali,”
“Hah? Bali?”
“Iya, kita akan ke Bali selama lima hari”
“Ide siapa ini? Cika udah tau belum?”
“Udah, kita ke resortnnya yang dulu itu lagi sayang,,”
“Oke, kapan?”
“Besok ini”
“Besok??”
“Iya, nggak pake tapi. Yaudah ya aku mau mandi. Bye”
Tut.
Dengan santai Via menutup telepon, aku turun kebawah untuk menemui mama sekalian minta izin untuk acara besok. Mama tselalu tidak keberatan jika aku bersama tiga sahabatku itu. Aku happy sekali pagi ini, awalnya aku kira liburan tahun ini akan membosankan tanpa sahabatku itu. Dengan semangat aku mempersiapkan segala sesuatu yang akan kami perlukan selama di Bali.
Keesokan harinya di Bandara tanpa aba-aba aku langsung memeluk Via dan Susi, melepas rindu pada kedua sahabatku yang selama satu tahun teraakhir hijrah di negeri orang itu.
“Ya Allah, musisi kita satu tahun di AS sudah mirip bule aja,” godaku.
“Ah, bu guru juga sudah mirip guru sekarang, apalagi bu dokter,,” katan Susi membalas gurauanku.
Perjalanan melalui udara tidak memakan waktu lama untk sampai di Bandara Ngurah Rai. Untuk kedua kalinya aku datang ke Bali, ada yang kurang rasanya, ya kurang. Aldo.
“Kita tidak langsung ke resort ya, kita ke pantai dulu. Masih belum pada capek kan?” kata Susi mengusulkan. Semua setuju.
Sampai di Pantai kira-kira pukul 5 sore, kami sengaja kesana untuk sekedar sunset-an bersama. Kami mencari pantai yang tidak banyak pengunjngnya. Kami menghabiskan waktu ditemani sunset, bercerita tentang berbagai hal, Susi dan Via sedang suka sama satu cowok. Waduh, berabe urusannya, dua musisi dengan satu cowok? Bagaimana jalan ceritanya itu, apa mereka akan saling bersaing dengan cara membuat konser musik terbagus? Entahlah.
“Matanya biru, hidung mancung, pintar main segala alat musik lagi” Susi berkomentar pertama, disusul oleh Via yang tak kalah lebay.
“Sekali dia mainin alat musik nih, wuih, cewek-cewek disana pada nggak sadarkan diri,” semua tertawa kecuali Susi.
“Tapi anehnya, belum punya pacar dia ampe karang,” timpal Susi lagi, dijawab anggukan mantap oleh Via. Begitu terus sampai mereka merasa bosan lalu berhenti membicarakan makhluk yaang bernama Michael itu. Susi dan Via masih belum mau mengajak kami ke resort, katanya pengen jalan-jalan di Bali dulu. Yasudah akhirnya harus ngocek kantong deh berkeliaran di pasar-pasar di Bali.
Hingga sampai pukul 10 malam akhirnya mereka berdua nyerah dan ikut ke resort, belanjaan mereka sudah menggunung dan sepertinya mereka kewalahan sekali membawanya, dengan tertatih-tatih mereka mebawa barang mereka dibantu aku, Cika dan pelayan. Sebelum tidur aku ingin menghirup udara segar dari balkon yang pemandangannya langsung tertuju ke arah pantai. Sejenak terlinas ingatan-ingatan tentang Aldo dalam benakku, aku segera berlalu dari tempat itu, aku tidak mau semua kenangan itu membuatku tenggelam lebih jauh lagi kedalam kesedihan.
Esoknya selesai sarapan Susi mengajak kami untuk jalan-jalan keliling Bali seperti biasa, namun aku tidak bisa ikut karena perutku terasa amat sakit sebab datang bulan. Setelah memberiku obat, Cika, Susi, dan Via pamitan untuk pergi. “Jika kamu butuh apa-apa panggil saja pelayan, dan kalau sakitnya udah mendingan kamu bisa menyusul nanti, aku sudah tinggalkan pespa, kuncinya minta saja sama pelayan,” pesan Cika sebelum pergi, aku hanya mengangguk kecil sambil menahan sakit dari atas ranjang.
Beberapa jam setelahnya, alhamduliullah perutku terasa agak mendingan. Merasa bosan di resort aku memutuskan meminta kunci pespa pada pelayan lalu melaju di jalan yang tidak terlalu ramai di sekitar resort. Cuaca pagi ini tidak terlalu cerah, maklum saja sedang musim hujan, semoga saja tidak hujan. Angin semilir di dekat pantai menggelitik lembut kulit wajahku yang terbalut kerudung warna merah muda. Aku mengirimi Cika pesan, menanyakan dimana posisi mereka sekarang.
“Kami sedang di halte dekat pasar, sedang menunggu bus yang lewat.” kata Cika membalas pesanku. Jarak tempat itu dari sini hanya memakan waktu kurang dari 10 menit. Ku kemudian pespa warna biru itu menuju tempat yang di bilang Cika. Sayangnya sekitar beberapa puluh meter dari halte itu hujan turun dengan derasnya, aku basah kuyup dan sampai disana aku tidak menemukan satu orang pun, hanya aku sendiri di halte itu dengan tubuh yang basah kuyup.
Beberapa menit kemudian aku dikagetkan dengan kedatangan seseorang dari belakang yang langsung menyelimuti punggungku dengan jasnya, aku tersentak dan langsung mengahdap kearah datanngnya orang tersebut. Detik itu juga jantungku bekerja ekstra memompa darah menuju sekkujur tubuhku yang sedang menerima respon yang tidak terduga. Kembali kenangan yang bertahun-tahun itu coba ku kubur dalam-dalam dalam memoriku, terkuak kembali bagai potongan-potongan puzle. Kini senyum makhluk yang sedang berdiri dihadapanku itu memudar, menyisakan sesungging senyuk yang dipaksakan, matanya sayu menatapku dengan penuh rasa sesal. Hampir saja aku limbung, ku kuatkan pertahanan tubuhku yang masih terasa memijak bumi.
Aku alihkan pandanganku pada kearah rintik-rintik hujan yang kian deras, aku tak mampu menatap wajah yang hampir terasa asing bagi mataku, tapi tidak untuk hatiku. Diam, hanya suara percikan air hujan yang terdengar memainkan irama yang tak beraturan, aku antara percaya dan tidak, bahwa sosok yang bertahun-tahun menghilang itu kini kembali bersua kembali, berdiri di depanku.
“Mia,,” samar-samar diantara derasnya hujan suara Aldo merayap ke pendengaranku, aku tertegun. Aku baru percaya bahwa sosok yang sedang ada dihadapanku ini adalah Aldo, iya ini Aldo tidak salah lagi. Entah apa yang sedang kurasakan saat ini, antara bahagia dan marah, sakit sekali. Perasaanku masih beradu, tak ada yang mau mengalah sehingga aku hanya mampu meneteskan air mata, air mata yang terus keluar beradu dengan derasnya hujan yang menghujam bumi bagai rasa sakit yang sedang menghujam hatiku, sakit. Tapi tak bisa kupungkiri dibalik rasa sakit itu ada rasa legsa tersendiri dalam hatiku, selama bertahun-tahun aku ingin satu kata penjelasan dari mulut Aldo, kini satu kata panggilan darinya terasa cukup menjawab semuanya, ya iya masih mencintaiku. Aku tau itu, ucapan yang barusan bukan kebohongan.
“Maafkan aku,,” kembali dengan dipaksaan suara Aldo mengiang ditelingaku, air mataku masih saja tidak mau berhenti, masih butuh waktu. Aku masih tak mau memalingkan wajahku kearah suara itu berasal, masih butuh waktu.
Lama, air mataku perlahan surut dan akhirnya hanya tinggal sesekali masih sesenggukan. Aldo dengan setia menungguku melampiaskan perasaanku, dia pasti amat mengerti itu. Bahkan mungkin dia sudah siap jika tubuhnya menjadi tempat pelampiasan rasa sakit di hatiku, tapi tidak Do, ini bukan tangisan pilu semata. Ini tangis kebahagiaan, karena kamu kembali, kembali untuk menjelaskan semuanya.
Hujan sudah mulai reda menyisakan satu dua titik yang jatuh dengan anggunnya. Aku mencoba tersenyum, menatap kearah sosok yang dengan setia berdiri di depanku.
“Air hujan ini turun sebagai rahmat dari Allah, ia menyapu bersih semua polusi di udara. Begitupu aku Do, air mata itu sudah cukup untuk menyapu bersih segala rasa sakit yanng ada di hatiku, air mata itu pun bukan semata-mata karena rasa sakit. Aku lega, karena kamu sekarang ada di hadapanku Do, kamu datang” mata yang sayu itu sekarang sedikit demi sedikit mulai menampakan sinarnya.
“Apa kamu sungguh tulus memaafkanku? Memaafkan aku yang dengan teganya meninggalkanmu tanpa satu katapun penjelasan, memaafkan aku yang jahat ini,”
“Dengan berdirinya kamu dihadapanku saat ini sudah menangguhkan semuanya Do, sudah cukup. Sungguh” tegasku. Satu tetes berlian itu meluncur dari pelupuk matanya yang kemba;li bersinar itu, tangisan haru dan senang tentnya, aku tau dia juga lega.
“Aku minta maaf,,” kata itu yang keluar disela tangisannya. Aku hanya mengangguk mantap sembari tersenyum tulus, aku sangat lega. Aldo tersenyum kearahku sambil mengeluarkan sesuatu dari sakunya, itu cincin yang dulu kuberikan lewat Cika.
“Kumohon kamu bisa memakai ini kembali,” katanya, aku hanya mengangguk tersenyum. Aldo pun memasangkan cincin itu kembali dijari manisku. Sedetik kemudian bus datang dan berhenti tepat di halte itu, kami berdua menengok dan munculah tiga orang sambil nyengir tak karuan, aku tau pasti ini semua mereka punya ide.
“Ciye, ciye yang celebek,,” kata Susi menggodaku. Aku hanya cemberut menatapnya.
“Jangan lupa traktir lo Do, ingat kan siapa yang berjasa disini,” sambung Via dengan sok. Aldo hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Selamat ya,” kata Cika tulus, hampir saja ia meneteskan air mata, tapi langsung ia tahan dengan menengadahkan kepalanya keatas.
Kami hendak naik keatas bus tapi di stop oleh Susi, “Kalian berdu anaik pespa aja, masak pespanya mau di tinggal disini,” aku lupa denga pespa itu. Aldo memboncengku pulang menggunakan pespa itu. Aku tersenyum senang, cuaca yang masih mendung seakan ccerah tanpa awan, mentari seakan tersenyum kearah kami berdua.
Di resort ternyata Gagah dan Melati sudah menunnggu, aku kaget. Aldo mengajakku duduk di meja dekat mereka. Kami berkumpul bersama, Cika, Susi dan Via juga ikut. Ternyat Melati yang selama ini selalu menurut akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan isi hatinya pada kedua orang tuanya, dia mengatakan bahwa sejak dulu dia sukanya pada Gagah bukan Aldo. Pada awalnya kedua orang Melati marah karena mereka sudah resmi bertunangan. Namun, karena saat itu Aldo pun ada disana dan menegaskan bahwa ada cewek lain yang ia sukai. Beberapa hari setelah itu kedua belah pihak orang tua Melati da Aldo berunding, walau dengan sangat berat hati, mereka akhirnya menyetujui pendapat keduanya.
“Jadi mas Gagah dan Melati sekarang sudah tunangan, cincin yang di mas Aldo di pindah alihkan oleh papa ke tangan mas Gagah” kata Melati yang sekarang juga sudah memakai jilbab, terlihat semakin cantik dengan jilbab warna biru membalut wajah mungilnya. “Maaf ya Mia,,” sambungnya lagi.
“Oh, malah aku lagi yang harusnya bilang makasih,,”
1 tahun kemudian.
Papa dan Mama kaget dengan kedatangan Aldo saat itu sepulang dari Bali, Aldo mengatakan ingin melamarku di depan papa dan mama. Mas Bagas yang sedang di luar kota di telpon sama Mama, dia minta untuk ngomong sama Aldo, entarh apa yang mereka bicarakan, ku tebak pasti Aldo di ceramahi berkali-kali agar menjagaku dengan baik.
Gagah dan Melati menikah duluan 4 bulan kemudian di tanggal yang sudah di tetapkan untuk Aldo waktu itu. Rudi penah ikut ke rumah Cika, berkenalan dengan papa dan Mama Cika. Kata Cika, dia sempat takut banget jika Rudi akan di cueki sama Mama dan Papanya. “Tapi ternyat Rudi itu pintar sekali mengambil hati papa, aku juga kaget saat papa dengan rileksnya ngobrol sama dia, sambil ketawa-ketawa lagi” kata Cika.
Susi dan Via mengirimi email, katanya dia tidak mau lagi berebut makhluk berhidung mancung bernama Michael itu, mereka ingin mencari cowok asli Indonesia saja. “Lebh original,,” kata mereka persis. Ada-ada saja mereka.
Mereka juga sudah merealisasikan mimpi mereka, sudah ada dua tempat tongkrongan anak jalanan yang mereka rubah menjadi tempat khusus untuk mengajar anak-anak jalanan bermain mucik dan memberi mereka beberaoa buku pelajaran dan juga guru pengajar. Susi dan Via tidak memakai uang sendiri, ia telah menyebar proposal di berbagai LSM, dan ada beberapa yang menerima dan mebiayai mereka. Aku dan Cika jga ditugaskan untuk mengajar mengaji disana.
“Mi, nanti kalau kita nikah, kamu penngen punya anak berapa?” tanya Aldo. Aku yang sedang diboncengnya menggunakan pespanya kaget dan mencubit pinggangnya. Dia sedikit limbung dan tertawa. Kami baru saja pulang dari membeli peralatan untuk membuat undangan pernikahan.
“Itu biar Allah yang atur,” jawabku.
“Iya bu Ustazdah,,” katanya lagi sambil terus berkonsentrasi dengan pespanya.
Satu minggu, semua persiapan sudah beres, aku sedang di temani Cika menata make upku. Tanganku dingin sekali. Cika menatapku lembu, memegang pundakku, aku mengangguk mantap. Dia membwaku menuju tempat dimana akan terjadi proses yang sangat sakral, proses yang akan menyempurnakan agamaku.
Kulihat Aldo sudah berada di depan pak penghulu, bersama denga papa dan jjuga papanya Aldo. Ada Susi, dan Via juga yang mengenakan kebaya, cantik sekali. Mereka bela-belain untuk izin untuk melihat prosesi pernikahanku. Gagah dan Melati terlihat duduk berdua, di pangkuan Melati terlihat gadis kecil yang sedang tersenyumkearahku, siapa lagi kalau bukan Riska, dan tentunya mamanya Gagah juga selalu terlihat cantik dengan balutan gamis indah berwarna kalem. Rudi menatap kearah sini, aku tau dia sedang memperhatikan makhluk cantik yang sedang bersamaku.
Aku duduk di dekat Aldo, tanganku masih terasa dingin, aku merasa tegang. Berada di depan orang banyak. Aku beristigfar beberapa kali sampai tenang. Aldo terlihat gagah dengan menggunakan baju koko berwarna putih, senada dengan kebaya yang ku gunakan.
Setelah beberapa acara pembukaan, akhirnya sampai pada acara ijab kabul. Aldo terlihat menarik nafas, saat ini aku tengah duduk bersanding dengan calon imamku, kekasihku yang akan menjadi pemimpin keluargaku kelak, setelah berbagai rintangan telah kami lalui, aku meneteskan air mata kembali, diikuti oleh Aldo yang sedang mengucap ijab, setelah selesai seisi ruangan menggema dengan ucapan “Barakallahulakumawabarokah..” aku mencium tangan Aldo yang sudah sah menjadi imamku sekarang, Aldo pun balik mengecup keningku tulus, ya itulah Aldo dengan segala ketullusan cintanya padaku, sampai detik ini.
___
Rembulan terlihat begitu indah, apalagi di lihat di tepi pantai. Acara jalan-jalan malam di pantai sudah menjadi rutinitas mingguan bagiku dan mas Aldo, aku yang punya ide.
“Jika berada di pantai saat malam hari seperti ini, aku selalu teringat tingkah mas yang konyol dulu,” kataku.
“Yang mana?” tanyanya.
“Yang mana lagi, ya saat mas ninggalin aku dengan berjuta tanya di kepalaku. Udah megang tangan orang tanpa izin, eh di lepasin, terus pergi,,:” jawabku kesal. Dia tertawa.
“Maaf, memangnya saat itu kamu pengennya aku bilang apa?” godanya.
“Ya apa kek gitu,, jangan cuma bengong”
“Iya deh nggak lagi, itu kan dulu masak ngambeknya sampe sekarang”
“Bukannya gitu, aku masih kesal aja,,” jawabku enteng.
“Saat itu sebenarnya udah pengen bilang, tapi karena cuacanya dingin mas nggak bisa nahan pengen pipis, akhirnya tanpa permisi mas cabut aja ke kamar mandi,” katanya sambil tertawa. Aku kesa lalu memukul-mukul lengannya, dia semakin tertawa keras...
Akhirnya ketulusan itu menjadi suatau yang sangat manis saat semua disempurnakan dengan sebuah ikatan yang sakral bernama pernikahan. Aldo, menjadi sosok pemimpin yang begitu sempurna dimataku, ketulusannyalah tak pernah pudar dan takkan pernah habis seperti layaknya air laut.

Komentar

  1. iihhhhh.... asli keren, sampai meneteskan air mata q bacanya mbaq,,
    da sedikit kilasan yg membuatku teringat akan kisah ku sendiri yg membuatku terhanyut dalam kesedihann,,, hikz,,, :(
    tp asli mbaq,,, bagus sekali cerpennya, asli ngiri sama tulisan cda ne,,, da sih beberapa tempat yg bikin bosen bacanya,,, tp ndk trlalu kntara kok kalau dah dlanjutin, asli gua ngefans sama cerpen ne... endingnya mantap mbaq... ih pokoknya bagus bangett,,,
    perjalanan ceritanya membuatku trhanyut,,, keren keren kerennn deh pokoknya... hehe :D
    kutunggu krya lainnya mbaq...
    semangattt !!

    BalasHapus
  2. alhamduliollah,, makasih atas masukan dan kekagumannya, hehe
    insya Allah, do'ain aja semoga cerpen selanjutnya cepat rampung dengan terselesaikannya tugas-tugas yang bikin mumet kepala. hehe
    sekali lagi makasih ya Put udah jadi pembaca setia cerpen-cerpen saya.

    BalasHapus
  3. hehehe,,, iya say,,, Macama :D

    BalasHapus

Posting Komentar