Angin musim dingin menerpa
lembut tubuh rampingku, menerbangkan ujung kerudung yang ku kenakan. Kueratkan
mantel kulit yang kujadikan sebagai penghangat tubuh sembari tetap berjalan di
trotoar jalan yang cukup sepi. Kuhirup dengan kuat udara pagi ini, saat
paru-paruku terasa penuh kuhembuskan dengan bebas udara yang telah berespirasi
didalam tubuhku.
Pagi yang dingin di Jantung
Negara yang terkenal dengan sebutan Negeri gingseng ini telah mencapai suhu
minus lima derajat selsius dan melumpuhkan aktifitas sementara kota ini. Seoul
adalah kota yang sibuk, namun tidak dengan hari ini. Di jalan hanya ada
beberapa orang yang lalu lalang menerjang kencangnya angin musim dingin tahun
ini.
Tapi alhamdulillah musim
dingin tahun ini tak terlalu buruk seperti tahun lalu. Setidaknya hari ini aku
bisa pergi bekerja. Pada musim ini banyak orang yang memilih cuti dan bersantai
di rumah bersama keluarganya, atau mungkin menikmati hangatnya kopi maupun teh
di café yang menyediakan minuman serta cemilan yang cocok untuk dinikmati di
musim dingin ini. Dengan begitu pula pekerjaanku akan ekstra padat hari ini.
Sudah tiga tahun lamanya aku
berada di Negara ini. Aku adalah mahasiswa pindahan dari Jakarta yang mendapat
beasiswa sekolah di Korea. Sempat orang tuaku tak mengizinkan, dikarenakan
keluarga kami adalah keluarga muslim. Ayah berkelit bahwa sekolah di Negara
yang notabenenya non muslim seperti di Korea tak baik. Apalagi aku seorang
perempuan. Ayah takut aku jadi lalai dalam beribadah jika sering bergaul dengan
warga non muslim. Namun karena pada saat itu keuangan keluargaku sedang
menurun— yang mana ayahku hanya bekerja sebagai wiraswasta, sedang ibu adalah
ibu rumah tangga— mau tidak mau ayah mengizinkan aku untuk pergi dengan syarat
aku harus menghubunginya setiap satu minggu sekali dengan video call . ayah begitu menyayangiku karena aku adalah anak
tunggal di keluargaku.
Aku kuliah di salah satu
universitas terkemuka di Seoul, yakni Universitas Nasional Seoul, mengambil
jurusan biological science. Awal
kesini aku sempat putus asa dan berkeinginan untuk berhenti. Pasalnya orang
Korea masih sangat asing dengan orang yang mengenakan jilbab. Aku menjadi bahan
olokan dari teman-teman sekampusku. Namun mengingat perjuangan ayah yang
mencari biaya untukku kesini, ku telan semua cemooh mereka. Dan alhamdulillah
dua tahun berada disini mereka sudah terbiasa denganku yang beragama islam.
Ada banyak kendala yang berat
kurasakan selama disini, salah satunya untuk menemukan makanan halal . Lalu aku
berfikir untuk menjadi vegetarian dahulu selama berada di sini atau sesekali mencari
sea food untuk dimasak, karena semua
yang berasal dari laut itu halal. Saat bulan ramadhan pun tak terlalu menjadi
beban, sebab disekitar sini tepatnya di daerah Itaewon masih di daerah Seoul.
Ada Masjid megah sekaligus Islamic center
yang dinamakan Seoul Central Masjid. Pada bulan ramadhan masjid ini
menyediakan takjil untuk berbuka puasa dan juga pada malam harinya ada acara
ngaji sampai sahur. Jadi, nuansa kampung halaman bisa aku nikmati di sini.
Setiap
kali jum’atan akan berkumpul kaum muslimin dari berbagai Negara yang tinggal di
Korea untuk shalat jumat bersama, termasuk muslim Korea sendiri dan juga orang
Indonesia. Yang unik disini ialah, setiap kali selesai shalat jumat, jamaah
akan dibagikan camilan berupa roti berukuran jumbo dan sekotak susu segar.
Makanya, setiap kali selesai shalat jum’at mereka menetap sebentar di masjid
untuk menghabiskan camilan mereka sambil ngobrol dan mempererat tali
silaturahmi antar muslim disana.
Jika
sedang bosan makan sayur, aku jalan-jalan di sekitar kawasan masjid untuk
mencari jajanan halal di toko serta kedai yang tersedia di dekat masjid. Jika
kangen makanan Indonesia, ada juga yang menjual Indomie, mi asli buatan
Indonesia.
Semakin kueratkan mantelku tatkala
angin bertiup semakin kencang menerpa tubuhku. Salju yang melekat di kepalaku
pun telah mencair dan alhasil kerudungku basah sebagian. Saat melewati taman
kota, tak jauh beda dengan tempat lain, semua pohonnya tertutupi salju yang
turun tadi malam dengan lebatnya.
Ku buka pintu café tempatku bekerja dan meghasilkan bunyi has
yang menandakan ada pengunjung yang masuk. Tak ku temui banyak orang di dalam
kecuali sesosok cewek berpenampilan rapi dengan kemeja berlengan panjang dengan
setelan rok selutut. Riasan wajah yang tipis hanya kontras di bagian matanya
yang agak sipit seperti tren masyarakat Korea pada umumnya.
“Hai Vi, “ sapanya dengan
ramah dari meja kerjanya. Ia adalah teman sekaligus atasanku. Dal Hee, Bong Dal
Hee namanya. Ia sosok yang ceria dan lembut. Karyawan disini biasa memanggilnya
bos Bong, diambil dari marga (nama depan) keluarganya.
“Aduh, kamu basah kuyup sekali,
salju di luar lebat ya?” Tanyanya cemas melihat keadaanku yang basah dan
kedinginan.
“Tidak. Saljunya udah
berhenti, tapi angin kencang banget. Sepertinya akan terjadi badai hari ini,”
jawabku sembari membuka mantel serta sepatu yang ku kenakan. Desain café yang
Dal Hee rancang bernuansa Jepang-Korea, dengan dekorasi serta makanan yang
tersedia disini hampir semuanya berciri khas Jepang, tak banyak unsur Korea
yang ia munculkan, hanya baju yang dikenakan pelayan disini yang menggunakan
baju khas Korea.
“Lebih baik kau keringkan
badan dan ganti baju. Aku tak mau master cup
cakeku sakit di musim dingin ini. Karena musim dingin adalah musim sibuk
bagi kita. Oke?” katanya bergurau sambil menyodorkan handuk padaku dan terkekeh
geli melihat keadaanku yang seperti anak kucing kedinginan. Aku beranjak menuju
ruang belakang, tepatnya di dekat dapur dimana para karyawan yang bekerja
disini beristirahat dan mengganti baju.
Masih dengan nuansa Jepang,
tempat ini tak ubahnya rumah penginapan Jepang, namun disertai loker tempat
menaruh barang para karyawan. Pendisain semua ini adalah Dal Hee sendiri serta
ibunya yang memang berasal dari Jepang. Ayah Dal Hee asli Korea yang bekerja
sebagai manager disebuah perusahaan terkemuka di Jepang, dan ibunya sekarang
mengelola restoran yang ia rancang bersama ayah Dal Hee di Jepang.
“Ini! Minum supaya
badanmu hangat.” Dal Hee menyodorkan coklat hangat padaku lalu duduk di dekatku
yang tengah mengganti baju dengan baju khusus untuk chef yang bekerja disini.
“Thanks bos,” ujarku. “Apa
yang lain belum datang?” tanyaku disela-sela menghirup coklat panas yang
diberikan Dal Hee padaku.
“Ada beberapa karyawan yang
hari ini mengambil cuti. Dan sepertinya hari ini kita akan bekerja ekstra”
katanya sambil tersenyum ramah kepadaku.
Dal Hee adalah teman
kuliahku di Universitas, kami bertemu pertama kali saat aku hendak mencari
tempat kos, dan kala itu aku belum lancar berbahasa Korea dan membuatku
kesusahan dalam bertanya. Saat itu yang bisa ku temui hanya ibu-ibu yang tak menguasai bahasa inggris dengan baik. Dal
Hee sedang jalan-jalan sore saat itu dan mengetahui aku sedang prustasi sambil
duduk di jalanan. Ia bertanya dan membantuku mencari tempat tinggal yang merupakan
apartmen milik bibinya yang telah lama kosong.
Dal Hee juga yang
menyarankan aku untuk bekerja disini sejak dua taun yang lalu. Karena saat itu
uang saku yang orang tuaku berikan semakin menipis dengan banyaknya uang yang
diperlukan untuk menyelesaikan banyak tugas kuliah, ku iakan ajakannya.
Pertama bekerja disini aku
ditugaskan sebagai pelayan. Namun suatau ketika Dal Hee mencicipi cup cake buatanku dan dia tertarik,
kemudian sejak itu ia menugaskanku sebagai pembuat cup cake di cafenya, dan menambah cup cake sebagai menu andalan café ini. Ibulah yang mangajariku
membuat cup cake di Jakarta.
Pernah suatu ketika Dal Hee
mentraktirku makan dan ia menyodorkan arak has Korea kepadaku. Aku terkejut,
“Bukankah kamu tau kalau aku muslim, dan haram bagiku meminum minuman seperti
ini?” ujarku dengan sedikit jengkel.
“Maaf, aku tidak tau banyak
tentang agamamu” jawabnya polos.
Mulai saat itu juga aku menjelaskan
tentang agama islam padanya. Mulai dari ibadahnya, caranya bergaul serta
makanan yang disebut halal. “Memangnya apa bedanya halal dan haram, bukankah
mereka sama-sama makanan?” tanyanya padaku. Lalu kujelaskan tentang banyaknya
keburukan yang terdapat pada makanan haram. Sejak saat itu ia mengurangi minum
dan makan yang haram. Dia juga mempercayaiku untuk mengelola bahan dasar cup cakenya. Tanpa ku tau ia pun
menaruhkan label halal pada daftar menunya, serta brosur yang ia bagikan pada
warga sekitar.
Cup
cake
adalah kue simple berukuran kecil berwadah kertas khusus berbentuk mangkuk
kecil dan memiliki cita rasa manis serta
tekstur kue yang lembut. Cup cake
merupakan makanan kesukaanku sejak kecil. Dulu ibu juga sering menjajakan cup cakenya
di berbagai toko dekat rumah. Tapi semenjak aku kuliah ibu berhenti membuat cup cake, karena karyawan ibu hanya aku.
Selama bekerja di sini aku
telah mengkreasikan cup cake dengan
berbagai macam bentuk dan rasa. Aku bagaikan sudah menyatu dengan cup cake. Setiap bulan pasti akan ada cup cake jenis baru yang ku buat. Mulai
dari cup cake mint, cup cake dengan isi coklat pahit, cup cake isi keju, cup cake pelangi dan berbagai macam cup cake lainnya.
Tak semudah itu untuk
mengkreasikannya. Aku sempat mengalami kegagalan, waktu itu aku membuat cup cake isi durian namun reaksi
pelanggan tak bagus, mereka mengeluhkan baunya yang tak sedap. Ku harap
sepulang dari sini aku bisa membuka toko cup
cake sendiri di Jakarta.
Setiap cup cake pun memiliki makna tersendiri, dan karena aku sempat
menulisnya di secarik kertas, Dal Hee berinisiatif untuk memasukkannya di
daftar menu agar pelanggan tidak bosan dengan sajian daftar menu yang itu-itu
saja.
Misalnya cup cake isi mint,
terasa manis dengan sensasi dingin yang membuat lidah terasa beku. Seperti
perasaan wanita yang sedang pertama kali merasakan cinta. Manis sampai membuat
kita beku karenanya.
Atau mungkin cup cake isi
cokelat pahit, yang memiliki rasa yang pastinya pahit namun dengan kreasi rasa
cokelat yang terasa gurih jadi tidak membosankan. Cup cake ini menggambarkan
tentang kehidupan. Dari luar memang terlihat ,menggiurkan namun dalamnya
ternyata tersimpan kepahitan yang jika di nikmati terasa lezat dan tak pernah
bosan untuk dinikmati.
“Bisa kita mulai pekerjaan kita?” tanyaku
sambil tersenyum penuh semangat kepada Dal Hee. Ia membalas dengan senyum yang
tak kalah semangat.
“Tentu! Semangat pagi!
dingin bukanlah perkara” ujarnya sambil mengepalkan tangan dan mengangkatnya
atas-atas. Bel pintu masuk berbunyi lagi, sepertinya karyawan yang lain telah
tiba. ”Vi, pagi ini aku ingin menemanimu mebuat cup cake ya? aku sedang malas
di depan, boleh?”
“Tentu saja, aku akan sangat
merasa terbantu.” Ungkapku.
Pada musim dingin seperti
ini, café akan sangat sibuk, karena di wilayah
ini café bernuansa Jepang hanya ada satu ini saja. Karenanya pada musim dingin,
jam kerja karyawan akan di tambah. Sebab banyak orang yang akan datang
menikmati teh hijau hangat, yang asli di impor dari Jepang dengan beberapa
camilan sebagai pelengkap.
Bulan ini aku membuat cup cake rasa jahe dengan krim cokelat
serta taburan cokelat kecil berbentuk butiran salju. Cup cake ini telah kurancang beberapa minggu yang lalu dibantu oleh
Dal Hee. Karena musim ini musim dingin, kami ingin membuat makanan yang hangat
dan lahirlah cup cake rasa jahe.
Makna yang tersembunyi di dalamnya yakni sahabat sejati yang melahirkan
ketenangan dan kehangatan bagi setiap pasangannnya.
Beberapa
saat setelah selesai membuat cup cake
bersama Dal Hee dan juga chef asal Jepang
yang masih berkerabat dekat dengan Dal Hee. kami—aku dan Dal Hee—saling tatap
tak percaya. Café sangat ramai sampai pelayan yang lain terlihat kewalahan
melayani mereka.
Akhirnya
aku serta Dal Hee ikut turun tangan membantu. Terdengar teriakan dari segala arah
yang memanggil pelayan, dan para karyawan pun kocar kacir melayani setiap
pesanan para pengunjung. Pemandangan yang sudah biasa kulihat selama dua tahun
ini. Aku jadi teringat akan kampung halamanku. Di Jakarta tak kalah ramai dengan
di sini terutama di pasar. Aku dan ibu sering pergi kalau sedang mebutuhkan
bahan untuk membuat cup cake.
Aku
meminta izin pada Dal Hee untuk shalat zuhur sebentar. Ku basuh mukaku terlebih
dahulu di wastafle lalu mengambil air wudhu kemudian memunaikan shalat zuhur. Setelah selesai aku sedikit terusik dengan
suara angin yang berhembus cukup kencang di luar café. Aku iseng membuka
jendela untuk melihat keadaan diluar, seertinya sedang badai. Saat kubuka
jendela yang bernuansa Jepang itu. Pohon serta trotoar tampak telah tertutupi
salju, beberapa orang masih sempat berlalu lalang menggunakan payung,
sepertinya hendak berkunjung ke cafenya Dal Hee.
“Vivi?”
kata Dal Hee masuk ke ruangan tempat ganti baju yang ku gunakan untuk shalat.
Aku menoleh. “Maaf mengganggu, tapi ada pelanggan yang memesan cup cake isi cokelat pahit, sedangkan
persediaan kita sudah habis. Bisa tolong buatkan sebentar?” tanyanya agak
sungkan.
“Boleh,
aku bereskan sajadah dan mukenahku dulu ya?”
“Baiklah,
makasih”ujarnya padaku lalu beranjak keluar.
Setelah
bebrapa saat membereskan tempat shalatku tadi, aku langsung bergegas ke dapur
dan membuat cup cake yang di minta
Dal Hee untuk kubuatkan.
“Ini!
Memangnya siapa yang pesan?” tanyaku.
“Sepertinya
pelanggan baru. Bisa tolong kamu yang hantar?” tanyanya.
“Baiklah,,”
“Laki-laki
yang duduk di dekat jendela itu, oke?” kata Dal Hee menunjuk kearah seorang
laki-laki. Aku mengangguk tanda mengerti.
Ku
bawa nampan berisi teh hijau dan cup cake
isi cokelat pahit pesanan pelanggan laki-laki berpostur tubuh tegap yang tengah
serius membaca buku di dekat jendela. Agak sedikit takut untuk mengganggunya
tapi ku beranikan diriku menegurnya.
“Permisi,
ini pesanan anda. Maaf jika lama menunggu,” kataku sesopan mungkin sembari
mengembangkan senyum ramah padanya serta menaruh pesanannya. Dia melepas kaca
mata yang di kenakan lalu menoleh kearahku dan tersenyum.
“Terimakasih,,”
ungkapnya tulus dengan senyumnya yang menawan. Sedetik kemudian aku tersadar
dan memalingkan wajah.
“Astagfirullah,,”
ujarku mengingat kelakuanku tadi. Aku lalu beranjak dari tempat tadi sambil
merutuki kelakuanku barusan.
.Akhirnya
semua pelanggan telah pulang dan café telah di tutup satu menit yang lalu. Aku masih
mebantu pelayan yang lain membersihkan meja tamu yang masih kotor. Aku
mengerutkan dahi saat menemukan sebuah buku yang cukup tebal di tempat duduk
laki-laki pemesan cup cake isi
cokelat pahit tadi siang. Ku ambil buku tadi dan melihat sampulnya berbahasa Arab
yang berjudul ‘hakikat makrifat’. Ku buka lagi lembaran selanjutnya dan
mendapati stempel pemilik buku bertuliskan Al Azhar Kairo.
Apakah
laki-laki yang tadi itu beragama islam atau hanya tertarik membacanya saja?.
Tapi bagaimana bisa ia meminjam di universitas yang sempat jadi tujuanku kuliah,
Al Azhar Kairo. Sudahlah, sebaiknya kubawa saja buku ini, pikirku.
“Vi,
mau pulang bareng?” Tanya Dal Hee dari ambang pintu.
“Makasih,
tapi kayaknya aku harus ke suatu tempat terlebih dahulu. Kamu pulang duluan
aja, nanti aku akan cari kendaraan umum”
“Udah
jam Sembilan malam Vi. Memangnya mau kemana?”
“Aku
mau ke masjid, “ jawabku.
“Oh,
baiklah” Dal Hee segera menutup pintu dan pergi dari cafĂ©.
Ketika
kubuka pintu café, salju sudah menutupi tangga. Sejenak aku termenung menatap
langit malam tanpa bintang yang menjatuhkan krisatal-krisatal bening yang
sekarang semakin deras menghujam bumi.
Pandanganku
terhenti pada kursi panjang yang terletak di trotoar jalan bertemankan lampu
yang hampir padam. Tak berbeda jauh dengan nasib tangga ini, ia pun tertutupi
oleh salju.
Tepukan
tangan seseorang pada pundakku membuyarkan semua lamunanku. “Vi, duluan ya”
kata karyawan yang lain melewatiku. Aku hanya tersenyum tipis membalasnya.
Kulangkahkan
kaki menapaki satu persatu anak tangga dan berjalan melawan arah datangnya
angin yang disertai salju. Sesekali ku gosokkan tanganku yang terbalut sarung
tangan lalu menempelkannya pada pipiku yang sudah kemerahan karena dingin.
Sepanjang perjalanan ke masjid salju turun semakin deras. Karena di halte bus
tadi sepi, aku berfikir untuk jalan kaki saja, ku kira saljunya akan berhenti
nanti. Ternyata dugaanku salah, salju bukannya mereda malah semakin deras dan
angin pun semakin ganas menerjang tubuhku.
Semakin
lama berjalan saljunya semakin deras saja, membuatku mulai menggigil karenanya.
Tinggal beberapa meter lagi untuk sampai ke masjid, ku coba untuk menghangatkan
badan dengan memeluk tubuhku walau hasilnya tak dapat menghangatkan tubuhku
sama sekali.
Alhamdulillah
aku bisa sampai di depan masjid, namun sebelum menaiki anak tangga masjid
kurasakan pengelihatanku agak kabur dan kepalaku terasa berat. Aku lupa kalau
tadi saking sibuknya aku belum sempat mengisi perutku dengan makanan. Kepalaku
semakin berat rasanya dan sedetik kemudian semua terasa gelap dan aku tak
sadarkan diri.
##
Kurasakan
sesuatu mengusikku membuatku membuka mataku dengan berat. Kukerjapkan mataku
berkali-kali dan mendapati seorang wanita separuh baya mengenakan jilbab sedada
sedang memeras handuk kecil yang kutebak ia gunakan untuk mengompresku.
“A-anda
siapa?” tanyaku terbata. Dia terkejut melihatku telah tersadar.
“Kamu
sudah sadar nak? Alhamdulillah. Aku sempat mengira kamu terkena hipotemia,
namun dokter tadi telah memeriksa keadaanmu dan katanya kamu hanya kelelahan
serta perutmu kosong,” katanya menjelaskan panjang lebar. Aku tak bisa membalas
perkataan bibi tadi, aku masih terasa lemas.
“Sebaiknya
kamu makan dulu. Ini! Bibi sudah buatkan bubur,” katanya lalu mengambil mangkuk
berisi bubur. Aku tak mampu berkomentar dan hanya menuruti perkataan bibi tadi.
Setelah
makan, bibi itu menyuruhku istirahat sebentar, “Bi, ini sudah jam berapa?”
tanyaku sebelum bibi itu benar-benar keluar dari kamar itu.
“Jam
10 malam nak, memangnya kenapa?” tanyanya balik.
“Aku
belum shalat isa, boleh aku pinjam mukenah?”
“Boleh.
Tunggu disini ya, bibi carikan mukenah dulu,” katanya lalu beranjak keluar.
Selama
menunggu bibi tadi mencarikan mukenah, aku melihat-lihat sekitar kamar ini.
Kamar yang sederhana dengan desain rumah korea pada umumnya. Tak ada gambar
atau lukisan yang menghiasi dindingnya, polos berwarna biru muda. Ada satu foto
yang terletak di meja yang berada disebelah kasur tempatku tidur. Kugapai foto
tadi. Dan alangkah terkejutkan aku mendapati sosok laki-laki yang berada di
foto tersebut adalah pelanggan yang tadi meninggalkan bukunya.
“Nak,
ini mukenahnya.” Aku langsung dengan sigap menaruh foto tadi sampai hampir
terjatuh. Aku tersenyum melihat bibi tadi yang terheran melihat tingkahku
barusan. Dia mendekat dan duduk lalu meraih foto yang tadi.
“Ini
foto anak bibi, namanya Byul. Dia baru pulang dari Kairo dua hari yang lalu.”
Kata bibi.
“Dia
kuliah di Kairo?” tanyaku.
“Iya,
baru lulus tahun kemarin. Tapi dia menetap beberapa bulan lagi disana untuk
memperdalam ilmu agama katanya. Dia berkeinginan untuk membuka pandangan
masyarakat Korea tentang islam.” Aku menyimak dengan tekun kata demi kata yang
di ucapkan oleh bibi.
“Oh
iya, apakah kamu orang asli Korea, sebab kamu masih terdengar kaku mengucapkan
bahasa Korea”
“Aku
Vivi, aku memang bukan orang Korea. Disini aku mendapat beasiswa kuliah. Asalku
adalah Indonesia bi,” paparku.
“Indonesia?”
Tanya bibi. Aku mengangguk, “Disana pasti banyak orang islam ya? “ raut wajah
bibi tampak berubah, terlihat sedih. “Kamu tau nak, bibi dan Byul sempat ingin
pindah ke Indonesia dahulu, tepatnya tahun 2004. Ada teror yang warga non
muslim sini lakukan terhadap kami ” bibi berhenti sebentar dan menyeka air
matanya, aku mengusap punggung bibi untuk mencoba mengirim sinyal ketentraman
pada dirinya.
“Saat
itu Masjid sampai di jaga beberapa polisi, namun tetap saja bibi merasa sangat
takut saat itu,” katanya lagi lalu menatapku dan tersenyum.
“Tapi
Alhamdulillah, sekarang semuanya baik-baik saja dan orang yang masuk agama
islam pun semakin banyak,” tutur bibi, “Oh iya, kamu kan mau shalat ya. Aduh,
bibi kok jadi cerita panjang lebar begini sama kamu.”
“Iya,
tak apa kok bi. kamar mandi disebelah mana ya?” tanyaku.
“Oh
ya, aduh bibi hampir lupa. Ayo bibi anter,” katanya lalu memandu jalanku menuju
kamar mandi.
Kamar
mandinya terletak di dekat ruang dapur, rumah bibi sangat sederhana. Lantai
satu namun cukup luas. Dari dapur kita bisa melihat ruang tamu yang disana di
dekor dengan meja persegi panjang tanpa kursi, hanya ada bantal duduk, sangat
simple dan rapi.
Setelah
selesai menunaikan shalat, aku keluar dan mencium aroma kue dari arah dapur.
Karena tertarik aku lalu menuju dapur sebelum sempat membuka mukenah yang
kukenakan. Kudapati bibi sedang mengaduk adonan dan disampingnya terdapat alat
open sederhana. Sepertinya dari sanalah aroma tadi keluar. Aromanya manis dan
sedikit aroma cokelat.
“Nak,
sudah selesai shalatnya?” Tanya bibi yang sejak kapan mungkin telah menghadap
kearahku, saking terhipnotisnya dengan aroma tadi.
“Iya
bi. bibi sedang masak apa, aromanya enak sekali?”
“Oh,
bibi sedang buat cup cake. Byul
senang sekali makan cup cake.
Terutama cup cake isi cokelat pahit
dengan krim vanilla,” jelas bibi, aku
mengangguk mengerti.
‘pantas
saja’ ujarku dalam hati.
“Apa
kamu bisa ganti bibi sebentar?” pinta bibi padaku.
“Oh,
tentu bi,,” jawabku ramah.
“Terimakasih,
bibi ke gudang dulu sebentar ya,” katanya lalu beranjak dari dapur.
Lalu
kuganti posisi bibi sebagai chef di dapurnya. Tak beda jauh dengan memasak di
dapur café, hanya sedikit lebih sempit saja. Aku sibuk dengan melanjutkan
pekerjaan bibi yang sempat tertunda tadi yakni mengaduk campuran telur, gula,
dan mentega yang akan dibuat sebagai krim dipermukaan cup cake.
Beberapa
saat kemudian pundakku terasa berat oleh beban, “Assalamu’alaikum bu,,” sapa
seorang laki-laki dengan suara bariton dari sampingku. Aku terkejut dan menoleh
kearahnya.
“Astagfirullah,,”
ujar kami bersamaan sembari ia dengan cepat melepas tangannya yang tadi berada
di pundakku sambil menjauh dariku.
“Maaf,
maaf aku tak tau,,” katanya sedikit kikuk. Aku pun tak kalah kagetnya sampai
tak bisa berkata apa-apa.
“Byul
kamu sudah pulang?” Tanya bibi yang baru datang dari gudang sambil memegang
cangkir.
“Ibu,,”
ujarnya sembari mendekati bibi lalu menggapai tangannya dan menciumnya serta
memeluk bibi sebentar. Pemandangan yang sangat
menakjubkan. Subhanallah, aku terpukau dengan caranya menghormati serta
menyayangi orang tuanya.
“Oh
ya Byul. Ini Vivi, ibu tak sengaja menemukannya tergeletak pingsan di tangga
mesjid saat ibu pulang. Ibu kasihan lalu membawanya kemari,” papar bibi
memperkenalkanku pada anaknya yang bernama Byul itu. Dia tersenyum padaku dan
sedikit membungkukan badannya. Aku membalasnya dengan membungkukkan badanku
juga.
Bibi
mengajakku mencicipi cup cake yang
tadi dia buat. “Byul ini suka sekali cup
cake sejak kecil” kata bibi mebuka pembicaraan di meja makan. Yang
dibicarakan hanya diam dan sesekali tersenyum sambil menghirup teh hijau yang
bibi buatkan.
“Dia
bilang cup cake itu seperti teori
hidup. Bibi juga tidak tau apa maksudnya.” Bibi sedikit terkekeh saat
menjelaskannya. Byul dan aku ikut tersenyum tipis.
“Bi,
sebaiknya Vivi pulang ya, tidak enak sudah malam begini,” kataku meminta izin
untuk pulang.
“Ini
kan sudah malam nak, lagipula saljunya juga belum sepenuhnya berhenti,” tukas
bibi “Sebaiknya menginap untuk malam ini ya, besok pagi bibi akan anter pulang
sambil shalat subuh berjamaah di masjid.”
“Tapi
bi,,” aku mencoba mencari alasan.
“Sudah,
tak ada tapi-tapi. Tak baik kalau seorang gadis keluyuran di luar rumah tengah
malam begini,” tambah bibi. Aku berfikir sejenak dan akhirnya menyetujui
permintaan bibi. Bibi tersenyum senang.
“Kalau
begitu tidur sama bibi saja ya, sebab sepertinya ayahnya Byul akan menginap di
masjid malam ini.”
“Baiklah
bi,,”
Aku
tak sadar bisa secepat ini akrab dengan bibi, mungkin juga karena sifat bibi
tak jauh beda dengan ibu. Ah, aku jadi seperti sedang berada di kampung halaman
rasanya.
Paginya
pintu kamar terketuk, “Bu, sudah subuh , mari kita shalat ke masjid.” Terdengar
suara bariton Byul membangunkan kami yang masih setengah sadar. Kubuka perlahan
mataku dan kudapati tangan bibi memeluku erat. Aku tersenyum senang. Selama
beberapa tahun aku baru kali ini merasa seceria ini saat bangun tidur, rasanya
seperti habis tidur dengan ibu.
Bibi
terusik dan terbangun. “Kamu sudah bangun?” Tanya bibi, “Kalau begitu kita
bergegas ke masjid sebelum Byul membangunkan,” tambahnya.
“Sepertinya
bibi terlambat, karena sedari tadi Byul sudah membangunkan kita untuk shalat
subuh,” kataku.
“Bu,,”
terdengar suara Byul kembali.
“Iya,
ibu keluar” sahut bibi. “Ayo! Kita harus bergegas!” kata bibi.
Kami
berdua lalu membereskan tempat tidur yang berupa kasur tanpa ranjang has orang
Korea. Kemudian pergi ke Masjid bersama yang jaraknya hanya memakan waktu lima
menit saja dari rumah bibi.
“Lain
kali mampir ke rumah bibi ya?” kata bibi. Ia dan Byul mengantarku sampai depan
apartmen tempatku tinggal.
“InsyaAllah
bi kalau ada waktu,” jawabku sopan.
“Kalau
begitu bibi dan Byul pulang dulu ya, jangan suka telat makan. nanti kamu
pingsan lagi”
“Baiklah
bi, oh ya bi .” aku mengambil sesuatu dari dalam tasku. “Ini bukunya Byul, ia
meninggalkannya tadi siang saat berkunjung ke cafĂ© tempatku bekerja,” kataku
sembari menyodorkan buku itu. Byul tampak terkejut dan teringat sesuatu.
“Byul,,,”
bibi memandang Byul dengan tatapan meminta penjelasan. Byul yang ditatap
terkekeh lalu mencoba membela diri.
“Byul
benar-benar lupa ibu, insya Allah lain kali Byul tidak akan teledor lagi,”
belanya.
“Maafkan
anak bibi ya nak, dia memang suka lupa.”
“Taka
apa kok bi, namanya juga manusia, pasti pernah khilaf dan salah,” maklumku.
Bibi lalu mengisyaratkan Byul untuk mengambil bukunya. Byul pun mendekat
kearahku dan mengambil buku tersebut dan berujar.
“Terimakasih,
maaf merepotkan,” sesalnya.
“Iya,
sama-sama,” jawabku.
“Ya
sudah, kalau begitu kami pamit ya nak Vivi. Assalamu’alaikum,” pamit bibi.
“Wa’alaikumsalam
warahmatullah,” jawabku.
##
Dua bulan
setelah kejadian aku pingsan di Masjid, aku tak tau lagi kabar dari bibi. Hari
ini aku meminta izin untuk tidak bekerja, sebab ada kabar bahwa dalam rangka maulid
nabi SAW. Masjid Itaewon akan mengadakan acara dakwah akbar.
Sepulang
kuliah aku langsung menuju masjid tanpa pulang terlebih dahulu. Saat memasuki
wilayah masjid tampak sudah banyak mobil-mobil terparkir dipelataran masjid. Aku
bergabung bersama jamaah wanita di tempat khusus yang terpisah dengan jamaah
pria di lantai dua.
“Selanjutnya
kami persilahkan kepada anak kami yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di
Kairo, Mesir. Kim Byul, kami persilahkan untuk menyampaikan kajiannya yang
berkaitan dengan Rasulullah SAW.” Aku tertegun mendengar nama Byul disebut.
Sayangnya dari sini kita tidak bisa melihat wajahnya, hanya terdengar suaranya
saja.
“Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarokatuh.” Itu memang suara baritone Byul. Ia membuka
kajiannya dengan salam.
Satu
persatu kajian ia sampaikan dengan santai tapi tegas dalam tiga bahasa
sekaligus, yakni Korea, Inggris dan Arab. Subhanallah, Byul yang sekarang
berbeda jauh dengan Byul yang kutemui dua bulan yang lalu. Dalam kesehariannya
ia tak banyak omong, namun kalau sudah berkaitan dengan agama ia tegas dan
bicara lantang.
Sepulang
dari masjid aku berpapasan dengan Byul,
dia melirikku dan tersenyum sekilas lalu berlalu meninggalkanku. Aku
maklum akan sikapnya, dia adalah seorang laki-laki yang menjaga kehormatan dan
selalu menundukan pandangan terhadap yang bukan muhrimnya.
Keesokan
harinya setelah pulang kuliah aku kembali bekerja di café Dal Hee. pelanggan
masih banyak seperti hari-hari sebelumnya sampai jam empat sore, namun karyawan
yang mengambil cuti sudah kembali bekerja sehingga pekerjaan terasa lebih
ringan. Saat sedang membersihkan meja dapur suara bel pitu berbunyi.
“Maaf
kami sudah tu,,” Perkataanku berhenti seketika di kerongkonganku saat melihat
sososk laki-laki yang sudah tak asing bagiku, Byul.
“Assalamu’alaikum,”
sapanya.
“Wa’alaikumsalam,”
jawabku.
“Ibu
yang menyuruhku kesini,” katanya sambil tersenyum, “Sebenarnya denagn sedikit
unsur paksaan,” tambahnya lagi. Aku terkekeh.
“Ibu
mengundang makan siang besok siang. Dia sangat mengharapkan kedatanganmu,”
“Bagaimana
ya, besok siang aku harus kerja,” jawabku menyesal.
“Tak
apa kok. Kamu aku liburkan besok,” sela Dal Hee “Sebenarnya sih kita semua, aku
baru saja akan memberitahumu.” Katanya mengabarkan bahwa besok libur.
“Benarkah?”
tanyaku. Ia mengangguk. Aku beralih menatap Byul yang masih setia menunggu
jawabanku. “Sampaikan pada bibi, insya Allah kalau tak ada halangan besok siang
aku akan datang.”
“Baiklah,
kalau begitu aku pamit. Assalamu’alaikum,” katanya sambil tetap tersenyum dan
pergi dari café.
“Kamu
suka padanya?” Tanya Dal Hee tiba-tiba saat Byul sudah sempurna keluar dari
pintu. Aku sedikit kaget.
“Ada-ada
saja kamu. Aku baru bertemu dengannya satu kali,” sanggahku.
“O,,
begitukah?” tanyanya masih tak percaya. Aku mengangguk mantap. “Baiklah kalau
begitu, tapi lain kali jangan terlalu memandangnya sampai bermenit-menit
seperti tadi. Aku takut nanti kamu jadi ada gangguan pengelihatan,” katanya menyindirku.
Aku menatapnya horor, ia segera mengambil langkah seribu.
##
Aku
menatap wajahku di depan cermin dengan seksama.
Kuperhatikan dari atas sampai bawah. Setelan rok panjang berwarna krim
dengan baju panjang cokelat yang kukenakan terlihat cocok, serta jilbab senada
dengan rokku, terlihat sederhana namun rapi.
Hari
ini aku akan menghadiri jamuan makan siang bibi Kim. Tadi sepulang kuliah aku
mampir untuk membeli beberapa camilan has korea di toko dekat masjid untuk
kubawa berkunjung. Seperti tradisi orang Korea, setiap orang yang berkunjung ke
rumah kerabat, sebaiknya membawakan bingkisan sebagai buah tangan.
Setelah
beberapa menit menggunakan bus, aku sampai di depan rumah bibi. Yang membukakan
pintu bukan bibi melainkan seorang laki-laki paruh baya yang mirip dengan Byul,
pasti dia ayahnya Byul. Aku mengucap salam dan dibalas oleh paman. Ia lalu
mempersilahkanku masuk.
Di
dalam bibi sedang sibuk menyiapkan makanan di meja makan. Tapi tak ku lihat ada
Byul disana. Saat menyadari kedatanganku bibi tersenyum dan mempersilahkanku
duduk setelah sebelumnya aku mencium kedua tangannya terlebih dahulu.
“Jadi,
kamu sebagai pembuat cup cake di café
tempatmu bekerja?” setelah selesai makan kami—aku, bibi dan paman—berbincang
mengenai pekerjaanku.
“Iya,
setiap bulan aku pasti membuat kreasi baru. Tapi untuk bulan depan Vivi masih
belum ada ide,” ungkapku pada bibi. Paman tak jauh beda dengan Byul, hanya diam
dan memperhatikan, sesekali tersenyum dan merespon sekenanya.
“Bagaimana
kalau bibi kasih resep andalan padamu, ini resep keluarga. Kebetulan bulan
depan itu adalah musim semi. Cup cake
love, itu sebutan untuk cup cake ini. Dulu ayahnya Byul yang membuat
resep ini bersama bibi.” Bibi senyum-senyum seperti mengenang masa mudanya
bersama paman.
“Bukan
semuanya, hanya membantu saja,” tambah paman.
“Ayahnya
Byul memang suka merendahkan diri,” bisik bibi padaku. “Kalau begitu, ayo! Bibi
ajarkan cara mebuatnya,” ajak bibi padaku.
Bibi
dengan telaten mengajariku satu persatu cara membuat cup cake love. Bahan dasarnya sama saja dengan cup cake pada umumnya, hanya saja bibi menambahkan perisa strawberi
pada adonannya dan memberikan isian markisa pada cup cakenya. Serta dengan krim rasa strawberi pula di atas cup cake. Bibi juga menaburkan toping
berbentuk hati diatas atas krimnya, terlihat simple dan manis.
“Wah, rasanya unik
sekali bi,” ungkapku saat disuruh mencobanya, “Ada asemnya tapi dicampur dengan
rasa manis dari krim strawberinya. Rasanya luar biasa!” aku mengacungjkan
jempol pada bibi atas karyanya.
“Kalau begitu mari
kita bawa ke meja makan,” ajak bibi.Disana paman Kim masih setia menunggu
sambil mebaca buku.
“Yah, coba cicipi,”
pinta bibi pada paman. Paman mengambil satu cup
cake dan memakannya sebagian. Mengunyahnya sebentar lalu berkomentar.
“Enak sekali, ini
lebih enak daripada buatanmu yang dulu,”
“Assalamu’alaikum.”
Byul datang dan mengucap salam sembari melepas sepatu dan mantel yang ia
kenakan.
“Wa’alaikumsalam
warahmatullah,” jawab kami berbarengan.
Setelah selesai, Byul
beranjak mengambil tangan bibi untuk diciumnya dan memeluk bibi sebentar, lalu
beralih pada paman dan melakukan hal yang sama seperti yang ia perbuat pada
bibi tadi.
“Subhanallah, enak
sekali bu,” komentar Byul saat mencicipi cup
cake yang tersedia di meja.
“Tentu saja, ibu kan
dibantu chef cup cakenya langsung,”
jawab bibi sembari melirikku. Aku tertunduk saat mendapat pujian yang menurutku
berlebihan dari bibi. “Ternyata chef yang kamu bicarakan tempo hari itu adalah
nak Vivi ini. Yang kamu bilang cup cakenya
seperti terasa bernyawa karena dibuat dengan perasaan cinta,” lanjut bibi. Aku
tertegun sejenak dan menatap kearah Byul yang juga sedang menatap kearahku.
Sebentar kemudian ia tersadar dan menghadap meja.
“Be, benarkah?” ujar
Byul lirih dan sedikit terbata sambil
melanjutkan makan cup cakenya dengan
perlahan.
“Oh ya Byul,” paman
mencairkan suasana yang tadi sempat terasa kaku, “Bagaimana tadi, bibimu bilang
apa?” Tanya paman.
“Alhamdulillah, katanya
mereka setuju. Minggu depan lamarannya bisa diselenggarakan di rumah bibi.”
Mendengar kata
lamaran, hatiku terasa sesak, seperti dihimpit oleh benda yang sangat berat.
Udara disekitarku pun terasa seperti menipis, susah sekali untuk bernafas. Ada
apa denganku, tanyaku dalam hati.
“Alhamdulillah kalau
begitu,”
Aku menetralisir
kembali jantungku yang tadi berdegup sangat kencang. Mencoba menghirup udara
dengan susah payah.
“Bi, Vivi pamit ya,
sudah sore.” Bibi, Byul dan paman menatap kearahku.
“Kenapa cepat
sekali.”
“Iya bi, mumpung
saljunya tak terlalu deras. Kebetulan Vivi punya banyak tugas kuliah.” Setelah
mengambil tas, bibi sekeluarga mengantarku sampai depan pintu. Aku mencium
tangan bibi dan memberi isyarat salam dari jauh untuk paman dan Byul, mereka
membalasnya sekilas.
Sepanjang perjalanan
aku hanya termenung menatap butiran salju yang mengenai sepatuku. Tak terasa
aku sudah berjalan sampai taman yang terlihat putih tertutupi salju, ada banyak
anak kecil yang bermain lempar bola salju dengan asyiknya.
Terngiang kembali
perkataan Byul waktu tadi di rumah bibi yang mengatakan akan melamar seorang
wanita. Perasaanku tak karuan lagi. Rasanya sulit sekali untuk bernafas, dan
mataku terasa memanas dan ingin sekali menangis. sebenarnya perasaan seperti
apa yang kurasakan saat ini.
“Vi, mau ikut?” Dal
Hee sudah berada di depanku sekarang, aku tak tau kapan ia datang. Bahkan suara
mobilnya pun tak ku dengar sama sekali. “Kamu kenapa?” tanyanya cemas,”Kamu
lebih mirip orang yang tak pernah makan satu minggu, lesu dan tak bersemangat,”
ujarnya.
Aku tak tahan dengan
perasaanku yang membuncah dalam dadaku. Kupeluk Dal Hee yang membuatnya sedikit
terkejut akan tindakanku yang tiba-tiba. “Kamu kenapa?” aku tak mau menjawab,
hanya bisa menumpahkan air mata yang sedari tadi kutahan dengan susah payah.
“Tenangkan dirimu
dulu ya,” katanya mengelus-elus punggungku lembut dengan ritme yang beraturan.
Setelah agak tenang aku pun merenggangkan pelukanku dan kemudian menyeka air
mataku.
“Sekarang ceritakan
apa yang sebenarnya terjadi,” perintahnya.
“Ada apa denganku?”
tanyaku balik yang kontan membuatnya mengerutkan dahi. “Kenapa dadaku terasa
terhimpit saat mengetahui Byul akan melamar seorang wanita,” kataku to the point. Dal Hee merubah mimik
mukanya dengan cepat lalu sedetik kemudian tertawa namun dengan menutup mulutnya.
Aku sekarang yang menatap heran padanya.
“Sweety,, itu tandanya kamu itu cemburu. Kamu tak rela melihat orang
yang kamu sukai bersama dengan orang lain. Memangnya kamu belum pernah pacaran
selama ini?,” tanyanya. Aku menggeleng, “Atau mungkin, pernah suka pada
laki-laki?” aku kembali menggeleng. Dia semakin keras tertawanya.
“Apanya yang lucu?”
tanyaku penasaran. Aku terlihat seperti orang bodoh dibuatnya.
“Aku lupa, kutu buku
sepertimu mana pernah menyibukkan diri dengan laki-laki,” aku sontak menatapnya
horror, “Oh, aku lupa, agamamu melarang hal itu. Maafkan aku,” ralatnya.
“Baik, apa dia bilang
dia akan melamar siapa?” Tanya Dal Hee dengan serius. Aku menggeleng.
“Dia hanya bilang
minggu depan dia dan keluarganya akan pergi melamar anak dari bibinya,” jawabku
lesu. Dal Hee terlihat berfikir.
“Jadi, aku benar suka
padanya?” tanyaku polos. Dal Hee mengangguk pasti.
“Kamu kan pernah
bilang, jodoh itu ditangan tuhan. Bagaimana kalau sekarang sebaiknya kamu
shalat untuk menenangkan dirimu. Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau sedang
merasa sedih atau sebagainya sebaiknya shalat?”
“Astagfirullahal’azim,
iya. Thanks Hee. kamu memang sobat yang the
best,” kataku mengajukan jempol dan kembali ceria lagi, “Kalau begitu bisa
anter aku pulang enggak? Aku rasanya letih sekali harus jalan kaki,” pintaku.
“Sip,,”
##
Seminggu berlalu,
kuliahku semakin padat dan kerjaanpun tak ketinggalan menyibuk. Tak ku terlalu
pikirkan lagi masalah yang minggu lalu menghinggapi hidupku. Bibi juga sempat
menelpon untuk menanyai kabarku beberapa kali. Pagi ini hari pertama musim semi
di Korea. Tadi setelah shalat subuh, kutapaki jalan setapak menuju café yang
letaknya tak jauh dari apartmen tempatku tinggal sementara. Hari ini aku harus
buat cup cake sepagi mungkin, kebetulan
hari ini hari libur dan juga hari perilisan cup
cake love yang disarankan bibi
padaku.
Dijalan, salju sudah
tak tampak lagi dan diganti dengan ranting-ranting pohon tanpa bunga maupun daun yang menghiasi tepi jalan raya.
Tinggal tunggu saja beberapa hari lagi untuk melihat pemandangn nan indah dari
pohon yang secara serentak memunculkan ragam bentuk bunganya. Dan jika sudah
begitu, karnaval Cherry Blossom pun
akan ramai menghiasi setiap jalan yang di penuhi bunga nan cantik-cantik.
Pemandangan yang berbalik 180 derajat dari hari kemarin. Trotoar telah bersih
dari tumpukan salju, yang tertinggal hanya sedikit air hasil pencairan dari
sisa salju kemarin.
Di café aku hanya
sendiri, kemarin aku sengaja meminta kunci café pada Dal Hee untuk
mempersiapkan segala sesuatunya untuk cup
cake baru di musim semi ini. Aku
memulai dengan menyiapkan adonan cup cake
lalu membuatnya tahap demi tahap. Kuperhatikan setiap detailnya sembari
mengingat-ingat cara bibi membuatnya. Kunikmati setiap kali open berbunyi
menandakan cup cake telah matang,
bagaikan nyanyian pagi yang menenangkan terngiang di telingaku.
Alhamdulillah, jam
tujuh pagi cup cake bauatanku telah
jadi dan insyaallah cukup untuk pelanggan pagi ini. Aku tak sabar menanti
pelanggan pertama yang akan mencicipi cup
cake baruku.
“Pagi,,” sapa Dal Hee
dari ambang pintu. “Wah,, sepertinya cup
cake baru telah menunggu untuk di sapa oleh mulutku nih”
“Eit,, tunggu dulu.
Ingat, walau bagaimana pelangganlah yang harus mencicipinya dulu,” kataku
mencegahnya.
“Iya chef, lagian aku juga sudah kenyang”
Setelah para karyawan
datang, mereka mulai bergerak membersihkan dan mengatur meja seperti biasa.
Mereka terlihat bersemangat karena pagi ini adalah pagi baru di hari pertama
musim semi.
“Kira-kira siapa ya
yang akan menjadi pelanggan pertama kita hari ini,” kata Dal Hee. Pelayan
berjejer di depan pintu menunggu pelanggan pertama hari ini. Sedangkan aku dan
Dal Hee setia di dapur yang menyatu dengan tempat pelanggan.
Bel pintu berbunyi
menandakan pelanggan pertama datang.
“Selamat datang,”
sapa para pelayan yang bertugas di depan pintu. Aku dan Dal Hee tersenyum dan
melihat pelanggan yang datang. Saat itu juga hatiku berdetak tanpa bisa
dikontrol. Aku melongo melihat siapa yang datang.
“Vi,,” Dal Hee menyadarkanku. Aku lalu menghampiri bibi
yang datang bersama Byul.
“Assalamu’alaikum,”
sapaku. Bibi melihat kearahku dan tersenyum senang. Kugapai tangannya untuk ku
cium lalu bibi memelukku erat, aku sedikit terkejut.
“Bibi
mau pesan apa?”
“Duduk
dulu, ada yang ingin bibi bicarakan,” kata bibi mengajakku untuk duduk. Aku
duduk berdekatan dengan bibi, sedang Byul berhadapan dengan bibi.
“Bibi
harus membicarakannya sekarang sepertinya,” kata bibi memulai pembicaraan yang
sepertinya terlihat serius. “Bibi kesini dalam rangka menyampaikan keinginan
Byul untuk meminangmu nak.” Serentak kupu-kupu yang ada didalam perutku terasa
menggelitik dan dadaku kembali terasa terhimpit. Aku menatap tak percaya pada
bibi.
“Bibi
harap, setelah kelulusanmu. Kita bersama-sama untuk pergi ke Indonesia dan memintamu
baik-baik kepada kedua orang tuamu,” aku semakin tak bisa menggerakkan lidahku,
kelu rasanya. Ini terasa seperti mimpi.
“T,
tapi bi, bukankah bibi sudah melamarkan sepupu Byul sebagai calon istri?” Kini
giliran bibi yang mengerutkan dahi. Seperti tersadar akan sesuatu lalu bibi
angkat bicara lagi.
“Yang
waktu itu ya. maaf waktu itu kami belum memberitahumu. Saat itu temannya Byul
ingin dilamarkan sepupunya untuk dijadikan pendamping hidup,” jelas bibi, “Baru
saja kemarin acara pelamarannya selesai” tambah bibi.
“Bagaiman
nak, apa kamu berkenan untuk menyampaikan hal ini kepada kedua orang tuamu di
Indonesia?” tanya bibi. Aku masih sedikit syok dengan kejadian ini dan mencoba
untuk menenangkan diri dan berfikir sejenak.
“Insyaallah
bi, tapi bagaimana kalau aku dan Byul shalat istiharah dahulu. Maaf bi, bukan
apa-apa tapi agama kita menyarankan hal itu,” jawabku mencoba sebijak mungkin
dengan pengambilan keputusan. Aku tak mau keputusanku hanya berdasarkan hawa
nafsu semata.
Bibi
tersenyum, “Kamu memang tak salah pilih Byul. Ibu juga sudah tak ragu lagi
kalau Vivi ini memang anak yang Sholehah,”
“Terimakasih
bi,”
“Yasudah,
kalau begitu sekarang bibi sudah lega. Bibi pamit ya, bibi harus masak untuk ayahnya
Byul dulu.”
“Bibi
tak mencicipi cup cake buatanku
dulu?” tanyaku.
“Nanti
saja, “ jawabnya. Aku lalu menciumi tangannya kembali. Lalu bibi pergi beranjak
dari café. Aku berbalik dan menemukan Dal Hee sedang menatapku dengan senyum
yang mengembang di bibirnya. Aku pun ikut tersenyum dan mendekatinya.
“Selamat
ya, ternyata kesabaranmu membuahkan hasil. Tuhanmu ternyata memang tak bohong,”
katanya tulus, “Vi, apakah aku bisa menjadi muslimah sepertimu juga?” aku
hampir tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
“Alhamdulillah,.”
Aku lalu memeluk sahabatku itu erat. Aku menitikkan air mata bahagia karena
mendapatkan kebahagiaan yang bertubi-tubi pagi ini. Tak henti-hentinya
kulapazkan syukur pada Allah SWT.
##
Tiga
bulan berlalu dan aku telah menetapkan hati untuk menerima pinangan Byul
setelah shalat istiharah. Kuliahku pun alhamdulillah telah selesai minggu lalu.
Aku juga sudah mengabarkan keinginan Byul meminangku pada ayah dan ibu. Ayah
sempat marah padaku, dia mengira aku akan menikah dengan orang non muslim, tapi
setelah kujelaskan pada ayah tentang seluk beluk keluarga bibi, ayah berubah
pikiran dan setuju dengan pinangannya Byul.
Besok
pagi tepatnya kapal kami akan berangkat menuju Jakarta. Aku mengajak Dal Hee
untuk menemaniku, dia sudah menjadi mualaf dan juga telah memakai jilbab. Dia tampak
semakin cantik dan manis menggunakan jilbab.
“Vi,
kamu mau bawa semua barangmu atau kamu tinggal sebagian?” Dal Hee sedang
membantuku membereskan pakaian untuk kubawa ke Jakarta.
“Semuanya
aja, lagian kan gak terlalu banyak banget,” sahutku dari dapur yang tengah
membuatkannya makan siang. “Oh ya Hee, sekalian jangan lupa ransel yang ada di
dekat meja ya”
“Sip!”
Setelah
lelah benah-benah barang, kami istirahat sambil makan siang dengan menu yang
cukup sederhana yakni mi instant yang kumasak dengan kimci (sayur hasil
permentasi) buatanku sendiri.
Saat
sedang menikmati makan siang hpku berbunyi dan menampilakn nama bibi di layar
androidku. Kutaruh piringku di meja lalu kugeser layar androidku untuk
terhubung dengan bibi.
“Wa’alaikumsalam
bi,”
“_”
“Iya
bi, alhamdulillah kami baru selesai,”
“_”
“Baiklah.
Wa’alaikumsalam.”
Sambungan
pun terputus. “Bibi menanyakan apakah kita sudah siap atau belum, “ kataku
menjawab kebingungan Dal Hee.
Keesokan
harinya alhamdulillah keberangkatan kami ke Jakarta berjalan dengan lancar
sampai tujuan. Sesampainya di bandara ibu dan ayah sudah menunggu dengan
gelisah. Saat melihatku dari kejauhan ibu tak mampu menahan haru karena telah
tiga tahun tak bertemu. Ayah terlihat menenangkan ibu dengan mengelus
punggungnya halus.
Aku,
Byul, bibi, paman dan Dal Hee mendekati ayah dan ibu yang setia menunggu dari
tadi. Ibu dengan cepat menggapai tubuhku lalu memelukku erat dan menangis dalam
pelukanku.
“Ibu
kangen sekali sama kamu nak,” ujarnya disela isak tangisnya.
“Vivi
juga bu.” Aku juga tak bisa menahan haru tatkala ibu mulai menangis.
Acara
pelukan tak berlangsung lama setelah ayah berdehem dan memandangku. Aku
mengerti apa maksudnya, ia juga ingin dipeluk olehku. aku beranjak mencium
tangan dan memeluknya.
“Ayah
tak perlu waktu lama kok,” katanya lalu melepas pelukanku.
“Oh
ya, maaf. Ini nak Byul ya?” tanya ibu saat melihat Byul sekeluarga di
belakangku yang setia menonton adegan kangen-kangenan kami.
“Iya
bu. Ini bibi, paman dan dan ini sahabatku Dal Hee,” kataku. Mereka pun
bersalaman.
“Kalau
begitu ayo kita pulang. Ibu sudah menyiapkan makanan yang banyak untuk tamu
kita,” ajak ibu.
Kami
pun pulang ke rumah menggunakan bus trans Jakarta. Cuaca di Jakarta masih sama
seperti dulu, panas. Sepertinya bibi sekeluarga dan Dal Hee terlihat tak
terbiasa dengan cuaca di sini. Di dalam bus bibi dan ibu saling tanya tentang
banyak hal mulai dari tentang pernikahan, cuaca, sampai masakan pun mereka
bincangkan. Tentunya aku sebagai penterjemah diantara mereka. Ayah duduk dengan
paman serta Byul. Ayah banyak bertanya pada Byul menggunakan bahasa Arab. Ayah
pandai berbahasa Arab sejak SMA. Dan Dal
Hee tertidur karena kelelahan.
Saat
Byul ingin meminta minum pada bibi dibelakangnya, kami sempat bertemu pandang
dan dadaku bergejolak kembali. ‘astagfirullah, Vi kamu belum halal’ rutukku
dalam hati. Aku masih belum sepenuhnya percaya kalau aku dan Byul akan menikah.
Aku yang sejak kecil tak pernah mengenal dekat seorang laki-laki pun kini akan
menikah dengan laki-laki yang soleh, subhanallah.
Setibanya
di rumah aku merasakan seperti kembali ke masa dulu saat masih kecil.
Pemandangannya masih kentara seperti dulu. Pekarangan hijau yang rindang karena
selalu dirawat oleh ayah. Serta rumah mungil nan sederhana yang cukup luas itu
terlihat rapi dan bersih. Aku sangat merindukan suasana rumah seperti ini.
Ibu
terlihat mempersilahkan tamunya untuk masuk dengan isyarat, nampak sangat lucu.
Mereka seperti anak-anak yang tak tau harus bercengkrama dengan cara apa. Di dalam
bi Yem, pembantu rumah ini terlihat sibuk menyiapkan makanan.
“Aduh,,
non Vivi semakin cantik saja,” ujarnya ketika telah menyadari kedatanganku.
“Bibi sudah masakan makanan kesukanan non Vivi. Ini keluarga calon mempelai
lakinya ya?” tanya bi Yem. Aku mengangguk. Bi Yem tersenyum menyapa keluarga
bibi Kim.
“Bi
Yem tolong bawakan barang-barangnya masuk,” pinta ayah.
Setelah
selesai makan ibu mengajak bibi dan paman ke kamarnya, lalu ayah mengantar Byul
ke kamar tamu yang akan ditempati sebagai kamarnya selama disini. Aku mengajak
Dal Hee untuk beristirahat dikamarku.
“Aku
lelah sekali Vi, aku tidur dulu ya,” katanya.
“Baiklah,”
Dua
hari berlalu, acara lamaran pun diselenggarakan. Lamaran dilangsungkan
menggunakan bahasa Arab. Dan Alhamdulillah acaranya berjalan dengan lancar. Dan
besok rencananya kami akan berangkat ke Korea bersama untuk menghadiri wisudaku
sekaligus acara akad nikah.
“Vi,
kamu sudah ada pendamping hidup. Aku kapan ya?” tanya Dal Hee saat kami hendak
tertidur.
“Insyaallah
kalau sudah datang jodohmu pasti kamu juga akan menikah,” jawabkku.
“Tapi
aku pengennya yang soleh, yang bisa menuntunku pada agama yang benar.”
“Iya,
aku doakan semoga kamu dapat pendamping hidup yang soleh.”
“Amin,,”
Keesokan
harinya kami pun berangkat menuju Korea. Selama di Korea ibu dan ayah tinggal
di apartmenku sampai acara akad nikah terselenggra.
Acara
wisudaku dengan Dal Hee dihadiri oleh keluarga Dal Hee, keluargaku, dan juga
keluarganya Byul. Aku lulus dengan nilai terbaik. Dan itu sebuah hadiah besar
bagi kedua orang tuaku.
“Selamat
ya nak, ibu dan ayah sangat bangga padamu,” kata ibu. Aku mengangguk dan ibu
memelukku.
“Bibi
sangat bangga padamu,” komentar bibi Kim.
“Selamat
ya,” ujar Dal Hee.
“Kamu
juga, walau bukan yang terbaik disini. Tapi kamu adalah yang terbaik bagiku,”
hiburku. Dia pun memelukku. Dan saat pulang aku menemukan note di atas tasku, dari Byul.
Assalamu’alaikum ukhti. Selamat atas
kelulusanmu, kamu memang calon istri yang terbaik. Hari ini istirahat yng cukup,
jangan sampai sakit hari besok.
Kim Byul
Aku
tersenyum membaca note darinya.
Ternyata dia punya sisi yang romantis juga.
Keesokan
harinya acara akad nikah pun di gelar di rumah Byul dengan cukup sederhana. Kedua
belah pihak tak mau terlalu berlebihan, lebih mengutamakan syariah islam saja,
katanya.
“Wah,
calon pengantin baru, cantik sekali,” goda Dal Hee saat aku selesai di make up di ruang rias. Dal Hee yang juga
sudah di make up menggunakan jilbab
terlihat anggun.
“Dal
Hee, aku gugup sekali,” curhatku. Dia memegang pundakku dan menatapku dari
kaca.
“Aku
mengerti, insya allah semuanya akan baik-baik saja. Baca bismillah dulu ya,”
nasihatnya. Aku mengangguk dan menbaca basmallah.
Akad
nikah pun dimulai, di kamar aku ditemani oleh Dal Hee dan beberapa kerabat
dekat Byul. Penghulu yang diundang adalah penghulu yang bisa berbahasa arab,
ijab kabul pun dilangsungkan menggunakan bahasa arab.
Setelah
ijab kabul di laksanakan, Dal Hee menuntunku keluar untuk menemui Byul yang
sekarang telah sah menjadi suamiku. Jantungku memompa darah dengan begitu cepat
rasanya, di dekatku Dal Hee mencoba menenangkanku dengan mengelus pundakku.
Saat
sampai diluar aku menatap Byul yang sekarang tengah tersenyum manis kepadaku.
Ia terlihat sangat tampan dan berwibawa mengenakan kemeja putih dengan setelan
jas hitam diluarnya. Sedang aku menggunakan gaun dengan motif kebaya berwarna
putih.
Ia
berdiri dan aku menggapai kedua tangannya untuk kucium. Byul lalu mengecup
keningku sesaat. Kini aku telah halal, dan ini bukan mimpi. Kami saling tukar
cincin, dan suara teriakan syukur membahana diruang tamu yang dijadikan tempat
akad nikah ini.
##
Satu
minggu berlalu setelah pernikahanku, ibu dan bibi terlihat semakin akrab.
Begitu juga dengan paman dan ayah. Tapi hari ini ibu dan ayah harus pulang ke
Indonesia. Tiket dan seluruh persiapannya sudah dipersiapkan kemarin. Aku
beserta keluarga baruku mengantar ibu ke bandar. Ibu memelukku erat sebelum
pergi, aku tak bisa menahan haru dan menumpahkan air mataku dipelukan ibu. Ayah
bersalaman dengan ayah mertuaku, lalu ibu mertuaku pun menyalami ibu dan
memeluknya sesaat.
“Assalamu’alaikum,” pamit ibu.
“Wa’alaikumsalam.”
“Byul,
ibu titip Vivi ya,” pesan ibu.
“Iya
ibu, insyaallah aku akan menjaga Vivi dengan baik,”
Saat
pulang di dalam bus suamiku, yang sekarang ku panggil kak Byul, menenangkanku
dengan membisikan lantunan ayat al-Qur’an serta solawat dengan merdu
ditelingaku yang bagiku bagaikan puisi cinta yang sungguh romantis. Sedihku
reda dan tak lama kemudian aku tertidur dalam pelukannya.
Tiga
tahun setelah itu aku dan kak Byul membuat toko cup cake
dengan nama Cup cake love. Kami membeli
rumah yang sederhana dan tak jauh dari rumah mertuaku. Aku sudah berhenti
bekerja di cafenya Dal Hee. Dia telah menemukan jodohnya setahun setelah
pernikahanku. Suaminya seorang muslim berasal dari Usbekistan yang tinggal di
Korea. Orang tuanya pun tak masalah dengan agama yang ia anut sekarang, walalu
pertama mereka sempat terjadi percekcokan. Namun, Alhamdulillah semuanya
menemukan titik terang.
Kami juga memiliki
seorang putri nan cantik, namanya Fatimah. Nama itu dibuatkan oleh kak Byul
sendiri sesuai dengan nama putri dari Rasulullah SAW. Kak Byul bilang supaya
sifatnya seperti beliau RA. Seminggu sebelum proses kelahiran bayiku, ibu dan
ayah datang kesini.
Fatimah memiliki
bibir yang mirip dengan ayahnya, matanya agak sipit tapi juga belo. Jika
tersenyum dia semakin mirip dengan kak Byul. Dalam dirinya tertanam sifat
ayahnya, setiap pagi dialah yang membangunkan kami untuk shalat subuh. Dia suka
sekali bersolawat dimana pun ia berada.
Dia adalah anak yang
sangat pintar, dia bisa kuajari dua bahasa
sekaligus. Yakni Korea sekaligus Indonesia. Saat aku dan Fatimah sedang
bercengkrama dengan bahasa Indonesia, kak Byul akan terlihat bingung dan kami
semakin suka membuatnya seperti itu. Dan jika sudah bosan dia akan menggelitiki
kami sampai kami mau mengalah dan tidak lagi memakai bahasa Indonesia.
“Ayah,
ibu, Fatimah belepotan klim,” ujar Fatimah. Bibirnya belepotan oleh krim
stroberi dari cup cake love yang tadi
kubuatkan.
“Sini
ayah bersihkan,” kata kak Byul.
Aku
sangat bersyukur memiliki keluarga kecilku sekarang. Keluarga yang dikumpulkan
oleh sebuah kue kecil bulat yang menjadi saksi kisah cinta kami. Tentunya
dengan kehendak Allah SWT sebagai pembuat skenario kehidupan yang menjadikannya
sangat indah dan rapi. Terimakasih ya Rabb.
subhanallah, bagus banget ceritanya kak! coba aku yang jadi vivi, pasti aku super bahagia, hahaha...
BalasHapusadain season 2 nya dong kak! di season 2 banyakin percakapan vivi sama byul nya,di cerita ini dikit banget percakapan mereka. terus berkarya ya, ganbatte!