SETULUS KASIHMU
“Mia,,, tau enggak aku bawakan kamu apa?”
“apa?”
“tada! Tiket liburan ke Bali,”
“Ohh ya?? Kapan?”
“libur ujian ini sayang, Via dan
Susi sudah ambil bagiannya tadi. Nih! Ambil. Satu bulan dari sekarang ya. Aku
ada perlu dulu sama anak pengurus osis”.
“Cika, tunggu!” Cika terpaksa
menghentikan langkahnya yang setengah berlari tadi diambang pintu.
“Aldo ikut nggak?” Cika tersenyum
simpul lalu mengangguk.Yess! Aku teriak kegirangan didalam hati.
Aldo adalah sepupunya Cika, dia
sementara tinggal dirumah Cika sampai ia lulus SMA. Aku mengenalnya saat kami
belajar kelompok dirumah Cika. Kira-kira 1 tahun yang lalu saat kami masih
duduk di bangku kelas 2 SMA. Aldo anak yang tampan dan pandai, dia tipe cowok
yang apa adanya dan langsung akrab dengan siapa saja. Tapi sekolahnya tidak
sama dengan Cika, ia sekolah di SMK.
“Ya udah ya Mi, Susi udah nunggu
nih, bye”
Aku, Susi, Via, dan Cika
bersahabat sejak SMP, kami terbiasa bersama namun memiliki kesukaan yang
berbeda dalam setiap bidang. Aku dan Cika suka sesuatu yang berbau biologi dan
sejenisnya dan besok saat kelulusan kami berencana mengambil jurusan
kedokteran. Susi berencana menadi guru, dan Via si kutu buku masih ragu dengan
dirinya sendiri. Suatu ketika ia ingin menjadi penulis karena membaca buku yang
berudul ‘how to be a writer’, dan di lain waktu ingin menjadi seorang
penemu, dan lain sebagainya. Dia akan terobsesi dengan apa yang ia baca.
Namun, bagaimanapun kerasnya kami
berdebat dalam hal itu. Kami akan bersatu padu dalam hal musik. Kami adalah
pecinta musik, dan kami membuat band kami sendiri dan sering mengikuti kontes
yang diselenggarakan baik oleh sekolah atau pun luar sekolah.
Susi, si pianis. katanya,
tuts-tuts piano itu umpama jalan kehidupan, jika kita mampu memainkan jalan itu
dengan baik dan benar, maka kita akan terbawa dengan suasana indah kehidupan,
layaknya nada yang keluar beraturan dari sentuhan jari pemain piano.
Via, dia sangat suka biola.
Baginya biola seirama dengan suara alam, terutama hutan. Tenang, dan damai.
Begitulah pendapatnya.
Cika, dia ahli dalam bermain
gitar. Tapi jika ditanya kenapa dia suka gitar, dia akan tanya balik. “Aku
nggak tau, emang apa alasan kalian suka makan?”,. Dia tidak memiliki kesan
tersendiri pada alat musiknya, namun jika tangannya sudah menyentuh gitar,
seakan semua isi hatinya telah ia tuangkan kedalam nada-nada yang teralun dari
gitarnya.
Aku sedikit berbeda dengan
teman-temanku yang lain. Aku tidak pandai bermain alat musik. Aku lebih suka
bernyanyi. Mendengar lagu-lagu yang menenangkan hati adalah kesukaanku, aku
sangat suka lagu klasic, selain menurut beberapa ilmuan itu dapat meningkatkan
kecerdasan, music klasik salah satu pelarianku ketika hatiku tak menemukan
ketenangan di luar sana.
Sebenarnya sudah lama ini aku
merasakan hal yang sedikit rumit. Entahlah, aku seakan bosan, tapi tak tau
mengapa. Aku senang ketika berkumpul bersama sahabatku, bernyanyi, shoping,
nonton, ngobrol, tapi setelah itu di rumah aku sering menangis sendiri tanpa
sebab. Dadaku terasa sesak, dan perih. Aku merasa seprtinya aku hanya terus
berjalan pada tempat. Rasa senang yang kudapat dari berkumpul dengan
teman-temanku seakan-akan selalu saja menguap seperti air yang menetes di
keringnya gurun pasir.
Tapi hari-hariku tetap kulalui
seperti biasa bersama sahabatku. Tak ku terlalu hiraukan perasaan itu. Kuanggap
itu hanya sebagai hal yang biasa dialami oleh remaja seperti ku.
1 bulan kemudian.....
“Ma, Mia berangkat dulu ya,,”
pamitku pada mama yang sedang asik memasak sarapan untuk keluarga pagi ini.
Mama berhenti sejenak dari aktifitasnya lalu mendekatiku.
“Nanti disana jangan lupa
istirahat dan makan yang cukup ya. Dan jangan lupa waktu, ya?” pesan Mama. Aku
hanya mengangguk kurang bersemangat. Tapi dari tadi aku belum melihat dua
jagoan di rumah ini, siapa lagi kalau bukan papa sama abangku.
“Oh ya, Papa sama kak Bagas mana
Ma?”
“Papa masih mandi, kakakmu masih
tidur di kamarnya” aku mengangguk lagi.
“Cika udah dateng belum Ma?”
kuambil satu buah roti lalu mengolesina dengan selai cokelat kesukaanku.
“Belum sayang, kamu sarapan saja
dulu,”. Mama kembali dengan aktifitasnya yang tadi dan aku dengan santai
mengunyah roti yang baru saja kuolesi dengan selai. Beberapa saat kemudian
terdengar bunyi klakson motor dari luar rumah. Aku kenal sekali dengan suara pespa
itu, siapa lagi yang suka memakai pespa kalau bukan sahabatku, Cika.
“Ma, Mia berangkat ya,, bye”
pamitku lalu mencium pipi mama dengan menyeret serta koper besarku.
“Kok pergi tanpa pamit sama Papa”
suara bas Papa terdengar dari arah belakang. Aku tersenyum manis lalu memeluk
papa sayang. “Inget, nanti waktu pulang papa gak mau anak papa ini jadi item
karena keseringan berjemur di pantai” goda papa. Aku hanya tertawa kecil.
“Bawain abang mu oleh-oleh ya,,”
satu suara kembali terdengar. Entah sejak kapan mas Bagas sudah nangkring di
anak tangga.
“Ogah! Aku pamit ya Pa, Ma, mas
Gas,, tut, bau, Hehe” secepat kilat aku berlari sebelum mas Bagas membalas
perkataan jahilku tadi.
Terdengar samar omelan mas Bagas
dari kejauhan, tapi itu malah semakin membuatku tertawa lepas sampai di depan
motor Cika.
“Ada apa sih?” tanya Cika
penasaran melihatku bergegas tergopoh-gopoh sambil tertawa.
“Biasa, ngejailin mas Bagas, he”
jawabku santai dan dibalas gelengan kepala oleh Cika, dia juga sudah terbiasa
melihatku bertengkar dengan mas Bagas.
“Come on, kita berangkat,” aku
hanya mengangguk taat lalu menaruh koper ku di atas jok motor Cika lalu
menempatkan diriku pada posisi senyaman mungkin.
Selang beberapa puluh menit kami
sudah sampai halaman rumah Cika. Mobil yang mengantar kami ke bandara sudah
terparkir apik di depan rumah Cika.
“Aldoooo,,,,!!” Susi yang baru
baru datang langsung meneriaki sosok Aldo yang baru saja keluar dari dalam
mobil. Sejak beberapa bulan ini kami memang jarang bertemu karena kesibukan
menjelang ujian.
Aldo mendekat ke arah ku dan
Susi, “Hai, long time no see,,” sapanya sok berbahasa bule,, aku hanya
tersenyum kecil. Aldo tampak sedikit aneh, karena menatap ku begitu lama. Tak
seperti biasa, batinku.
“Hai, Mi, Si, bantuin aku nih,
berat,” seru Via yang kewalahan mengangkat koper ke dalam bagasi mobil.
Serempak kami bertiga bergegas membantu sambil memasukan koper-koper yang
tersisa.
Setelah pamitan pada mama dan
papa Cika, kami pun berangkat ke bandara diantar oleh sopir pribadi papanya
Cika. Aku menaikan kaca mobil lalu menikmati setiap belaian udara pagi yang
masih terbilang sejuk di tengah kota yang sudah tercemar polusi udara ini.
Menikmati pemandangan kota yang ditanami beberapa pohon di pinggir jalan.
Karena merasa bosan dengan
pemandangan diluar aku pun beralih menatap ke depan. Enatah sejak kapan Aldo
menatapku dari kaca di depan. Sontak ia tersadar saat mata kami bertemu tatap
lalu ia senagaja memalingkan wajanya ke arah lain. Sejak tadi tingkah lakunya
memang terlihat agak aneh.
___
“Mi, bangun. kita udah nyampe
bandara”, samar-samar terdenngar suara Via membangunkanku yang enatah sejak
kapan tertidur di dalam mobil. Aku mengerjap sebenatar.
“Kita udah nyampe?” tanyaku
sambil menguap kecil.
“Yang lain dah pada jalan tu, ayo
jalan!”ajaknya. Aku pun mengiyakan lalu mengambil koperku berjalan beriringan
dengan Via.
Singkat cerita kami pun sampai di
Bali dan langsung menuju resort milik papanya Cika. Kami berencana bermalam
disini selama satu minggu. Tanpa peduli dengan koper yang belum dibereskan kami
dengan asyik melempar tubuh di kasur dan langsung terbang ke dunia mimpi.
_____
Suara deburan ombak terdengar
merdu di telingaku. Aku terbangun dengan sesungging senyum menyambut hari
pertama di Bali. Dengan masih berpakaian jeans dan T-sirt berwarna cream, aku
melangkah ke arah deru ombak yang tak jauh dari resort. Tanpa peduli dengan
kenyataan bahwa aku baru bangun tidur, baju kusut, rambut berantakan.
Angin laut menerpa tubuhku dan
menerbangkan rambutku tak tentu arah. Kubentangkan kedua tanganku, angin dengan
ganas menerpa lalu menelusup diantara sela-sela jemariku. Kuhempaskan tubuhku
di atas pasir putih. Langit biru membentang indah, kokoh berdiri tegak, tak
membiarkan satu titik pun awan menyentuh kulit terangnya.
“Mi,,” suara bas yang khas dari
seseorang yang ku kenal. Aku berdiri dari tidurku lalu terduduk dan menoleh ke
arah suara bas yang tak asing lagi bagiku. Siapa lagi kalau bukan Aldo. “Boleh
aku duduk,,” tanyanya agak canggung sambil menggaruk tengkuknya yang sama
sekali tak gatal.
Aku hanya mengangguk tanda
setuju. Aku masih saja aneh dengan sifat Aldo sejak kemarin, dari sejak pertama
aku mengenalnya baru kali ini aku melihat Aldo yang selalu care sama orang
menjadi terlihat seperti orang yang demam panggung.
“Do, kamu kenapa, sakit?” tanyaku
agak cemas. Dia dengan cepat menggelengkan kepalanya. Kembali senyap,, Aldo
hanya menatap kosong ke arah pantai, entah apa yang sedang berkecamuk di
kepalanya, yang pasti dia sangat tidak menikmati apa yang tengah ia lihat, aku
jadi tidak berminat lagi dengan objek yang sedari tadi ku lihat.
“Ada masalah?” tanyaku lagi, dia
kembali menggeleng lalu tertunduk sebentar. Ia terlihat menarik napas dalam
lalu sepersekian detik ia langsung menatapku tepat di dalam mataku sambil
menggenggam tanganku erat. Kurasakan tangannya begitu dingin, apa mungkin
karena cuaca di sini dingin? Aku bertanya dalam hati.
Dia sama sekali tak memalingkan
pandangannya dari mataku, aku beberapa kali ingin melepas genggaman tangannya
tapi tak mampu. Aku hanya terdiam mengikuti arah pandangnya.
Tatapannya tak bisa ku tebak,
matanya terlihat ingin berkata sesuatu tapi ragu, sebentar berbinar, sebentar
lagi meredup. Lalu dengan cepat ia melempar tanganku yang tadi ia genggam erat
lalu berlari kencang meninggalkanku tanpa satu penjelasan pun. Aku hanya
terduduk tak mengerti. Apa mungkin Aldo,,? Batinku. Aku menggelengkan kepala
keras dan mencoba tidak ambil serius kejadian tadi,
____
Saat sarapan tadi, Aldo tak
banyak bicara. Dan yang pasti teman-teman yang lain bertanya tanya. Selesai
sarapan ia permisi pergi dengan alasan ingin melihat pemandangan di luar. Namun
siapa yang akan percaya dengannya, dengan wajah yang begitu kusut. Kami
berempat hanya menatap heran padanya. Susi sampai tak nafsu makan karena tak
ada yang mengajaknya bicara dan bercanda seperti biasa.
Selesai beres-beres kamar, Cika
mengajaku ngobrol di teras belakang resort yang berhadapan langsung dengan
pantai. Aku pun bertanya tentanya tentang sikap Aldo, lalu menceritakan
kejadian tadi pagi. Cika agak terkejut.
“Yang bener?” tanya Cika
antusias, matanya berbinar saat ku ceritakan Aldo yang menggenggaum tanganku
lalu pergi begitu saja. Cika hanya tertawa tertahan. “Kamu tau gak kalau Aldo
itu belum pernah naksir sama cewek?” tanyanya. Aku hanya menatap tak percaya padanya.
“ tapatnya tidak pernah berani menyatakan perasaannya” tegasnya.
“Dia emang pernah beberapa kali
suka sama cewek tapi satu masalahnya, dia susah mengungkapkannya sampai cewek
yang dia suka itu digebet duluan sama orang lain, haha menyedihkan bukan?” tanyanya
lagi sambil menertawai nasib sepupunya. Aku hanya mengangguk takzim mendengar
penjelasan Cika.
“Terus sampai kapan dia bakalan
kayak gini?” tanyaku. Cika hanya mengangkat bahunya, lalu meneguk jus alpukat
yang di sediakan oleh pelayan.
“sekarang aku tanya kamu. Kamu
suka gak sama dia?” tanya Cika balik. Aku sedikit berfikir, aku juga kurang
tau, karena sejak kenal dia aku hanya seneng aja bisa langsung akrab dan
sharing tentang pelajaran sama dia, aku seneng dia selalu bisa membuat suasana
menjadi seru. Tapi untuk urusan yang jenjangnya lebih tinggi seperti cinta aku
masih belum tau.
“Entahlah Cik, aku juga gak tau.
Kita emang udah kenal lama, aku sudah anggap dia teman. Tapi entahlah,,”
jawabku, “terus gimana kalau dia terus kayak gini, bakalan berabe kalau liburan
kita berantakan hanya gara-gara Aldo gini”
“Biarin aja dulu dia berfikir,
nanti juga mikir sendiri tu anak,, “
“Tapi,,”
“Udah, gak usah tapi . Percaya
deh sama aku, sekarang ayo ajak yang lain, kita main volly di pantai. Jangan
lupa ambil net di kamar ya?” perintah Cika.
Setelah memberi tahu Susi dan
Via, aku bergegas ke kamar mengambil net dan bola volly. Aku dengan susah payah
menenteng tiga bola beserta net yang cukup panjang. Aku agak kewalahan dengan
beban yang kubawa, aku hendak menaruhnya lalu ketiga bola yang tadi ku
samprikan di punggungku terasa tertambil oleh seseorang. Dan saat ku tengok ke
belakang ternyata yang mengambilnya adalah Aldo. Dengan senyum khasnya yang
seperti biasa ia dengan santai melaluiku yang masih terheran dengan sikapnya
yang sekarang kembali normal.
“Aldo tunggu,,” teriakku sambil
mengejarnya dan menyelarsaskan langkahku. “Tadi pagi itu,,” sekarang giliranku
canggung bertanya.
“Maaf ya,,” dengan cepat ia
memotong perkataanku. Aku kembali terheran. Secepat itukah dia merubah
sikapnya? “Mungkin kamu kaget dengan sikapku tadi pagi, tapi sekali lagi aku
minta maaf, jangan kamu ambil hati ya,,” katanya sambil tersenyum. Ini dia Aldo
yang ku kenal, tapi aku masih bingung dengan maksudnya tadi pagi. Jujur aku
merasa digantungkan. Tak jelas, aku harus apa setelah dia bersikap demikian
tadi pagi? Walau pun dia bilang tadi pagi itu hanya candaan, aku tidak rela,
aku memang tak apa, tapi hatiku masih tak rela, ingin ada penjelasan atas semua
ini, dia sudah terlanjur memulai. Tapi apa boleh buat, aku tidak mungkin
memaksanya mengakui bahwa dia punya perasaan terhadapku.
“Mi, kamu gak apa-apa kan soal
yang tadi pagi?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Oh, ya, gak apa-apa kok” jawabku
kikuk. Kenapa aku jadi berharap besar setelah apa yang Aldo lakukan tadi pagi.
Aku hanya menatap punggungnya yang tegap berjalan semakin jauh lalu menghilang
di tikungan kamar. Aldo, kenapa kamu harus bersikap seperti ini, kamu hanya
membuatku bingung.
Keadaan sudah seperti biasa lagi,
Aldo sudah menjadi Aldo yang biasa. Susi sekarang sudah senang bisa bercanda
lagi dengan Aldo sambil asik bermain volly, hanya satu orang yang tidak biasa,
yakni aku. Sejak kejadian itu aku tidak tau harus bersikap seperti apa, Aldo
suda terlanjur memberi sinyal padaku, aku tidak bisa bersikap biasa saja. Aku
yang sekarang menjadi kurang enak saat bersama dengannya.Aku memutuskan untuk
pergi saja dari sana, pergi ke entah kemana kakiku melangkah.
Setelah berjalan selama kurang
lebih 20 menit aku samapi di sebuah pasar yang cukup ramai. Aku tak tau akan
berbuat apa disini, ada banyak macam baju-baju khas bali dan segala pernak
perniknya tapi aku kurang berminat karena moodku yang kurang baik, sayang
sekali, andai suasana tak seperti sekarang mungkin aku akan melahap semua
barang disini. Aku hanya berjalan dengan tak tentu arah seperti anak kecil yang
tersesat mencari kedua orang tuanya.
Selama 10 menit lebih aku hanya
berjalan terus melihat-lihat apa saja yang mungkin akan menarik perhatianku,
karena kurang teliti memerhatikan jalan aku tidak memperhatikan lubang yang
cukup dalam dan aku pun terjerembah didalamnya. Ah, celanaku basar dan kotor,
kakiku terasa nyeri. Dengan perasaan yang semakin tidak baik aku membersihkan
kakiku dengan sapu tangan.
“Kakak nggak apa-apa?” tanya
seorang gadis kecil berusia kurang lebi 6 tahun dengan rambut yang diikat
kuncir dua. “Kalau kakak mau, Ris ajak ke rumah nenek, gak jauh dari sini kok,
kakak mau?” tawarnya polos. Tulus sekali kelihatnya dari matanya. Aku hanya
mengangguk mengiyakan. Kuseret langkahku dengan dibantu gadis keci yang
ternyata bernama Riska tadi.
Tak lebih dari lima menit kami
sudah sampai di sebuah rumah yang bergaya Bali sekali, ada beberapa kolam ikan
dan tanaman hias di halaman rumahnya. Aku masuk bersama gadis kecil tadi.
“Assalamu’alaikum,, nenek, mama”
panggil gadis kecil itu. Aku terperanjah. Dia barusan mengucap salam? Berarti
dia orang islam, tapi dari tadi aku juga tidak mendengarnya memakai logat Bali
saat berbicara, apa mungkin dia juga seorang pelancong sepertiku?
“Wa’alaikumsalam,, kamu dari mana
aja sayang?” timpal seorang wanita berkerudung berumur kurang lebih 40 tahun
yang memiliki wajah yang mirip dengan Riska, dia pasti ibunya. “Ini siapa?”
tanya ibu tadi saat melihatku.
“Ini kak Mia ma, tadi saat Ris
bermain di pasar kak Mia kakinya masuk ke lubang, kasihan ma kaki kakak
berdarah,,” jawab Riska. “Ayo kak masuk, nanti Ris balut lukanya kakak,,”
“Oh ya, ayok masuk nak,,” ibu
tadi mempersilahkanku masuk. Riska membantuku menaiki satu per satu anak tangga
yang tak lebih dari sepuluh anak tangga. Nuansa rumahnya di dalam memang tak
jauh berbeda dari nuansa Bali, hanya saja ada beberapa aksesoris khas agama
islam didalamnya.
Setelah lukaku diobati oleh Riska
aku dipersilahkan untuk ikut makan siang bersama mereka, awalnya aku menolak
tapi mereka malah memaksa, dan aku pun memang merasa lapar setelah berjalan
begitu jauh. Kami makan dalam diam, tak ada satu pun suara.Usai makan aku
diajak ngobrol di ruang tamu, ada aku, Riska, mamanya Riska, serta sepasang suami
sitri yang menginjak usia lanjut yang ku ketahui adalah kakek dan nenek Riska,
dan saat itulah aku tau bahwa mereka adalah keturunan jawa-bali. Kakek Riskalah
yang keturunan Jawa lalu menikahi nenek Riska yang asli orang Bali, lalu nenek
Riska memilih mengikuti agama kakek namun ingin terus tinggal di Bali.
Sedangkan Riska sekeluarga sedang kesini untuk berlibur sama sepertiku.
Kebetulan juga daerah tempat tinggal kami di Bandung berdekatan. Hanya berjarak
beberapa kilo.
“Ma, mas Gagah mana?” tanya Riska.
“Mas Gagah sedang pergi
silaturahmi ke rumah Bibi sayang,” jawab mamanya.
“Oh ya, tante, kek, nek. Mia
kayaknya harus pamit, nanti yang lain bisa khawatir karena tadi pagi Mia pergi
gak bilang”
“Kok cepat sekali, tadinya nenek
sama kakek mau ngajak kamu jalan-jalan melihat perkebunan dibelakang rumah,,”
jawab nenek.
“Makasih sekali kek, nek, tapi
Mia pergi sudah cukup lama, Mia takut yang lain bisa panik nyari Mia” jawabku
sungkan.
“Kalau gitu biar Ris anter cari
bus ya kak,,” tawar Riska. Aku ingin menolak tapi mamanya Riska sudah
menimpali.
“Iya, nanti biar Riska yang anter
kamu sampai depan”
“Coba ada mas Gagah, kan kita
bisa dianterin pake mobil, “ gerutu Riska. Tak lama terdengar suara mobil di
pelataran rumah. “Tu kan, baru aja diomongin orangnya udah nongol” kata Riska
mendengar suara kedatangan mobil itu.
Seorang lelaki dengan postur
tubuh tegap melangkah kedalam rumah dengan berbaju kemeja rapi, dia lelaki yang
gagah seperti namanya.
“Assalamu’alaikum,,” sapanya.
“Wa’alaikumsalam,,” serempak menjawab
salanya. Dia sedikit terkejut melihatku. Wajahnya bertanya-tanya.
“Ini Mia, tadi Riska yang
mengajaknya kesini, kakinya terluka,,” jawab tante seakan tau akan apa yang
dipikirkan anaknya.
“Kamu gak keberatan kan Gagah,
kalau mengantar nak Mia, kakinya masih sakit.” sekarang giliran kakek yang
angkat bicara. Yang ditanya masih agak bingung. “Riska juga akan ikut menemani
kalian,” timpal kakek lagi.
“Iya mas Gagah, bisa ya, ya” kata
Riska memelas. Akhirnya Gagah pun mengangguk tanda setuju. Semua ikut mengantarku
sampai halaman rumah.
“Tante, nek, kek, terimakasih
atas jamuannya. Mia pamit ya”
“Iya, lain kali jangan sungkan
buat mampir ya,,” kata tante.
“Ma, Riska berangkat ya,
Assalamu’alaikum,,”
“Wa’alaikumsalam warahmatullah,,”
Aku duduk di belakang dengan
Riska. Aku kira Gagah itu sosok yang anti terhadap wanita dan tidak akan
mengajakku berbicara sama sekali. Tapi kenyataannya beberapa kali aku ditanyai
tentang beberapa hal. Hanya saja ia tak sering mengahadapkan pandangannya
kearahku. Ditambah dengan adanya Riska yang menambah ramai suasana.
Saat sampai di resort, Cika langsung hendak
memarahiku namun melihat kondisiku dia berubah iba, dan membantuku untuk
berjalan. Aldo terlihat tak begitu senang saat melihat Gagah. Salah sendiri,
batinku.
“Kami harus pulang dulu ya,,”
pamit Gagah. Tapi sepertinya Riska ingin protes, namun melihat anggukan sang
kakak, Riska terpaksa mengiyakan. Riska mendekatiku.
“Kakak jaga diri baik-baik ya,, “
katanya tulus, “nanti kalau sempat Ris akan kesini ditemani mas Gagagh,”
lanjutnya. Gagah hanya tak banyak komentar. “Kalau sempat, kakak juga ke rumah
nenek ya, nanti kit bisa metik sayur bareng di kebun”
“Iya deh, “ jawabku.
“Ya udah, Ris pulang ya kakak.
Assalamu’alaikum,,”
“Wa’alaikumsalam,,”
____
Malam harinya aku jalan-jalan
sendiri di kelapan malan di pantai. Aku memikirkan tentang keluarga Riska, aku
merasa aneh saat bersama mereka. Aku sudah 16 tahun menyandang status
keislaman, namun mengucap salam saja seperti hal yang asing bagiku. Apalagi
shalat, itu pun kalau ingat, kalau nggak ya lupa. Kedua orang tuaku tak pernah
mempersoalkan hal itu semua.
“Ini sudah malam Mi, kenapa masih
di luar?” suara Aldo dari belakang membuatku terperanjah. Aku hanya tersenyum
tipis. dia mensejajarkan dirinya denganku, “Yang tadi siang itu siapa?”
tanyanya. Aku menatapnya, wajahnya cukup tenang, tak seperti kemarin malam.
“Oh, itu Gagah, adiknya yang
menolongku saat aku jatuh di pasar. Memangnya kenapa?” tanyaku menatap dalam
matanya. Dia memalingkan wajahnya ke arah pantai. Dia kembali menghirup oksigen
dalam-dalam. Apa kali ini dia juga akan pergi?
“Aku boleh jujur sama kamu Mi?”
tanyanya. Tapi tanpa menghadap kearahku, dia memandang lurus kearah laut. “Aku
mulai merasakan getar cinta padamu, “ nampak satu bulir keringat menyembul dari
pori-pori wajahnya. “Aku takut sekarang kamu akan diambil oleh cowok lain, jadi
Mi,,” katanya mulai menatap mataku dalam. “Aku berharap kamu bisa mengerti akan
perasaanku. aku menyayangimu melebihi rasa sayang sebatas teman Mi” matanya
terlihat berbinar diterpa sinar rembulan.
“Apa kamu tulus?” tanyaku. Dia
mengangguk mantap.
“Aku tau kalau kamu masih bingung
dengan perasaanmu, tapi aku akan menunggu sampai kau pastikan perasaanmu. Tapi
selama itu apa kamu mau, menjalin status yang lebih dari sekedar teman
denganku?” aku sungguh bingung. Bukan karena aku tak suka pada Aldo. Apa lagi
yang aku pikirkan? Bukankak aku sendiri yang ingin Aldo menjelaskan maksudnya
yang waktu itu. Apa-apaan aku ini, Aldo memberanikan diri untuk pertama kalinya
mengungkapkan perasaannya padaku.
“B, baiklah. “ jawabku. Aldo
tersenyum lebar.
“Ehem, yang udah jadian,, ciye...
Cuit,, cuitt!!” Cika dan yang lain ternyata sedari tadi berada tak jauh dari
keberadaan kami. “Kalian lama sekali sih prosesnya, kami kedinnginan tau
menunggu kalian. Untung aku sudah merekam semua adegan yang romantis tadi,,”
celetuk Cika. Aku langsung melotot ke arahnya hendak mengambil kamera itu, tapi
sial aku lupa dengan kakiku. Aku terjatuh, namun tubuhku belum sempat menyentuh
tanah karena tangan Aldo langsung menahan dan langsung menggendongku menuju
resort. Cika, Susi, dan Via terus berdehem dan menggoda kami, tapi peduli amat,
walaupun sekarang jantunngku terpompa kencang aku tidak bisa berbuat apa-apa,
kakiku terasa sakit sekali karena cuaca yang cukup dingin di luar.
Tak bisa dipungkiri bahwa aku
merasa nyaman saat Aldo menggendongku, pipiku terasa tak hendak berhenti
bersemu. Alangkah indahnya merasakn cinta pada usia remaja, ah, masa remaja
memang masa yang indah. Ya, atau begitulah kata kita yang sedang merasakan
indahnya cinta, entah bagaimana dengan mereka yang sedang dilanda galau.
Tiga hari berlalu setelah
kejadian Aldo menyatakan perasaannya padaku. Kami menikmati hari-hari di Bali
dengan pergi ke pusat pariwissata yang cukup tekenal disini. Kami melakukan
segala hal, belanja, diving, dan lain-lain. Kami seperti biasa selalu berlima,
Aldo seperti biasa selalu membuat suasa menjadi lebih asik. Hanya saja bedanya,
sekarang dia lebih memberi perhatian lebih padaku, tentu saja karena aku
sekaraang berstatus pacarnya, hehe.
Hari ini, sepulang dari pantai
kami mampir dulu di pasar tradisional dekat resort, tepat di pasar tempatku
terjatuh beberapa hari yang lalu. Aku jadi teringat akan Riska, aku ingin
sekali bertemu denganny sebelum balik ke Bandung. Ah, kenapa aku tidak belikan
saja dia sesuatu sebagai tanda terimakasih sekaligus kenang-kenaangan.
“Do, temenin aku kesana bentar,,”
pintaku menunjuk pedagang yang menjual pernak pernik yang terbuat dari
bahan-bahan kayu. Aldo yang sedari tadi tak berhenti menggenggam tanganku
langsung kutarik kearah pedagang tadi. Aku memlilah dan memilih sesuatu yang
kira-kira Riska suka.
“Yang ini kayaknya cocok deh buat
kamu,,” kata Aldo memperlihatkan gelang kayu yang terlihat agak mencolok.
“Aku bukan mau beli untuk aku
sendiri, tapi buat Riska. Kamu masih ingat kan anak kecil yang nganterin aku
waktu itu?” tanyaku. Aldo hanya mengangguk takzim sambil ikut mencari.
“Yang ini gimana Do,,” kataku
sambil memperlihatkan sepasang ikat rambut dengan tambahan boneka lucu yang terbuat
dari kayu juga. Aku teringat Riska yang sering mengkuncir rambutnya.
“Bagus,,”
“Kamu mau gak nanti anterin aku
kerumahnya, aku pengen ngucapin terimaksih sekalian pamit sama dia,,” pintaku
pada Aldo.
“Sekarang?” tanyanya.
“Iya, nanti setelah aku beli
beberapa buah baju atau apa kek buat tante, nenek dan kakek.” kataku. Aku jadi
teringat dengan Gagah, mau aku belikan apa ya dia.
Selesai dari pasar kami hendak
mencari kendaraan, kami sengaja tidak menyuruh sopir untuk mengantar kami tadi
pagi. Niatnya sih pengen jalan-jalan sekalian haking, taunya Susi udah capek,
terpaksa rencana kita atur ulang.
“Kak Mia,,!!!” teriak gadis kecil
yang menyembulkan kepalanya dari dalam mobil avanza yang baru saja berhenti di
depan kami.
“Riska?”
“Kakak mau kemana? Ayo ikut ke
rumah, kakek bilang pengen ngajak kakak berkebun,,” aku berpikir sejenak. Aku
menatap kearah Aldo dan yang lain, meminta pendapat mereka.
“iyain aja Mi, kebetulan aku juga
udah capek jalan nih,,” timpal Susi.
“Ayo kakak, ajak juga kakak-kakak
ini,,” paksa Riska. Aku menatap kearah Gagah yang berada di depan stir mobil.
Dia hanya mengangguk sambil tersenyum tak keberatan. Aku pun mengiyakan, kami
berempat duduk di belakang, sedangkan Aldo menemani Riska di depan.
Diperjalanan Aldo banyak ngobrol dan bercanda dengan Gagah dan Riska. Riska
sepertinya juga menyukai Aldo, aku sudah bis tebak itu, Aldo memang memiliki
perangai yang baik dan cukup humoris, dia cepat mengakrabkan diri dengan
lingkungannya.
“Nanti kalau udah nyampe di
Bandung, mas Aldo jangan lupa sering main ke rumah Ris ya, nanti ajak kak Mia
juga” kata Riska riang. Aldo hanya tersenyum sambil mengelus rambut Riska
sayang.
Saat sampai dirumah neneknya
Riska ternyata kami sudah disambut oleh nenek
sekeluarga. Mereka ternyata memang sudah mempersiapkannya dan juga sudah
membuat makanan untuk kami.
“Jadi ngerepotin tante,,” ujarku
tak enak.
“Biar, tante sudah lama nggak
masak banyak. Kebetulan semau hidangan ini juga hasil dari perkebunannya kakek
dibelakang rumah.” jawab tante, “Ayo, yang lain nggak usah sungkan ya, nggak
baik nolak rezeki,”
Setelah makan, aku dan yang lain
membantu tante beres-beres, itu pun harus perlu memaksa tante agar mau dibantu.
Katanya, kami ini tamu, dan tamu itu raja. tapi mana mungkin kami mau kalah,
he. Aldo dan Gagah diajak kakek bantu metik sayur lagi dibelakang, Riska juga
ikut, sepertinya dia benar--benar suka pada Aldo, aku sudah punya saingan
ternyata.
Selelsai membantu tante, aku dan
Cika ikut membantu kakek di belakang sekalian melihat-lihat perkebunan kakek.
Susi dan Via pengen istirahat katanya. Tapi jangan kira mereka akan tenang
istirahatnya, karena di dalam masih ada nenek yang sedang merajut, nenek
mengajak mereka ngobrol panjang lebar. Kebun kakek cukup luas, tadinya seperti
ingin dibuat kamar, karena masih ada bekas bata yang tak teratur.
Kakek terlihat asik sekali
mencabut singkong yang sudah siap panen, karena terlalu besar akhirnya Aldo
membantu kakek yang kewalahan. Aku dan Cika membantu memetik sayur saja, yang
tak memerlukan tenaga ekstra.
Langit terlihat mendung, kami
berniat ingin pamit. Tapi belum juga kesamapaian hujan sudah duluan turun
dengan lebatnya. Samapi malem pula. Kami tak tau harus bagaimana, mobil Gagah
tadi di pinjem sama pamannya buat nganter bibinya ke Denpasar.
“Kalian menginap saja untuk malam
ini, kami masih punya banyak kamar tamu” kata nenek. Aku hendak menolak, “Nggak
usah merasa nggak enak, nenek kan memang niatnya mau ajak kalian buat nginep.
Yah, sekarang apa boleh buat, kalian mana bisa pulang hujan begini,,” jelas
nenek. Benar juga memang kata nenek. Apa boleh buat, udah malem juga.
Shalat magrib dan isha kami
lakukan berjamaah. Gagah yang mengimami. Terakhir kali aku shalat berjamaah
saat aku masih kecil dulu, saat masih mengaji di mushola dekat rumah. Aku
merasakan kedamaian bersama dengan keluarga ini, bukan karena keluargaku bukan
keluarga yang baik dan jarang berkumpul seperti ini, bukan. Hanya saja untuk
persoalan agama mereka kurang peduli, ada rasa sejuk dihatiku tatkala melihat
shaf-shaf shalat, bersalaman, mengaji. 10 tahun yang lalu, terakhir kali aku
merasakan hal ini,, tenang, damai, entahlah yang pasti aku merasa hatiku
seperti mulai mendapat formula yang baru.
Selesai shalat isha berjamaah,
kami tidur. Aldo diajak tidur dengan Gagah. Kami berempat tidur di kamar tamu,
cukup luas dan nyaman.
Tengah malam aku terbangun oleh
suara petir yang menyambar disertai kilat. Aku ingin sekali pergi ke kamar
kecil. Walau agak takut, aku memberanikan diri pergi karena Susi tak mau
dibangunkan sama sekali. aku membawa lampu sorot kecil seadanya. Jarak kamar
mandi dengan kamar-kamar agak jauh. Ada dua buah kamar mandi, salah satu kamar
mandi itu terlihat lampu penerangnya bermasalah sehingga terlihat agak gelap.
Terdengar suara pintu dibuka di
kamar mandi sebelah yang tak berlampu itu, aku mencoba menyingkirkan perasaan
takut. Itu hanya suara angin Mia,, batinku. Dengan perlahan aku membuka pintu
kamar mandi dan melihat ke arah sekeliling. Tu kan nggak ada apa-apa. Batinku
lagi. Seketika itu pintu kamar mandi itu
terbuka dan menampakan sosok yang hitam. Aku langsung berteriak ketakutan.
“AAARGGGHH!!” aku langsung
terduduk. Seketika itu terlihat lampu menerangi wajahku.
“Eh, ini aku Gagah,,” aku
berhenti berteriak dan mengahadapkan wajahku kearah sosok yang tadi yang
ternyata adalah Gagah. Ah. Leganya, aku menarik nafas dalam. “Kamu ngapain
malam-malam disini?” tanyanya.
“Aku pengen pipis tadi. Lah, kamu
sendiri ngapain?” tanyaku balik. Ia sedikit berfikir.
“Aku,, ya sama juga kayak kamu.”
jawabnya. Aku hanya mengangguk. “Silahkan, kamu duluan,,” katanya
mempersilahkanku unutk jalan duluan. Aku pun menurutuinya lalu berjalan menuju
kamar. Gagah mengikuti dari belakang dan suara kakinya tak terdengar lagi saat
melewati kamarnya. Aku kembali ke kamar, namun aku tidak bisa memejamkan mata
sama sekali. Tenggorokanku terasa kering, aku melangkahkan kaki menuju ruang
makan, menenggak beberapa teguk air mineral.
saat hendak balik ke kamar aku
mendegar lirih suara dari ruang tempat kita shalat yadi malam. Aku mengintip
dari luar, ternyata Gagah. Pantes tadi wajahnya terlihat basah, ternyata dia
mau shalat malam. Batinku. Karena asik memperhatikannya aku tak sadar kalau ia
sudah memalingkan wajah kearahku, aku sedikit kaget, dia mengerutkan dahinya.
“Kamu sedang apa?” tanyanya,, aku
jadi bingung sendiri.
“Aku boleh ikut shalat?” jawabku
cepat. Aduh, apa boleh buat itu perkataan pertama yang meluncur dari mulutku.
Gagah masih terlihat kaget.
“Mm, boleh kok. Kamu udah wudlu?”
tanyanya lagi. Aku menggeleng, “Ya sudah, kamu wudlu saja dulu, nanti biar kita
shalatnya jamaah.” terangnya. Aku mengangguk lalu bergegas ke kamar mandi.
Usai mengambil wudlu aku
mengikuti Gagah shalat malam jamaah, walau awalnya aku meminta karena terpaksa
tapi hatiku merasakan kembali sensasi itu, sensasi yang tak dapat dijelaskan.
Sensasi yang membuat hatiku seperti mendapat isi ulangnya kembali. Ditengah
derai hujan yang menghujam bumi, aku menikmati setiap sujud-sujduku, terasa
lebih bermakna, lebih nikmat dan lebih tenang. Selesai shalat malam, Gagah
mempersilahkan aku ke kamar jika aku hendak tidur lagi.
Pagi harinya setelah selesai
shalat subuh jamaah, seperti biasa kakek sudah berada di kebun bersama Gagah,
kami membaantu tante di dapur. Tapi aku belum melihat kemana perginya Aldo.
“Cik, Aldo mana?” tanyaku pada Cika
yang sedang memasak sayur bening.
“Tadi Riska ngajak dia pergi ke
pasar, sekalian beli bumbu dapur” jelas Cika. Makin akrab saja mereka berdua.
“Mia, bisa tolong tante ambilin
gunting di kamarnya Gagah, “ pinta nenek.
“Bisa nek,,” jawabku lalu
bergegas ke kamarnya Gagah. Kamar yang cukup rapi, dengan lemari baju yang
berukuran sedang dan ada rak buku di dekat lemari itu, ada begitu banyak buku
disana, aku penasarn lalu melihat-lihat buku. Mayoritas bukunya bertemakan
islami, beberapa tentang bisnis dan politik juga. Aku membaca beberapa buku
yang membuatku tertarik. Hanya sedikit saja sebelum Gagah datang
menngagetkanku.
“Ah, maaf aku lancang. Tadi nenek
menyuruhku mengambil gunting, dimana ya?’ tanyaku gugup.
“Ini! “ katanya menyerahkan
gunting serta , buku? Aku menatapnya yang sekarang tengah tersenyum. Aku
mengerutkan dahi. “Ini buku yang mau ku kasih ke ibu, tapi ternyata ibu sudah
punya. Jika kamu mau, kamu boleh mengambilnya,,”
“Aku mau kok,” jawabku cepat. Dia
tertawa kecil, tampan sekali. Aku menggeleng keras.
“Kamu mau kan?” tanya Gagah lagi.
“oh ya,ya makasih. Mm, sebaiknya
aku pergi,,” kataku langsung meninggalkan kamar Gagah. Apa-apaan kamu Mi, Gagah
itu terlalu istimewa untuk kamu miliki. Dia alim, baik, sedang kamu? Lagian
Aldo kamu mau kemanain, mikir dong Mi. Aku menasehati diriku dalam hati.
____
Siangnya Gagah mengantar kami
kembali ke resort. Besok rencananya kami akan kembali ke Bandung. Riska
merengek minta Aldo tinggal untuk beberapa hari, namun Gagah berhasil
membujuknya dengan imbalan dia akan membawanya mengunjungi Aldo nanti setelah
sampai di Bandung. Aku tak lupa memberi bingkisan yang sempat kubelikan waktu
itu, tante kuhadiahi sebuah baju, tadinya hendak membelikan gamis atau
kerudung, tapi tidak ada toko yang menyediakan itu di pasar itu, akhirnya aku
memilih baju yang berlengan panjang dan berwarna kalem. Nenek ku belikan
peralatan merajut lengkap, kakek aku belikan baju dan sabit, he.
“Supaya kakek tambah semangat
bekerja di kebun,,” tambahku, kakek tertawa kecil dan menghusap kepalaku
sayang.
Riska berteriak riang saat kuberi
sepasang ikat rambut serta boneka beruang. Pada awalnya aku bingung mau belikan
Gagah apa, tapi aku ingat saat masuk dikamarnya itu, aku berinisiatif untuk
membelikannya kuas lengkap dengan alat melukis. Saat dikamarnya aku melihat ada
kaligrafi yang belum terselesaikan, sepertinya kaligrafi yang ada dikamarnya ia
sendiri yang membuat. Dia hanya tersenyum simpul atas pemberianku.
_____
Tepat pukul 09.00 kapal menuju
Bandung lepas landas di bandara Ngurah Rai Bali. Aku duduk bersama Aldo, aku
meriang tak tertangguhkan dan Cika meminta tolong pada Aldo untuk menjagaku.
Aldo membujukku untuk memberi tahu pramugari supaya pesawat bisa melakukan
pendaratan darurat, tapi aku dengan tenaga yang tersisa menggeleng lemah, aku
takut membuat penumpang lain terganggu.
Akhirnya Aldo tak bisa berbuat
apa-apa, dia hanya bisa menghela nafas panjang. Melihatku yang semakin
menggigil ia tak tega, lalu membuka jaketnya lalu menyelimuti tubuhku. Aldo
menaruh kepalaku di pundaknya lalu menggosok-gosokkan tangannya pada
punggungku, mencoba meringankan kedinginan yang melanda tubuhku.
“Kenapa kamu keras kepala sekali
sih Mia,” ujar Aldo, suaranya tertahan dan sedikit bergetar, dia menyembunyikan
kecemasannya dengan memarahiku, “Ya Tuhan, kapan pesawat ini akan mendarat!! “
kecemasan semakin menyeruak terlihat di wajahnya, aku menenangkannya dengan
menggenggam tangannya erat, lalu menatap matanya dan mengangguk seakan berkata
semuanya baik-baik saja. Kamu begitu tulus Do, terimakasih. Batinku. Dia
memalingkan wajahnya, tak mampu membendung butiran cairan bening yang
menggertak ingin keluar.
Aku merasa semuanya terlihat
buram dan kepalaku terasa berat, aku meletakkan kepalaku di pundak Aldo dan
semua terasa gelap. Saat bangun, aku sudah berada di sebuah ruangan yang cukup
luas dengan banyak ranjang. Kepalaku masih sedikit pusing, saat hendak bangun
aku limbung dan terjatuh ke lantai.
“Astaga Mia,,” Aldo membuang
plastik yang sedang dipegangnya, lalu mengangkatku ke ranjang, “Kamu masih pusing?”
tanyanya cemas lalu memberikan air mineral padaku. Aku menggeleng.
“Kita dimana Do?” tanyaku,
suaraku agak serak.
“Kita masih di Bandara, kamu
tidak sadarkan diri saat turun dari pesawat. Dan tim kesehatan membawamu ke
ruang kesehatan,” papar Aldo, “sebaiknya kamu mau makan dulu, nanti setelah ini
kita bisa bawa kamu pulang,,” terangnya.
“Yang lain mana?” tanyaku melihat
tidak ada sinyal ketiga sahabatku itu.
“Oh, tadi setelah membawamu
kesini mereka mengurus barang-barang bawaan, sebentar lagi juga pasti datang.”
Butuh waktu lama untuk membujuk
petugas agar mengizinkan kami pulang, mereka bersih keras ingin membawaku ke
rumah sakit terdekat, tapi aku keberatan. Dengan terpaksa mereka mengiyakan.
Dua hari setelah itu demamku tak
kunjung turun lalu mama membawaku ke rumah sakit terdekar untuk di opname.
Awalnya aku tak mau tapi mama memaksa, aku tak dapat berkata apa-apa. Setiap
hari Cika, Susi, dan Via selalu menjengukku, mereka membawa kue, tapi aku
larang mereka. Aku hanya ingin mereka memainkan alat musik. Kesunyian di rumah
sakit membuatku merasa tidak sembuh-sembuh. Karena jenuh lalu aku menyuru
sahabat-sahabatku memainkan beberaaa lagu setiap hari.
Tak terkecuali dengan Aldo,
lelaki yang sudah satu dua minggu menjadi kekasihku itu tak kalah perhatian,
dia selalu memberikan perhatiannya. Mulai dengan menyuapiku, memberi motivasi,
membuat guyonan yang mengocok perut. Yang pasti aku senang dengan adanya dia di
sisiku.
Pagi ini, kami mendapatkan hasil
pengumuman kelulusan. Dengan perasaan yang campur aduk aku menanti surat dari
sekolah. Cika yang pertama datant dengan membawa dua buah surat. Aku tersenyum
getir, antara senang dan takut. Cika menunjukan raut wajah datar dan ditekuk,
aku semakin takut.
“Kita LULUS,,,!!” teriaknya
memelukku. Aku menagis senang didalam pelukannya. Cika mengabarkan bahwa yang
lain termasuk Aldo juga demikian. Mama dan papa memelukku senang, memberi
selamt padaku. Kak Bagas masih di luar kota sedang mengurus proyeknya, aku
sengaja melarang mama untuk tidak memberitahunya dulu. Aku tahu walau mas Bagas
sering tidak akur denganku, namun jika tahu aku sakit dia tidak akan memikirkan
sedang apa dan dimana. Jadi aku rahasiakan saja sampai tugasnya terselesaikan
dengan baik.
Tak lama kemudian pintu kamar VIP di ketuk.
Itu pasti Aldo. Mama membukakan pintu, dan tampaklah sosok Gagah. Aku terkejut,
sejak kapan dia tau aku di rumah sakit? Dari belakangnya melangkah tante yang
masuk dengan pakaian yang waktu itu kubelikan untuknya.
“Kak Mia,,” gadis kecil berkuncir
beruang itu berterik dan berlari kearahku dengan air mata yang menggenang di
pipi mungilnya, dia naik ke kursi lalu memelukku erat. “Kakak sakit apa? Kenapa
nggak bilang sama Ris,,hiks” ujarnya sesenggukan.
“Maafin kakak ya sayang. Kak Mia
nggak apa-apa kok “ ujarku menenangkannya.
“Maaf ya tante baru tahu, itu pun
kalau nggak Ris yang merengek pengen ketemu kamu, kami mungkin tidak akan tahu
kamu sakit,” tante mendekat kearahku setelah tadi bersalaman dengan mama dan
papa sebentar. Aku tersenyum manis lalu menyalami tante.
“Makasi ya tante udah repot-repot
jenguk Mia,” ungkapku. Riska yang tadi duduk di kasurku digendong oleh Gagah.
“Kamu sakit apa Mi?” tanya Gagah.
“Kata dokter sih, anemia,”
jawabku.
“Semoga kamu cepat sembuh,,”
katanya, aku mengangguk dan tersenyum.
“Iya, kakak nggak boleh lama-lama
ya sakitnya,,” sahut Riska yang masih berada di gendongan Gagah, tangisnya
sudah reda, hanya sesekali ia masih sesenggukan. Papa dan Mama mengajak tante
ngobrol diluar. Cika menemaniku di dalam.
“Mi, Gagah itu seperti namanya
ya,,” tiba-tiba Cika nyeletuk. Aku menyernyitkan dahi. “Iya, bukan? Dia gagah
seperti namanya, ditambah lagi dia alim, tutur katanya lembut. “ mata Cika
terliat berbinar-binar menceritakan tentang Gagah. Aku belum tau ternyata
selama ini ia menaruh perasaan suka pada Gagah. Aku akui, siapa yang tidak akan
terpikat dengan karisma seorang Gagah, yah kecuali Susi dan Via tentunya,
mereka masih lebih mencintai piano dan biolanya, hehe. Kalau aku? Aku kan sudah
ada Aldo, meski terkadang saat tidak ada Aldo aku teringat selintas kebersamaan
kami di Bali, tapi bisa ku pastikan bukan karena cinta, hanya karena dengan
mengenalnya aku bisa menjaga shalatku dengan baik sekarang.
“Sejak kapan Cik,,??” selidikku
sambil nyengir kuda. Dia terlihat agak malu-malu.
“Sejak kapan ya,, sejak pertama
aku melihatnya, melihat tatapan yang sayu dan menentramkan, melihat pesonanya
saat mengimami kita shalat. “
“Ciye, ciye, gitaris kita sedang
jatuh cinta ni ceritanya, pake acara puitis-puitis segala lagi,,” aku
menggodanya.
“Emang salah ya? Emang sendirian
kamu apa yang pengen punya pacar” katanya cemberut. Aku tertawa kecil.
“Becanda kok sayang,,” kataku
memelukknya erat. “Cinta itu fitrahnya manusia Cik,,” kataku mengutip kata-kata
dari buku yang Gagah berikan waktu itu yang berjudul. ‘wanita solehah’.
“Tapi kamu jangan sekali-kali
bilang sama yang lain ya,, plis!!” pintanya sembari melepas pelukanku. Aku
mengangguk. “ Terutama sama Aldo, kamu tau sendiri kan dia suka becanda, nanti
kalau dia becanda-canda di depan Gagah soal aku yang suka sama dia berabe
urusannya,” paparnya, aku hanya mengiyakan sembari tersenyum manis kepadanya.
Malamnya Riska merengek tak mau
pulang, ia ingin tetap menemaniku disini, tapi tante tidak bisa menemaninya
disini, “papanya Riska tidak ada yang masakin,” kata tante. Akhirnya Gagahlah
yang harus bertugas menjaganya selama disini, mendengar itu Cika ikut menginap
disini. Mama terlihat agak capek, jadi ku pinta mama agar pulang istirahat.
“Mama sama papa pulang aja,
istirahat, nanti biar Gagah, Cika dan Riska yang nemenin Mia disini. Sebentar
lagi juga Aldo dateng,,” mama menolak, tapi papa meyakinkan, mama pun
mengiyakan.
Beberapa menit berselang, Aldo,
Susi dan Via datang, Riska senang bukan main melihat pangeran kodoknya dateng.
Tanpa nasa-basi Riskalangsung berhambur ke gendongan Aldo. Malamnya Susi, Via
dan Cika ku minta memainkan musik, saat itu Gagah meminta izin untuk keluar.
Kami menghabiskan malam dengan mengobrol. Aldo, asik dengan Riska, beginilah
jika ada Riska aku pasti tidak dapat jatah perhatian dari Aldo.
Tengah malam semua tertidur,
Susi, Cika dan Via tertidur di ssofa, sedang Aldo tertidur di lantai dengan
memeluk Riska. Gagah belum kembali setelah pergi tadi, sepertinya ia pergi ke
musholla rumah sakit untuk menunaikan shalat. Aku mengambil buku pemberian
Gagah yang belum selesai kubaca. Lembar demi lembar ku baca dengan seksama.
Disana ada beberapa hal yang menyinggung tentang cara berpakaian dan cara
bergaul seorang muslimah. Berhijab salah satunya, tertulis bahwa perintah itu
adalah wajib atas setiap wanita muslimah. Wajib, bukan sunah ataupun makruh.
Begitulah kurang lebih bunyinya. Aku terpekur sebentar, saampai terdengar suara
pintu yang dibuka, oleh siapa lagi kalau bukan Gagah.
“Assalamu’alaikum,,” sapanya
dengan salam.
“Wa’alaikumsalam,,” jawabku
sambil menutup buku yang kubaca. Dia mendekat kearah Riska lalu memperbaiki
selimut yang menutup tubuhnya. Aku masih ragu dengan materi di dalam buku tadi
daan berniat menanyakannya pada Gagah.
“Gah, boleh nanya nggak?” tanyaku
agak ragu, ia menoleh lalu mengangguk.
“Boleh, memangnya mau nanya apa?”
jawabnya.
“Mm, gini. Ini soal hijab. Wajib
itu berarti harus kan? Terus bagaimana dengan mereka yang merasa bahwa
berjilbab tanpa diikuti oleh hati yang bersih adalah sia-sia? Bukankah
membersihkan hati itu jauh lebi penting?” tanyaku. Dia tersenyum lalu
mempernaiki duduknya.
“Begini,,” katanya memulai.
“Wanita itu ibarat permen, jika aku berikan kamu permen yang masih terbungkus
dengan rapi dengan permen tanpa bungkus. Lalu aku buang kedua permen itu di tanah,
kamu akan memilih permen yang mana?” tanyanya.
“Tentu saja yang terbungkus
dengan rapi,” jawabku tegas.
“Begitu pula dengan wanita
muslimah. Namun, bukan berarti semua wanita yang memakai hijab akan otomatis
bersih hatinya sepenuhnya. Kita hanya manusia biasa, yang tak luput dari salah
dan khilaf. Tapi setidaknya, mereka mau menjalankan perintah Allah swt, mereka
mau ikhtiar untuk bisa lebih dekat dengan-Nya.” papar Gagah dengan terang dan
jelas. Aku mengangguk takzim mendengar penjelasannya yang menurutku sangat
menarik. Wawasan agamannya begitu luas. Entah kenapa setiap kali bersama dengan
Gagah, aku merasakan ketenangan, bukan berarti setiap kali bersama Aldo aku
tidak tenang, bukan. Hanya saja tenang ini ada di dalam lubuk hati, tenang yang
bukan hanya untuk saat ini saja, inikah yang disebut dengan kebahagiaan yang
hakiki? Tidak bisa, aku tidak boleh suka sama Gagah. Ya Allah, aku nggak boleh
seperti ini, jika aku memaksakan egoku aku akan menyakiti dua orang yang sangat
aku sayangi.
“Mi, kok bengong?” tegur Gagah
membuyarkan lamunanku.
“Ah, ya, apa, kamu bilang apa
tadi?” tanyaku gagap.
“Ini kan sudah malam, sebaiknya
kamu cepat tidur. Bukankah suster berpesan agar kamu tidur jangan larut malam,”
katanya mengingatkan. Aku yang masih terbawa lamunanku tadi hanya mengannggu
lalu merebahkan tubuhku lalu mencoba untuk memejamkan mata, walau sesungguhnya
sulit rasanya. Aku menengok sejenak kearah Gagah yang tengah tertidur, wajahnya
sungguh menawan. Aku teringat lagi, lalu memalingkan wajah, dan mencoba sekuat
tenaga mengusir jejak-jejak Gagah dalam benakku. Aku menatap wajah Aldo yang
tidur di dekat Riska. Teringat akan kasih sayangnya yang tulus, aku jadi ingin
marah pada diriku sendiri. Aku berharap saat aku bangun besok, aku bisa
melupakan semua ini lebih cepat, agar perasaanku ini tidak berbuah cinta.
___
Matahari sudah terbit di upuk timur. Tadi pagi selesai
shalat subuh berjamaah, Aldo dan Gagah keluar, Susi, Via dan Cika menemaniku
disini. Nanti siang dokter akan melakukan transfusi darah agar aku cepat pulih.
Dan mungkin besok lusa aku bisa segera pulang. Baru kali ini aku sakit sampai
separah ini. Tapi terkadang sesekali saat aku terbangun ditengah malam karena
rasa pusing yang sangat mengganggu, aku sering terpikir kalau aku akan mati,
takut sesekali menyeruak di daasar jiwaku, aku pun sempat bertanya, kalau nanti
aku mati, amal apa yang akan menjadi bekalku, yang akan menjadi temanku di
dalam kubur. Perasaan-perasaan seperti itu yang selalu menggangguku.
Aku teringat Allah, 16 tahun lamanya aku meninggalkan-Mu,
membuat-Mu menunggu akan kesadaran seperti ini. Maafkan hamba-Mu ini Ya Allah,
jarang sekali aku mensyukuri nikmat yang Kau beri, sampai Kau menegurku dengan
penyakit ini. Ternyata begitu besar nikmat sehat yang selama 16 tahun ini Kau berikan.
Saking seringnya Kau memberikan nikmat itu setiap detiknya, aku sampai tak
menyadari sampai sekarang Engkau mengambil satu dari begitu banyak nikmat-Mu Ya
Rabb, maaf.
Selesai transfusi darah, ternyata Dokter membolehkan
untuk ku pulang lebih cepat dengan syarat, jika aku mengalami pusing lagi, aku
harus cepat ke Rumah sakit. Kata dokter perkiraannya ternyata melenceng
sedikit. Aku memerlukan lebih sedikit kantung darah dari yang diperkirakan,
Alhamdulillah.
Siangnya aku Mama dan Papa mengemas barang-barang yang
akan dibawa pulang. Semua ada disana, Aldo, ketiga sahabatku, Gagah dan Riska
pun masih disana. Setelah membereskan perbendaharaan, kami bergegas pulang. Ah,
lega rasanya aku bisa menghitup udara segar, setelah sekian lama mendekam di
dalam ruang rawat rumah sakit.
Gagah dan Riska tidaak mengantar sampai rumah, katanya
dia ada jadwal mengajar ngaji di musola dekat rumahnya. Riska yang sedang
tertidur tidak bisa dengan mudaah dibawa pulang, tentunya tanpa merengek
meminta Aldo ikut, he.
“Cik, nih aku kasih pinjem buku, kalau kamu memang ingin
mendapatkan hatinya Gagah. Wanita yang model begini yang lelaki seperti Gagah
idam-idamkan,” kataku menunjuk gambar wanita yang memakai hijab di cover buku
yang Gagah kasih ke aku. Mata Cikaberbinar lalu mengambil buku yang kusodorkan
padanya.
“Benarkah?” tanyanya senang, aku mengangguk mantap.
Sesampai di rumah dia tidak tunggu lama, Cika langsung dengan sigap membuka dan
membaca buku itu, dia seperti orang yang kelaparan lalu disodorkan makanan
lezat.
Besoknya Cika datang ke rumah bersama Aldo. “Kamu sudah
merasa baikan?” tanya Aldo saambil memberikan bingkisan yang berisi cokelat
kesukaanku. Aku tersenyum lalu mengambilnya. Mas Bagas sudah pulang kemarin,
dia sangat marah karena aku tidak memberitahukan bahwa aku telah dirawat di
rumah sakit cukup lama, aku menggodanya dengan berkata bahwa dia ternyata
sungguh menyayangiku. Lalu dengan cepat pula ia berkata tidak peduli, sok acuh.
Aldo, berbincang sebentar dengan mas Bagas. Cika
menariklenganku lalu membawaku ke luar. “Kamu bisa bantuin aku nggak?”
tanyanya.
“Bantuan apa?” tanyaku penasaran. Dia mengeluarkan buku
yang kemarin ku kasih pinjem.
“Ini,,” katnay menunjuk gambar di cover buku itu, “Antar
aku untuk membeli kerudung ya, pliss!!” pintanya.
“Kamu serius?” tanyaku tak percaya, ia bisa secepat itu
ingin berhijab?
“Iya, bisa ya, mumpung Aldo lagi ngobrol sama mas mu,,”
katanya memelas. Aku menghela nafas lalu mengangguk. Dia tersenyum manis. Aku
minta izin pada mama untuk pergi sebentar. Mama meniizinkan, Aldo menatap
kearahku daan aku hanya mengangguk dan tersenyum.
Kami samapi di toko baju yang tak jauh dari rumah.
Sekarang sedang trend baju muslimah, jadi tidak sulit untuk menemukan baju-baju
dengan beragam motif dan bentuk. Kami memilih dan memilah sesuai selera. Karena
sudah terlanjur mengantar Cika, aku jadi berinisiatif untuk membeli juga, siapa
tau nanti dengan berjalannya waktu aku bisa istiqomah memakai hijab. Cika
membeli cukup banyak kerudung serta baju-baju berlengan panjang serta rok, Cika
juga membeli sebuah gamis yang cantik berwarna biru. Aku juga membeli baju dan
kerudung tapi hanya beberapa buah saja.
“Ayok pulang!” ajak Cika semangat.
“Emangnya kamu nggak takut digodain Aldo nanti kalau
lihat kamu membeli kerudung?” tanyaku.
“Oh iya, ya. Tapi tak apalah, walau pun sekarang aku
mencba menutupi, besok juga bakalan ketahuan kan? Aku sudah mantap ingin pakai
hijab Mi,”
“Karena Gagah?”
“Bagaimana ya, bisa dibilang begitu, tapi kalau begitu
aku kan nggak ikhlas namanya. Yah, walau tidak sepenuhnya karena Agama, tapi
aku mengerti banget arti dari kata wajib yang ditegaskan di dalam buku itu”
tuturnya. Aku kembali merenung, sebaiknya apa yang aku lakukan sekarang? Aku
masih belum sanggup di tanyai oleh mama, papa dan mas Bagas. Tapi buat apa aku
malu kepada orang lain toh yang akan aku lakukan adalah perintah Allah.
Perkataan Gagah terngiang ditelingaku. ‘Tapi setidaknya, mereka mau
menjalankan perintah Allah swt, mereka mau ikhtiar untuk bisa lebih dekat
dengan-Nya.’ aku lalu bertekad untk berhijab mulai saat itu.
“kalian habis beli apa?” tanya mas Bagas saat kami baru
pulang membawa bungkusan plastik yang cukup banyak.
“Beli baju,” jawabku, “Mas mau baju cewek?” tanyaku.
“Ih, ogah.” jawabnya mengibaskan kedua tangannnya
diudara.
Setelah menaruh baju yang baru kubeli tadi di kamar aku
menemui Aldo dan yang lain di bawah. Aku membantu Mama membawa beberapa camilan
dam minuman ke ruang tamu. Kami ngobrol
seputar rencana kuliah.
“Nak Aldo mau melanjutkan kuliah dimana?” tanya Mama pada
Aldo. Aldo menatapku, aku tau apa maksudnya, karena ia sudah lulus SMK dia akan
kembali lagi ke rumahnya di Jakarta. “Mma sudahberencana menguliakan Aldo di
Jakarta tante, mengambil jurusan managemen” jawab Aldo.
“Loh, kenapa nggak sekalian aja kuliahnya disini?”
“Papa rencananya mau menaruh Aldo sebagai salah satu staf
di kantornya tante, “ jawab Aldo lemah, dia menatapku sesaat dengan tatapan
sendu. Aku hanya tersenyum tipis.
“Tapi nak Aldo akan sering kesini kan nanti selama
tinggal di Jakarta?” tanya Mama lagi.
“Oh, tentu tante, Aldo usahain,”
Selesai perbincangan tentang rencan kuliah Aldo
mengajakku untuk ke taman belakang sebentar, ada yang ingin dia katakan. Aku
terdiam seribu bahasa, aku tak bisa menyembunyikan perasaanku bahwa aku akan
ditinggal dalaam waktu yang cukup lama oleh orang yang begitu aku sayangi.
“Aku akan sering kesini kok Mi, tapi selama aku di
Jakarta kamu nggak usah lirik cowok lain ya,” katanya bercandaa. Aku memukul
lengannya, dia tertawa lalu mengacak rambutku.
“Do, kamu setuju nggak kalau aku pakai hijab?” tiba-tiba
aku teringat akan niatku. Aldo menataap kearahku dengan tatapan kaget, seolah
berkata kamu serius?? “Tadi saat pergi bersama Cika, aku diajak untuk membeli
jilbab, dan kami berdua bertekad untuk menjadi muslimah yang menjalankan perintah
Allah Do. Menurutmu bagaimana?” tanyaku lagi.
“Semua keputusan ada ditanganmu, jika menurutmu itu baik
aku tidak bisa berkata apa-apa, lagian yang pake kan kamu bukan aku,” katanya
bercanda lagi. Aku lega kalau Aldo mau menerima pendapaatku. “Kamu pasti tambah
cantik kalau pakai jilbab, besok saat kamu mengantarku ke bandara, aku mau kamu
pakai jilbab” aku kaget.
“Besok??” Aldo mengangguk.
“Iya, hari ini aku kesini untuk pamit sama kamu dan
keluarga. Mama menelpon kemarin, kalau memang aku sudah dapat pengumuman
kelulusan aku diminta cepaat-cepat pulang,” aku tertunduk lemah, secepat
itukah? “Aku kan sudah bilang aku akan sering kesini, yang penting kamu mau
setia menungguku” katanya mencoba menghiburku. Ia mengambil sesuatu dari balik
tubuhnya, sebuah cincin.
“Mi, ini aku berikan karena aku menganggap kamu itu
penting dalam hidupku, aku tidak mau main-main.” kata Aldo serius. “Tapi bukan
berarti aku akan mengekang kamu sepenuhnya, aku tau, jodoh itu tidak ada yang
tau, tapi aku hanya ingin kamu tau bahwa perasaanku ini bukan hanya sekedar
hanya untuk menikmati sebuah hubungan masa remaja, aku serius sayang sama kamu,
jadi aku harap kamu mau memakai ini sampai aku datang nanti untuk melamarmu,”
Aldo tersenyum, matanya seperti biasa selalu tegas dan bersinar. Aku tau dia
jujur dan tulus.
Aku hampir saja meneteskan air mata, aku tak mengira Aldo
akan berkata sperti itu, sejak dulu, walau pun terkadang Aldo sering sekali
jahil, tapi dia selalu bersikap dewasa, tapi aku tak menyangka dia akan
seserius ini dengan hubungan kami. Tapi aku senang, aku tidak akan kehilangan
orang sespesial Aldo.
“Aku sungguh mencintaimu Mi, mencintaimu dengan segala
apa yanng ada padamu, “ aku tak bisa membendung cairan bening yang menyeruak
ingin keluar dari pelupuk mataku. Aku menangis saat itu juga. Aldo menggapai
wajahku lalu membersihkan air mataku dengan jari-jarinya. Lalu Aldo memasangkan
cincin itu di jari manisku, aku tersenyum dalam tangisku, tangis bahagia.
___
Paginya setelah shalat subuh aku keluar menghirup udara
segar sembari jalan-jalan disekitar komplek rumah. Ah, begitu lama aku hidup di
dunia ini, baru kali ini aku merasakan nikmatnya menghirup udara pagi yang
sesegar ini, Subhanallah. Betapa bodohnya aku sejak dulu Tuhanku sudah
memberikan semua fasilitas ibadah yang luar biasa namun aku menolaknya
mentah-mentah.
Sekiar jam 6 pagi aku kembali ke rumah, dan mobil Cika
sudah terparkir di depan rumahku, ada apa dia sepagi ini? Batinku. Aku masuk
dan melihat seseorang yang duduk di sofa dengan jilbab warna biru melekat indah
dikepalanya. Dia menoleh, aku tertegun. Cika cantik sekali memakai jilbab warna
biru itu. Aku mendekat lalu memeluknya.
“Kmau cantik sekali,,” ujarku senang, dia tersipu malu.
“Oh ya kenapa pagi sekali datangnya, ada apa?” tanyaku.
“Aku kan mau jemput kamu sayang, pagi ini Aldo udah mau
berangkat ke Jakarta,” tuturnya. Aku sampai lupa kalau pagi ini Aldo bakalan
balik ke Jakata. Aku ingat pesan Aldo saat itu, agar aku mengenakan jilbab saat
mengantarnya ke bandara.
“Aku sampai lupa. Tunggu dulu ya, aku mau mandi terus
siap-siap dulu. Kamu ngobrol dulu aja sama mama,,” kataku sambil berlari ke
kamar.
Usai mandi aku mengambil baju yang kemarin baru ku beli.
Baju berwarna cream dan bawahan rok warna coklat. Lalu kupasang kerudungku,
kebetulan tidak sulit karena aku membeli jilbab yang jadi, tinggal diikat
talinya ke belakang dan ditambahkan bros biar tambah cantik. Aku mematuk diri
di depan kaca. Ah, betapa indah rasanya melihat diri berbalut kerudung.
Aku turun menemui Cika, disana sudah ada mama, papa dan
mas Gagad yang siap buat pergi kerja. Semua menatap kearahku. Mas Bagas kaget
bukan main, dia hampir saja tersedak oleh makanannya sendiri, aku hanya tertawa
kecil. Papa, Mama, dan Cika tersenyum melihatku. Mas Bagas langsnung
mendekatiku dan meletakkan tanganya di dahiku.
“Suhu badannya normal,,” celetuknya. Aku melotot. “Ma,
mana salah ngasih obat mungkin sama dia kemarin,” katanya lagi menggodaku.
“Ah, mas, kok gitu sih, nggak seneng ya lihat adeknya
cantik memakai jilbab gini. Ya kan ma, pa, Mia cantik kan pake jilbab?” aku
meminta dukungan dari mama dan papa. Mereka hanya mengangguk tersenyum, “Tuh
kan, mama sama papa aja nggak keberatan.” kataku cemberut.
“Iya deh, adeknya mas cantiiik sekali pakai jilbab,”
katanya sambil menjewer pipiku. Aku melepas tangannya sambil meringis
kesakitan. “Tapi lebih cantik lagi kalau tersenyum,,” katanya melihat
ekspresiku yang ingin marah padanya. Aku pun mengurungkan niatku.
Usai sarapan aku berangkat bersama Cika setelah
sebelumnya pamit pada Mama, Papa udah berangkat kerja duluan sama mas Bagas.
Kata Cika nanti kita ketemunya di bandara aja. Sebelum sampai bandara aku
sempatkan membeli sesuatu untuk Aldo. Aku membelikan Aldo kopiah dan sejadah,
jika memang dia berniat lebih serius, aku ingin dia bisa menjadi imamku kelak,
aku ingin agar dia istiqomah dalam shalatnya. Aku meminta untuk dibungkuskan
dan menulis sebuah note diatasnya.
![]() |
Kami pun akhirnya tiba di
bandara. Di kursi tunggu terlihat sosok lelaki memakai pakaian rapi sedang
menunggu dengan gelisah. Kakinya tak berhenti menghentak-hentak di atas lantai.
Aldo, orang yang sangat spesial yang pernah ku temui, aku mendapatkan segala
hal yang spesial darinya, kasih sayang yang disertai ketulusan dari seseorang
yang begitu spesial.
“Assalamu’alaikum,,” aku menyapanya
dari belakang. Dia kaget dan langsung memalingkan wajahnya kearah belakang. Dia
diam untuk beberapa saat dan langsung tersadar sambil menjawab salamku dengan
pelan dan tergagap.
“W, wa’alaikumsalam,,”
jawabnya, “Ini Mia, cantik sekali,” kata itulah yang meluncur dari mulutnya
melihatku mengenakan jilbab. Aku tersipu malu ditatap seperti itu.
“Bengong aja, ini manusia
bukan pajangan,” semprot Cika pada sepupunya yang masih bengong itu, dia
tersadar dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Oh ya, pesawatnya berangkat
jam berapa Do, “ tanyaku.
“Tinggal 10 menit lagi,
makanya tadi aku khawatir kalian datang terlambat,” ujarnya. Aku teringat akan
bingkisan itu. Aku mengeluarkannya dari dalam tas.
“Nih Do, kenang-kenangan
dariku.” katku menyerahkan bingkisan dengan bungkus berwarna biru muda “Nanti
dibuka saat tiba di Jakarta,,” pesanku, dia tersenyum lalu mengambilnya.
Terdengar suara petugas yang mengumumkan penerbangan untuk tujuan
Bandung-Jakarta akan segera berangkat. Aldo menatapku sendu, sepertinya dia
hendak memelukku namun dia urungkan, mungkin saja karena ia melihatku ingat
sekarang aku telah mengenakan hijab.
“Aku berangkat ya,,” pamitnya
lalu menaruh tas ransel yang tergeletak di lantai ke punggungnya.
“Hati-hati di jalan, jangan
lupa berdo’a” Aldo tersenyum sesaat lalu pergi. Ku tatap punggungnya yang
emakin menjauh, sebentar dia berbalik dan melambaikan tangannya lalu pergi
lagi, dan pada akirnya Aldo hilang diantara kerumunan orang berlalu lalang.
Kami segera pulang dari sana, kebetulan papa dan mamanya Cika sibuk dengan
segala proyek pembangunan resort di Lombok dan tidak ada yang menemaninya
sepeninggal Aldo ke Jakarta, Cika ikut ke rumah dan menginap untuk beberapa
hari.
___
Perlahan tapi pasti aku dan
Cika mulai teguh dengan pendirian kami untuk berhijab. Perasaan ilfiel memang
terkadang sering datang silih berganti, dan godaan lainnya tak luput kami
rasakan. Kami berduasudah mendaftar di universitas, aku nggak jadi dengan
rencana awalku untuk mendaftar di fakultas kedoteraan, aku lebih memilih
mendalami ilmu agama dengan mengambil jurusan PAI agar kelak juga aku bisa
mengajar orang tentang agama yang mulia ini, yang diturunkan kepada hamba-Nya
yang paling mulia pula.
Cika tetap ingin melanjutkan
impiannya menjadi dokter, tapi tujuannya sudah beda sekarang. Kami dulu
bercita-cita ingin jadi dokter karena ingin mengenakan pakaian serba putih.
Namun sekarang aku bangga padanya, dia bilang dia ingin menjadi dokter yang
solehah, membantu dan menyemangati orang yang sakit terutama dari kalangan
orang miskin.
Susi dan Via memilih untuk
melanjutkan bakat mereka pada musik. Mereka belajar ke luar negeri,
keberangkatan mereka dirahasiakan, katanya surprise. Mereka juga bukan asal
ingin menjadi pemusik. Mereka bilang mereka punya rencana nanti disana, mereka
akan belajar banyak tentang musik, dan kelak saat mereka pulang ke Indonesia
mereka ingin membuat suatu organisasi pecinta musik jalanan. Mereka akan
merekrut para anak jalanan untuk dilatih bermusik. “Siapa tau nasib mereka bisa
berubah dari belajar musik,” ujar Susi. “Kalian berdua,” kata Via padaku dan
Cika, “Akan menjadi guru ngaji mereka, agar antara dunia dan akhirat mereka
balance,” begitulah katanya saat kami kumpul-kumpul beberapa hari yang lalu.
Dari sejak SMP kami memang terobsesi dengan kegiatan-kegiatan yang berbau
sosial.
Dua minggu sejak kepergian
Aldo, terhitunga hanya empat kali dia menelponku, sms pun jarang. Aku tau pasti
dia sibuk dengan segala aktivitas barunya disana, karena kata Cika selain
mengurus kuliahnya, papanya juga telah menugaskannya untuk bekerja di peusahaan
milik papanya.
Selesai dhalat dzuhur tadi,
aku buka-buka internet untuk melihat kelanjutan dari tes yang sudah kulakukan
minggu kemarin, setelah menmasukkan nomer pendaftaran aku dengan perlahan
menekan tombol enter.
Klik!
Terpampang di depan layar
laptopku, Mia Lestari, jurusan PAI. LULUS. Alhamdulillah. Handponeku berdering,
tak ada namanya. Apakah Aldo? Dengan cepat ku tekan hp.
“Assalamualaikum, Do,”
“Waalaikumsalam
warahmatullah,,” jawab suara di seberang sana. Tapi, ini bukan suara Aldo. “Ini
Gagah Mi,,” Gagah rupanya yang menelpon. Sudah cukup lama dia tidak ada kabar.
“Oh, ada apa Gah?” tanyaku.
“Maaf jika aku mengganggu.
Mama yang minta aku buat hubungin kamu. Kata mama, minggu depan akan ada acara
undangan keluarga di Jakarta. Kamu beserta keluarga diajak oleh Mama untuk
ikut. Mama sebenarnya tidak mau merepotkan kamu tapi Riska lagi-lagi memaksa,
maafin ya” terangnya.
“Oh, nggak apa-apa kok, nanti
aku omongin dulu sama mama dan papa mogaa aja mereka bisa,” jawabku.
“Mm, sekali lagi aku minta
maaf ya, aku merepotkan kamu lagi,,”sesalnya.
“Tak apa, kebetulan minggu ini
aku masih ada waktu sebelum masuk kuliah”
“Kuliah dimana?”
“Di IAIN”
“Jurusan apa?”
“PAI,,”
“Oh,, sepertinya kita akan
sering bertemu ya nanti,” katanya.
“Kuliah disana juga?” tanyaku
penasaran
“Yah, nanti juga tau sendiri.
Oh ya, aku harus nganter Riska les dulu ya. Terimakasih sebelumnya,
Assalamu’alaikum,,”
“Wa’alaikumsalam
warahmatullah,,”
Pip.
Aku meletakkan hp di meja lalu
kembali menatap laptopku, menelusuri dunia maya sembari mencari beberapa
informasi tentang wanita.
___
“Apa?? Ke Jakarta bersama
Gagah?” terdengar suara Cika dari kejauhan sangat ceria saat ku kabari ingin
mengajaknya pergi bersama Gagah.
“Iya, mama sama Papa bilang mau
pergi ke rumah nenek. Aku malu pergi sendirian, makanya ngajak kamu,” terangku.
“Oke, oke. Kapan waktunya?”
tanyanya antusias.
“Minggu depan,, nanti deh aku
telpon sehari sebelum pergi.”
“Baiklah,,”
“ya udah. Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumussalam warahmatullah,,”
Pip!
Belum sempat hpku ku taruh
didalam saku, sudah ada sms masuk. Dari Via.
Hai Mi, besok kita ketemu
di cafetaria jam 11, aku udah kirim pesan sama yang lain. Ada surprise buat
kamu, jadi kuharap kamu tidak datang terlambat.
Keesokan harinya jam 11 di
cafetaria, kami sudah berkumpul berempat. Ternyata sore ini juga Via dan Susi
akan pergi ke luar negeri, aku kaget dengan berita itu.
“Kenapa ngasih tahunya hari
ini?” tanya Cika.
“Kan dulu udah aku bilang,
surprise.” Via yang menjawab.
“Kita kesana untuk tugas yang
mulia, kalian masih ingat itu kan? Jadi kami harap kalian terus mendo’akan dari
sini. “ sambung Susi.
“Aku pasti akan kangen sama
kalian, “ ungkapku, mataku terasa mulai memanas.
“Eits, hari ini tidak boleh
ada yang menangis. Hari ini kita mau happy-happy aja. Coba tebak siapa tamu
spesial yang datang?” kata Susi sambil melirik ke arah belakang kami. Aku
penasaran lalu menengok ke belakang. Aldo? Aku tau apakah harus menangis
ataukah bahagia. Dua minggu adalah waktu yang lama sekali, dan sekarang Aldo
ada disini. Dia bukan hanya sekedar seorang pacar buatku, dia orang yang lebih
dari sekedar hanya diberi status sebagai seorang pacar, dia punya sesuatu yang
paling berharga yakni ketulusan.
“Assalamu’alaikum,,” sapanya.
“Wa’alaikumussalam
warahmatullah.” sahut kami bersamaan. Aldo menggunakan jas berwarna hitam
dengan dalaman senada serta dasi. Aldo duduk didekatku aku tersenyum kearahnya,
begitupun dengannya.
“Weiss, jadi bos nih ceritanya
sekarang?” goda Via. “Kayaknya hari ini kita ditraktir bos baru nih,,”
lanjutnya. Kami tertawa kecil.
“Baiklah, hitung-hitung untuk
merayakan kepergian dua pemusik handal kita, akutraktir kalian deh.” jawab
Aldo. Susi berteriak girang. “Eit, tunggu dulu, kamu kira ini akan gratis
beneran?” cegat Aldo, Susui berhenti berteriak, “Ada syaratnya, nanti aku kasih
tau, kalian siap-siap aja,,” lanjut Aldo santai sambil melirikku. Susi terlihat
agak sebel. Aldo mendekatkan wajahnya kearah telingaku.
“Terimakasih atas adiahnya,
alhamdulillah aku sudah bisa istiqomah mengerjakan sholat. Tenang saja, aku
akan jadi imam terbaik buatmu,,” bisik Aldo padaku. Pipiku bersemu, hatiku
tenang rasanya mendengar itu. Aku tersenyum kearahnya., begitupun sebaliknya.
Obrolan kami semakin seru
dengan datangnya Aldo, mengenang masa-masa SMA dan ALdo sempat menyinggung saat
pertama kali dia suka padaku. Cerita itu belum ku ketahui, memalukan sekali
ternyata.
“Waktu itu Mia sedang ke
perpustakaan daerah, entah sedang meminjam apa,,” tutur Aldo, “Kebetulan waktu
itu aku sedang disana, dari celah-celah buku terlihat siluetnya di meja tempat
membaca buku,” paparnya lagi sambil menatapku. Aku kaget, agak lupa dengan saat
itu.
“Aku memperhatikannya saat
tengah serius membaca buku, lama setelah itu matanya sayu, agaknya dia ngantuk
saat itu, pada akhirnya dia tumbang diatas buku yang tengah ia baca, Mia
tertidur. Aku ketawa sendiri saat itu, tidak ada yang melihatnya kecuali aku.”
Aldo terdiam sebentar. Aku mengingat saat itu, ah, aku malu sekali. Ternyata
Aldo ada disana saat itu.
Aldo melanjutkan, “Ceritanya
belum selesai sampai disana. Dengan lelapnya ia tertidur diatas buku sampai tak
tau kalau perpustakaan akan tutup. Petugas menyuruh semua untuk keluar, tak
terkecuali Mia, dia dibangunkan. Dan, pak petugas itu memarahinya, bukan karena
dia tertidur, tapi karena buku perputakaan kotor olehnya. ‘anak gadis kok jorok
sekali’ itu kata petugas saat itu. Aku hanya tersenyum menatap kearahnya dari
kejauhan saat itu. Mia terus meminta maaf pada petugs sampai dipersilahkan
keluar” Aldo menatapku dalam, aku agal jengekel sebenarnya, sejak tadi yang
lain sudah menertawakanku, tapi Aldo malah menatapku sendu.
“Tapi kalian tau,” katanya
serius, “Kenapa aku dengan bodohnya sampai hampir dua jam tak beranjak dari
sana?” Aldo terdiam dan terus menatap mataku, aku kikuk dan sengaja melihat
kearah lain. “Aku menjadi manusia bodoh saat melihatnya tidur dengan begitu
polosnya diatas buku itu. Aku terhipnotis hanya dengan melihatnya tertidur
pulas saat itu, dan saat itu pula aku mulai jatuh cinta padanya. Pada seorang
anak manusia bernama Mia, yang sekaraang tumbuh menjadi wanita solehah. Dan aku
sadar ternyata aku tidak percuma menjadi bodoh saat itu,” aku menatapnya,
hatiku berdegup kencang. Matanya sepeti biasa, berbinar., menampakkan ketulusan
seorang Aldo. Yang lain terdiam, sesaat setelah tertawa tadi.
“Ehm, Ah gak asik!” celetuk
Susi membuyarkan lamunan, “Masak ketemunya di perputakan daerah, nggak
romantis!” katanya merendahkan. “Kamu harusnya nggak terima Mi, Aldo nggak
romantis banget gitu, masak adegan berharga kalian saat kamu tidur,,” goda Susi
terus.
“Apa boleh buat, aku
menghargai semuanya kok,Aldo sudah menjadi orang yang spesial dihatiku, apa pun
alasannya mencintaiku itu tak penting bagiku,” kataku menanggapi Susi.
“Iya deh yang pada jatuh cinta
sampai nggak tau mana tai kucing sama mana cokelat,” semua tertawa. Dan
pembicaran berlanjut sampai Aldo membisikkan sesuatu pada Susi dan Via.mereka
berdua maju ke podium. Aku menatap Aldo seakan bertanya, ‘apaan sih?’ Aldo
kembali menatap seakan berkat, ‘lihat saja’
“Lagu ini kami persembahkan
untuk teman kami yang sedang berbunga-bunga” kata Via memulai perporm mereka.
Lantuna musik terdengar dari tuts-tuts yang dimainkan oleh Susi. Dilanjutkan
dengan biola yang dimainkan apik oleh Via, terdengar sangat armonis. Mereka
menyanyikan lagu yang kami buat saat SMP dulu, aku melebur bersama kenangan
saat kebersamaan kami dulu di SMP, saat menjadi top band di sekolah, semuanya
sampai saat ini. Tak terasa mataku memanas, begitu juga dengan Cika.
Selesai menyanyi Susi dan Via
mengatakan kata-kata terakhir sebelum pergi ke luar negeri, intinya mereka
menyayangi kami. “Kita akan tetap memegang mimpi kita, mimpi keempat sahabat
yang polos” kata mereka menutup pidato lalu turun dari podium. Kami berpelukan,
lalu menumpahkan semua rasa rindu bersama air mata yang mengalir.
Sorenya kami ke Bandara untuk
mengantar Via dan Susi ditemani denga orang tua mereka. Aldo juga, dia sedang
ada meeting di Bandung jadi mungkin besok dia akan berangkat ke Jakarta. Aldo
mengantarku sampai rumah, dan dia bilang masih ada klien yang harus ia temui
makanya dia tidak bisa mampir ke rumah.
___
Paginya setelah usai sholat
subuh ada dua sms masuk di hpku, dari Aldo, juga dari Cika.
Maaf Mi, aku terpaksa
berangkat tanpa memberitahumu. Papa memaksa agar cepat pulang, papa bilang ada
urusan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja, Cik juga pergi
bersamaku. Kami tidak bisa mengabari karena ini mendadak.
Sms dari Cika.
Mi, sory ya, sepertinya kamu
harus berangkat sendiri bersama keluarga Gagah, tadi malem, mendadak
keluarganya Aldo teleepon dan menyuruh kami untuk langsung berangkat ke
Jakarta, katanya ada urusan keluarga yang sangat penting. Sepertinya akan lama
juga. Sekali lagi aku minta maaf ya.
Apa boleh buat, aku tidak enak
untuk menolak ajakan keluarga Gagah, lagian mereka sudah baik padaku. Aku
mencari buku yang kemarin kubeli lalu mebacanya sambil ditemani secangkir
cokelat hangat.
___
“Mi, ada nak Gagah dibawah.
Kamu udah siap-siap belum?” teriak mama dari bawah.
“Iya ma, sebenta lagi,” aku
segera merapikan mengambil tasku lalu bergegas turun menemui mama dibawah.
Gagah terlihat mengobrol bersama papa, lalu menataap kearaahku. Sepertinya dia
agak kaget, pasalnya kami terakhir bertemu saat aku masih belum menetapkan hati
untuk berhijab.
“Maaf ya, menunggu lama,”
sesalku.
“Oh nggak apa, aku juga minta
maaf karena sudah merepotkan Mia sekeluarga,” jawabnya sopan.
“Maaf ya nak Gagah, kami nggak
bisa ikut. Neneknya Mia ingin kami kesana, jadi nggak apa kan kalau hanya Mia
yang mewakili kami,” kata papa.
“Gagah mafhum sekali dengan
hal itu, “ timpal Gagah.
“Ya udah, kalian berangkat gih
sana,” kata Mama. Aku lalu menggapai tangan mama dan papa. Dan berangkat
bersama Gagah.
“Mia berangkat ya Ma, “
“Assalamu’alaikum,,” pamitku
berbarengan dengan Ggagah.
“Wa’alaikumussalam,,”
Mobil Gagah melaju dengan
mulus dijalan raya, berpacu perlahan menghantam udara Bandung di padi Minggu
kurang lebih jam 8 pagi. Gagah masih terlihat berkonsentrasi dengan kendali
mobil yang agak macet.
“Oh ya Mi, sejak kapan kamu
mulai berijab?” tanya Gagah berhenti di lampu merah.
“Sudah dua minggu ini, Cika
yang pertama mengajakku, dan alhamdulillah sampai sekarang kami istiqomah untuk
berhijab,,” Gagah tersenyum.
“Alhamdulillah,, bagaimana
hubunganmu dengan Aldo?” aku menoleh kearahnya, sejak kapan dia tau kalau aku
ada hubungan dengan Aldo?
“Oh, alhamdulillah baik-baik
saja.”jawabku. “Apa Riska sering menanyakan tentang Aldo?” tanyaku penasaran,
bagaimana dengan saingan kecilku itu.
“Iya, dan aku sama Mama harus
berpikir keras untuk membuatnya tidak merengek minta ketemu sama Aldo,, dua
minggu ini kami mengirimnya ke tempat sepupu kami agar ia tidak kepikiran. Tapi
sepulang dari sana dia malah mencari kamu,” kata Gagah terkekeh. “Dia bilang,
dia berharap sekali kamu itu menjadi kakaknya seperti sepupu kami itu, dia
bilang iri sekali karena punya kakak perempuan yang baik dan berhijab pula,”
aku ikut tertawa kecil. Ada-ada saja gadis kecil itu.
“Namanya juga anak-anak,
selalu iri dengan apa yang dimiliki oleh temannya.”
“Iya, makanya sepulang dari
sana Ris ingin sekali ke rumah kamu. Sambil merengek lagi, makanya kami minta
kamu untuk ikut hari ini,” tutur Gagah.
Lampu hijau menyala dan mobil
Gagah melaju sampai kira-kira sepuluh menit kami sudah tiba di halaman rumah
Gagah. Gadis kecil terlihat sedang asik dengan bunga ditangannya sampai
melihatku turun dari dalam mobil lalu membuang bunga yang tadi di tangannya dan
berhambur ke pelukanku sambil berteriak.
“Kak Mia,,” Gagah hanya
tersenyum senang melihat adiknya yang manja itu.
Karena semua sudah siap kami
berangkat menggunakan kereta api, kurang lebih empat jam perjalanan akhirnya
kami sampai di Jakarta. Aku berharap bisa bertemu dengan Aldo, tapi sayangnya
aku tidak tau alamat rumahnya. Tante mengajak kami menginap dirumah salah satu
saudaranya yang menikah di Jakarta. Acaranya akan berlangsung besok pagi, jadi
kemungkinan kami akan menginap selama tiga hari disini.
Perasaan lelah membuatku
tertidur dengan pulas sampai aku dibangunkan untuk sholat berjamaah, sholat
ashar berjamaah sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga tante. Usai sholat aku
ingin mengirim sms pada Cika, untuk mengabarkan bahwa aku sudah ada di Jakarta,
tapi setelah kucari-cari ternyata aku lupa membawa hp, dan aku juga lupa nomor
hpnya Cika.
Malamnya Riska memaksa agar
tidur bersamaku, tante melarangnya “Mia nggak keberatan kok tante,” kataku.
“Tuh kan, kakak aja nggak
keberatan, “ rengeknya. Tante hanya bisa pasrah dengan sifat manja anaknya yang
satu ini. Tapi aku senang, setidaknya aku bisa merasakan bagaimana rasanya
memiliki seorang adik.
Riska terus saja mengajakku
mengobrol, menceritakan tentang sepupunya yang memiliki kakak ipar cewek, Ria
namanya. “Kak Ria itu kak,,” katanya, “Selalu mendongengkan kami sebelum tidur,
menyisir rambut kami, mengkuncirkan rambut kami, pokoknya asik deh kak.”
lanjutnya. Aku hanya tersenyum mendengar ceritanya, sambil mengelus rambutnya
yang tergerai indah di pahaku.
“Kan Ris udah punya mas
Gagah,” kataku.
“Mas Gagah kan cowok, lagian
mas Gagah asik, nggak bisa nguncirin Ris rambut Ris,,” katanya menyesali punya
kakak cowok. “Oh ya kak, kakak dongengin Ris ya, biar cepat tidur,“ lanjtnya
lagi.
“Gimana ya, kakak kurang bisa
dongeng, gimana kalau nyanyi aja,” usulku.
“Dongeng dulu tapi,,”
rengeknnya lagi.
“Biar mas aja yang dongengin
Ris ya, kak Mia nanti yang nyanyi buat Ris, gimana?” Gagah yang sedang lewat
langsung berpendapat.
“Asiikk,,,!!!” teriak Ris.
Gagah mengambil kursi lalu meletakkannya di dekat ranjang lalu mulai
mendongengkan kisah Siti Fatimah, putri Rasulullah SAW. Gagah memulainya dengan
sangat apik, terus sampai Riska menguap beberapa kali, aku ikut mendengar
dengan takzim.
“Walaupun ia sudah ditinggal
oleh sang bunda sejak masih belia, dia tidak pernah bermanja-manja pada
ayahnya, dia selalu bekerja keras” tutur Gagah.
“Riska juga nggak manja kan
mas?” tanya Riska memotong perkataan Gagah, kami hanya tertawa tertahankan.
“Iya, iya Ris nggak manja kok,
“ kataku. Masih tersenyum padanya.
“Dongengnya udah, sekarang
tinggal kak Mia yang nyanyi ya?” pintanya.
“Ris pengennya lagu apa?”
tannyaku. Dia terlihat berpikir.
“Pelangi, soalnya Ris suka
sekali pelangi” katanya.
“Mas Gagah juga ikut nyanyi
dong, biar seru” kataku. Gagah agak sedikit ragu dan ingin mengeilak.
“Iya, mas Gagah juga, nanti
kita nyanyi sama-sama,” kata Riska girang. Gagah hanya bisa menghela nafas, aku
terawa melihatnya ditindas oleh adiknya yang manja ini.
Pelangi-pelangi alangkah
indahmu
Merah, kuning, hijau,
dilangit yang biru
Pelukismu agung siapa
gerngan
Pelangi-pelangi ciptaan
Tuhan.
“Nah sekarang kan nyanyinya
udah, Ris bobok ya,” kata Gagah. Riska hanya mengangguk pelan sambil menguap
kecil. Saat hendak terlelap dia bangun dan berkata.
“Coba mas Gagah sama kak Mia
nanti nikah, kan aku Ris bisa di nyanyiin tiap malam,,” celetuknya dengan polos.
Aku dan Gagah saling tatap. Gagah terlihat kikuk, aku hanya tersenyum kecil.
“Huss, anak kecik mana boleh
ngomongin soal nikah,” kataku menjewer pipinya pelan.
“Mas Gagah kan udah besar, kak
Mia juga. Harusnya bisa kayak kak Ria, ya kan mas Gagah?” lanjut Riska. Aku
hanya tersenyum melihatnya. Gagah yang ditanya malah garuk-garuk tengkuk.
“Ris tidur aja ya, udah malem,
besok kan mau pergi ke rumah bibi,,” kata Gagah sembari menyelimuti Riska.
“Riska nggak mau tidur,, mas
Gagah bilang dulu kalau mas Gagah itu suka sama kak Mia, kak Mia juga ya?”
katanya memaksa sambil cemberut pula. Aku menatap Gagah yang menghela nafas
panjang. “Ayo bilang,, “ rengeknya lagi. Gagah menatapku.
“Iya, mas Gagah suka sama Kak
Mia,” Riska tersenyum senang. Lalu dia menatapku, aku pun hanya bisa mengikuti
kemauannya. Toh ini cuma bohongan, batinku.
“Kakak Suka kok sama mas
Bagas” kataku menatap Gagah.
“Yeee,, mas Gagah dan kak Mia
udah jadian,, yeee,,” teriaknya girang. Kami hanya tersenyum melihat kelakuan
Riska.
“Nah, sekarang Ris bobo’ ya”
kataku menyelimutinya lagi, dia mengangguk patuh. Gagah beranjak pergi setelah
Riska mendengkur dengan halus. Perlahan aku pun mengikuti jejak Riska, meluncur
ke dunia mimpi.
Keesokan harinya suasana
dihebohkan dengan teriakan Riska, dia berteriak kencang sambil berlarian
didalam rumah, mengabarkan bahwa aku sudah resmi menjadi kakaknya karena
kejadian tadi malam.
“Ma, mama, bibi, kak Mia sama
mas Gagah tadi malam pacaran, berarti sekarang kak Mia itu boleh tinggal terus
dong dirumah,” katanya polos didepan mamanya dan yang lain yang sedang masak di
dapur. Semua hanya tertawa melihat kelakuannya. Aku kebetulan juga sedang
membantu disana, ah walaupun hanya bohongan tapi kalau harus diumumkan didepan
tetua seperti ini kan jadi malu.
Dulu aku memang sempat hampir
suka sama Gagah, tapi ketulusan Aldo membuatku tak mampu berpaling darinya.
Dimeja makan kami masih saja digoda oleh Riska. Riska menceritakan bagaimana
kami saling mengungkapkan perasaan, kami sebagai korban hanya bisa tertunduk
sambil meneruskan sarapan kami.
Pukul 11 tepat, kami semua
berangkat menuju tempat acara, kata tante sih ada acara tunangan anak dari
adiknya, tapi acara memang serba mendadak. Sampai disana Riska menjerit pengen
ke toilet. Aku mengantarnya mencari toilet, saat hendak ke tempat acara aku
melihat siluet wanita berjilbab yang mirip sekali dengan Cika, sedang apa dia
disini? Tanyaku dalam hati, dia terlihat sedang sibuk menghubungi seseorang
sembari mondar mandir tak tenang.
“Mi, sudah ketemu toilet?”
tanya tante mengagetkanku.
“Iya, Riska sudah selesai kok
tante,” jawabku. Aku hendak melihat kembali ke tempat dimana Cika berada tadi,
tapi sudah tidak ada. Akhirnya kami pun pergi dari sana, siapa tauu nanti
ditempat acara aku bisa bertemu lagi dengannya. Andai aku bwa hp.
Ruang tamu yang cukup luas
tertata dengan sangat rapi dan elegan, disebelah kiri khusus tempat makanan,
dan ada panggung yang tidak terlalu besar ditata tepat ddepan ruangan ini.
“Mas Aldo, itu mas Aldo kan
ma?” tanya Riska girang. Aku menengok ke arah telunjuk Riska mengarah. Cowok
dengan pakaian serba hitam dengan jas itu masih belum jelas tampak wajahnya
oleh banyaknya orang yang lalu lalang. Iya, itu Aldo, aku tersenyum bahagia,
akhirnya aku bisa juga bertemu dengan Aldo. Tapi sepertinya dia tidak mendengar
teriakan Riska saking banyak orang diruangan ini.
aku urungkan niatku untuk
kesana saat seorang lelaki berbadan tinggi berseragam datang menghampirinya
sambil menunjukan hp. Aldo marah-marah sambil membanting hp yang tadi
diserahkan oleh orang itu, dia terduduk disofa yang tersedia lalu memijit
kepalanya, Aldo berteriak, namun suara musik mengalahkan teriakannya.
Kembali seorang lelaki berjas
rapi serta berdasi mendekatinya, Aldo terlihat berdebat keras dengannya. Namun
Aldo berhasil diseret oleh lelaki itu.
“Tes,, 1,2.,,” suara mikropon
dinyalakan. Semua aktifitas terhentikan semua mata sekarang tertuju kearah
panggung, disana telah berdiri lelaki yang baru saja menarik tangan Aldo,
“Selamat siang, saya ucapkan banyak terimakasih karena kalian semua sudah
meluangkan waktu untuk menghadiri undangan kami. Hari ini adalah hari bahagia
untuk kami sekeluarga, karena hari ini, anak kami satu-satunya Aldo Wiraguna
akan bertunangan,” deg! Hatiku seperti terhantam oleh benda tak terlihat. Gelas
yang tadi kupegang jatuh dan pecah dilantai, kakiku kilu rasanya tak bisa
digerakkan sama sekali.
“Sejak kecil mereka sudah
berteman baik, sangat cocok satu sama lain, tapi saat SMA mereka berpisah,
mereka sama-sama menyelesaikan sekolahnya di tempat yang berbeda, dan sekarang
mereka kami pertemukan kembali disini, bukan hanya sebagai sebatas teman biasa
lagi,”
“Baiklah, sepertinya kita tak
perlu menunggu lama lagi. Kami persilahkan mereka untuk ke atas panggung.” itu
memang Aldo, dan dia sedang menggandeng seorang wanita cantik, dengan gaun yang
menjuntai indah serta rambut yang tertata rapi. Mereka berjalan bersama dengan
anggunnya. Aku tak tahan, air mataku sudah tak mau berkompromi lagi. Sesaat
setelah berdiri di atas panggung Aldo melihatku, dia tampak sangat kaget,
matanya menatapku sendu. Aku tak sanggup untuk mlihat semua ini. Kulangkahkan
kakiku keluar ruangan itu sembari kuseka air mataku.
Langkah kakaiku sampai
ditempat yang cukup lapang yang ditumbuhi oleh rerumputan yang dirawat dengan
apik. Aku terduduk memeluk kedua kakiku lalu menangis dengan kencangnya.
“Mia,,” aku menoleh, aku
sungguh berharap yang datang itu Aldo, tapi harapanku pupus, itu bukan Aldo
melainkan Gagah.
“Maaf, aku sungguh tidak tau
kalau yang akan bertunangan dengan sepupuku adalah Aldo. Sebelumnya bibi tidak
memberitahu kami Mi, andai aku tau, aku tidak akan mengajakmu kesini. Aku
sungguh minta maaf Mi,,” sesal Gagah. Aku tak menghiraukan perkataannya, saat
ini aku hanya bisa menangis. Kutatap cinin yang melekat manis dijari manisku. Jika
aku tetap disini, aku tidak akan cukup kuat untuk hanya sekedar berdiri tegap
dikakiku sendiri.
“Gah, bisa kita pulang
sekarang juga” kataku serak. “Aku tidak sanggup melihat mereka berdua,
kumohon..” pintaku. Aku bangun lalu mencoba menyeimbangkan tubuhku yang t erasa
entah sangat lemah sekali, alhamdulillah setidaknya aku massih bisa menenangkan
diriku dengan beristigfar.
“Mia,,” suara seseorang di
ambang pintu, lagi-lagi bukan Aldo. Cika dengan cepat memelukku erat, dia
menangis kencang di pundakku, aku juga tak bisa menahan haru. “Maafkan aku Mi,
aku sungguh tidak tau akan semau ini, begitupun dengan Aldo, aku mencoba
menghubungimu dari kemarin tapi tak ada yang mengangkat. Ya Allah, aku tidak
menyangka jika kamu akan ada disini,, Mia maafin aku Mi, maaf,,” ujar Cika. Aku
melepas pelukannya.
“Aku tidak sanggup untuk
disini Cik, aku harus pulang.” kataku, aku melepas cincin yang Aldo berikan
padaku dulu, “tolong kamu kasih ini ke Aldo ya,” pintaku pada Cika. Dia menatap
nanar kepergianku. Aku ditemani Gagah pergi mengemas pakaianku, “Aku titip
salam pada tante ya, aku juga minta maaf karena pergi tidak bilang-bilang.
Bilang aja kalau aku sedang ada keperluan mendadak,” Gagah dengan setia
menemaniku sembari sesekali menasehatiku.
Sampai di stasiun kereta aku
menunggu kemberangkatan kereta jurusan Bandung bersama Gagah setelah sebelumnya
kami shalat dzuhur tadi. Aku sesekali masih teringat akan Aldo, janjinya yang
dulu hendak meminangku membuatku tak kuasa menahan derai air mataku lagi. Gagah
tak mampu berbuat banyak, dia hanya bisa menasehatiku untuk tawakkal,
menyerahkan semua ini pada Allah. Tetapi praktiknya memang tak semudah memahami
teori. Aku hanya bisa beristigfar didalam hati.
Gagah mengantarku sampai depan
pintu kereta, dan berpesan agar aku hati-hati dijalan, aku hanya mengangguk
lalu masuk dan mencari tempat duduk yang masih tersisa. Kereta melengking
keras, berdeum keras meninggalkan tanah Jakarta, aku masih masih belum
sepenuhnya pulih, entah sudah berapa kali kerudungku ini basah oleh air mata.
___
Sampai rumah, mama menanyakan
kenapa aku cepat pulang tidak sesuai rencana. “Acaranya dipercepat Ma, Mia
capek mau istirahat ya,” jawabku. Aku tidak berniat untuk memberitahu mama
tentang Aldo, biar nanti mereka tau sendiri. Aku bersyukur Aldo hanya mengatakan
padaku tentang keinginannya dulu, jadi jika mama dan papa tau Aldo bertunangan,
mereka tak akan mempermasalahkannya. Tubuhku terasa remuk redam, kubaringkan
tubuhku diranjang selesai shalat isha tadi. Aku takut-takut untuk memejamkan
mata, aku takut kalau sampai Aldo akan muncul lagi didalam mimpiku.
Dua bulan kemduian.
Sejak kejadian itu aku tidak
lagi pernah mendapat kabar dari Aldo, Cika datang ke rumah saat pulang dari
Jakarta. Dia tidak bisa lagi membujuk papanya Aldo. Aldo sendiri tidak tau harus
berbuat apa-apa, kalau papanya sudah berkehendak tidak ada yang bisa
menghentikan titahnya. Stelah acara itu selesai semua akses telekomunikasi Aldo
sita dan diganti oleh papanya, dia mengetahui tentang hubungan kami, dia
menyita semua hal-hal yang dapat mengingatkan Aldo padaku.
Aku juga sejak saat itu
mengganti nomor hp, aku membuang semau hal yang berbau Aldo, foto, segala
bentuk barang pemberiannya. Tapi hanya satu yang tidak bisa ku buang, yakni
hati yang selalu mencintainya, aku belum bisa membuangnya sampai selang waktu
dua bulan ini.
Hari ini sudah dua hari aku
mulai perkuliahan, aku bersyukur karena mulai sibuk dengan tugas-tugas kecil,
jadi setidaknya wajah Aldo bisa sesekali tergantikan dengan deretan kata-kata
yang akan kutulis dilembar kerja.
Dua bulan ini juga Gagah tidak
ada kabar, mungkin pada sibuk, atau mungkin Riska sudah punya kakak baru, aku
tak tahu. Hari ini dengan malas kulangkahkan kaki menuju halte terdekat,
menunggu lama sambil berdesakan dengan sekian banyak dan sekian rupa orang,
mulai dari yang akan berangkat kerja, ibu-ibu yang mau ke mini market, sampai
anak kuliahan sepertiku. Saat busway datang semua beralari berhamburan, membuat
debu-debu berterbangan dengan bebas.
Sampai halte dekat kampus aku
kaget melihat jam tangan ternyata aku sudah telat 10 menit. Mulanya aku
berjalan dengan agak cepat, dateng sms dari temen kalau dosen sudah masuk,
malah ngatain dosennya ganteng pula. Aku nggak peduli, kupercepat langkahku
sampai sesekali terhantuk batu. Sampai depan pintu aku merapikan baju yang agak
kusut, lalu menarik nafas sebentar lalu membuka pintu sembari mengucap salam.
“Wa’alaikumsalam
warahmatullah,,” aku mengerutkan kening, loh Gagah? Tanyaku dalam hati. Dia
hanya tersenyum lebar lalu mempersilahkanku untuk masuk. Aku menurut lalu
mengambil tempat duduk yang masih tersisa dibelakang.
“Baik kita lanjutkan,, “ Gagah
mengambil spidol lalu menggukir huruf arab dengan indahnya di papan putih,
sebentar ia selesai dan persis seindah kaligrapi yang dia buat saat di Bali
waktu itu. Lalu dengan piawai ia menjelaskan apa arti serta akna dari ayat yang
ia tulis tadi, dan rata-rata semua teman-teman kagum dengan penjelasan Gagah
yang disajikan dengan kesederhanaan dan sedrhana seperti biasanya.
“Kamu tau Mia,” kata Rini
teman satu kelasku, “Pak Gagah ini baru saja selesai S1 tapi sudah idrekrut
jadi dosen oleh universitas. Kamu tahu sendiri bukan, bagaiman ketatnya
penerimaan untuk dosen pembimbing disini, kalau dibawah gelar DR dilarang keras
mendekat. Tapi, setelah aku melihat bagaimana cara mengajarnya, hal itu bisa
saja terjadi.” bisik Rini ditengah pelajaran tengah berlangsung.
“Aku kira juga begitu,,”
jawabku dengan santai. Nampaknya Rini masih belum puas dengan penilaiannya, dia
beberapa kali menanyakan beberaapa hal, tapi dengan rileksnya Gagah menjawab
semua pertanyaan Rini dengan sederhana namun berkesan. Tak ayal tepuk tangan
mengudara saat Gagah menutup jawaban.
Sepulang kuliah aku berpapasan
dengan seorang cewek, rasanya sangat tidak asing. Dadaku berdegup kencang.
Bukankah itu tunangan Aldo? Aku menghentikan langkahku dan menatapnya nanar
dari kejauhan, iya tak salah lagi itu adalah tunangan Aldo, ada urusan apa dia
dataang ke Bandung. Sesaat datang mobil avanza hitam, mobilnya Gagah. Ah, aku
jadi lupa kalau Gagah dan wanita itu sepupu.
___
“Cika, ngomong-ngomong kamu
masih suka sama Gagah?” tanyaku pada Cika disela-sela makan siang di warteg
dekat universitas. Universitaku dengan Cika memang berdekatan.
“Kenapa emang?” tanyanya.
“Tadi di kelas, aku ketemu
sama dia. Ternyata dia jadi salah satu dosen kami disana.”
“Aku nggak tau ya Mi, “
katanya berfikir, “Sekarang ini aku tak terlalu memikirkannya, tapi kekagumanku
masih tak hilang. Hanya saja aku sedang dekat dengan seseorang sekarang,”
katanya malu. Aku menenggak minumanku dengan susah karena kaget.
“Serius??” tanyaku. Dia hanya
mengangguk. “Gimana orangnya, ceritakan padaku,” pintaku antusias. Dengan
sedikit malu dia mulai menceritakan detail seseorang yang sedang dengannya itu.
Bermula dari pertemuannya saat opspek, cowok bernama Rudi itu adalah kakak
tingkatnya. Cika bilang, dia terpesona saat Rudi mengisi ceramah waktu itu di
mushola, “Penampilan sederhana sekali Mi, tapi rapi dan yang pasti dia mengerti
agama,” tegasnya.
“Terus kalian pernah saling
hubungi lewat telepon?” selidikku.
“Ya, sesekali Rudi menelponku,
tapi aku tidak mau berharap banyak padanya Mi. Dia banyak didekati teman
sekelasnya,” Cika menghela nafas berat. Aku teringat akan tunangan Aldo yang
tadi bersama dengan Gagah, karena penasaran aku pun menanyakannya pada Cika.
Cika bilang dia sedang melanjutkan studinya di Bandung, dia sengaja dikirim
oleh keluarganya untuk tinggal bersama keluarga Gagah untuk sementara, sekalian
dia belajar agama.
“Begitu berita yang kudapat
dari mama,” kata Cika.
“Kamu tidak pernah menghubungi
Aldo?” tanyaku memberanikan diri.
“Aldo sibuk sekali Mi, tapi
sesekali dia pernah mengirimiku surat. Dia melarangku untuk memberitahumu, dia
takut itu akan membuatmu semakin benci padanya. Dia sampai detik ini masih
mencintaimu Mi, tapi dia takut kamu tidak mau memaafkannya.” hatiku sakit
rasanya, air mataku menggenang. “Maafkan aku, sebenarnya aku dilarang
memberitahumu, tapi aku kasihan pada kalian, papanya Aldo masih bersih keras
dengan perjodohan ini, padahal setahuku Pipit, tunangan Aldo juga tidak setuju
dengan perjodohan ini, tapi dia bilang demi kebahagiaan kedua orang tuanya dia
rela melakukan apa saja.”. Air mataku terus saja menggenang, Cika memelukku
lalu mengajaku pulang ke rumah.
___
Waktu terus berjalan, kuliahku
semakin padat saja, sampai suatu hari aku pergi ke pantai untuk refresing.
Penat sekali dengan tugas-tugas kuliah. Aku sengaja tidak mengajak Cika, dia
sedang ada kerja penelitian bersama Rudi, aku takut mengganggu, jadi aku hanya
pergi sendiri. Aku berjalan di tepi pantai sambil sesekali memotret keindahan
pemandangan sekitar pantai yang diapit oleh dua buah bukit yang membentang
hijau. Kebetulan ini hari libur, jadi pantai sedikit ramai lalu kuputuskan
untuk mencari tempat yang lebih tenang.
Saat hendak berbalik aku ditabrak
oleh seorang gadis kecil dia terjatuh lalu meringis, “Astgfirullah, adek maaf,
kakak nggak sengaja. Eh, Riska ?” Riska juga kaget melihatku. Dia memelukku.
“Kak Mia, kangenn,,” katanya
manja. “Kak Mia jahat, kenapa waktu di rumah bibi, kakak pergi nggak ngasih tau
Ris,,” Riska cemberut. Aku agak jongkok untuk mengimbangi tingginya.
“Maafin kakak ya sayang,
bukannya kakak nggak mau kasih tau Ris, tapi kakak ada keperluan mendadak yang
nggak bisa di tunda, “ astagfirullah, aku terpaksa membohongi Riska. Dia
tersenyum lagi.
“Tapi Ris senang karena waktu
itu Ris bisa digendong sama mas Aldo, becanda juga, tapi mas Aldo nggak banyak
senyum, kayaknya lagi sakit.” tutur Riska polos. Bayangan-bayangan Aldo kembali
menari dalam otakku, aku termenung beberapa saat sampai seseorang yang suaranya
tak asing memanggil Riska. Itu suara Gagah.
“Mia? Lagi ngapain disini?”
“Lagi refreshing, suntuk
dengan tugas kuliah,” jawabku lalu bangun dari posisi dudukku tadi. Riska
langsung berhambur dalam gendongtan kakaknya.
“Mas, sekarang kak Mia bisa
kembali ke rumah lagi dong, “ dengan polosnya Riska berkata seperti itu pada
kakaknya, aku hanya tersenyum, Gagah bingung harus menjawab apa.
“Kakak nggak bisa ke rumah
dulu sayang, kakak harus kuliah dulu biar kakak bisa pintar bercerita kayak mas
Gagah,” jawabku.
“Iya deh, kan dirumah juga ada
kak Melati yang dongengin Ris,,”
“Siapa itu kak Melati?
Pacarnya mas Gagah ya?” tanyaku.
“Bukan,,!!” jawab Gagah
spontan, kelihatannya sadar dengan reaksinya ia langsung tertawa kikuk, “Dia, mm,,
tunangannya Aldo,” lanjut Gagah agak sungkan menyebut nama Aldo.
“Iya, dia pacarnya mas Aldo,
kan pacarnya mas Gagah itu kak Mia,” potong Riska.
Selanjutnya kami bermain
bersama disana, kebetulan juga aku merasa bosan di pantai sendiri, jadi
kuputuskan untuk bersama Gagah dan Riska menghabiskan waktu di pantai.
Kebetulan sudah dibangun musola di selitar sana jadi mudah saja jika kita ingin
sholat. Riska memaksa ingin melihat sunset jadi kami dengan terpaksa ikut
sampai sore menemaninya. Nyatanya yanng mengajak malah tertidur dengan
pulasnya. Karena sudah terlanjur sampai sore kami putuskan untuk ikut menikmati
sunset dari pinggir pantai bersama Gagah yang tengah menggendong tubuh mungil
Riska yang tengah tertidur.
“Mia,.” tiba-tiba Gagah
berkata memecah keheningan. Aku menengok kearahnya yang tengah tersenyum
sembari melihat sunset. “Apa perasaanmu pada Aldo seperti sunset ini?”
tanyanya. Aku mengerutkan dahi.
“Maksudnya?”
“Iya, sunset yang selalu
menemani sang sore dengan setianya.” aku semakin bingung. “Bisakah perasaanmu
itu seperti bulan saja, yang setiap hari semakin berkurang dengan berjalannya
waktu.,” aku terlonjak, apa benar Gagah menaruh hati padaku?
“M, maksudnya?: tanyaku
pura-pura tidak tau.
“Saat kamu memakai hijab saat
itu aku sangat senang, sebelumnya di Bali aku sengaja membelikan buku itu
padamu bukan karena ibu sudah punya. Aku hendak membicarakan hal serius
denganmu sebelum kutahu kamu dan Aldo memliki hubungan spesial.” aku menatap
nanar kearah sunset. Gagah masih saja setia dengan pandangannya, mengarah
kearah sunset yang sebentar lagi terbenam. Aku tak mampu berkata-kata, aku
tidak merasakan getar-getar seperti saat aku betrsama Aldo di pantai di Bali
dulu. Aku sungguh bingunng dengan kejadian ini, aku memang sempat menaruh
perasaan dulu pada Gagah, tapi rasa itu sudah lenyap sejalan dengan besarnya
perhatian Aldo padaku.
“Aku mengatakan ini bukan
untuk medapat jawaban darimu, aku lega bisa mengungkapkannya, hanya itu saja
tak lebih. Aku harap kamu tidak menjadikannya bebab yang berarti” katanya
tersenyum kearahku. “Ayo pulang!” dengan santainya dia menngajakku pulang
seperti tidak pernah terjadi sesuatu.
Aku hanya menurut, karena aku
sungguh tak tahu mau bilang apa jika Gagah meminta jawaban dariku, aku tenang
jika sedang bersamanya karena dia sudah seperti guru spiritual bagiku, tak
lebih. Kami pulang, Gagah menyetir dalam diam, entah apa yang sedang berkecamuk
didalam kepalanya, aku tidak tau, aku sungguh tidak bisa menebaknya, sampai
detik ini aku belum yakin bahwa dia memiliki perasaan padaku, karena dia selalu
datar saat bersama denganku, tidak bisa kubaca sama sekali. Imajinasiku terus
melayang menggapai dunia seorang Gagah yang sampai saat ini belum kumengerti,
aku hanya mengerti bahwa dia orang yang mengerti tentang agama, itu saja.
___
Hari-hariku berlangsung dengan
wajar, Gagah seperti biasa menjadi dosenku, malahan sepertinya dia semakin
bersemangat, dia beberapa kali bertemu denganku dan dengan enjoynya dia
mengajakku berbincang dan menceritakan keinginan Riska untuk jalan-jalan laagi
bersamaku.
Minggu pagi aku mendapat
sepucuk surat dari seseorang yang tidak diketahui namanya, dia hanya menulis
kata “pengembara yang singgah”. Aku membuka surat itu,
Assalamu’alaikum, kesejahteraan semoga selalu menyertai
harimu.
Aku merasa bersalah karena telah menungkapkan perasaan
hatiku padamu, tak seharusnya aku melakukan itu, namun kurasa dengan
memberitahumu semuanya akan menjadi lebih baik. Namun sayang, ternyata itu
malah membelenggu jiwaku, aku diajak bu’ de untuk tinggal di Jakarta, sebenarnya
aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan yang sudah diamanahkan kepadaku, yakni
mejadi dosen. Namun, jika kamu berfikir aku menyetujui untuk pergi ke Jakarta
sepenuhnya karenamu, tidak benar Mia, aku minta maaf, aku tahu setelah saat itu
kamu merasa terbebani. Tapi sekali lagi aku tidak berniat agar kamu menjawab
semua itu, aku tau hatimu kan selalu ada untuk satu orang, yakni Aldo. Aku
mengerti akan hal itu Mia. Maafmu sungguh berharga untukku, Mia. Sekali lagi
maafkan aku.
Wassalamu’alaikum.
Gagah
“Maafkan aku juga Gagah,,” batinku.
Sebelum berangkat ke kampus aku menyempatkan untuk
bertemu Cika di taman sambil ngegoole tugas-tugas kuliah. Cika tidak datang sendiri, dia bersama seorang
cowok, tampan dan berpakaian rapi, sepertinya dia yang dimaksud oleh Cika waktu
itu, kalau nggak salah namanya Rudi. Usai mengucap salam kami mencari tempatt
duduk yang cukup teduh disekitar taman. Rudi anaknya cukup asik diajak ngobrol,
apalagi soal agama, pantas Cika kecantol.
Saat mencari tugas aku iseng membuka akun facebookku
siapa tau susi dan Via sedang online, batinku. Benar saja, Via sedang online,
dia langsung mengirimiku pesan.
Vheea_humanlovesmusic
Bu guru kenapa tidak pernah ada kabar?”
Mia Citra
Hehe, tugas menghantui setiap hari. Bagaiman disana, kalian berdua
baik-baik saja kan?
Vheea_humanlovesmusic
Begitulah, bedanya tidak ada kalian bertiga. Oh ya tadi aku baru saja
selesai chatting dengan Aldo. Tumben sekali bos sok sibuk itu membalas pesanku.
Kalian ada masalah ya? Barusan waktu ditanya soal kamu, dia bilang sudah lama
tidak berhubungan denganmu, kalian putus?
Mia Citra
Seminggu setela keberangkatan kalian ke AS, Aldo dojidohkan dengan
sepupunya Gagah. Karena tidak tau, aku mengiyakan ajakan keluarga Gagah untuk
ikut ke acara itu, dan begitulah, semuanya terjadi.
Vheea_humanlovesmusic
Whaatttt???!!! Kenapa bisa?? Sayangku, maaf aku tidak tau. Apa kalian tidak
pernah berhubungan sejak saat itu?
Mia Citra
Ia, aku kubur dalam-dalam kenanganku bersamanya.
Vheea_humanlovesmusic
Sudahlah, manusia sejenis Aldo itu kan masih banyak, bila perlu aku
kenalkan pada teman-temanku disini, ada yang mancung hidungnya sepuluh senti,
dua puluh, yang satu meter pun akan kucarikan. Hehe
Mia Citra
Makasih, aku nggak tertarik, disini juga masih antri banyak yang ngvantri,
he.
Vheea_humanlovesmusic
Ya udah deh, udahan dulu ya, aku dan Susi sedang ada proyek nih. Ingat
rencana sosial kita terhadap anak-anak jalanan itu? Nah, sepertinya kami sudah
menemui titik terang disini.
Mia Citra
Alhamdulillah, aku senang dengernya.
Vheea_humanlovesmusic
Iya, udahan dulu ya. Sampai nanti, bye.
Obroalan dimatikan.
Aku terpikir lagi dengan perkataan Via tadi, apa didalam
hati Aldo masih tersimpan semua kenangan tentangku? Aku berharap sekali seperti
itu, tapi secepatnya aku harus bisa melupakannya karena dia akan memilik istri
cepat atau lambat.
“Mia, sebentar lagi aku ada jam kuliah, kamu mau ikut ke
kampusmu sekalian nggak?” tanya Cika.
“Aku masih ada beberapa tugas yang harus dicari, nan\ti
aku belakangan, kalian berangkat aja dulu,”
“Baiklah kalau begitu, sampai nanti ya Mia.
Assalamu’alaikum” pamit Rudi.”
“Wa’alaikumussalam,”
Bersamaan dengan perginya Rudi dan Cika, aku kembali
dengan aktifitasku mencari beberapa referensi untuk pembuatan makalah dan
beberapa tugas lainnya. Semakin banyak mencari tugas aku semakin banyak
mengetahui tentang islam. Seperti kata pepatah, sekali mendayung, dua, tiga
pulau terlampaui. Aku bisa mencari tugas kuliah sembari menambahh ilmu tentang
agama.
Benar saja hari ini dikelas heboh karena saat mata kuliah
yang dipegang oleh Gagah diganti ole dosen lain, semua bertanya-tanya, kecuali
aku.
“Pak Gagah pindah tugas ke Jakarta atas permintaan kedua
orang tuanya, jadi saya yang akan menggantikan beliau untuk mata kuliah sejarah
islam,” terang dosen perempuan berjilbab biru langit itu.
___
Satu tahun kemudian
Ada telepon masuk pagi-pagi sekali, dari nomor baru.
“Mia sayang, ini Via.”
“Ya Allah, Via. Kapan pulang?” tanyaku pada suara di
seberang sana.
“Kemarin. Oh ya, aku ada hadiah buat kamu”
“Oh ya, kapan ketemu?”
“Besok di Bali,”
“Hah? Bali?”
“Iya, kita akan ke Bali selama lima hari”
“Ide siapa ini? Cika udah tau belum?”
“Udah, kita ke resortnnya yang dulu itu lagi sayang,,”
“Oke, kapan?”
“Besok ini”
“Besok??”
“Iya, nggak pake tapi. Yaudah ya aku mau mandi. Bye”
Tut.
Dengan santai Via menutup telepon, aku turun kebawah
untuk menemui mama sekalian minta izin untuk acara besok. Mama tselalu tidak
keberatan jika aku bersama tiga sahabatku itu. Aku happy sekali pagi ini,
awalnya aku kira liburan tahun ini akan membosankan tanpa sahabatku itu. Dengan
semangat aku mempersiapkan segala sesuatu yang akan kami perlukan selama di
Bali.
Keesokan harinya di Bandara tanpa aba-aba aku langsung
memeluk Via dan Susi, melepas rindu pada kedua sahabatku yang selama satu tahun
teraakhir hijrah di negeri orang itu.
“Ya Allah, musisi kita satu tahun di AS sudah mirip bule
aja,” godaku.
“Ah, bu guru juga sudah mirip guru sekarang, apalagi bu
dokter,,” katan Susi membalas gurauanku.
Perjalanan melalui udara tidak memakan waktu lama untk sampai
di Bandara Ngurah Rai. Untuk kedua kalinya aku datang ke Bali, ada yang kurang
rasanya, ya kurang. Aldo.
“Kita tidak langsung ke resort ya, kita ke pantai dulu.
Masih belum pada capek kan?” kata Susi mengusulkan. Semua setuju.
Sampai di Pantai kira-kira pukul 5 sore, kami sengaja
kesana untuk sekedar sunset-an bersama. Kami mencari pantai yang tidak banyak
pengunjngnya. Kami menghabiskan waktu ditemani sunset, bercerita tentang
berbagai hal, Susi dan Via sedang suka sama satu cowok. Waduh, berabe urusannya,
dua musisi dengan satu cowok? Bagaimana jalan ceritanya itu, apa mereka akan
saling bersaing dengan cara membuat konser musik terbagus? Entahlah.
“Matanya biru, hidung mancung, pintar main segala alat
musik lagi” Susi berkomentar pertama, disusul oleh Via yang tak kalah lebay.
“Sekali dia mainin alat musik nih, wuih, cewek-cewek
disana pada nggak sadarkan diri,” semua tertawa kecuali Susi.
“Tapi anehnya, belum punya pacar dia ampe karang,” timpal
Susi lagi, dijawab anggukan mantap oleh Via. Begitu terus sampai mereka merasa
bosan lalu berhenti membicarakan makhluk yaang bernama Michael itu. Susi dan
Via masih belum mau mengajak kami ke resort, katanya pengen jalan-jalan di Bali
dulu. Yasudah akhirnya harus ngocek kantong deh berkeliaran di pasar-pasar di
Bali.
Hingga sampai pukul 10 malam akhirnya mereka berdua
nyerah dan ikut ke resort, belanjaan mereka sudah menggunung dan sepertinya
mereka kewalahan sekali membawanya, dengan tertatih-tatih mereka mebawa barang
mereka dibantu aku, Cika dan pelayan. Sebelum tidur aku ingin menghirup udara
segar dari balkon yang pemandangannya langsung tertuju ke arah pantai. Sejenak
terlinas ingatan-ingatan tentang Aldo dalam benakku, aku segera berlalu dari
tempat itu, aku tidak mau semua kenangan itu membuatku tenggelam lebih jauh
lagi kedalam kesedihan.
Esoknya selesai sarapan Susi mengajak kami untuk
jalan-jalan keliling Bali seperti biasa, namun aku tidak bisa ikut karena
perutku terasa amat sakit sebab datang bulan. Setelah memberiku obat, Cika,
Susi, dan Via pamitan untuk pergi. “Jika kamu butuh apa-apa panggil saja
pelayan, dan kalau sakitnya udah mendingan kamu bisa menyusul nanti, aku sudah
tinggalkan pespa, kuncinya minta saja sama pelayan,” pesan Cika sebelum pergi,
aku hanya mengangguk kecil sambil menahan sakit dari atas ranjang.
Beberapa jam setelahnya, alhamduliullah perutku terasa
agak mendingan. Merasa bosan di resort aku memutuskan meminta kunci pespa pada
pelayan lalu melaju di jalan yang tidak terlalu ramai di sekitar resort. Cuaca
pagi ini tidak terlalu cerah, maklum saja sedang musim hujan, semoga saja tidak
hujan. Angin semilir di dekat pantai menggelitik lembut kulit wajahku yang
terbalut kerudung warna merah muda. Aku mengirimi Cika pesan, menanyakan dimana
posisi mereka sekarang.
“Kami sedang di halte dekat pasar, sedang menunggu bus
yang lewat.” kata Cika membalas pesanku. Jarak tempat itu dari sini hanya
memakan waktu kurang dari 10 menit. Ku kemudian pespa warna biru itu menuju
tempat yang di bilang Cika. Sayangnya sekitar beberapa puluh meter dari halte
itu hujan turun dengan derasnya, aku basah kuyup dan sampai disana aku tidak
menemukan satu orang pun, hanya aku sendiri di halte itu dengan tubuh yang
basah kuyup.
Beberapa menit kemudian aku dikagetkan dengan kedatangan
seseorang dari belakang yang langsung menyelimuti punggungku dengan jasnya, aku
tersentak dan langsung mengahdap kearah datanngnya orang tersebut. Detik itu
juga jantungku bekerja ekstra memompa darah menuju sekkujur tubuhku yang sedang
menerima respon yang tidak terduga. Kembali kenangan yang bertahun-tahun itu
coba ku kubur dalam-dalam dalam memoriku, terkuak kembali bagai
potongan-potongan puzle. Kini senyum makhluk yang sedang berdiri dihadapanku
itu memudar, menyisakan sesungging senyuk yang dipaksakan, matanya sayu menatapku
dengan penuh rasa sesal. Hampir saja aku limbung, ku kuatkan pertahanan tubuhku
yang masih terasa memijak bumi.
Aku alihkan pandanganku pada kearah rintik-rintik hujan
yang kian deras, aku tak mampu menatap wajah yang hampir terasa asing bagi
mataku, tapi tidak untuk hatiku. Diam, hanya suara percikan air hujan yang
terdengar memainkan irama yang tak beraturan, aku antara percaya dan tidak,
bahwa sosok yang bertahun-tahun menghilang itu kini kembali bersua kembali,
berdiri di depanku.
“Mia,,” samar-samar diantara derasnya hujan suara Aldo
merayap ke pendengaranku, aku tertegun. Aku baru percaya bahwa sosok yang
sedang ada dihadapanku ini adalah Aldo, iya ini Aldo tidak salah lagi. Entah
apa yang sedang kurasakan saat ini, antara bahagia dan marah, sakit sekali.
Perasaanku masih beradu, tak ada yang mau mengalah sehingga aku hanya mampu
meneteskan air mata, air mata yang terus keluar beradu dengan derasnya hujan
yang menghujam bumi bagai rasa sakit yang sedang menghujam hatiku, sakit. Tapi
tak bisa kupungkiri dibalik rasa sakit itu ada rasa legsa tersendiri dalam
hatiku, selama bertahun-tahun aku ingin satu kata penjelasan dari mulut Aldo,
kini satu kata panggilan darinya terasa cukup menjawab semuanya, ya iya masih
mencintaiku. Aku tau itu, ucapan yang barusan bukan kebohongan.
“Maafkan aku,,” kembali dengan dipaksaan suara Aldo
mengiang ditelingaku, air mataku masih saja tidak mau berhenti, masih butuh
waktu. Aku masih tak mau memalingkan wajahku kearah suara itu berasal, masih
butuh waktu.
Lama, air mataku perlahan surut dan akhirnya hanya
tinggal sesekali masih sesenggukan. Aldo dengan setia menungguku melampiaskan
perasaanku, dia pasti amat mengerti itu. Bahkan mungkin dia sudah siap jika
tubuhnya menjadi tempat pelampiasan rasa sakit di hatiku, tapi tidak Do, ini
bukan tangisan pilu semata. Ini tangis kebahagiaan, karena kamu kembali,
kembali untuk menjelaskan semuanya.
Hujan sudah mulai reda menyisakan satu dua titik yang
jatuh dengan anggunnya. Aku mencoba tersenyum, menatap kearah sosok yang dengan
setia berdiri di depanku.
“Air hujan ini turun sebagai rahmat dari Allah, ia
menyapu bersih semua polusi di udara. Begitupu aku Do, air mata itu sudah cukup
untuk menyapu bersih segala rasa sakit yanng ada di hatiku, air mata itu pun
bukan semata-mata karena rasa sakit. Aku lega, karena kamu sekarang ada di
hadapanku Do, kamu datang” mata yang sayu itu sekarang sedikit demi sedikit
mulai menampakan sinarnya.
“Apa kamu sungguh tulus memaafkanku? Memaafkan aku yang
dengan teganya meninggalkanmu tanpa satu katapun penjelasan, memaafkan aku yang
jahat ini,”
“Dengan berdirinya kamu dihadapanku saat ini sudah
menangguhkan semuanya Do, sudah cukup. Sungguh” tegasku. Satu tetes berlian itu
meluncur dari pelupuk matanya yang kemba;li bersinar itu, tangisan haru dan
senang tentnya, aku tau dia juga lega.
“Aku minta maaf,,” kata itu yang keluar disela
tangisannya. Aku hanya mengangguk mantap sembari tersenyum tulus, aku sangat
lega. Aldo tersenyum kearahku sambil mengeluarkan sesuatu dari sakunya, itu
cincin yang dulu kuberikan lewat Cika.
“Kumohon kamu bisa memakai ini kembali,” katanya, aku
hanya mengangguk tersenyum. Aldo pun memasangkan cincin itu kembali dijari
manisku. Sedetik kemudian bus datang dan berhenti tepat di halte itu, kami
berdua menengok dan munculah tiga orang sambil nyengir tak karuan, aku tau
pasti ini semua mereka punya ide.
“Ciye, ciye yang celebek,,” kata Susi menggodaku. Aku
hanya cemberut menatapnya.
“Jangan lupa traktir lo Do, ingat kan siapa yang berjasa
disini,” sambung Via dengan sok. Aldo hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Selamat ya,” kata Cika tulus, hampir saja ia meneteskan
air mata, tapi langsung ia tahan dengan menengadahkan kepalanya keatas.
Kami hendak naik keatas bus tapi di stop oleh Susi,
“Kalian berdu anaik pespa aja, masak pespanya mau di tinggal disini,” aku lupa
denga pespa itu. Aldo memboncengku pulang menggunakan pespa itu. Aku tersenyum
senang, cuaca yang masih mendung seakan ccerah tanpa awan, mentari seakan
tersenyum kearah kami berdua.
Di resort ternyata Gagah dan Melati sudah menunnggu, aku
kaget. Aldo mengajakku duduk di meja dekat mereka. Kami berkumpul bersama,
Cika, Susi dan Via juga ikut. Ternyat Melati yang selama ini selalu menurut
akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan isi hatinya pada kedua orang
tuanya, dia mengatakan bahwa sejak dulu dia sukanya pada Gagah bukan Aldo. Pada
awalnya kedua orang Melati marah karena mereka sudah resmi bertunangan. Namun,
karena saat itu Aldo pun ada disana dan menegaskan bahwa ada cewek lain yang ia
sukai. Beberapa hari setelah itu kedua belah pihak orang tua Melati da Aldo
berunding, walau dengan sangat berat hati, mereka akhirnya menyetujui pendapat
keduanya.
“Jadi mas Gagah dan Melati sekarang sudah tunangan,
cincin yang di mas Aldo di pindah alihkan oleh papa ke tangan mas Gagah” kata
Melati yang sekarang juga sudah memakai jilbab, terlihat semakin cantik dengan
jilbab warna biru membalut wajah mungilnya. “Maaf ya Mia,,” sambungnya lagi.
“Oh, malah aku lagi yang harusnya bilang makasih,,”
1 tahun kemudian.
Papa dan Mama kaget dengan kedatangan Aldo saat itu
sepulang dari Bali, Aldo mengatakan ingin melamarku di depan papa dan mama. Mas
Bagas yang sedang di luar kota di telpon sama Mama, dia minta untuk ngomong
sama Aldo, entarh apa yang mereka bicarakan, ku tebak pasti Aldo di ceramahi
berkali-kali agar menjagaku dengan baik.
Gagah dan Melati menikah duluan 4 bulan kemudian di
tanggal yang sudah di tetapkan untuk Aldo waktu itu. Rudi penah ikut ke rumah
Cika, berkenalan dengan papa dan Mama Cika. Kata Cika, dia sempat takut banget
jika Rudi akan di cueki sama Mama dan Papanya. “Tapi ternyat Rudi itu pintar
sekali mengambil hati papa, aku juga kaget saat papa dengan rileksnya ngobrol
sama dia, sambil ketawa-ketawa lagi” kata Cika.
Susi dan Via mengirimi email, katanya dia tidak mau lagi
berebut makhluk berhidung mancung bernama Michael itu, mereka ingin mencari
cowok asli Indonesia saja. “Lebh original,,” kata mereka persis. Ada-ada saja
mereka.
Mereka juga sudah merealisasikan mimpi mereka, sudah ada
dua tempat tongkrongan anak jalanan yang mereka rubah menjadi tempat khusus
untuk mengajar anak-anak jalanan bermain mucik dan memberi mereka beberaoa buku
pelajaran dan juga guru pengajar. Susi dan Via tidak memakai uang sendiri, ia
telah menyebar proposal di berbagai LSM, dan ada beberapa yang menerima dan
mebiayai mereka. Aku dan Cika jga ditugaskan untuk mengajar mengaji disana.
“Mi, nanti kalau kita nikah, kamu penngen punya anak
berapa?” tanya Aldo. Aku yang sedang diboncengnya menggunakan pespanya kaget
dan mencubit pinggangnya. Dia sedikit limbung dan tertawa. Kami baru saja
pulang dari membeli peralatan untuk membuat undangan pernikahan.
“Itu biar Allah yang atur,” jawabku.
“Iya bu Ustazdah,,” katanya lagi sambil terus
berkonsentrasi dengan pespanya.
Satu minggu, semua persiapan sudah beres, aku sedang di
temani Cika menata make upku. Tanganku dingin sekali. Cika menatapku lembu,
memegang pundakku, aku mengangguk mantap. Dia membwaku menuju tempat dimana
akan terjadi proses yang sangat sakral, proses yang akan menyempurnakan agamaku.
Kulihat Aldo sudah berada di depan pak penghulu, bersama
denga papa dan jjuga papanya Aldo. Ada Susi, dan Via juga yang mengenakan
kebaya, cantik sekali. Mereka bela-belain untuk izin untuk melihat prosesi
pernikahanku. Gagah dan Melati terlihat duduk berdua, di pangkuan Melati
terlihat gadis kecil yang sedang tersenyumkearahku, siapa lagi kalau bukan
Riska, dan tentunya mamanya Gagah juga selalu terlihat cantik dengan balutan
gamis indah berwarna kalem. Rudi menatap kearah sini, aku tau dia sedang memperhatikan
makhluk cantik yang sedang bersamaku.
Aku duduk di dekat Aldo, tanganku masih terasa dingin,
aku merasa tegang. Berada di depan orang banyak. Aku beristigfar beberapa kali
sampai tenang. Aldo terlihat gagah dengan menggunakan baju koko berwarna putih,
senada dengan kebaya yang ku gunakan.
Setelah beberapa acara pembukaan, akhirnya sampai pada
acara ijab kabul. Aldo terlihat menarik nafas, saat ini aku tengah duduk
bersanding dengan calon imamku, kekasihku yang akan menjadi pemimpin keluargaku
kelak, setelah berbagai rintangan telah kami lalui, aku meneteskan air mata
kembali, diikuti oleh Aldo yang sedang mengucap ijab, setelah selesai seisi
ruangan menggema dengan ucapan “Barakallahulakumawabarokah..” aku mencium
tangan Aldo yang sudah sah menjadi imamku sekarang, Aldo pun balik mengecup
keningku tulus, ya itulah Aldo dengan segala ketullusan cintanya padaku, sampai
detik ini.
___
Rembulan terlihat begitu indah, apalagi di lihat di tepi
pantai. Acara jalan-jalan malam di pantai sudah menjadi rutinitas mingguan
bagiku dan mas Aldo, aku yang punya ide.
“Jika berada di pantai saat malam hari seperti ini, aku
selalu teringat tingkah mas yang konyol dulu,” kataku.
“Yang mana?” tanyanya.
“Yang mana lagi, ya saat mas ninggalin aku dengan berjuta
tanya di kepalaku. Udah megang tangan orang tanpa izin, eh di lepasin, terus
pergi,,:” jawabku kesal. Dia tertawa.
“Maaf, memangnya saat itu kamu pengennya aku bilang apa?”
godanya.
“Ya apa kek gitu,, jangan cuma bengong”
“Iya deh nggak lagi, itu kan dulu masak ngambeknya sampe
sekarang”
“Bukannya gitu, aku masih kesal aja,,” jawabku enteng.
“Saat itu sebenarnya udah pengen bilang, tapi karena
cuacanya dingin mas nggak bisa nahan pengen pipis, akhirnya tanpa permisi mas
cabut aja ke kamar mandi,” katanya sambil tertawa. Aku kesa lalu memukul-mukul
lengannya, dia semakin tertawa keras...
Akhirnya ketulusan itu menjadi suatau yang sangat manis
saat semua disempurnakan dengan sebuah ikatan yang sakral bernama pernikahan.
Aldo, menjadi sosok pemimpin yang begitu sempurna dimataku, ketulusannyalah tak
pernah pudar dan takkan pernah habis seperti layaknya air laut.

iihhhhh.... asli keren, sampai meneteskan air mata q bacanya mbaq,,
BalasHapusda sedikit kilasan yg membuatku teringat akan kisah ku sendiri yg membuatku terhanyut dalam kesedihann,,, hikz,,, :(
tp asli mbaq,,, bagus sekali cerpennya, asli ngiri sama tulisan cda ne,,, da sih beberapa tempat yg bikin bosen bacanya,,, tp ndk trlalu kntara kok kalau dah dlanjutin, asli gua ngefans sama cerpen ne... endingnya mantap mbaq... ih pokoknya bagus bangett,,,
perjalanan ceritanya membuatku trhanyut,,, keren keren kerennn deh pokoknya... hehe :D
kutunggu krya lainnya mbaq...
semangattt !!
alhamduliollah,, makasih atas masukan dan kekagumannya, hehe
BalasHapusinsya Allah, do'ain aja semoga cerpen selanjutnya cepat rampung dengan terselesaikannya tugas-tugas yang bikin mumet kepala. hehe
sekali lagi makasih ya Put udah jadi pembaca setia cerpen-cerpen saya.
hehehe,,, iya say,,, Macama :D
BalasHapus