“Bu, Min Ji berangkat ke sekolah dulu ya,” kata gadis berparas mungil dan bermata sipit berkelopak satu itu menghampiri ibunya di dapur, setelah memakai seragam khusus musim dinginnya. Sang ibu yang tengah asik memasaak menengok dan tersenyum melihat sang anak.
“Anak ibu cantik sekali pakai baju SMA. Semoga di sekolahmu yang baru kamu dapat teman yang baik ya,” harap sang ibu. Min Ji hanya mengangguk dengan patuh. “Satu kecupan keberuntungan untuk anak ibu tersayang,” ujarnya lagi sembari mengecup kening Min Ji.
“Terimakasih bu,” Min Ji pun bergegas pergi, sebelumnya ia menyambar payung yang berada di dekat pintu masuk. Angin musim dingin menyambutnya saat keluar dari rumahnya. Sang ibu tersenyum bahagia melihat anaknya yang tumbuh semakin dewasa setiap harinya.
Min Ji sampai di halte bis yang berjarak kurang lebih seratus meter dari rumahnya. Halte bis terliat sepi. Min Ji duduk di bangku yang tersedia di sana dan mengambil sebuah buku harian dari tas punggung berbentuk teddy bearnya.
kesepian menjadi teman dudukku di halte bis. Pikiranku terbang melanglang buana bersama dengan terpaan angin musim dingin. Akankah Tuhan berkenan menurunkan seorang bidadari tuk temani sepiku?
Min Ji menutup buku hariannya setelah menulis beberapa kalimat seperti yang biasa ia lakukan ketika tak ada temannya bicara. Ia memang seorang yang jarang mengungkapkan perasaannya pada orang lain, termasuk pada ibunya. Ia lebih senang mencurahkan isi hatinya pada buku harian. Beberapa saat kemudian bis yang ia tunggu-tunggu datang juga, Min Ji bergegas naik.
Min Ji turun di halte dekat sekolah barunya, salju satu persatu mulai berjatuhan, Min Ji mengambil payungnya untuk melindungi dirinya dari salju. Belum ada satu orang pun yang datang, pantas saja, sekarang masih pukul 6 pagi. Sebelum memasuki sekolah barunya, Min Ji terdiam memandangi sekolah barunya dan meletakkan kedua tangannya pada gerbang sekolah. Min Ji memejamkan matanya sambil berdoa.
____
Seorang gadis berparas cantik berseragam sekolah tengah asik membaca buku di ruang tamu dengan serius. Tatapannya seakan enggan berpaling dari buku di hadapannya itu. Seakan buku itu adalah sebuah barang berharga yang tak ternilai harganya.
“Non Na Yong belum berangkat sekolah? Ini sudah mau jam tujuh,” wanita separuh baya mengalihkan perhatian gadis yang bernama Na Yong tadi dari buku bacaannya. Ia menoleh dan tersenyum lalu menatap jam tangannya.
“Oh iya, baiklah Bi, Na Yong berangkat.” Na Yong memasukkan buku yang tadi ia baca ke dalam tas punggung berwarna putih polosnya lalu bergegas keluar.
“Non bawa payungnya,,” teriak wanita paruh baya yang merupakan pembantunnya tadi di ambang pintu. Na Yong yang telah bersiap dengan sepedanya menoleh.
“Kan sudah ada ini,” ujarnya memperlihatkan baju hujan transparan yang sudah ia kenakan serta payung kepala juga. “Baiklah Na Yong berangkat,” ia lalu mengayuh sepedanya menuju sekolahnya.
Na Yong memasuki kelasnya. Kelas pertamanya di sekolah barunya. Na Yong menghela nafas panjang karena jengkel, pasalnya ia siswa terakhir yang masuk dan terpaksa harus duduk di meja paling belakang, sendirian pula. Untuk mengurangi rasa jengkelnya Na Yong mengambil buku yang tadi tak selesai ia baca lalu membacanya.
Min Ji ternyata satu kelas dengan Na Yong. Ia menatap Na Yong yang duduk sendiri dan duduk dua jarak meja dengannya. Disamping yang lain tengah berkenalan atau mengobrol ia malah memilih untuk membaca buku. Kedatangan seorang guru membuat aktivitas Min Ji memperhatikan Na Yong menjadi buyar.
___
“Nilai tertinggi di raih oleh Min Ji dan Na Yong, selamat ya,” ungkapn guru matematika mereka. Min Ji menoleh kebelakang dan mendapati Na Yong sedang tersenyum ramah pada teman-temannya yang memberikan selamat padanya.
Senyumanmu itu mengalahkan sinar mentari pagi pemberi kehidupan bagi setiap makhluk hidup di muka bumi ini.
Na Yong adalah siswi yang pandai bergaul dan teman sekelasnya merasa nyaman di dekatnya. Namun sampai satu bulan lamanya ia tak dekat dengan satu pun temannya. Ia masih tetap lebih suka berkutat dengan buku kedokteran yang sering ia baca setiap hari. Sedangkan Min Ji, ia memang tak pandai bergaul, ia hanya dekat dengan teman sebangkunya, Taeyon.
Jika sedang belajar kelompok Min Ji akan senang sekali berkelompok dengan Na Yong, dia kagum sekali pada Na Yong ketika ia berargumen. Sebenarnya Min Ji tak kalah pandai dengan Na Yong, hanya saja ia tak percaya diri mengeluarkan argumennya.
Min Ji ingin sekali dekat dengan Na Yong, mengungkapkan rasa kagumnya pada Na Yong, akan tetapi Min Ji yang memang tak pandai mengungkapkan perasaannya hanya bisa mengagumi Na Yong dengan diam.
___
Hari ini khusus untuk kelas satu, sekolah mengadakan acara pembacaan puisi. Kebetulan Min Ji sangat suka membuat puisi, ia pun ikut dalam kompetisi itu. Selama di ruang tunggu dia terlihat sangat gugup dan mencoba menenangkan diri dengan menggigit jari tangannya. Seseorang menarik tangnnya dan memberikan sebuah lollipop padanya.
“Kalau sedang gugup makan saja lollipop itu, permen akan membuat perasaan lebih tenang. Tangan kita mempunyai banyak bakteri, kalau bakterinya masuk ke tubuhmu bagaimana?” Min Ji terpaku melihat seseorang yang sedang menceramahinya.  Siapa lagi kalau bukan Na Yong. Min Ji hanya bisa terpaku dan Na Yong mengambil tempat duduk di dekat Min Ji.
“Min Ji, Semoga berhasil ya,” ungkap Na Yong dengan tulus sembari tersenyum dan beranjak dari tempat tadi. Na Yong menoleh ke belakang “Hwaiting!! (semangat!!)” ujarnya. Min Ji hanya mengangguk, perutnya terasa digeletiki ribuan kupu-kupu saking senangnya. Ia menatap permen tadi.
“Aku akan menyimpan ini, “ katanya sembari menitikan air mata.
Kupu-kupu dalam perutku menari mengetahui kau juga peduli padaku. Air mata suci ini pun menjadi saksi atas kebahagiaan yang tiada tara. Terima kasih, karena pada akhirnya aku tak sendiri.
___
“Besok merupakan hari ulang tahun Na Yong, aku harus memberinya hadiah. Tapi apa?” Min Ji tidak bisa tidur sejak tadi, ia hanya bergumam sendiri di kamarnya, memikirkan hadiah apa yang cocok untuk ia berikan pada Na Yong di hari ulang tahunnya besok.
Setelah beberapa kali memutar otak Min Ji teringat akan semua tulisan di buku hariannya yang telah ia tulis untuk Na Yong selama ini. Ia lalu berfikuir untuk mengungkapakan semuanya pada Na Yong.
Keesokan harinya Min Ji menaruh buku hariannya di tas Na Yong saat keluar main. Min Ji mengendap keluar setelahnya. Ia tak tau kalau baru saja Na Yong melihatnya dari luar. Karena penasaran Na Yong pun bergegas masuk dan melihat apa yang barusan Min Ji taruh di tasnya.
Na Yong membaca buku harian yang Min Ji berikan sebagai hadiah ulang tahunnya. Tak terasa air mata Na Yong mengalir  saat membaca bukti ketulusan Min Ji kepadanya. Dalam benaknya ia tak menyangka seorang Min Ji yang juga ia kagumi selama ini juga mengaguminya.
Suara bel memaksa Na Yong menghentikan membaca buku harian itu. Takut di ketahiu matanya sembab, Na Yong sengaja membaca buku dengan menunduk sampai bel pulang berbunyi.
Saat pulang sekolah Na Yong berencana mengajak Min Ji ke taman. Na Yong menunggunya di gerbang. Kebetulan hari ini sedang musim semi di Korea, tepatnya di Inceon. Angin musim semi memainkan rambut sebahu Na Yong, menerbangkannya seirama dengan terpaan angin membawa kelopak bunga yang berguguran.
Beberapa menit kemudian Min Ji datang, Na Yong tersenyum ke arahnya dan langsug menarik tangannya menuju taman yang tak terlalu jauh dari sekolahnya. kebetulan bunga yang berada di taman sedang bermekaran dengan indahnya.
“Ini,,!!” Na Yong memberikan ice cream stroberi pada Min Ji dan duduk di kursi yang berada di bawah pohon cherry yang bunganya tengah bermekaran. “Min Ji, terimakasih,,” ungkap Na Yong. Min Ji tak bergeming dan Na Yong tau sekali Min Ji tak bisa berbicara banyak, karena itu Na Yong memeluk gadis mungil itu. Mereka berdua larut dalam tangis kebahagiaan. Pada akhirnya mereka bisa mengungkapkan perasaan yang selama ini mereka pendam dalam lubuk hati mereka.
___
Setelah saat itu, hubungan Na Yong dan Min Ji jadi lebih baik. Mereka sekarang menjadi sahabat yang akrab. Namun ada satu masalah yang membuat mereka terkadang saling tak mengerti. Min Ji terkadang tak mau terbuka pada Na Yong, sedang Na Yong memang orang yang tidak peka. Ia hanya bisa tau kalau orang itu bicara langsung.
Pagi ini Na Yong terngiang akan perkataan ibunya padanya.
“Kenapa nilai ekonomi kamu seperti ini? Ibu menyekolahkan mu agar bisa meneruskan perusahaaan ibu. Lihat! Kenapa dalam pelajaran biologi nilai mu sempurna. Ibu tidak mau tau, ulangan selanjutnya nilai ekonomi kamu harus mendapat nilai sempurna! Ibu sedang sibuk, jangan buat ibu semakin pusing.” Na Yong tak pokus dalam menerima pelajaran sejak tadi pagi.
Saat jam keluar main Na Yong tak menghiraukan ajakan Min Ji untuk ke kantin bareng. Min Ji yang notabenenya gadis yang agak sedikit sensitive kaget dengan respon yang di berikan Na Yong padanya. Ia pergi sendiri ke taman sekolah dan meluapakan isi hatinya di sana.
Beberapa hari selanjutnya Na Yong sibuk dengan belajar ekonomi setiap saat, ia punya target untuk mendapat nilai tertinggi di ulangan kali ini. Untuk mengurangi kesepiannya Min Ji terkadang ikut ngobrol bersama teman sebangkunya walau hatinya ingin sekali menegur Na Yong.
Ketika Na Yong ingin mengajak Min Ji ke kantin bareng, ia melihat Min Ji tengah gembiranya bercengkrama dengan teman sebangkunya. Ia merasa, ternyata selama ini yang Min Ji butuhkan bukan teman seperti dirinya yang tak bisa mengerti akan diri Min Ji.
Waktu pun berlalu Min Ji dan Na Yong sama-sama tak ada yang mau mengalah dan lebih memilih menyembunyikan perasaan mereka. Min Ji semakin akrab dengan teman barunya sedang Na Yong semakin melebur dalam kegiatan belajarnya yang ekstra padat.
___
Min Ji tengah menunggu bis di halte dekat rumahnya. Ia menunggu sambil menghisap lollipop. Ketika sedang asik memainkan lollipop yang ada di mulutnya sambil memanyunkan bibirnya. Beberapa saat kemudian mobil yang agak tinggi lewat, Min Ji mendapati seorang gadis yang tengah berdiri di seberang jalan dengan tas punggung putihnya. Min Ji tak mengerti seketika itu perasaannya menjadi kelabu. Sinar mentari di musim panas ini seakan berubah mendung.
Begitu pun dengan gadis yang berada di sebreng jalan yang tak lain dan tak bukan adalah Na Yong. Ia menatap sendu ke arah Min Ji. Beberapa mobil lalu lalang di depan mereka. Tapi tatapan mereka seakan tak mau berpaling.
Dalam benak mereka hanya ada satu kalimat yang mengganjal.
Masihkah kita sahabat?

Komentar

  1. cerpen waku SMA,,,
    kalau yg baru da gak nih,,, pingin baca tulisan whenkk lagi nihh,,,,

    BalasHapus

Posting Komentar